Mbah Karso mengangkat benda bulat kecil di tangannya, memindainya dengan mata renta berlingkar hitam di bawahnya. Sinar mentari menerobos masuk dari celah gedeknya yang berlubang, membuat benda itu makin tampak berkilau karena terbias cahaya.
"Permata merah ini," gumamnya sembari mengenang masa lalu. Mbah Karso memejamkan matanya rapat. "Bapak, ternyata jadi orang lemah itu menyakitkan, karena kelemahanku ini, aku gagal menjaga Cucuku sendiri." Lagi, dia menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Mawar."Balaskan..." Lirih suara terdengar menyapu gendang telinga Mbah Karso. Mbah Karso celingukan mencari sumber suara yang terdengar mendayu-dayu itu."Si-siapa?" serunya parau. Mbah Karso berdiri dari jongkoknya, sesekali tangan keriput miliknya mengusap-usap tengkuk."Kau melupakan aku, Bocah?" suaranya terdengar dekat, Mbah Karso kembali memindai sekitar, namun lagi-lagi tak dia temukan siapapun. Dia hanya sendirian saja."Akulah yang membersamai Kartasakti," suara itu terdengar semakin jelas. Pasang mata Mbah Karso terbelalak. "Nyai?" ujarnya dengan bibir bergetar. "Jadi disini selama ini engkau terlelap?" gumamnya lagi. Beberapa saat kemudian, sudut bibir Mbah Karso terangkat. Dia menyunggingkan sebuah senyum seringai."Maukah kau membantuku seperti Kau membantu Bapak, Nyai?" tanya Mbah Karso."Tentu, selama itu menguntungkanku. Apa yang kau inginkan?" Tanya wanita tak berwujud itu. Mbah Karso menatap nyalang, amarah tampak berkobar-kobar, begitu juga dengan bara dendam yang seakan menyala enggan padam."Aku ingin membalaskan rasa sakitku juga rasa sakit Mawar pada warga desa, Nyai. Mereka sudah banyak menorehkan luka, aku terima. Tapi mereka semakin menjadi sampai nekat menghilangkan nyawa. Aku ndak terima! Aku mau mereka mendapatkan sesuatu yang setimpal," ucap Mbah Karso menahan geram. Giginya bergemulatuk, rahangnya mengetat kuat"Baiklah, tapi pertama-tama, oleskan darahmu pada batu permata ini! Dengan begitu, kita akan terikat dan aku akan terbebas!" Titah Sang Nyai."Sendiko dawuh, Nyai." Mbah Karso segera mengambil sebuah pisau kecil lantas menggores ujung jari telunjuknya hingga mengeluarkan darah segar. Dia lalu mengoleskan darah itu pada batu permata merah yang berada di tangannya.Setelah menorehkan darah pada batu itu, Mbah Karso meletakkannya di depannya. Batu permata itu bergerak-gerak dan mengeluarkan sinar kemerahan. Mbah Karso mundur beberapa langkah ke belakang, hingga punggungnya menempel pada dinding gedeknya.Pasang mata tuanya menatap tak lekang, menanti apa yang mungkin terjadi setelahnya. Asap merah mengepul keluar dari batu. Mbah Karso memejamkan mata, khawatir mata rentanya akan terasa pedih karenanya."Buka matamu, Bocah! Dan berikan hormatmu padaku," titah sang Nyai. Mbah Karso membuka mata, dia terbelalak kaget kala mendapati seorang wanita dengan paras jelita yang memakai pakaian ala kerajaan Jawa lengkap dengan selendang merah yang melilit pinggangnya. Sebuah mahkota bertahta di atas kepalanya. Rambutnya yang hitam legam tergerai panjang nan indah. Wanita itu melangkah maju dengan langkah yang gemulai.Kelopak mata Mbah Karso seakan kaku hingga tak mampu berkedip. Dia hanya bisa terpaku melihat wanita yang memiliki permata merah di tengah keningnya itu mendekat. "Berlutut!" titahnya. Sepersekian detik kemudian, tubuh Mbah Karso seakan tak bisa dikendalikan. Dia berlutut dengan sendirinya, tak bisa bergerak bahkan untuk sekedar mengangkat kepalanya."Cukup, sekarang bangkit!" titah wanita itu lagi."Aku Nyai Larapati," imbuh wanita bermahkota dengan suara lembut namun tegas secara bersamaan. Mbah Karso mengangkat wajahnya, pandangannya bertemu dengan wanita bermata merah itu."Mata itu.." lirih Mbah Karso. Seakan tau isi hati Mbah Karso, wanita itu tersenyum. "Suatu saat, kau akan tau semuanya. Sekarang, fokus pada misi balas dendam ini terlebih dahulu. Malam nanti, siapkan seekor ayam cemani, sembelih dan simpan darahnya di kendi. Siapkan juga kembang telon (bunga tiga macam)." Nyai Larapati memberikan titah."Lalu apa selanjutnya, Nyai?" Tanya Mbah Karso. Dia gelap mata, imannya terkikis sedikit demi sedikit karena ketidak-adilan."Lalu ambil tanah makam Cucumu, letakkan di nampan bersama hati ayam cemani dan juga darahnya. Selanjutnya, biar jadi urusanku,""Apa yang harus aku baca, Nyai?" Mbah Karso kembali melempar kata tanya."Mantra pembangkit," sahut Nyai Larapati setengah berbisik. Suaranya yang bagai tersapu angin itu mampu membuat bulu roma berdiri."Tapi, aku bahkan ndak tau bacaannya," sahut Mbah Karso lagi."Jangan bodoh! Carilah di buku itu! Itulah sebabnya Kartapati menuliskan apa yang dia tau untukmu," titah Nyai Larapati tak terbantahkan. Mbah Karso menunduk, "Sendiko dawuh, Nyai," sahutnya lagi.Nyai Larapati kembali mengubah wujudnya jadi serupa asap merah, kemudian dia masuk ke dalam batu permata. Batu permata itu memendarkan cahaya kemerahan, namun tak lama cahaya itu perlahan memudar dan hilang."Ayam cemani hitam, itu agak sulit. Aku harus cari dimana yo?" gumam Mbah Karso bermonolog."Ah, benar juga. Kardi punya dua ekor ayam cemani hitam, tapi aku ndak yakin ayam itu dia jual. Kalaupun aku beli ayamnya, selain uangku ndak akan cukup, Kardi juga pasti berpikir yang ndak-ndak soal aku." Mbah Karso kembali bergumam sambil mondar-mandir. Otaknya berpikir keras."Kalau ndak beli, ya ambil saja," gumamnya sembari mengukir senyum menyeringai. Baru saja mengikat diri dengan Nyai Larapati, otak Mbah Karso yang biasa bersih jadi rusak ternoda. Dia merencanakan hal yang dilarang agama, mencuri ayam cemani hitam untuk ritual pembangkitan Mawar, cucunya yang sudah tiada.Waktu bergulir cepat, suara adzan Maghrib berkumandang di surau desa sebelah. Desa LEDOKOMBO memang memiliki surau sendiri, tapi sudah cukup lama surau itu tak digunakan dengan alasan tak layak karena bagian depan surau sudah nyaris ambruk. Meski begitu, warga desa itu tampaknya sama sekali tak tergerak untuk sekedar membenahi surau itu. Mereka bisa saja menarik sumbangan untuk membeli bahan dan mengerjakan dengan bergotong-royong. Mereka lebih senang menaruh sumbangan untuk mengundang para penari berbadan seksi juga mengadakan pertunjukan ludruk.Suasana desa malam ini terbilang sepi, padahal waktu belum menunjukkan pukul 7 malam. Keadaan ini digunakan untuk melancarkan aksi oleh Mbah Karso. Dia berjalan dengan langkah seringan mungkin, menyatu dalam gelap malam tanpa membawa obor. Tujuannya adalah rumah Kardi, pria yang malam itu menolak membuatkan makam untuk Mawar.Mbah Karso mulai mengendap-endap saat hampir mencapai kandang. Dia membuka pintu kandang itu pelan, lantas mulai mengambil ayam cemani milik Kardi."Kok Kok Kok!"Ayam-ayam milik Kardi mulai menimbulkan suara berisik karena tak nyaman dengan kehadiran Mbah Karso. Mbah Karso gelagapan, tak mungkin dia menutup mulut-mulut berisik ayam itu dengan satu tangan."Sopo iku!? (Siapa itu!?)" seru Kardi dari dalam rumahnya. **Kriettt!** Suara pintu belakang terdengar berderit. Tak lama, Kardi keluar dengan membawa sebuah obor di tangan. Jantung Mbah Karso berdegup kencang. Dia bersembunyi di belakang kandang dengan tangan membekap mulutnya."Duh Gusti, semoga dia ndak menemukan aku," batin Mbah Karso. Terdengar lucu memang, dia sedang mencuri ayam tetangga, namun dia juga berdoa kepada Tuhan yang dia sekutukan agar kelakuannya tak ketahuan.Kardi mulai mendekat ke arah kandang. Pasang matanya memicing saat mendapati pintu kandang ayamnya terbuka. "Janc*k! Maling pitik! (Maling ayam!)" umpat Kardi. Dia bergegas menutup kembali pintu kandangnya, kemudian segera mengedarkan pandang ke berbagai penjuru sekitar rumahnya. Giginya bergemulatuk menahan amarah. Wajar saja, dia pecinta ayam, peliharaan ayamnya juga tergolong ayam yang langka dan mahal. Sudah pasti dia menahan geram, tak ingin kehilangan seekorpun ayam kesayangannya.Kardi berkeliling, mencari di semua sisi yang baginya tampak mencurigakan. Tempat terakhir yang akan dia periksa segera adalah kandang ayam petelur, dimana Mbah Karso bersembunyi di baliknya. Suara langkah diseret mendekat, keringat dingin membasahi kening keriput Mbah Karso.**Tes.. Tes.. Tes..**Kard
"Koe dengar suara kerincing kuda ndak?" tanya Eyang Putri, janda sepuh yang begitu dihormati di desa. Dia sedang menikmati makan malam berupa singkong rebus yang dicocol dengan sambal, saat tiba-tiba suara kerincing dan tapak kuda terdengar melewati pelataran rumahnya."Nggih, Eyang. Aku kira cuma aku yang dengar," sahut Santo, cucu semata wayang Eyang Putri."Semoga ini bukan suara kerincing kuda milik dia," gumam Eyang Putri yang seketika menghentikan makannya. Dia bangkit dari amben bambu beralaskan tiker pandan miliknya, lantas berjalan tertatih-tatih menuju jendela.Pasang mata tua dengan guratan halus terukir nyata itu memicing, kemudian hanya dalam beberapa detik saja, netranya membola. "Gawat!! Ini bencana!" Serunya dengan suara khasnya yang berat nan parau. "Ada apa Eyang? Bukankah Mawar sudah berhasil kami singkirkan? Lantas apalagi yang perlu ditakutkan?" tanya Santo pada Eyangnya."Ini bahaya yang jauh lebih besar, apa koe ndak lihat jejak aura serupa kabut merah di udara
Mentari baru saja terbit, membuat langit merona. Suasana pedesaan sangat kental, aroma kepulan asap hasil menanak nasi menyebar bercampur dengan aroma embun yang menyegarkan. Suara kokok ayam dan kicau burung terdengar bersahut-sahutan."Saaaayuuuuuuurrrrrr! Saaayuuuurrrrr!!!" Suara wlijo (bakul sayur) terdengar nyaring. Dia menjajakan sayurannya dengan sepeda onthel tua berkarat. Tak butuh waktu lama, para Ibu-ibu keluar dari rumahnya, berkumpul mengelilingi bakul sayur itu untuk sekedar berebut sayuran segar."Semalam aku ndak bisa tidur, suasana semalam entah kenapa agak lain sejak setelah waktu Isya'. Bayiku juga rewel terus, ndak tau kenapa," ujar Mina, seorang Ibu muda yang baru pindah dari desa sebelah sekitar dua hari yang lalu."Lha, koe ndak diganggu toh?" Bisik Bu Tini sambil berkali-kali mengusap tengkuk belakang yang meremang. Kening Mina mengernyit, "diganggu piye toh, Bu?" tanyanya keheranan. Para Ibu-ibu lain mendekat, lalu ikut berbisik."Sampean juga diganggu, Bu? Hih
Suara isak tangis yang terdengar bersahut-sahutan. Hingga beberapa saat kemudian, Mbah Karso kembali buka suara. "Siapa Nduk? Katakan, siapa orangnya? Siapa Iblis berwujud manusia yang sudah tega melecehkanmu, Nduk!?" tanya Mbah Karso dengan suara parau."Boleh aku lanjutkan ceritaku, Mbah?" tanya perempuan itu. Sakit, dendam, amarah dan putus asa tergambar jelas di matanya. Mbah Karso mengangguk, seolah mempersilahkan. Pria renta itu menghela nafas, menyiapkan hati untuk kembali digerogoti rasa sakit."Aku wis bilang sama mereka, Mbah. Mbah lagi ndak ada di rumah. Tapi mereka bilang, mereka sengaja datang saat sampean ndak ada. Aku ketakutan, Mbah. Aku merasa terancam. Aku melarikan diri lewat pintu belakang, berlari ke arah tebing dengan harapan bisa ketemu Mbah di jalan. Tapi.." "Kenapa, Nduk?""Kaki telanjangku tertusuk pecahan beling, Mbah. Sakit sekali. Aku ndak kuat buat sekedar berlari. Mereka kembali menemukan aku, Mbah. Mereka merudapaksa aku, sampai tanpa sengaja sumpahku
"Dek! Mau kemana toh? Kenapa buru-buru sekali?" tanya lelaku itu. Melati masih diam enggan menyahut. "Siapa namamu? Aku ndak pernah lihat sampean di desa ini sebelumnya," tanyanya lagi sambil menahan pundak Melati dan menariknya pelan. Melati berhenti dan berbalik."Aku MELATI," sahutnya sambil mengukir senyum aneh yang tak disadari oleh lelaki itu. Dia terlalu fokus mengagumi kecantikan wajah gadis jelita bermayang panjang di depannya."Ah, kenalkan aku Santo," ujar Santo memperkenalkan diri. "Sampean mau kemana? Sampean keliatan kebingungan, mau Mas antar?" tawar Santo. Melati mengangguk malu-malu. 'Kena kau!' gumamnya dalam hati.Keduanya berjalan berdampingan, Santo sengaja memperlama perjalanan mereka dengan niat melakukan pendekatan. Santo telah jatuh hati pada dia yang baru saja dia temui sekali ini."Sudah sampai, masuklah," titah Santo."Terima kasih karena sudah mengantar, Kang Mas!" ucap Melati dengan senyum manis terbingkai. Itu tentu membuat jantung Santo berdetak semakin
***Krieeeetttt... Pintu kayu yang sudah lapuk itu perlahan tertutup. Suara derap langkah kaki Melati terdengar mendekat."Mbah.. sampean lupa yo, aku bukan lagi Mawar, Mbah. Aku MELATI, jangan lupakan itu. Santo dengar dan hampir curiga, Mbah," ujar Melati yang kini duduk di samping Mbah Karso. Mbah Karso menatap dengan mata tuanya, memindai wajah yang tampak asing di depannya. Dia Mawar, tapi bukan Mawar. Ah, benar-benar di luar nalar manusia."Maaf yo, Nduk. Maafkan Si Mbah. Mbah cuma belum terbiasa," sesal Mbah Karso."Ndak apa-apa, Mbah. Kita harus lebih berhati-hati agar semua berjalan sesuai dengan rencana. Aku ndak mau pembalasan dendam ini gagal. Mereka yang membuatku mati juga harus mati dengan cara yang jauh lebih kejam dari cara mereka meniadakan aku." Melati menyahut dengan tangan terkepal.Mbah Karso tampak menghela nafas panjang, hatinya sama sakitnya. Kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa karena takdir merenggut membuat hatinya hancur berkeping."Apa rencanamu,
Santo sudah hampir sampai ke tempat biasa Pak Dahlan menunggu penumpang. Namun, dari kejauhan, dia melihat delman Pak Dahlan sudah berjalan menjauh dengan beberapa penumpang di dalamnya. Santo berteriak memanggil, sambil mempercepat langkahnya, namun sialnya sebuah batu membuatnya tersandung dan jatuh. Kakinya terkilir, susah digerakkan."Pak!! Pak Dahlan!" seru Santo. Namun delman satu-satunya di desa itu tampaknya sudah menjauh pergi. "Ck! Pakai acara jatuh segala! Sekarang aku kudu piye? Aku ketinggalan delman, mau balik ke rumah, jauh... Mana kakiku sakit pula, huft!" keluhnya. Santo melihat sekitar dan mendapati langit sudah mulai menggelap. Lelaki itu meneguk salivanya dengan susah payah."Ndak apa-apa, Maghrib masih lama, mending jalan pelan-pelan dan kembali ke rumah," gumamnya berusaha menguatkan diri.Santo berjalan tertatih-tatih, menyeret langkahnya melewati jalanan yang becek dan berbatu. Suara meringis berkali-kali keluar dari mulutnya. "Aghhh sial! Ndak bisa, aku pasti
Tepat dini hari, penyadap getah karet menyebar untuk melakukan pekerjaannya. Was-was sudah pasti, takut apalagi, jangan ditanya. Kabar soal Mawar yang bergentayangan sudah menyebar ke seluruh penjuru desa. Bahkan, desa sebelahpun juga sudah tau tentang hal itu. Tapi apa mau dikata, kewajiban tetaplah kewajiban, meski harus mati-matian melawan rasa takut yang merajai diri.Seperti halnya Pak Karmo dan Istrinya, Sulastri. Mereka keluar dari rumah tepat pukul 01.30, berniat menyadap getah karet demi menyambung hidup."Pak... Perasaanku kok ndak enak, yo? Aku... takut, Pak..." lirih Sulastri. Dia merapatkan diri, melangkah di samping Pak Karmo. "Halah, takut opo? Ada Bapak, ndak bakalan ada yang ganggu!" Sahut Pak Karmo santai. Dia terus menjejaki langkahnya menuju ke perkebunan karet yang sudah tak jauh lagi."Aku takut... Mawar Pak," bisik Sulastri dengan suara bergetar. "Halah, gadis kutukan itu? Ngapain takut, dia yang harusnya takut sama Bapak! Berani muncul, ku buat dia mati dua k