"Duh Gusti, semoga dia ndak menemukan aku," batin Mbah Karso. Terdengar lucu memang, dia sedang mencuri ayam tetangga, namun dia juga berdoa kepada Tuhan yang dia sekutukan agar kelakuannya tak ketahuan.
Kardi mulai mendekat ke arah kandang. Pasang matanya memicing saat mendapati pintu kandang ayamnya terbuka. "Janc*k! Maling pitik! (Maling ayam!)" umpat Kardi. Dia bergegas menutup kembali pintu kandangnya, kemudian segera mengedarkan pandang ke berbagai penjuru sekitar rumahnya. Giginya bergemulatuk menahan amarah. Wajar saja, dia pecinta ayam, peliharaan ayamnya juga tergolong ayam yang langka dan mahal. Sudah pasti dia menahan geram, tak ingin kehilangan seekorpun ayam kesayangannya.Kardi berkeliling, mencari di semua sisi yang baginya tampak mencurigakan. Tempat terakhir yang akan dia periksa segera adalah kandang ayam petelur, dimana Mbah Karso bersembunyi di baliknya. Suara langkah diseret mendekat, keringat dingin membasahi kening keriput Mbah Karso.**Tes.. Tes.. Tes..**Kardi yang sudah berdiri tepat di depan kandang akhirnya mendongak ke atas setelah merasakan sesuatu menetes membasahi rambut dan juga keningnya. Dia meraba keningnya dan mendapati cairan merah berbau anyir disana. Kardi yang terkejut langsung mengarahkan senternya ke atas pohon mangga yang tumbuh besar di halaman belakang rumahnya.**Brugh!!!**"Huaaaaahhhhh!!! De-demit!!" seru Kardi. Dia jatuh terjengkang karena terkejut. Kardi beringsut mundur dengan tubuh gemetaran. Pandangannya entah kenapa tak bisa dia palingkan ke arah yang lain."Pingsankan aku, Gusti! Pingsankan aku," gumamnya memohon agar dibiarkan pingsan. Namun sepertinya, doanya tak terkabul karena bahkan saat sosok bergaun merah itu melayang turun dengan perlahan, Kardi masih 100% sadar.Kardi bergidik ngeri saat sosok itu semakin dekat. Seekor ayam yang sudah buntung kepalanya tampak berada di genggaman tangan kanan sosok berkuku runcing itu. Pasang mata merahnya menyala, senada dengan warna gaun yang juga merah."Pakde..." lirih sosok itu parau. Mata Kardi semakin membelalak lebar. "Ma-mawar!" serunya. Sosok bermata merah itu melesat cepat dan berhenti tepat di depan Kardi. Jarak mereka berdua kini hanya sejengkal saja. Kardi bisa mencium aroma kembang melati bercampur bau anyir darah di saat yang bersamaan."Ma-maafkan aku, Mawar! Maaf," seru Kardi. "Su-sumpah! Aku ndak ikut-ikutan membuat rencana itu, sungguh!" serunya dengan dua tangan menangkup di atas kepala. Sosok Mawar menyeringai, dia menoleh ke arah Mbah Karso yang ternyata sedang mengintip. Dia memberi anggukan pelan seolah sedang memerintahkan Mbah Karso untuk segera pergi.Mbah Karso paham itu, dia berlari tanpa suara, sembari menghapus tetes demi tetes air mata yang keluar dari netranya yang terasa memanas. "Kamukah itu, Nduk?" gumamnya di sela-sela nafasnya yang tersengal-sengal.Mbah Karso sudah tiba di rumahnya. Dia segera masuk ke pawon, mengambil golok lalu menyembelih ayam cemani itu secepatnya. Sebuah kendi berukuran kecil sudah dia siapkan untuk menampung darah ayam yang dia sembelih.**Crrrrrrr!**Darah mengalir dari leher ayam cemani yang kini tampak menggelepar namun sekuat tenaga Mbah Karso pegang agar darahnya tak tumpah kemana-mana."Kembang wis siap, terus tanah makam juga wis siap. Sekarang tinggal belah dan ambil hati ayam cemani ini. Eh, hati opo jantung yo?" gumam Mbah Karso. "Opo perlu tanya lagi sama Nyai? Tapi gimana cara panggil Nyai?" imbuhnya. Mbah Karso tampak garuk-garuk kepala. Otak tuanya memang jadi lebih cepat melupakan sesuatu."Yo wis, ambil saja dua-duanya biar ndak ribet!" serunya. Dia mulai membelek dada ayam itu dengan sebuah belati kecil. Tak ada rasa jijik, yang dia ingat cuma satu, rasa sakit yang meminta penuntasan balas."Hati dan jantungnya perlu dicuci ndak yo? apa biar begini saja?" gumam Mbah Karso lagi. Ya, lagi berbicara sendiri. Satu-satunya teman bicaranya sudah tiada karena kekejaman para warga. Wajar saja hati lembutnya nyeri. Wajar saja dendam itu tumbuh bersemi dengan suburnya, karena mereka yang memupuknya sedemikian rupa.Sebuah nampan dengan lilin di tengahnya Mbah Karso siapkan. Jantung dan hati ayam sudah dia tata sedemikian rupa bersandingan dengan bunga dan sekendi kecil darah segar ayam cemani. Tak lupa, segenggam tanah kuburan basah milik mendiang cucunya dia bungkus dengan kain putih dan diletakkan disana.Mbah Karso membawa semua persiapan ritual sesat itu ke halaman belakang rumahnya, tempat dimana Mawar disemayamkan. Dia duduk bersila tepat di depan gundukan tanah yang masih basah nan merah. Suara binatang malam meramaikan malam yang sepi. Burung hantu terbang berseliweran kesana kemari, seolah tau akan ada hal besar yang terjadi.**Jresh! Jresh!**Mbah Karso menyalakan batang korek berbahan kayu kecil, lalu mulai menyalakan lilin. Satu lilin dia pegang, satu lilin diletakkan di tengah nampan. Nyala api meliuk-liuk ditiup angin malam. Mbah Karso mengambil buku peninggalan Ki Kartasakti, membukanya perlahan hingga pada halaman yang berjudul, **Membangkitkan Jiwa Yang Mati**Dengan penerangan seadanya, mata tua Mbah Karso berusaha keras membaca tulisan aksara Jawa yang tercetak tebal di buku itu. Bibir kering nan pucatnya mulai bergetar, dia menggumam pelan membacakan mantra pembangkit. Ya, dia sudah bertekad, dia akan membangkitkan kembali cucunya. Tak peduli meski kali ini dia harus bersekutu dengan setan."Duhai jiwa kang wis lungaDuhai raga kang wis matiJenengmu kupanggilTekamu kuharapkeUrusan kang ora tuntas, tuntaskanDendam kang ora terbalas, balaskanGetih diwales getihNyawa diwales nyawaBareng Nyai LarapatiKu gadaikan segenap raga lan jiwaKu abdikan dhiri nganti mengko ku kudu matiMawar Utami..Mawar Utami..Mawar Utami..Namamu ku sebut tiga kaliBangkitlah, NdukBangkitlah.. Bangkitlah!"Mbah Karso memejamkan mata, meresapi semilir angin yang datang membelai wajah keriputnya. Aroma kembang melati tercium samar-samar, namun beberapa saat kemudian semakin pekat mengaduk-aduk indra penciuman. Mbah Karso masih enggan membuka mata, meski dia tau, yang dipanggil telah hadir."Huhuhu, hiks hiks hiks!" suara tangisan pilu terdengar menyayat hati. Tangisannya juga aroma kembang melati terbawa angin hingga menyebar pada seluruh penjuru desa. Mereka yang masih belum terlelap kompak merapatkan selimutnya."Nduk, sampean sudah datang?" tanya Mbah Karso dengan mata berkaca-kaca. Sosok Mawar yang sedang duduk bersimpuh di samping tanah makamnya hanya menatap kosong. Matanya mengalirkan darah segar merah kehitaman.~~Krincing Krincing Krincing~~Suara kerincing dan tapak kuda terdengar dari jauh. Sesekali ringkikan kudapun terdengar. Mbah Karso berdiri, entah kenapa dia merasa yakin, ini adalah tanda kehadiran sosok yang baru-baru ini menawarkan bantuan. Sosok yang kepadanya Mbah Karso mengabdikan diri. Dia adalah, Nyai Larapati.Mbah Karso membungkuk setelah melihat sebuah kereta kencana berhenti tepat di depannya. Dia memberikan salam hormat, tangannya menangkup di atas kepala. "Selamat datang, Nyai Ratu!" bisiknya."Koe dengar suara kerincing kuda ndak?" tanya Eyang Putri, janda sepuh yang begitu dihormati di desa. Dia sedang menikmati makan malam berupa singkong rebus yang dicocol dengan sambal, saat tiba-tiba suara kerincing dan tapak kuda terdengar melewati pelataran rumahnya."Nggih, Eyang. Aku kira cuma aku yang dengar," sahut Santo, cucu semata wayang Eyang Putri."Semoga ini bukan suara kerincing kuda milik dia," gumam Eyang Putri yang seketika menghentikan makannya. Dia bangkit dari amben bambu beralaskan tiker pandan miliknya, lantas berjalan tertatih-tatih menuju jendela.Pasang mata tua dengan guratan halus terukir nyata itu memicing, kemudian hanya dalam beberapa detik saja, netranya membola. "Gawat!! Ini bencana!" Serunya dengan suara khasnya yang berat nan parau. "Ada apa Eyang? Bukankah Mawar sudah berhasil kami singkirkan? Lantas apalagi yang perlu ditakutkan?" tanya Santo pada Eyangnya."Ini bahaya yang jauh lebih besar, apa koe ndak lihat jejak aura serupa kabut merah di udara
Mentari baru saja terbit, membuat langit merona. Suasana pedesaan sangat kental, aroma kepulan asap hasil menanak nasi menyebar bercampur dengan aroma embun yang menyegarkan. Suara kokok ayam dan kicau burung terdengar bersahut-sahutan."Saaaayuuuuuuurrrrrr! Saaayuuuurrrrr!!!" Suara wlijo (bakul sayur) terdengar nyaring. Dia menjajakan sayurannya dengan sepeda onthel tua berkarat. Tak butuh waktu lama, para Ibu-ibu keluar dari rumahnya, berkumpul mengelilingi bakul sayur itu untuk sekedar berebut sayuran segar."Semalam aku ndak bisa tidur, suasana semalam entah kenapa agak lain sejak setelah waktu Isya'. Bayiku juga rewel terus, ndak tau kenapa," ujar Mina, seorang Ibu muda yang baru pindah dari desa sebelah sekitar dua hari yang lalu."Lha, koe ndak diganggu toh?" Bisik Bu Tini sambil berkali-kali mengusap tengkuk belakang yang meremang. Kening Mina mengernyit, "diganggu piye toh, Bu?" tanyanya keheranan. Para Ibu-ibu lain mendekat, lalu ikut berbisik."Sampean juga diganggu, Bu? Hih
Suara isak tangis yang terdengar bersahut-sahutan. Hingga beberapa saat kemudian, Mbah Karso kembali buka suara. "Siapa Nduk? Katakan, siapa orangnya? Siapa Iblis berwujud manusia yang sudah tega melecehkanmu, Nduk!?" tanya Mbah Karso dengan suara parau."Boleh aku lanjutkan ceritaku, Mbah?" tanya perempuan itu. Sakit, dendam, amarah dan putus asa tergambar jelas di matanya. Mbah Karso mengangguk, seolah mempersilahkan. Pria renta itu menghela nafas, menyiapkan hati untuk kembali digerogoti rasa sakit."Aku wis bilang sama mereka, Mbah. Mbah lagi ndak ada di rumah. Tapi mereka bilang, mereka sengaja datang saat sampean ndak ada. Aku ketakutan, Mbah. Aku merasa terancam. Aku melarikan diri lewat pintu belakang, berlari ke arah tebing dengan harapan bisa ketemu Mbah di jalan. Tapi.." "Kenapa, Nduk?""Kaki telanjangku tertusuk pecahan beling, Mbah. Sakit sekali. Aku ndak kuat buat sekedar berlari. Mereka kembali menemukan aku, Mbah. Mereka merudapaksa aku, sampai tanpa sengaja sumpahku
"Dek! Mau kemana toh? Kenapa buru-buru sekali?" tanya lelaku itu. Melati masih diam enggan menyahut. "Siapa namamu? Aku ndak pernah lihat sampean di desa ini sebelumnya," tanyanya lagi sambil menahan pundak Melati dan menariknya pelan. Melati berhenti dan berbalik."Aku MELATI," sahutnya sambil mengukir senyum aneh yang tak disadari oleh lelaki itu. Dia terlalu fokus mengagumi kecantikan wajah gadis jelita bermayang panjang di depannya."Ah, kenalkan aku Santo," ujar Santo memperkenalkan diri. "Sampean mau kemana? Sampean keliatan kebingungan, mau Mas antar?" tawar Santo. Melati mengangguk malu-malu. 'Kena kau!' gumamnya dalam hati.Keduanya berjalan berdampingan, Santo sengaja memperlama perjalanan mereka dengan niat melakukan pendekatan. Santo telah jatuh hati pada dia yang baru saja dia temui sekali ini."Sudah sampai, masuklah," titah Santo."Terima kasih karena sudah mengantar, Kang Mas!" ucap Melati dengan senyum manis terbingkai. Itu tentu membuat jantung Santo berdetak semakin
***Krieeeetttt... Pintu kayu yang sudah lapuk itu perlahan tertutup. Suara derap langkah kaki Melati terdengar mendekat."Mbah.. sampean lupa yo, aku bukan lagi Mawar, Mbah. Aku MELATI, jangan lupakan itu. Santo dengar dan hampir curiga, Mbah," ujar Melati yang kini duduk di samping Mbah Karso. Mbah Karso menatap dengan mata tuanya, memindai wajah yang tampak asing di depannya. Dia Mawar, tapi bukan Mawar. Ah, benar-benar di luar nalar manusia."Maaf yo, Nduk. Maafkan Si Mbah. Mbah cuma belum terbiasa," sesal Mbah Karso."Ndak apa-apa, Mbah. Kita harus lebih berhati-hati agar semua berjalan sesuai dengan rencana. Aku ndak mau pembalasan dendam ini gagal. Mereka yang membuatku mati juga harus mati dengan cara yang jauh lebih kejam dari cara mereka meniadakan aku." Melati menyahut dengan tangan terkepal.Mbah Karso tampak menghela nafas panjang, hatinya sama sakitnya. Kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa karena takdir merenggut membuat hatinya hancur berkeping."Apa rencanamu,
Santo sudah hampir sampai ke tempat biasa Pak Dahlan menunggu penumpang. Namun, dari kejauhan, dia melihat delman Pak Dahlan sudah berjalan menjauh dengan beberapa penumpang di dalamnya. Santo berteriak memanggil, sambil mempercepat langkahnya, namun sialnya sebuah batu membuatnya tersandung dan jatuh. Kakinya terkilir, susah digerakkan."Pak!! Pak Dahlan!" seru Santo. Namun delman satu-satunya di desa itu tampaknya sudah menjauh pergi. "Ck! Pakai acara jatuh segala! Sekarang aku kudu piye? Aku ketinggalan delman, mau balik ke rumah, jauh... Mana kakiku sakit pula, huft!" keluhnya. Santo melihat sekitar dan mendapati langit sudah mulai menggelap. Lelaki itu meneguk salivanya dengan susah payah."Ndak apa-apa, Maghrib masih lama, mending jalan pelan-pelan dan kembali ke rumah," gumamnya berusaha menguatkan diri.Santo berjalan tertatih-tatih, menyeret langkahnya melewati jalanan yang becek dan berbatu. Suara meringis berkali-kali keluar dari mulutnya. "Aghhh sial! Ndak bisa, aku pasti
Tepat dini hari, penyadap getah karet menyebar untuk melakukan pekerjaannya. Was-was sudah pasti, takut apalagi, jangan ditanya. Kabar soal Mawar yang bergentayangan sudah menyebar ke seluruh penjuru desa. Bahkan, desa sebelahpun juga sudah tau tentang hal itu. Tapi apa mau dikata, kewajiban tetaplah kewajiban, meski harus mati-matian melawan rasa takut yang merajai diri.Seperti halnya Pak Karmo dan Istrinya, Sulastri. Mereka keluar dari rumah tepat pukul 01.30, berniat menyadap getah karet demi menyambung hidup."Pak... Perasaanku kok ndak enak, yo? Aku... takut, Pak..." lirih Sulastri. Dia merapatkan diri, melangkah di samping Pak Karmo. "Halah, takut opo? Ada Bapak, ndak bakalan ada yang ganggu!" Sahut Pak Karmo santai. Dia terus menjejaki langkahnya menuju ke perkebunan karet yang sudah tak jauh lagi."Aku takut... Mawar Pak," bisik Sulastri dengan suara bergetar. "Halah, gadis kutukan itu? Ngapain takut, dia yang harusnya takut sama Bapak! Berani muncul, ku buat dia mati dua k
"Bawa Santo ke dalam. Baringkan di amben itu, setelahnya kalian wis boleh pulang," ujar Eyang Putri pada orang-orang yang membantu mengantarkan Santo pulang. Wanita sepuh itu menyingkir dari pintu, memberikan ruang untuk mereka memasuki rumah sederhananya. "Sampun, Eyang!" Salah satu dari mereka berseru. Eyang Putri mengangguk, dia berjalan mendekat. "Apa ndak sebaiknya dibaluri minyak angin dulu, Eyang? Besok pagi-pagi sekali biar saya bantu panggilkan Mbok Nah, sangkal putung di desa sebelah." Yang lain menyahut menimpali.Eyang Putri segera menyeret langkahnya menuju ke kamar yang terletak di bagian paling belakang. Dia membuka dan mengacak lemari kayu jatinya. Shhhhhh... Angin berhembus pelan mengibarkan kelambu jendela yang lupa tak ditutup. Seketika rasa dingin menusuk tulang.Eyang Putri berdecak, "Ck! Ngapain koe berdiri disitu? Nyingkriho (minggirlah), aku buru-buru!" sentaknya dengan suara seraknya. Sosok bergaun hitam itu cuma menatap datar, namun tangannya terangkat dan m