Share

Tak Kan Kubiarkan

Penulis: Filanditha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Bawa Santo ke dalam. Baringkan di amben itu, setelahnya kalian wis boleh pulang," ujar Eyang Putri pada orang-orang yang membantu mengantarkan Santo pulang. Wanita sepuh itu menyingkir dari pintu, memberikan ruang untuk mereka memasuki rumah sederhananya.

"Sampun, Eyang!" Salah satu dari mereka berseru. Eyang Putri mengangguk, dia berjalan mendekat. "Apa ndak sebaiknya dibaluri minyak angin dulu, Eyang? Besok pagi-pagi sekali biar saya bantu panggilkan Mbok Nah, sangkal putung di desa sebelah." Yang lain menyahut menimpali.

Eyang Putri segera menyeret langkahnya menuju ke kamar yang terletak di bagian paling belakang. Dia membuka dan mengacak lemari kayu jatinya. Shhhhhh... Angin berhembus pelan mengibarkan kelambu jendela yang lupa tak ditutup. Seketika rasa dingin menusuk tulang.

Eyang Putri berdecak, "Ck! Ngapain koe berdiri disitu? Nyingkriho (minggirlah), aku buru-buru!" sentaknya dengan suara seraknya. Sosok bergaun hitam itu cuma menatap datar, namun tangannya terangkat dan m
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Melawan Teror

    "Jangan melindungiku seolah aku lemah, aku masih bisa mengatasi ini sendiri, Nyai." Mawar menggumam pelan namun terdengar cukup tegas. "Cih! Kau bahkan bisa membalaskan dendammu itu karenaku," ejek Nyai Larapati. "Kau membutuhkanku ... Dan akan selalu begitu," imbuhnya sembari tersenyum sinis. "Terserah, tapi lain kali biarkan aku menjadi kuat berbekal rasa sakitku sendiri. Biarkan aku yang hadapi rintanganku, saat semua selesai, aku akan merasa sangat terpuaskan." Mawar menyahut lirih, Nyai Larapati memahami itu."Baiklah, tapi urus dulu yang satu ini," ucap Nyai Larapati sambil menunjuk ke arah sosok yang kini merangkak mendekat. "Tunjukkanlah seberapa kuat dan seberapa besar sakitmu itu," titah Nyai Larapati. "Kau terlalu berisik untuk setingkat ratu kegelapan, kau lebih mirip seorang Ibu tukang ngomel," cibir Mawar yang kemudian melesat cepat dan menubruk sosok itu. Sosok bergaun merah itu menyeringai, menatap lekat pada tanduk tak sempurna yang menghiasi kepala Genderuwo di hadap

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Satu Korban Jiwa

    Dinginnya malam menusuk tulang, membuat tubuh tanpa pakaian Pak Joko menggigil. Dia meraba-raba samping tempat tidurnya, berniat membangunkan istrinya untuk mengambilkan sebuah selimut demi menghangatkan dirinya. Namun ternyata istrinya tak ada di sampingnya.Meski terkantuk-kantuk, dengan refleks Pak Joko membuka mata. Dia melirik jam di dinding yang baru menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Perasaannya mendadak tak enak saat teringat percakapannya dengan istrinya beberapa saat lalu."Masa sih dia ke kamar mandi terus ketiduran disana?" gumamnya pelan.Pak Joko segera bangun dan membenarkan lipatan sarungnya yang nyaris lepas. Dia berjalan tergesa-gesa menuju dapur. Pintu dapur sana masih terbuka lebar, membuatnya semakin yakin bahwa Bu Jamila memang masih berada di kamar mandi."Bu ...." Panggilnya.Pasang matanya memicing. Dalam remang tampak sesosok bergaun putih tergeletak di pinggiran sumur. Pak Joko dilema, langkah kakinya tampak maju mundur. Dia ragu apakah yang tergeletak di pi

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Ditemukan Tewas

    "Assalamu'alaikum, Le! Ibu pulang," seru Bu Yayuk sambil mengetuk-ngetuk pintu."Mbok, Pak Lik Aji kok ndak cepat buka pintu toh? aku ngantuk, capek," rengek Wahid."Sabar yo, Le. Paling juga dia belum bangun," sahutnya dengan tangan membelai rambut cepak Wahid."Dobrak saja Mbok, biar ndak kelamaan," ujar Wahid memberi saran."Hish, rusak toh pintunya. Sudah, tunggu disini dulu. Jendela ruang tengah bisa dibuka dari luar,"Bu Yayuk melangkah ke samping rumah. Dia menarik-narik daun jendela yang memang sudah rusak penguncinya. Tak butuh waktu lama, jendela itu terbuka. Ukurannya cukup besar untuk dimasuki bocah seusia Wahid."Le, Wahid! Sini masuk duluan lewat jendela, terus koe bukain si Mbok pintu yo!" titah Bu Yayuk.Wahid berlari menghampiri Neneknya. Dia mulai naik ke jendela lalu melompat masuk. Dia berjalan ke depan, melewati bufet yang jadi pembatas antar ruang."Aaaaa!!" serunya menjerit menjadi-jadi."Ono opo Le? Wahid, cepat buka pintunya! Ada apa toh!?" tanya Bu Yayuk pani

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Calon Mayit

    Tok Tok Tok"Permisi," ujar Melati yang berdiri kaku di deoan pintu."Siapa itu, Yu?" tanya Bu Yayuk."Ini Melati namanya. Dia kerabat jauhnya Mbah Karso. Datang kesini karena Mbah Karso lagi sendirian dan dalam kondisi ndak sehat," sahut Mbok Asih yang ternyata datang bersamanya."Permisi, salam kenal," ujar Melati sopan. "Ayu banget," gumam mereka yang hadir. Hampir semua mata terpikat akan kecantikannya. Mereka semua menatap kagum, kecuali Eyang Putri dan Bu Jamila."Rasanya wajah itu ndak asing. Dimana aku pernah melihatnya yo?" batin Eyang Putri."Wajahnya ... sepertinya aku pernah lihat," celetuk Bu Jamila."Kita memang pernah ketemu beberapa hari yang lalu, Bu. Sampean mungkin sudah lupa," jawab Melati masih sambil membingkai senyum manis."Apa dia mengenali wajah ini?" batin Mawar."Jangan khawatir, si tua bangka ini pasti sudah pikun. Energiku juga sudah kutekan, dia tak akan bisa merasakan kehadiranku," sahut Nyai Larapati. Lucu dan terkesan aneh. Dua entitas saling berbic

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Calon Mayit (2)

    "Set-setan! aaakh!!" Jhoni menjerit tak karuan.Dia mundur, lalu berniat berlari keluar dari gubuk. Tapi sialnya, Mawar tak akan dengan mudah membiarkannya pergi. Saat Jhoni hendak berlari, Mawar dengan cepat memegangi pergelangan kakinya hingga dia jatuh tersungkur mencium tanah.Brugh! "Mau kemana, Kang? katanya mau ... bersenang-senang? hihihi!" tanya mawar setengah meledek."Pergi kamu, Setan! pergi!" usirnya dengan nada ketakutan."Katanya ndak takut ... kok mengompol toh, Kang?" cibir Mawar sambil merangkak mendekat.Jhoni menarik dirinya mundur, mencari tempat aman untuk bersembunyi. Dia berlari secepat yang dia bisa, namun perasaan ringan membuatnya berkali-kali tersandung dan terjatuh. Efek minuman keras belum sepenuhnya hilang, dia masih setengah mabuk. Langkahnya gontai, keseimbangan tubuhnya tak stabil.Dia menemukan semak yang lumayan tinggi. Dia segera bersembunyi di baliknya. Hatinya berharap Mawar tak bisa menemukan dirinya. Namun sial, harapannya pupus saat aroma any

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Mencari Harapan Baru

    Sebuah mobil berhenti di depan rumah yang berhalaman luas itu. Tak lama, Eyang Putri dan Bagyo keluar dari dalamnya. Bagyo tampak celingukan, aura rumah itu benar-benar berbeda."Rumah siapa ini, Eyang?" tanya Bagyo."Ndak usah banyak tanya. Tugasmu cuma mengantarkan aku, Bagyo!" Eyang Putri menyahut dengan ketus.Tok tok tokEyang Putri mengetuk pintu beberapa kali. Tak lama kemudian pintu terbuka lebar. Seorang pria berbaju hitam tampak terkejut melihat siapa yang bertamu."Mbok ... sampean datang kemari jauh-jauh, ada apa?" tanya Sunandar.Pria itu menyambut Eyang Putri dengan tanya. Bukannya berniat tak sopan, tapi Eyang Putri yang datang jauh-jauh begini pasti membawa kabar. Sunandar khawatir itu kabar buruk."Sopanlah sedikit, Nandar. Koe ndak mau menyuruhku masuk? aku wis datang jauh-jauh kesini," sinis Eyang Putri."Ah, ngapunten (maaf) ... Monggo masuk dulu, Mbok." Pria itu mempersilahkan.Eyang Putri melangkah masuk. Pasang mata tuanya memindai sekitar. Sedangkan Bagyo menge

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Harapan Baru

    Hening dan sepi, hanya semilir angin terdengar meniup dedaunan. Suasana desa saat malam tak ubahnya laksana desa mati. Tak ada lagi kegiatan pos kamling. Teror Mawar benar-benar membawa ketakutan yang mendalam."Sepi sekali," batin Sunandar. Dia berjalan sendiri tanpa takut. Hal berbau ghaib sudah biasa dia temui. Dia bukanlah orang yang sembarangan.Whushh ...Sekelebat bayangan merah melintas di atasnya. Bukannya lari, Sunandar malah mengejarnya. Dia benar-benar yakin, sosok barusan adalah yang harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi di desa."Hihihi ... aahahahhaha!" Mawar tertawa terkikik sambil terus melayang bebas."Apa yang koe tertawakan, Bocah? nasibmu yang suram, atau ... cara matimu yang mengenaskan? Hmmmm, aku pikir seharusnya koe menangis saja," seru Sunandar membuat Mawar terdiam.Mendengar ucapan itu Mawar melayang turun, berdiri terpaku dengan posisi membelakangi. Pandangannya menerawang dan kosong. Dia berbalik, satu tangannya terangkat menunjuk Sunandar."Sopo

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Rahasia Besar (Terbongkar)

    Bu Jamila berjalan tergesa-gesa. Saking inginnya dia cepat sampai, wanita itu sampai mengambil jalan pintas. Dia ingin mengakhiri semuanya. Semua teror yang nyaris membuatnya gila.Sesekali wanita itu mengelap jejak keringatnya. Napasnya sedikit tersengal-sengal. Perjalanan ini entah kenapa terasa jauh dan melelahkan."Aku harus cepat sampai. Ndak ada jaminan dia nggak muncul di siang bolong begini. Aku musti tetap waspada," batinnya sambil menatap awas ke segala penjuru.Setelah beberapa saat berjalan, halaman rumah Eyang Putri terlihat. Bu Jamila tersenyum simpul dengan perasaan lega. Dia mengayun langkahnya lebih cepat."Pe-permisi," serunya saat melihat lelaki asing yang duduk di teras sambil menyeruput kopi."Oh ada tamu! pasti nyari Si Mbok yo?" tanyanya.Bu Jamila mengangguk. "Nggih, saya ada perlu," jawabnya.Sunandar beranjak dari duduknya. Dia masuk ke dalam rumah untuk memanggilkan Eyang Putri. Tak lama, wanita yang dihormati itu muncul."Jamila? ono opo? (ada apa?)," tanya

Bab terbaru

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Tamat

    "Cah g3ndeng! wis dibilangin ojo asal celap-celup sana sini! Barangmu kok yo jadi biang masalah terus sih, Santo!?" tanya Eyang Putri naik pitam.Wanita renta itu menjitak kepala Santo. Dia sudah benar-benar tak paham lagi dengan Cucu satu-satunya itu. Bisa-bisanya dia bersengg4ma dengan setan. Tak masuk akal!"Eyang kok tega marahin Santo yang lagi sakit begini?" protes Santo."Mbuh! memang koe ini biang masalah! kalau koe bukan Cucuku, wis kubuang ke laut koe, To!" geram Eyang Putri."Sabar, Mbok ... sabar." Sunandar tampak berusaha menenangkan.Tok Tok Tok! pintu depan diketuk. Eyang Putri bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar. Ternyata, Slamet sudah berdiri disana dengan keringat menghiasi kening."Lho, Bagyo dimana?" tanya Eyang Putri."Ngapunten, Eyang. Ban mobil Pak Bagyo kempes, jadi ndak bisa bawa Santo ke kota. Pak Bagyo juga lagi kurang sehat," jelas Slamet.Eyang Putri mengangguk tanda mengerti. Slamet pamit undur diri. Setelah itu Eyang Putri kembali ke kamar Santoso.

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Digag*hi Demit (2)

    "Arkghhhh, Eyang!" jerit Santo dari luar. Eyang Putri terjingkat kaget. Dia segera bangun dari tidurnya. Wanita renta itu berjalan tergopoh-gopoh keluar dari kamar. Suara teriakan Santo masih terdengar nyaring membuat Eyang Putri kalang kabut."Dimana koe, Santo!?" panggil Eyang Putri."Ada apa, Mbok?" tanya Sunandar yang kini juga berdiri di ambang pintu kamarnya."Ndak tau, Ndar. Tapi kedengarannya Santo teriak-teriak. Ini Mbok mau cek dulu," sahut Eyang Putri."Suaranya dari belakang sana, sepertinya dari arah sumur. Biar Nandar temani periksa keadaan, Mbok." Sunandar berjalan dengan langkah perlahan. Pria itu segera keluar ke belakang rumah bersama Eyang Putri. Keduanya kaget saat mendapati Santo dalam keadaan telanjang bulat di depan kamar mandi sana."Santo, kenapa koe teriak-teriak seperti orang kesetanan!? bikin kaget saja, ono opo!?" sentak Eyang Putri."Kenapa juga koe tel*njang bulat begini tengah malam?" timpal Sunandar."A-anuku ... anuku sakit sekali, Pak Lek," erang S

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Digag*hi Demit

    Ctarrrr!Suara gemuruh petir terdengar menggelegar. Lagi dan lagi, hujan turun mengguyur Desa Ledokombo. Tak ada yang bisa pergi kemana-mana sejak menjelang siang tadi.Santo tergagap, dia sedang asyik tidur saat petir menyambar begitu keras. Jantungnya berdegup kencang. Dia menoleh ke arah jendela yang terbuka, air hujan masuk sebagian ke kamar sebab terbawa angin."Ah, jadi basah!" gerutunya. Dia bangun lalu berjalan tertatih ke arah jendela. Tangannya terulur berniat menutupnya. Namun gerakannya terhenti, dia melihat Melati berdiri di tengah hujan lebat tak jauh dari sana."Melati?" gumam Santoso.Dia mengucek matanya. Namun saat membuka mata, Melati sudah lenyap entah kemana. Santoso menghela napas panjang."Mungkin aku harus tanyakan keadaan Melati ke orang-orang, semoga dia ndak kena imbas teror," lirihnya sambil menutup jendela.Hari sudah sore jelang Maghrib, tapi tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Langit begitu gelap, suara kodok terdengar bersahut-sahutan. Udara menja

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Pocong Muka Rusak

    Sreeeettt ... Selimut Bu Jamila ditarik perlahan. Kuku-kuku runcing terasa membelai dan sedikit menekan betisnya. Bu Jamila menahan napas, tubuhnya menegang.Bulir-bulir keringat dingin mulai menghiasi keningnya. Udara terasa dingin dan panas secara bersamaan. Beberapa saat kemudian, sosok Mawar tampak merangkak naik ke atas tempat tidur.Lehernya bergerak patah-patah ke kanan dan ke kiri. Mawar menyeringai lebar hingga sudut bibirnya robek menyentuh telinga. Jantung Bu Jamila sudah seakan hampir meledak."Pak ...," panggil Bu Jamila. Siapa yang mendengar? suaranya tak lebih dari sebuah gumaman saja. Mawar terkikik melihat wajah ketakutan wanita itu. Dia mendekatkan wajahnya."Perkenalkan teman hantuku, Bu Dhe ...," bisiknya terdengar mengerikan."Dimana sopan santunmu? berikan salam perkenalan padanya!" titah Mawar masih sambil menyeringai.Bu Jamila tak bisa bergerak. Namun dari ekor matanya dia bisa melihat sosok itu melayang dalam posisi telungkup. Dia maju, memposisikan wajah bu

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Lambe Turah Bu Jamila

    Jenazah para korban semalam termasuk Markus sudah dimakamkan bersamaan. Langit mendung, nampaknya siang ini akan turun hujan begitu deras. Pak Bagyo yang baru datang dari rumah sakit dan mendengar kabar tak mengenakkan dari warganya.Mendadak, Pak Bagyo merasa menyesal karena pulang. Saat itu juga, dia langsung berkemas. Dia bersiap mengajak keluarganya pergi ke rumah kerabatnya di luar kota sana."Ndak bisa! kita harus segera pergi dari desa terkutuk ini!" ujar Kardi yang baru saja pulang dari pemakaman."Tapi nang ndi, Lek? (mau kemana?)" tanya Indana."Kemana saja, ndak apa meski harus jadi gelandangan asalkan jantung dan nyawa aman! disini ini wis benar-benar ndak aman, bahaya!" Kardi menyahut dengan raut muka serius."Lihat sendiri gimana mereka kesurupan sampai bakar diri? belum lagi soal Markus yang tangannya putus terus ujungnya mati gosong. Hiiy, serem banget!" bisik Mbak Yati sambil mengusap tengkuknya.Bu Mai yang sejak tadi diam ikut menimpali. "Iyo, Mawar benar-benar mena

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Kematian Markus

    Di tengah kepanikan dan suasana ricuh, Markus menyeret tubuhnya dengan satu tangan. Dia tak peduli meski kaosnya kotor dengan darah bercampur tanah. Dia hanya ingin menyelamatkan diri.Deg deg deg deg!Suara detak jantung Markus begitu kencang. Dia bahkan bisa mendengarnya dengan jelas. Rasa remuk dan nyeri yang merajai diri tak dia pedulikan kali ini. Markus belum ingin mati sekarang."Datanglah kalian semua! Disini ada pesta, ramaikanlah! hhahaha!" Nyai Larapati dengan wajah mode seramnya tersenyum jahat. Urat-urat halus kebiruan menyembul jelas di wajahnya. Berbagai sosok lelembut dengan rupa menyeramkan satu persatu muncul dalam gelap. Suara tangis, tawa, geraman berbaur jadi satu. Suasana kian mencekam saja, di antara banyaknya orang kesurupan, mereka yang masih sadar memilih kabur."Mau kemana kau?" desis Mawar yang ternyata sudah berdiri angkuh menghadang tepat di depan Markus."A-aku ... ampun, Mawar! biarkan aku hidup, aku menyesal ... aku ndak berniat menghabisimu, malam it

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Pesta Kematian

    "Ngik! Ngik! Uhuk uhuk! opo iki!? aduh, dadaku kok sesak yo!?" Mamat tampak terbatuk-batuk sambil memukul-mukul dadanya."Uhuk uhuk! asap opo iki?" tanya Astri."Ndak tau! argh sesak!" sahut Mamat.Perempuan 28 tahun itu turun dari amben dengan gemetar. Kekurangan oksigen membuatnya melemas. Dia amati sekeliling kamar yang dipenuhi kabut merah. "Ini bukan asap, Mas! Ini kabut merah! Ah, coba sampean cek Ragil di kamarnya, Mas!" pinta Astri pada suaminya.Mamat berjalan dengan gontai menuju kamar belakang. Di kamar itu Ragil, bocah 9 tahun itu lelap sendirian. Mamat terhenyak melihat Ragil sudah tergeletak di bawah. Wajahnya pucat, napasnya pelan."Gusti! Ragil, Nak!!" panggil Mamat panik. Lelaki 33 tahun itu menghambur masuk. Dia raih putranya ke dalam gendongannya. Dia paksa kakinya yang lemas untuk melangkah keluar."Dek! Ragil ndak sadar! ayo keluar, kita cari bantuan!" teriak Mamat dari ambang pintu.Astri yang terkejut bergegas menyusul suaminya keluar. Namun langkahnya terhent

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Tabir Lama Tersingkap

    Kertawani menggeliat pelan di atas amben panjang. Suara ramai membuatnya terjaga. Rupanya tempat yang dia pilih untuk melepas penat semalam adalah sebuah pasar tradisional."Sudah tau ndak ... kabarnya di desa Ledok lagi geger! dukun muda sing terkenal sakti mandraguna itu dibantai," ujar seseibu bernama Sri memulai gosip pagi."Ah sing bener, Sri? aku ndak tau tuh," tanya Inah."Lho beneran, bojoku kan semalam kesana nengokin Pak Leknya yang sakit keras. Ternyata sakitnya itu juga katanya karena ulah si dukun yang nyari tumbal," sahut Sri meyakinkan."Maksudmu piye? tumbalnya ambil dari warga desa Ledok begitu?" Painem, si pedagang kembang ikut bertanya."Ho'oh, kabarnya sih begitu. Makanya, dia dan istrinya benar-benar disiksa habis-habisan semalam. Babak belur karena dipukuli, dicambuk juga." Sri memberi keterangan."Terus piye?" tanya Sutija penasaran."Kata suamiku, terakhir Ki Kartasakti dan Istrinya itu, uhm ...," ujar Sri tagu."Kenapa? Ono opo?" desak Inah tak sabaran."Ki Ka

  • LAWON ABANG (Kafan Merah)   Mengalahkan Kartasakti

    Bertahun-tahun berlalu, Kertawani tumbuh dengan baik di bawah pengasuhan Maryati. Sementara Kartasakti terlalu sibuk, semakin hari tamunya semakin banyak saja. Dia sudah sukses jadi dukun muda terkuat di desa.Dia disenangi oleh sesama hamba dunia, pecinta harta dan tahta. Namun, orang-orang desa justru merasa terancam pada akhirnya. Sebab, belakangan ini banyak sekali orang yang mati mendadak.Mereka semua khawatir, ini adalah ulah Kartasakti yang mencari tumbal. Terlebih lagi, sudah beberapa orang yang memberi kesaksian tentang wanita bermata merah yang menampakkan diri di depan rumah calon korban di malam hari.Keadaan desa di malam hari juga tak kalah aneh. Sudah beberapa bulan ini, desa selalu diselimuti kabut merah. Penyakit batuk parah hingga muntah darah sudah menyebar luas di desa. Anehnya orang yang sakit hanya akan sembuh jika berobat ke Kartasakti. Mereka jadi berpikir ini memang ulahnya."Kang, apa sampean sibuk?" tanya Maryati malam itu. Kartasakti yang sedang membelai b

DMCA.com Protection Status