"Jangan melindungiku seolah aku lemah, aku masih bisa mengatasi ini sendiri, Nyai." Mawar menggumam pelan namun terdengar cukup tegas. "Cih! Kau bahkan bisa membalaskan dendammu itu karenaku," ejek Nyai Larapati. "Kau membutuhkanku ... Dan akan selalu begitu," imbuhnya sembari tersenyum sinis. "Terserah, tapi lain kali biarkan aku menjadi kuat berbekal rasa sakitku sendiri. Biarkan aku yang hadapi rintanganku, saat semua selesai, aku akan merasa sangat terpuaskan." Mawar menyahut lirih, Nyai Larapati memahami itu."Baiklah, tapi urus dulu yang satu ini," ucap Nyai Larapati sambil menunjuk ke arah sosok yang kini merangkak mendekat. "Tunjukkanlah seberapa kuat dan seberapa besar sakitmu itu," titah Nyai Larapati. "Kau terlalu berisik untuk setingkat ratu kegelapan, kau lebih mirip seorang Ibu tukang ngomel," cibir Mawar yang kemudian melesat cepat dan menubruk sosok itu. Sosok bergaun merah itu menyeringai, menatap lekat pada tanduk tak sempurna yang menghiasi kepala Genderuwo di hadap
Dinginnya malam menusuk tulang, membuat tubuh tanpa pakaian Pak Joko menggigil. Dia meraba-raba samping tempat tidurnya, berniat membangunkan istrinya untuk mengambilkan sebuah selimut demi menghangatkan dirinya. Namun ternyata istrinya tak ada di sampingnya.Meski terkantuk-kantuk, dengan refleks Pak Joko membuka mata. Dia melirik jam di dinding yang baru menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Perasaannya mendadak tak enak saat teringat percakapannya dengan istrinya beberapa saat lalu."Masa sih dia ke kamar mandi terus ketiduran disana?" gumamnya pelan.Pak Joko segera bangun dan membenarkan lipatan sarungnya yang nyaris lepas. Dia berjalan tergesa-gesa menuju dapur. Pintu dapur sana masih terbuka lebar, membuatnya semakin yakin bahwa Bu Jamila memang masih berada di kamar mandi."Bu ...." Panggilnya.Pasang matanya memicing. Dalam remang tampak sesosok bergaun putih tergeletak di pinggiran sumur. Pak Joko dilema, langkah kakinya tampak maju mundur. Dia ragu apakah yang tergeletak di pi
"Assalamu'alaikum, Le! Ibu pulang," seru Bu Yayuk sambil mengetuk-ngetuk pintu."Mbok, Pak Lik Aji kok ndak cepat buka pintu toh? aku ngantuk, capek," rengek Wahid."Sabar yo, Le. Paling juga dia belum bangun," sahutnya dengan tangan membelai rambut cepak Wahid."Dobrak saja Mbok, biar ndak kelamaan," ujar Wahid memberi saran."Hish, rusak toh pintunya. Sudah, tunggu disini dulu. Jendela ruang tengah bisa dibuka dari luar,"Bu Yayuk melangkah ke samping rumah. Dia menarik-narik daun jendela yang memang sudah rusak penguncinya. Tak butuh waktu lama, jendela itu terbuka. Ukurannya cukup besar untuk dimasuki bocah seusia Wahid."Le, Wahid! Sini masuk duluan lewat jendela, terus koe bukain si Mbok pintu yo!" titah Bu Yayuk.Wahid berlari menghampiri Neneknya. Dia mulai naik ke jendela lalu melompat masuk. Dia berjalan ke depan, melewati bufet yang jadi pembatas antar ruang."Aaaaa!!" serunya menjerit menjadi-jadi."Ono opo Le? Wahid, cepat buka pintunya! Ada apa toh!?" tanya Bu Yayuk pani
Tok Tok Tok"Permisi," ujar Melati yang berdiri kaku di deoan pintu."Siapa itu, Yu?" tanya Bu Yayuk."Ini Melati namanya. Dia kerabat jauhnya Mbah Karso. Datang kesini karena Mbah Karso lagi sendirian dan dalam kondisi ndak sehat," sahut Mbok Asih yang ternyata datang bersamanya."Permisi, salam kenal," ujar Melati sopan. "Ayu banget," gumam mereka yang hadir. Hampir semua mata terpikat akan kecantikannya. Mereka semua menatap kagum, kecuali Eyang Putri dan Bu Jamila."Rasanya wajah itu ndak asing. Dimana aku pernah melihatnya yo?" batin Eyang Putri."Wajahnya ... sepertinya aku pernah lihat," celetuk Bu Jamila."Kita memang pernah ketemu beberapa hari yang lalu, Bu. Sampean mungkin sudah lupa," jawab Melati masih sambil membingkai senyum manis."Apa dia mengenali wajah ini?" batin Mawar."Jangan khawatir, si tua bangka ini pasti sudah pikun. Energiku juga sudah kutekan, dia tak akan bisa merasakan kehadiranku," sahut Nyai Larapati. Lucu dan terkesan aneh. Dua entitas saling berbic
"Set-setan! aaakh!!" Jhoni menjerit tak karuan.Dia mundur, lalu berniat berlari keluar dari gubuk. Tapi sialnya, Mawar tak akan dengan mudah membiarkannya pergi. Saat Jhoni hendak berlari, Mawar dengan cepat memegangi pergelangan kakinya hingga dia jatuh tersungkur mencium tanah.Brugh! "Mau kemana, Kang? katanya mau ... bersenang-senang? hihihi!" tanya mawar setengah meledek."Pergi kamu, Setan! pergi!" usirnya dengan nada ketakutan."Katanya ndak takut ... kok mengompol toh, Kang?" cibir Mawar sambil merangkak mendekat.Jhoni menarik dirinya mundur, mencari tempat aman untuk bersembunyi. Dia berlari secepat yang dia bisa, namun perasaan ringan membuatnya berkali-kali tersandung dan terjatuh. Efek minuman keras belum sepenuhnya hilang, dia masih setengah mabuk. Langkahnya gontai, keseimbangan tubuhnya tak stabil.Dia menemukan semak yang lumayan tinggi. Dia segera bersembunyi di baliknya. Hatinya berharap Mawar tak bisa menemukan dirinya. Namun sial, harapannya pupus saat aroma any
Sebuah mobil berhenti di depan rumah yang berhalaman luas itu. Tak lama, Eyang Putri dan Bagyo keluar dari dalamnya. Bagyo tampak celingukan, aura rumah itu benar-benar berbeda."Rumah siapa ini, Eyang?" tanya Bagyo."Ndak usah banyak tanya. Tugasmu cuma mengantarkan aku, Bagyo!" Eyang Putri menyahut dengan ketus.Tok tok tokEyang Putri mengetuk pintu beberapa kali. Tak lama kemudian pintu terbuka lebar. Seorang pria berbaju hitam tampak terkejut melihat siapa yang bertamu."Mbok ... sampean datang kemari jauh-jauh, ada apa?" tanya Sunandar.Pria itu menyambut Eyang Putri dengan tanya. Bukannya berniat tak sopan, tapi Eyang Putri yang datang jauh-jauh begini pasti membawa kabar. Sunandar khawatir itu kabar buruk."Sopanlah sedikit, Nandar. Koe ndak mau menyuruhku masuk? aku wis datang jauh-jauh kesini," sinis Eyang Putri."Ah, ngapunten (maaf) ... Monggo masuk dulu, Mbok." Pria itu mempersilahkan.Eyang Putri melangkah masuk. Pasang mata tuanya memindai sekitar. Sedangkan Bagyo menge
Hening dan sepi, hanya semilir angin terdengar meniup dedaunan. Suasana desa saat malam tak ubahnya laksana desa mati. Tak ada lagi kegiatan pos kamling. Teror Mawar benar-benar membawa ketakutan yang mendalam."Sepi sekali," batin Sunandar. Dia berjalan sendiri tanpa takut. Hal berbau ghaib sudah biasa dia temui. Dia bukanlah orang yang sembarangan.Whushh ...Sekelebat bayangan merah melintas di atasnya. Bukannya lari, Sunandar malah mengejarnya. Dia benar-benar yakin, sosok barusan adalah yang harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi di desa."Hihihi ... aahahahhaha!" Mawar tertawa terkikik sambil terus melayang bebas."Apa yang koe tertawakan, Bocah? nasibmu yang suram, atau ... cara matimu yang mengenaskan? Hmmmm, aku pikir seharusnya koe menangis saja," seru Sunandar membuat Mawar terdiam.Mendengar ucapan itu Mawar melayang turun, berdiri terpaku dengan posisi membelakangi. Pandangannya menerawang dan kosong. Dia berbalik, satu tangannya terangkat menunjuk Sunandar."Sopo
Bu Jamila berjalan tergesa-gesa. Saking inginnya dia cepat sampai, wanita itu sampai mengambil jalan pintas. Dia ingin mengakhiri semuanya. Semua teror yang nyaris membuatnya gila.Sesekali wanita itu mengelap jejak keringatnya. Napasnya sedikit tersengal-sengal. Perjalanan ini entah kenapa terasa jauh dan melelahkan."Aku harus cepat sampai. Ndak ada jaminan dia nggak muncul di siang bolong begini. Aku musti tetap waspada," batinnya sambil menatap awas ke segala penjuru.Setelah beberapa saat berjalan, halaman rumah Eyang Putri terlihat. Bu Jamila tersenyum simpul dengan perasaan lega. Dia mengayun langkahnya lebih cepat."Pe-permisi," serunya saat melihat lelaki asing yang duduk di teras sambil menyeruput kopi."Oh ada tamu! pasti nyari Si Mbok yo?" tanyanya.Bu Jamila mengangguk. "Nggih, saya ada perlu," jawabnya.Sunandar beranjak dari duduknya. Dia masuk ke dalam rumah untuk memanggilkan Eyang Putri. Tak lama, wanita yang dihormati itu muncul."Jamila? ono opo? (ada apa?)," tanya