Sebuah mobil berhenti di depan rumah yang berhalaman luas itu. Tak lama, Eyang Putri dan Bagyo keluar dari dalamnya. Bagyo tampak celingukan, aura rumah itu benar-benar berbeda."Rumah siapa ini, Eyang?" tanya Bagyo."Ndak usah banyak tanya. Tugasmu cuma mengantarkan aku, Bagyo!" Eyang Putri menyahut dengan ketus.Tok tok tokEyang Putri mengetuk pintu beberapa kali. Tak lama kemudian pintu terbuka lebar. Seorang pria berbaju hitam tampak terkejut melihat siapa yang bertamu."Mbok ... sampean datang kemari jauh-jauh, ada apa?" tanya Sunandar.Pria itu menyambut Eyang Putri dengan tanya. Bukannya berniat tak sopan, tapi Eyang Putri yang datang jauh-jauh begini pasti membawa kabar. Sunandar khawatir itu kabar buruk."Sopanlah sedikit, Nandar. Koe ndak mau menyuruhku masuk? aku wis datang jauh-jauh kesini," sinis Eyang Putri."Ah, ngapunten (maaf) ... Monggo masuk dulu, Mbok." Pria itu mempersilahkan.Eyang Putri melangkah masuk. Pasang mata tuanya memindai sekitar. Sedangkan Bagyo menge
Hening dan sepi, hanya semilir angin terdengar meniup dedaunan. Suasana desa saat malam tak ubahnya laksana desa mati. Tak ada lagi kegiatan pos kamling. Teror Mawar benar-benar membawa ketakutan yang mendalam."Sepi sekali," batin Sunandar. Dia berjalan sendiri tanpa takut. Hal berbau ghaib sudah biasa dia temui. Dia bukanlah orang yang sembarangan.Whushh ...Sekelebat bayangan merah melintas di atasnya. Bukannya lari, Sunandar malah mengejarnya. Dia benar-benar yakin, sosok barusan adalah yang harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi di desa."Hihihi ... aahahahhaha!" Mawar tertawa terkikik sambil terus melayang bebas."Apa yang koe tertawakan, Bocah? nasibmu yang suram, atau ... cara matimu yang mengenaskan? Hmmmm, aku pikir seharusnya koe menangis saja," seru Sunandar membuat Mawar terdiam.Mendengar ucapan itu Mawar melayang turun, berdiri terpaku dengan posisi membelakangi. Pandangannya menerawang dan kosong. Dia berbalik, satu tangannya terangkat menunjuk Sunandar."Sopo
Bu Jamila berjalan tergesa-gesa. Saking inginnya dia cepat sampai, wanita itu sampai mengambil jalan pintas. Dia ingin mengakhiri semuanya. Semua teror yang nyaris membuatnya gila.Sesekali wanita itu mengelap jejak keringatnya. Napasnya sedikit tersengal-sengal. Perjalanan ini entah kenapa terasa jauh dan melelahkan."Aku harus cepat sampai. Ndak ada jaminan dia nggak muncul di siang bolong begini. Aku musti tetap waspada," batinnya sambil menatap awas ke segala penjuru.Setelah beberapa saat berjalan, halaman rumah Eyang Putri terlihat. Bu Jamila tersenyum simpul dengan perasaan lega. Dia mengayun langkahnya lebih cepat."Pe-permisi," serunya saat melihat lelaki asing yang duduk di teras sambil menyeruput kopi."Oh ada tamu! pasti nyari Si Mbok yo?" tanyanya.Bu Jamila mengangguk. "Nggih, saya ada perlu," jawabnya.Sunandar beranjak dari duduknya. Dia masuk ke dalam rumah untuk memanggilkan Eyang Putri. Tak lama, wanita yang dihormati itu muncul."Jamila? ono opo? (ada apa?)," tanya
"Huhuhu ... Hiks hiks!"Mawar menangis sambil menatap nanar bongkahan kayu runcing yang merenggut nyawanya. Dia duduk menyendiri, meratapi hidup dan matinya yang menyedihkan."Akan kubalas ..." desisnya geram."Mati ... kalian harus mati, sama sepertiku!" imbuhnya.Saat ini Mawar sedang menahan diri. Nyai Larapati sudah memberinya peringatan untuk berhati-hati. Dia bisa kembali menebar teror saat pria itu tak lagi di desa ini. Mawar belum cukup siap menghadapi Sunandar. Sementara Nyai Larapati sendiri, tak bisa selalu membersamai Mawar sebab istananya sedang dalam masalah. Istananya diserang dalam perebutan kekuasaan sesama makhluk lelembut.Mawar sibuk meratap. Dia tak tahu, orang yang paling dia cinta mungkin dalam bahaya. Hidupnya ada di ujung tanduk.***Waktu yang ditunggu telah tiba. Sesaat setelah adzan magrib berkumandang Sunandar beserta Eyang Putri melakukan sebuah ritual di balai kampung disaksikan oleh orang-orang yang hadir.Kepala kerbau dibakar. Satu kendi besar darah
Mawar menatap nyalang, terlebih pada Bu Jamila yang bersembunyi di kerumunan. Dia benar-benar marah, melihat Mbah Karso dalam keadaan yang menyedihkan. Mawar akan melawan, meski harus berhadapan dengan Sunandar dan lenyap sekalipun."Kubunuh kalian!" lengkingnya dengan suara serak berganda.Sunandar dan Eyang Putri maju, berdiri di barisan paling depan. Mereka seolah siap jadi tameng bagi para warga. Keduanya duduk bersila dengan mulut yang berkomat-kamit."Pinjamkan aku kekuatan," lirih Sunandar.Mawar geram, tak sabar menunggu, dia memadatkan wujud dan terbang mendekat. Niatnya menerjang Sunandar dan memberinya luka fatal."Akhh!!" orang-orang berteriak ketakutan.Sunandar membuka mata, tepat saat jarak Mawar hanya tinggal beberapa jengkal saja. Gerakan Mawar terhenti, seolah ada sesuatu yang menahannya. Bola mata merah itu menatap sekeliling, dia tampak makin murka."Haaaaahhhh!" teriaknya."Kenapa? ndak bisa bergerak? koe itu wis terlalu meremehkan aku. Koe pikir cuma Mbah sialanm
"Bagaimana ini, Mbok? rantai ghaibnya sudah terlepas. Ikatan sampean juga wis terpatahkan. Dua makhluk di depan sana ... mereka sama-sama kuat dan ...," ujar Sunandar terjeda."Dan opo, Ndar?" tanya Eyang Putri."Dua-duanya memiliki nafsu ingin membunuh yang tinggi, Mbok. Tidakkah si Mbok merasakannya juga?""Iyo, aku paham. Sekarang piye?" "Kita lawan semampunya, Mbok."Suara kerincing dan tapak kaki kuda terdengar dari kejauhan. Kabut kemerahan muncul entah dari mana. Begitu pekat dan dingin.Eyang Putri berucap lirih, "tidak ... jangan sekarang." Wajahnya semakin pucat masai. Dulu, saat dia masih muda dan bernyali besar, mungkin dia berani hadapi apapun. Namun sekarang berbeda. Tubuhnya sudah renta. Kemampuannya sudah jauh menurun.Meski ada Sunandar, tapi ia tak yakin keponakannya itu bisa melawan Sang Nyai Larapati. Dia bukanlah Jarmoko yang sakti mandraguna. Meski tak bisa dipungkiri darahnya mengalir di dirinya.Kletak ... Kletuk ... Kletak ... Kletuk ...Cring Cring Cring!S
Mawar berhenti sejenak, kakinya memijak dahan pohon tertinggi. Melihat itu, Mariana turut berhenti."Kenapa ...? kenapa membantuku?" tanya Mawar.Mariana menatap lurus. Dua sosok dengan nasib serupa itu berdiri saling berhadapan. Mata Mariana yang semula menatap nyalang mendadak sendu."Tak bisakah kau melihatnya?" tanya Mariana."Melihat apa?" Mawar tampak tak mengerti."Masa laluku. Aku langsung bisa melihat masa lalumu saat kita saling pandang,""Aku tidak ... entahlah, aku cuma lihat gadis ayu yang diculik dan di ...""Itu aku," jelas Mariana dengan tatapan menerawang. "Kau pasti tak mengenalinya karena penampilan burukku," imbuhnya.Mariana mengubah tampilannya. Sosok yang semula tampak menyeramkan dengan mata hitam, wajah retak-retak dan leher patah kini telah berubah. Mariana menjelma menjadi sosok gadis jelita bermayang panjang. Kulitnya putih bersih dan rambutnya tergerai indah."Kau benar-benar gadis itu ... tapi sayang aku tak paham jalan ceritamu. Yang ku lihat cuma serupa
"Hei, apa ini sudah cukup?" tanya Mariana kepada Mawar. Mawar diam saja, hanya menatap datar."Aku rasa belum, baiklah ayo lakukan lagi," imbuh Mariana."Ma-mau apa lagi koe? akh!!" tanya Diki sembari menahan sakit di organ vitalnya. Belati kecil itu masih menancap disana. Tepat di pangkal miliknya."Bermain-main. Aku masih cukup baik karena tak langsung memotongnya," desis Mariana. Mariana menyeret tubuh Diki, mendekat ke pohon dimana Mawar sedang duduk menunggu. Mariana menarik Diki hingga dia terduduk. Mariana mengitari tubuh Diki dan berhenti tepat di belakangnya.Sepasang tangan pucat berkuku runcing itu mengelus pelan bagian pundak hingga leher Diki. Diki menangis gemetaran antara menahan rasa sakit dan juga takut mati. Mulutnya tak henti-hentinya menggumamkan kata ampun."Lihat dia," tunjuknya ke arah Mawar. "Tidakkah kau merasa bersalah telah menghabisi satu nyawa tak bersalah?" tanyanya lagi."Apa bedanya denganmu, Setan!? koe juga berniat menghabisiku kan!? Hik hiks," umpat
"Cah g3ndeng! wis dibilangin ojo asal celap-celup sana sini! Barangmu kok yo jadi biang masalah terus sih, Santo!?" tanya Eyang Putri naik pitam.Wanita renta itu menjitak kepala Santo. Dia sudah benar-benar tak paham lagi dengan Cucu satu-satunya itu. Bisa-bisanya dia bersengg4ma dengan setan. Tak masuk akal!"Eyang kok tega marahin Santo yang lagi sakit begini?" protes Santo."Mbuh! memang koe ini biang masalah! kalau koe bukan Cucuku, wis kubuang ke laut koe, To!" geram Eyang Putri."Sabar, Mbok ... sabar." Sunandar tampak berusaha menenangkan.Tok Tok Tok! pintu depan diketuk. Eyang Putri bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar. Ternyata, Slamet sudah berdiri disana dengan keringat menghiasi kening."Lho, Bagyo dimana?" tanya Eyang Putri."Ngapunten, Eyang. Ban mobil Pak Bagyo kempes, jadi ndak bisa bawa Santo ke kota. Pak Bagyo juga lagi kurang sehat," jelas Slamet.Eyang Putri mengangguk tanda mengerti. Slamet pamit undur diri. Setelah itu Eyang Putri kembali ke kamar Santoso.
"Arkghhhh, Eyang!" jerit Santo dari luar. Eyang Putri terjingkat kaget. Dia segera bangun dari tidurnya. Wanita renta itu berjalan tergopoh-gopoh keluar dari kamar. Suara teriakan Santo masih terdengar nyaring membuat Eyang Putri kalang kabut."Dimana koe, Santo!?" panggil Eyang Putri."Ada apa, Mbok?" tanya Sunandar yang kini juga berdiri di ambang pintu kamarnya."Ndak tau, Ndar. Tapi kedengarannya Santo teriak-teriak. Ini Mbok mau cek dulu," sahut Eyang Putri."Suaranya dari belakang sana, sepertinya dari arah sumur. Biar Nandar temani periksa keadaan, Mbok." Sunandar berjalan dengan langkah perlahan. Pria itu segera keluar ke belakang rumah bersama Eyang Putri. Keduanya kaget saat mendapati Santo dalam keadaan telanjang bulat di depan kamar mandi sana."Santo, kenapa koe teriak-teriak seperti orang kesetanan!? bikin kaget saja, ono opo!?" sentak Eyang Putri."Kenapa juga koe tel*njang bulat begini tengah malam?" timpal Sunandar."A-anuku ... anuku sakit sekali, Pak Lek," erang S
Ctarrrr!Suara gemuruh petir terdengar menggelegar. Lagi dan lagi, hujan turun mengguyur Desa Ledokombo. Tak ada yang bisa pergi kemana-mana sejak menjelang siang tadi.Santo tergagap, dia sedang asyik tidur saat petir menyambar begitu keras. Jantungnya berdegup kencang. Dia menoleh ke arah jendela yang terbuka, air hujan masuk sebagian ke kamar sebab terbawa angin."Ah, jadi basah!" gerutunya. Dia bangun lalu berjalan tertatih ke arah jendela. Tangannya terulur berniat menutupnya. Namun gerakannya terhenti, dia melihat Melati berdiri di tengah hujan lebat tak jauh dari sana."Melati?" gumam Santoso.Dia mengucek matanya. Namun saat membuka mata, Melati sudah lenyap entah kemana. Santoso menghela napas panjang."Mungkin aku harus tanyakan keadaan Melati ke orang-orang, semoga dia ndak kena imbas teror," lirihnya sambil menutup jendela.Hari sudah sore jelang Maghrib, tapi tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Langit begitu gelap, suara kodok terdengar bersahut-sahutan. Udara menja
Sreeeettt ... Selimut Bu Jamila ditarik perlahan. Kuku-kuku runcing terasa membelai dan sedikit menekan betisnya. Bu Jamila menahan napas, tubuhnya menegang.Bulir-bulir keringat dingin mulai menghiasi keningnya. Udara terasa dingin dan panas secara bersamaan. Beberapa saat kemudian, sosok Mawar tampak merangkak naik ke atas tempat tidur.Lehernya bergerak patah-patah ke kanan dan ke kiri. Mawar menyeringai lebar hingga sudut bibirnya robek menyentuh telinga. Jantung Bu Jamila sudah seakan hampir meledak."Pak ...," panggil Bu Jamila. Siapa yang mendengar? suaranya tak lebih dari sebuah gumaman saja. Mawar terkikik melihat wajah ketakutan wanita itu. Dia mendekatkan wajahnya."Perkenalkan teman hantuku, Bu Dhe ...," bisiknya terdengar mengerikan."Dimana sopan santunmu? berikan salam perkenalan padanya!" titah Mawar masih sambil menyeringai.Bu Jamila tak bisa bergerak. Namun dari ekor matanya dia bisa melihat sosok itu melayang dalam posisi telungkup. Dia maju, memposisikan wajah bu
Jenazah para korban semalam termasuk Markus sudah dimakamkan bersamaan. Langit mendung, nampaknya siang ini akan turun hujan begitu deras. Pak Bagyo yang baru datang dari rumah sakit dan mendengar kabar tak mengenakkan dari warganya.Mendadak, Pak Bagyo merasa menyesal karena pulang. Saat itu juga, dia langsung berkemas. Dia bersiap mengajak keluarganya pergi ke rumah kerabatnya di luar kota sana."Ndak bisa! kita harus segera pergi dari desa terkutuk ini!" ujar Kardi yang baru saja pulang dari pemakaman."Tapi nang ndi, Lek? (mau kemana?)" tanya Indana."Kemana saja, ndak apa meski harus jadi gelandangan asalkan jantung dan nyawa aman! disini ini wis benar-benar ndak aman, bahaya!" Kardi menyahut dengan raut muka serius."Lihat sendiri gimana mereka kesurupan sampai bakar diri? belum lagi soal Markus yang tangannya putus terus ujungnya mati gosong. Hiiy, serem banget!" bisik Mbak Yati sambil mengusap tengkuknya.Bu Mai yang sejak tadi diam ikut menimpali. "Iyo, Mawar benar-benar mena
Di tengah kepanikan dan suasana ricuh, Markus menyeret tubuhnya dengan satu tangan. Dia tak peduli meski kaosnya kotor dengan darah bercampur tanah. Dia hanya ingin menyelamatkan diri.Deg deg deg deg!Suara detak jantung Markus begitu kencang. Dia bahkan bisa mendengarnya dengan jelas. Rasa remuk dan nyeri yang merajai diri tak dia pedulikan kali ini. Markus belum ingin mati sekarang."Datanglah kalian semua! Disini ada pesta, ramaikanlah! hhahaha!" Nyai Larapati dengan wajah mode seramnya tersenyum jahat. Urat-urat halus kebiruan menyembul jelas di wajahnya. Berbagai sosok lelembut dengan rupa menyeramkan satu persatu muncul dalam gelap. Suara tangis, tawa, geraman berbaur jadi satu. Suasana kian mencekam saja, di antara banyaknya orang kesurupan, mereka yang masih sadar memilih kabur."Mau kemana kau?" desis Mawar yang ternyata sudah berdiri angkuh menghadang tepat di depan Markus."A-aku ... ampun, Mawar! biarkan aku hidup, aku menyesal ... aku ndak berniat menghabisimu, malam it
"Ngik! Ngik! Uhuk uhuk! opo iki!? aduh, dadaku kok sesak yo!?" Mamat tampak terbatuk-batuk sambil memukul-mukul dadanya."Uhuk uhuk! asap opo iki?" tanya Astri."Ndak tau! argh sesak!" sahut Mamat.Perempuan 28 tahun itu turun dari amben dengan gemetar. Kekurangan oksigen membuatnya melemas. Dia amati sekeliling kamar yang dipenuhi kabut merah. "Ini bukan asap, Mas! Ini kabut merah! Ah, coba sampean cek Ragil di kamarnya, Mas!" pinta Astri pada suaminya.Mamat berjalan dengan gontai menuju kamar belakang. Di kamar itu Ragil, bocah 9 tahun itu lelap sendirian. Mamat terhenyak melihat Ragil sudah tergeletak di bawah. Wajahnya pucat, napasnya pelan."Gusti! Ragil, Nak!!" panggil Mamat panik. Lelaki 33 tahun itu menghambur masuk. Dia raih putranya ke dalam gendongannya. Dia paksa kakinya yang lemas untuk melangkah keluar."Dek! Ragil ndak sadar! ayo keluar, kita cari bantuan!" teriak Mamat dari ambang pintu.Astri yang terkejut bergegas menyusul suaminya keluar. Namun langkahnya terhent
Kertawani menggeliat pelan di atas amben panjang. Suara ramai membuatnya terjaga. Rupanya tempat yang dia pilih untuk melepas penat semalam adalah sebuah pasar tradisional."Sudah tau ndak ... kabarnya di desa Ledok lagi geger! dukun muda sing terkenal sakti mandraguna itu dibantai," ujar seseibu bernama Sri memulai gosip pagi."Ah sing bener, Sri? aku ndak tau tuh," tanya Inah."Lho beneran, bojoku kan semalam kesana nengokin Pak Leknya yang sakit keras. Ternyata sakitnya itu juga katanya karena ulah si dukun yang nyari tumbal," sahut Sri meyakinkan."Maksudmu piye? tumbalnya ambil dari warga desa Ledok begitu?" Painem, si pedagang kembang ikut bertanya."Ho'oh, kabarnya sih begitu. Makanya, dia dan istrinya benar-benar disiksa habis-habisan semalam. Babak belur karena dipukuli, dicambuk juga." Sri memberi keterangan."Terus piye?" tanya Sutija penasaran."Kata suamiku, terakhir Ki Kartasakti dan Istrinya itu, uhm ...," ujar Sri tagu."Kenapa? Ono opo?" desak Inah tak sabaran."Ki Ka
Bertahun-tahun berlalu, Kertawani tumbuh dengan baik di bawah pengasuhan Maryati. Sementara Kartasakti terlalu sibuk, semakin hari tamunya semakin banyak saja. Dia sudah sukses jadi dukun muda terkuat di desa.Dia disenangi oleh sesama hamba dunia, pecinta harta dan tahta. Namun, orang-orang desa justru merasa terancam pada akhirnya. Sebab, belakangan ini banyak sekali orang yang mati mendadak.Mereka semua khawatir, ini adalah ulah Kartasakti yang mencari tumbal. Terlebih lagi, sudah beberapa orang yang memberi kesaksian tentang wanita bermata merah yang menampakkan diri di depan rumah calon korban di malam hari.Keadaan desa di malam hari juga tak kalah aneh. Sudah beberapa bulan ini, desa selalu diselimuti kabut merah. Penyakit batuk parah hingga muntah darah sudah menyebar luas di desa. Anehnya orang yang sakit hanya akan sembuh jika berobat ke Kartasakti. Mereka jadi berpikir ini memang ulahnya."Kang, apa sampean sibuk?" tanya Maryati malam itu. Kartasakti yang sedang membelai b