"Pak ... tulung bantu buatkan makam untuk Mbah Karso. Kasihan, ndak ada yang membantu mengurus jenazahnya. Selama ini, kita sama sekali ndak punya masalah dengan keluarganya toh?" pinta Romlah."Nggih, Nduk. Sehabis sarapan Bapak kesana. Kasihan, semasa hidup dia orang yang baik. Keadaan yang membuatnya salah langkah. Warga desa memang sudah berbuat hal-hal yang sangat keterlaluan. Wajar saja toh kalau Mbah Karso sakit hati," sahut Pak Rofik."Ya wis. Ini sarapannya wis siap, Pak. Sampean makan saja dulu. Aku masih mau mandikan Bayu," ujarnya.Pak Rofik segera melahap nasi berlauk kulupan dan tumis demis itu dengan lahap. Setelah selesai dia segera pamit untuk pergi ke rumah Mbah Karso. Tak lupa dia membawa sebuah cangkul dari rumahnya."Bapak budal (berangkat), Nduk!" pamitnya.***Tok Tok TokKrieeeet ... Pintu rumah gubuk Mbah Karso terbuka perlahan. Melati berdiri di baliknya dengan wajah berselimut duka dan mata yang sembab. Melihat Pak Rofik, dia tampak sedikit terkejut, ternyat
Brugh!"Eyang Putri! Panjenengan (sampean) ndak apa-apa kan?" tanya seorang warga yang panik saat melihat Eyang Putri jatuh bersimpuh. Warga bergegas membantu wanita renta itu berdiri. Rasa sakit dan panas di pinggangnya tsk dia pedulikan. Dia hanya ingin memastikan keadaan Sunandar."Dimana ... dimana kalian temukan dia?" tanya Eyang Putri dengan suara bergetar."Di dekat sawah, Eyang. Sepertinya dia mau pulang kesini tapi keburu ndak sadar duluan,""Gimana kondisinya!?" Tanya Eyang Putri sekali lagi."Sepertinya dia terlalu banyak mengeluarkan darah, Eyang. Apa perlu kita minta bantuan Pak Bagyo buat bawa Pak Nandar ke rumah sakit di kota?" tanyanwarga."Kami setuju, Eyang. Kami takut Pak Nandar ini kehabisan darah dan ... ""Hush! ndak perlu diteruske! wis saya pamit mau panggil Pak Bagyo dulu,"Eyang Putri hanya bisa menatap wajah pucat Sunandar. Untuk pertama kalinya ketakutan merajainya. Dia merasa tak berdaya."Aku mau siap-siap dan panggil Santo. Kalian tolong rebahkan Sunanda
"Jadi ... kau mau tetap disini?" tanya Nyai Larapati. "Apa kau yakin?" imbuhnya lagi."Tapi dendamku sama sekali tak ada sangkut pautnya denganmu. Bukankah kau sedang dalam penebusan dosa? dengan membersamaiku, itu artinya masamu di dunia ini jadi semakin lama," sanggah Mawar."Tak masalah, melihatmu mengingatkanku pada diriku yang dulu. Aku ingin melihat bagaimana caramu menghukum para pendosa itu," sahut Mariana.Nyai Larapati tersenyum miring kemudian berucap, "menyedihkan. Rupanya menjadi manusia berparas ayu belum tentu akan punya nasib yang baik."Dia berbalik, mengubah diri serupa asap merah. Tak lama kemudian, dia menghilang. Sebuah suara terdengar menggema."Aku perlu pulihkan diri sepenuhnya. Setelah itu, aku akan urus para warga yang meniadakan Mbah Kesayanganmu,""Ya ... mereka tak bisa lepas begitu saja. Mereka juga harus dihukum!" desis Mawar."***Di Rumah Sakit Kota ...Ndar ... akhirnya koe sadar juga. Sudah seharian koe ndak sadarkan diri. Si Mbok khawatir," ujar Eya
"Arghh!" Pak Karmo berteriak begitu nyaring."Pak! sampean kenapa? mimpi buruk toh?" tanya Sulastri sambil menepuk-nepuk pipi Pak Karmo agak keras."Bu? ini benar sampean kan?" tanya Pak Karmo takut-takut."Iyo lah! siapa lagi kalau bukan aku?" sahut Sulastri.Pak Karmo sejenak bisa bernafas lega. Dia mengusap peluh yang membanjiri keningnya. Mimpi barusan benar-benar terasa begitu nyata."Pak? kenapa dalam mimpi sampean terus-menerus sebut nama Mawar dan Mbah Karso?" telisik Sulastri."Ah ... mungkin karena teror belakangan ini. Bapak jadi kebawa-bawa mimpi, Bu. Sudahlah, ambilkan Bapak air, haus." Pak Karmo memerintah.Sulastri mengangguk, dia bergegas melangkah menuju dapur. Sementara Pak Karmo, memilih menunggu sambil menyandarkan punggungnya di sandaran dipan. Lagi, dia memandangi kedua tangannya. Tangan yang dia gunakan untuk mendorong Mbah Karso temui ajal.Dia terlalu sibuk dengan pikirannya. Pak Karmo tak sadar, bahwa di balik jendela yang terbuka ada sepasang mata yang menat
"Pak ... Duh Gusti, kenapa ini?" seru Sulastri panik saat mendapati suaminya terkapar tak sadarkan diri."Ayo bangun toh, Pak! duh, jangan-jangan darah tingginya kumat, piye iki (bagaimana ini)?" imbuhnya lagi. Dengan tubuh kurusnya, dia sekuat tenaga menarik Pak Karmo ke atas tikar pandan di ruang tengah. Sebuah bantal kapuk usang nan keras dia sanggakan di kepalanya. Dengan telaten, dia mengusapkan minyak angin, berharap suaminya lekas sadar."Cepat bangun toh, Pak. Sampean bikin aku khawatir saja," cicitnya dengan raut wajah khawatir. Meskipun pernikahan ini bukan didasari cinta, namun kebersamaan membuatnya terbiasa.Setengah jam berlalu, Pak Karmo belum juga sadar. Sulastri mulai panik. Namun tak lama kemudian, Pak Karmo membuka mata. Kedua matanya terbelalak. Mulutnya terbuka seolah ingin katakan sesuatu namun tak bisa."Pak ... sa-sampean kenapa?" tanya Sulastri terbata-bata."Ak ... kh ... khh ...," "Ngomonglah, Pak. Jangan buat aku takut," seru Sulastri terisak.Pak Karmo m
Puas berendam, Kartasakti menyudahi mandinya. Dia segera memakai kembali pakaiannya. Kemudian, dia memutuskan untuk berjalan kembali menuju padepokan."Itu dia, Tuan Guru! dia menyerangku setelah latihan. Mungkin dia ndak terima setelah aku kalahkan," lapor Mursidi sambil menunjuk-nunjuk."Kartasakti!?" tegas gurunya itu.Kartasakti melangkah mendekat. Langkah kakinya lebar-lebar. Dia berpikir kali ini dia harus melakukan pembelaan diri."Tapi Guru, dia dulu yang memulai! Mursidi menghina Bapak, dia juga bilang saya murid yang gagal dan memalukan! hati saya sakit, Guru. Saya ndak bisa menerima penghinaan ini," belanya."Apa benar begitu? yang lain, jawab!" titah Tuan Guru Birawa.Pria berusia 57 tahun itu menatap satu-persatu muridnya. Dia seolah menunggu sebuah jawaban. "Jawab!" titahnya lagi membuat 40 orang muridnya tersentak."Saya ndak suka di dalam padepokan ini ada keributan, ada permusuhan. Kalian ini saudara satu guru. Ndak ada murid yang gagal, yang ada cuma murid yang cepat
Kartasakti meneguk saliva dengan kasar. Tangan kanannya terjulur. Dia seperti terhipnotis untuk mengambil benda itu.Tap tap tapSuara langkah kaki terdengar mendekat. Namun, Kartasakti tak menyadarinya. Beberapa saat kemudian, Guru Birawa mendorong pintu ruang rahasia itu.Drrrrkkkk. Pintu berderak, Kartasakti terhenyak. "Apa sudah selesai bersih-bersihnya, Le?" tanya Sang Guru.Kartasakti refleks menyingkir dari sana. Dia tampak gelagapan dan gugup. "Ah, su-sudah, Guru ... sa-saya pamit kembali ke kamar dulu," pamitnya."Monggo, kembalilah. Ini memang sudah malam. Terima kasih sudah membantu yo, Le." Guru Birawa menyahut sambil membukakan pintu."Sami-sami. Monggo,""Hah ... sepertinya aku terlalu khawatir. Kartasakti ndak mungkin mencuri barang-barang semacam ini. Lagipula untuk apa? dia akan bertambah kuat dengan usahanya sendiri," gumam Guru Birawa sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan itu juga."Ha! sepertinya kau akan kecewa kali ini manusia! murid kesayanganmu itu terli
"Koe ... Apa yang koe lakukan pada Tuan Guru!?" teriak Mursidi dengan gigi bergemelatuk. Dia memang salah satu murid yang paling mengidolakan guru Birawa.."Jawab kami, Kartasakti! koe ndak bisu kan!?" desak yang lainnya lagi.Kartasakti diam. Kepalanya tertunduk. Beberapa saat kemudian, dia mengangkat kepala. Lelaki muda bertubuh kurus tinggi itu hanya bisa menatap tajam dengan mata yang basah. Sebuah senyum getir tampak tercetak di wajahnya."Ndak usah banyak tanya, seperti yang kalian lihat ... aku wis membunuhnya!" sahutnya dengan suara bergetar. "Guru sudah mati!" imbuhnya lagi."Biadab! kenapa koe lakukan hal gila ini, Kartasakti!? salah guru iki opo!?" "Kenapa? karena aku ingin," sahut Kartasakti yang akhirnya sukses memancing amarah para murid yang lain."Tak pateni koe! (Ku bunuh kamu!)" sorak para murid."Bagaimana caraku melawan puluhan orang sekaligus? aku pasti ndak sanggup," batin Kartasakti."Jangan khawatir, ada aku. Majulah," bisik wanita itu. "Tak ada waktu, Ibumu b