"Koe ... Apa yang koe lakukan pada Tuan Guru!?" teriak Mursidi dengan gigi bergemelatuk. Dia memang salah satu murid yang paling mengidolakan guru Birawa.."Jawab kami, Kartasakti! koe ndak bisu kan!?" desak yang lainnya lagi.Kartasakti diam. Kepalanya tertunduk. Beberapa saat kemudian, dia mengangkat kepala. Lelaki muda bertubuh kurus tinggi itu hanya bisa menatap tajam dengan mata yang basah. Sebuah senyum getir tampak tercetak di wajahnya."Ndak usah banyak tanya, seperti yang kalian lihat ... aku wis membunuhnya!" sahutnya dengan suara bergetar. "Guru sudah mati!" imbuhnya lagi."Biadab! kenapa koe lakukan hal gila ini, Kartasakti!? salah guru iki opo!?" "Kenapa? karena aku ingin," sahut Kartasakti yang akhirnya sukses memancing amarah para murid yang lain."Tak pateni koe! (Ku bunuh kamu!)" sorak para murid."Bagaimana caraku melawan puluhan orang sekaligus? aku pasti ndak sanggup," batin Kartasakti."Jangan khawatir, ada aku. Majulah," bisik wanita itu. "Tak ada waktu, Ibumu b
Kartasakti berjalan tergesa-gesa membelah pekatnya malam. Suara gemerisik daun tertiup angin bercampur suara binatang malam menemani perjalanannya pulang.Dia terus menerobos hutan, tak peduli bahaya yang mungkin akan menghadang. Namun, entah kenapa perjalanan terasa cukup panjang. Kakinya mulai lelah, napasnya mulai memburu. Meski begitu, lelaki muda itu tak berhenti, dia tak sabar untuk segera sampai di rumah.Dia sangat berharap, apa yang Nyai Larapati katakan itu salah. Dia sangat berharap bahwa ibunya baik-baik saja. Namun, jika kematian ibunya itu benar terjadi, dia bertekad akan menghabisi nyawa pelakunya."Hah ... ndak aku sangka. Aku baru saja menjadi pembunuh," gumamnya sambil terus berjalan dengan langkah yang lebar-lebar. Peluh tampak menghiasi keningnya. Napasnya pun mulai tersengal-sengal."Biasakan dirimu, manusia. Hukum rimba selalu berlaku dimanapun. Kalau kau lemah, sampai matipun kau akan jadi bahan injakan. Jadilah kuat," ujar Nyai Larapati yang tiba-tiba mewujud d
Mentari terbit tanda pagi menyapa, Kartasakti membuka mata perlahan. Dia menoleh dan menyadari bahwa dirinya masih tetap dalam posisi memeluk jenazah ibunya. Lelaki itu bangkit, berjalan keluar demi meminta bantuan warga untuk memakamkan jenazah ibunya.Mendengar kabar kematian Rukmini, warga mulai berdatangan. Mereka bergotong-royong menyiapkan segala keperluan. Atas kekompakan mereka, akhirnya jenazahnya bisa dimakamkan dengan cepat."Matur nuwun dulur sedoyo, (terima kasih saudara-saudara semua)," ujar Kartasakti dengan tangan menangkup. Sepasang suami istri mendekat. Si wanita tampaknya membisik ditelinga Kartasakti. Mata pemuda berselimut duka itu membeliak."Ini ulah Juragan Kohar, toh? Bu Dhe tadi ikut memandikan, aku lihat ada banyak lebam dan bekas cekikan. Di punggungnya yo ada bekas cambukan,"Kartasakti diam. Haruskah dia membuka suara soal ini? dia masih ragu. Lagipula kalau orang-orang tau dan suatu saat Juragan Kohar kenapa-kenapa, Kartasakti lah yang akan jadi tersang
Waktu berlalu cepat. Malam kembali hadir menyapa. Suasana begitu terasa sunyi. Kartasakti murung dipeluk kesendirian."Mbok ... saat aku ditinggalkan Bapak, duniaku bergetar, tapi aku masih baik-baik saja. Tetapi, saat sampean yang pergi, kenapa duniaku bisa sehancur ini, Mbok. Aku kudu piye hidup di dunia yang ndak ada sampean di dalamnya?" gumamnya sambil memeluk baju usang milik Rukmini.Kartasakti mengendus sisa aroma khas yang menempel di kain itu. Aroma yang selalu bisa menenangkan dirinya. Aroma yang mulai saat ini akan dia rindukan selamanya."Aku kesepian, Mbok. Rasanya sakit sekali. Aku hilang arah, ndak tau harus berbuat apa," imbuhnya. Hari ini dia habiskan menangis di kamar ibunya. Dia meringkuk di pojok ruangan, menangis seperti anak kecil yang takut ditinggalkan.Mata Kartasakti memicing. Dia melihat sedikit robekan kain disana. Dia yakin betul, itu bukan milik ibunya. Tapi, milik siapa? Kartasakti tampak berpikir sejenak. Lalu, mendadak rahangnya mengetat. "Pasti rob
Sementara itu, di sebuah rumah sederhana, seorang wanita dengan badan subur tampak berkali-kali mengintip dari celah jendela. Entah kenapa, malam ini dia begitu cemas. Sejak tadi dia merasa ada yang mengawasi gerak-geriknya."Si Bapak ini kemana toh? kok yaa lama sekali mancing di sungai!? lama-lama kusuruh ngawinin ikan sekalian, biar ndak usah pulang!" omel Bu Rustam dengan mulut mengerucut.Sesekali, wanita berisi itu tampak mengusap tengkuknya yang meremang. Udara sekitar terasa berbeda, dingin dan mencekam. Terlebih burung hantu sejak tadi tak mau berhenti berbunyi, membuat suasana semakin seram saja."Kenapa aku jadi was-was gini yo? mana Bapak ndak pulang-pulang. Wis lah, mending aku tidur saja duluan, toh pintu depan ndak aku kunci," gumamnya.Bu Rustam berjalan masuk ke kamarnya. Dia naik ke atas amben kayu, lalu merebahkan diri disana. Wanita itu tidur terlentang, dia menutupi hampir seluruh tubuhnya dengan selimut.Baru saja akan memasuki alam mimpi, hawa dingin menerpa waj
Beberapa hari kemudian."Kalian tau ndak? Juragan Kohar sakit keras, itunya membusuk! Bahkan dia wis mencoba pengobatan terbaik, tapi ndak ketemu sebabnya. Sakitnya juga makin parah," ujar seorang wanita yang sedang istirahat setelah tandur padi di sawah."Iyo lho, Yu! aku juga baru dengar dari Painah, pembantu di rumahnya. Istri ketiganya wis minggat karena jijik, ndak tau gimana istri pertama dan keduanya." Ibu-ibu yang lain menimpali."Kasihan, opo karena sering main perempuan yo? makanya jadi kena penyakit aneh," ujar Bu Sumi."Hah, soal itu sih wis jadi rahasia umum di desa kita ini, Yu. Makanya kalau ndak mau anak gadis atau istri dicicip Juragan Kohar, jangan sampai pinjem uang ke dia. Kalau telat bayar, ngeri!" timpal Bu Yati.Sumi menyahuti, "Ho'oh, harga diri dan kehormatan sing jadi taruhannya, amit-amit. Aku sebutuh-butuhnya mending ndak makan daripada harus pinjam ke dia.""Tapi bukan cuma Juragan Kohar yang sakit aneh sekarang. Bu Rustam juga, ndak bisa ngomong dia. Bebe
Kartasakti duduk di teras rumah. Dia menatap langit malam bertabur bintang. Indah, bagai senyum teduh Rukmini, Ibunya."Mbok, apa sampean melihat aku yang kesepian ini dari atas sana?" gumamnya dengan tangan terangkat seolah ingin menyentuh langit."Itu ndak tergapai, Kang! Jauh," ujar Maryati yang entah sejak kapan duduk di samping Kartasakti."Oh! hm, aku tau itu." Kartasakti menyahut singkat."Kalau sudah tau, kenapa mau gapai langit?" cecar Maryati.Kartasakti kembali menatap langit lalu menyahut, "Aku cuma merindukan Emakku. Mungkinkah dia melihatku dari atas sana?"Maryati ikut menatap langit. "Entahlah, mungkin iya, bersama Ibuku," sahutnya."Omong-omong gimana keadaan Pak Tohir?" tanya Kartasakti.Maryati menghela napas panjang. "Belakangan ini Bapak sering batuk darah, tapi selalu berlaku seolah baik-baik saja. Dia sembunyikan sakitnya dariku," desah Marysti."Pak Tohir cuma ndak mau buat sampean sedih," timpal Kartasakti."Aku tau itu, Kang. Tapi ndak mungkin aku ndak sedih,
Bertahun-tahun berlalu, Kertawani tumbuh dengan baik di bawah pengasuhan Maryati. Sementara Kartasakti terlalu sibuk, semakin hari tamunya semakin banyak saja. Dia sudah sukses jadi dukun muda terkuat di desa.Dia disenangi oleh sesama hamba dunia, pecinta harta dan tahta. Namun, orang-orang desa justru merasa terancam pada akhirnya. Sebab, belakangan ini banyak sekali orang yang mati mendadak.Mereka semua khawatir, ini adalah ulah Kartasakti yang mencari tumbal. Terlebih lagi, sudah beberapa orang yang memberi kesaksian tentang wanita bermata merah yang menampakkan diri di depan rumah calon korban di malam hari.Keadaan desa di malam hari juga tak kalah aneh. Sudah beberapa bulan ini, desa selalu diselimuti kabut merah. Penyakit batuk parah hingga muntah darah sudah menyebar luas di desa. Anehnya orang yang sakit hanya akan sembuh jika berobat ke Kartasakti. Mereka jadi berpikir ini memang ulahnya."Kang, apa sampean sibuk?" tanya Maryati malam itu. Kartasakti yang sedang membelai b
"Cah g3ndeng! wis dibilangin ojo asal celap-celup sana sini! Barangmu kok yo jadi biang masalah terus sih, Santo!?" tanya Eyang Putri naik pitam.Wanita renta itu menjitak kepala Santo. Dia sudah benar-benar tak paham lagi dengan Cucu satu-satunya itu. Bisa-bisanya dia bersengg4ma dengan setan. Tak masuk akal!"Eyang kok tega marahin Santo yang lagi sakit begini?" protes Santo."Mbuh! memang koe ini biang masalah! kalau koe bukan Cucuku, wis kubuang ke laut koe, To!" geram Eyang Putri."Sabar, Mbok ... sabar." Sunandar tampak berusaha menenangkan.Tok Tok Tok! pintu depan diketuk. Eyang Putri bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar. Ternyata, Slamet sudah berdiri disana dengan keringat menghiasi kening."Lho, Bagyo dimana?" tanya Eyang Putri."Ngapunten, Eyang. Ban mobil Pak Bagyo kempes, jadi ndak bisa bawa Santo ke kota. Pak Bagyo juga lagi kurang sehat," jelas Slamet.Eyang Putri mengangguk tanda mengerti. Slamet pamit undur diri. Setelah itu Eyang Putri kembali ke kamar Santoso.
"Arkghhhh, Eyang!" jerit Santo dari luar. Eyang Putri terjingkat kaget. Dia segera bangun dari tidurnya. Wanita renta itu berjalan tergopoh-gopoh keluar dari kamar. Suara teriakan Santo masih terdengar nyaring membuat Eyang Putri kalang kabut."Dimana koe, Santo!?" panggil Eyang Putri."Ada apa, Mbok?" tanya Sunandar yang kini juga berdiri di ambang pintu kamarnya."Ndak tau, Ndar. Tapi kedengarannya Santo teriak-teriak. Ini Mbok mau cek dulu," sahut Eyang Putri."Suaranya dari belakang sana, sepertinya dari arah sumur. Biar Nandar temani periksa keadaan, Mbok." Sunandar berjalan dengan langkah perlahan. Pria itu segera keluar ke belakang rumah bersama Eyang Putri. Keduanya kaget saat mendapati Santo dalam keadaan telanjang bulat di depan kamar mandi sana."Santo, kenapa koe teriak-teriak seperti orang kesetanan!? bikin kaget saja, ono opo!?" sentak Eyang Putri."Kenapa juga koe tel*njang bulat begini tengah malam?" timpal Sunandar."A-anuku ... anuku sakit sekali, Pak Lek," erang S
Ctarrrr!Suara gemuruh petir terdengar menggelegar. Lagi dan lagi, hujan turun mengguyur Desa Ledokombo. Tak ada yang bisa pergi kemana-mana sejak menjelang siang tadi.Santo tergagap, dia sedang asyik tidur saat petir menyambar begitu keras. Jantungnya berdegup kencang. Dia menoleh ke arah jendela yang terbuka, air hujan masuk sebagian ke kamar sebab terbawa angin."Ah, jadi basah!" gerutunya. Dia bangun lalu berjalan tertatih ke arah jendela. Tangannya terulur berniat menutupnya. Namun gerakannya terhenti, dia melihat Melati berdiri di tengah hujan lebat tak jauh dari sana."Melati?" gumam Santoso.Dia mengucek matanya. Namun saat membuka mata, Melati sudah lenyap entah kemana. Santoso menghela napas panjang."Mungkin aku harus tanyakan keadaan Melati ke orang-orang, semoga dia ndak kena imbas teror," lirihnya sambil menutup jendela.Hari sudah sore jelang Maghrib, tapi tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Langit begitu gelap, suara kodok terdengar bersahut-sahutan. Udara menja
Sreeeettt ... Selimut Bu Jamila ditarik perlahan. Kuku-kuku runcing terasa membelai dan sedikit menekan betisnya. Bu Jamila menahan napas, tubuhnya menegang.Bulir-bulir keringat dingin mulai menghiasi keningnya. Udara terasa dingin dan panas secara bersamaan. Beberapa saat kemudian, sosok Mawar tampak merangkak naik ke atas tempat tidur.Lehernya bergerak patah-patah ke kanan dan ke kiri. Mawar menyeringai lebar hingga sudut bibirnya robek menyentuh telinga. Jantung Bu Jamila sudah seakan hampir meledak."Pak ...," panggil Bu Jamila. Siapa yang mendengar? suaranya tak lebih dari sebuah gumaman saja. Mawar terkikik melihat wajah ketakutan wanita itu. Dia mendekatkan wajahnya."Perkenalkan teman hantuku, Bu Dhe ...," bisiknya terdengar mengerikan."Dimana sopan santunmu? berikan salam perkenalan padanya!" titah Mawar masih sambil menyeringai.Bu Jamila tak bisa bergerak. Namun dari ekor matanya dia bisa melihat sosok itu melayang dalam posisi telungkup. Dia maju, memposisikan wajah bu
Jenazah para korban semalam termasuk Markus sudah dimakamkan bersamaan. Langit mendung, nampaknya siang ini akan turun hujan begitu deras. Pak Bagyo yang baru datang dari rumah sakit dan mendengar kabar tak mengenakkan dari warganya.Mendadak, Pak Bagyo merasa menyesal karena pulang. Saat itu juga, dia langsung berkemas. Dia bersiap mengajak keluarganya pergi ke rumah kerabatnya di luar kota sana."Ndak bisa! kita harus segera pergi dari desa terkutuk ini!" ujar Kardi yang baru saja pulang dari pemakaman."Tapi nang ndi, Lek? (mau kemana?)" tanya Indana."Kemana saja, ndak apa meski harus jadi gelandangan asalkan jantung dan nyawa aman! disini ini wis benar-benar ndak aman, bahaya!" Kardi menyahut dengan raut muka serius."Lihat sendiri gimana mereka kesurupan sampai bakar diri? belum lagi soal Markus yang tangannya putus terus ujungnya mati gosong. Hiiy, serem banget!" bisik Mbak Yati sambil mengusap tengkuknya.Bu Mai yang sejak tadi diam ikut menimpali. "Iyo, Mawar benar-benar mena
Di tengah kepanikan dan suasana ricuh, Markus menyeret tubuhnya dengan satu tangan. Dia tak peduli meski kaosnya kotor dengan darah bercampur tanah. Dia hanya ingin menyelamatkan diri.Deg deg deg deg!Suara detak jantung Markus begitu kencang. Dia bahkan bisa mendengarnya dengan jelas. Rasa remuk dan nyeri yang merajai diri tak dia pedulikan kali ini. Markus belum ingin mati sekarang."Datanglah kalian semua! Disini ada pesta, ramaikanlah! hhahaha!" Nyai Larapati dengan wajah mode seramnya tersenyum jahat. Urat-urat halus kebiruan menyembul jelas di wajahnya. Berbagai sosok lelembut dengan rupa menyeramkan satu persatu muncul dalam gelap. Suara tangis, tawa, geraman berbaur jadi satu. Suasana kian mencekam saja, di antara banyaknya orang kesurupan, mereka yang masih sadar memilih kabur."Mau kemana kau?" desis Mawar yang ternyata sudah berdiri angkuh menghadang tepat di depan Markus."A-aku ... ampun, Mawar! biarkan aku hidup, aku menyesal ... aku ndak berniat menghabisimu, malam it
"Ngik! Ngik! Uhuk uhuk! opo iki!? aduh, dadaku kok sesak yo!?" Mamat tampak terbatuk-batuk sambil memukul-mukul dadanya."Uhuk uhuk! asap opo iki?" tanya Astri."Ndak tau! argh sesak!" sahut Mamat.Perempuan 28 tahun itu turun dari amben dengan gemetar. Kekurangan oksigen membuatnya melemas. Dia amati sekeliling kamar yang dipenuhi kabut merah. "Ini bukan asap, Mas! Ini kabut merah! Ah, coba sampean cek Ragil di kamarnya, Mas!" pinta Astri pada suaminya.Mamat berjalan dengan gontai menuju kamar belakang. Di kamar itu Ragil, bocah 9 tahun itu lelap sendirian. Mamat terhenyak melihat Ragil sudah tergeletak di bawah. Wajahnya pucat, napasnya pelan."Gusti! Ragil, Nak!!" panggil Mamat panik. Lelaki 33 tahun itu menghambur masuk. Dia raih putranya ke dalam gendongannya. Dia paksa kakinya yang lemas untuk melangkah keluar."Dek! Ragil ndak sadar! ayo keluar, kita cari bantuan!" teriak Mamat dari ambang pintu.Astri yang terkejut bergegas menyusul suaminya keluar. Namun langkahnya terhent
Kertawani menggeliat pelan di atas amben panjang. Suara ramai membuatnya terjaga. Rupanya tempat yang dia pilih untuk melepas penat semalam adalah sebuah pasar tradisional."Sudah tau ndak ... kabarnya di desa Ledok lagi geger! dukun muda sing terkenal sakti mandraguna itu dibantai," ujar seseibu bernama Sri memulai gosip pagi."Ah sing bener, Sri? aku ndak tau tuh," tanya Inah."Lho beneran, bojoku kan semalam kesana nengokin Pak Leknya yang sakit keras. Ternyata sakitnya itu juga katanya karena ulah si dukun yang nyari tumbal," sahut Sri meyakinkan."Maksudmu piye? tumbalnya ambil dari warga desa Ledok begitu?" Painem, si pedagang kembang ikut bertanya."Ho'oh, kabarnya sih begitu. Makanya, dia dan istrinya benar-benar disiksa habis-habisan semalam. Babak belur karena dipukuli, dicambuk juga." Sri memberi keterangan."Terus piye?" tanya Sutija penasaran."Kata suamiku, terakhir Ki Kartasakti dan Istrinya itu, uhm ...," ujar Sri tagu."Kenapa? Ono opo?" desak Inah tak sabaran."Ki Ka
Bertahun-tahun berlalu, Kertawani tumbuh dengan baik di bawah pengasuhan Maryati. Sementara Kartasakti terlalu sibuk, semakin hari tamunya semakin banyak saja. Dia sudah sukses jadi dukun muda terkuat di desa.Dia disenangi oleh sesama hamba dunia, pecinta harta dan tahta. Namun, orang-orang desa justru merasa terancam pada akhirnya. Sebab, belakangan ini banyak sekali orang yang mati mendadak.Mereka semua khawatir, ini adalah ulah Kartasakti yang mencari tumbal. Terlebih lagi, sudah beberapa orang yang memberi kesaksian tentang wanita bermata merah yang menampakkan diri di depan rumah calon korban di malam hari.Keadaan desa di malam hari juga tak kalah aneh. Sudah beberapa bulan ini, desa selalu diselimuti kabut merah. Penyakit batuk parah hingga muntah darah sudah menyebar luas di desa. Anehnya orang yang sakit hanya akan sembuh jika berobat ke Kartasakti. Mereka jadi berpikir ini memang ulahnya."Kang, apa sampean sibuk?" tanya Maryati malam itu. Kartasakti yang sedang membelai b