"Arghh!" Pak Karmo berteriak begitu nyaring."Pak! sampean kenapa? mimpi buruk toh?" tanya Sulastri sambil menepuk-nepuk pipi Pak Karmo agak keras."Bu? ini benar sampean kan?" tanya Pak Karmo takut-takut."Iyo lah! siapa lagi kalau bukan aku?" sahut Sulastri.Pak Karmo sejenak bisa bernafas lega. Dia mengusap peluh yang membanjiri keningnya. Mimpi barusan benar-benar terasa begitu nyata."Pak? kenapa dalam mimpi sampean terus-menerus sebut nama Mawar dan Mbah Karso?" telisik Sulastri."Ah ... mungkin karena teror belakangan ini. Bapak jadi kebawa-bawa mimpi, Bu. Sudahlah, ambilkan Bapak air, haus." Pak Karmo memerintah.Sulastri mengangguk, dia bergegas melangkah menuju dapur. Sementara Pak Karmo, memilih menunggu sambil menyandarkan punggungnya di sandaran dipan. Lagi, dia memandangi kedua tangannya. Tangan yang dia gunakan untuk mendorong Mbah Karso temui ajal.Dia terlalu sibuk dengan pikirannya. Pak Karmo tak sadar, bahwa di balik jendela yang terbuka ada sepasang mata yang menat
"Pak ... Duh Gusti, kenapa ini?" seru Sulastri panik saat mendapati suaminya terkapar tak sadarkan diri."Ayo bangun toh, Pak! duh, jangan-jangan darah tingginya kumat, piye iki (bagaimana ini)?" imbuhnya lagi. Dengan tubuh kurusnya, dia sekuat tenaga menarik Pak Karmo ke atas tikar pandan di ruang tengah. Sebuah bantal kapuk usang nan keras dia sanggakan di kepalanya. Dengan telaten, dia mengusapkan minyak angin, berharap suaminya lekas sadar."Cepat bangun toh, Pak. Sampean bikin aku khawatir saja," cicitnya dengan raut wajah khawatir. Meskipun pernikahan ini bukan didasari cinta, namun kebersamaan membuatnya terbiasa.Setengah jam berlalu, Pak Karmo belum juga sadar. Sulastri mulai panik. Namun tak lama kemudian, Pak Karmo membuka mata. Kedua matanya terbelalak. Mulutnya terbuka seolah ingin katakan sesuatu namun tak bisa."Pak ... sa-sampean kenapa?" tanya Sulastri terbata-bata."Ak ... kh ... khh ...," "Ngomonglah, Pak. Jangan buat aku takut," seru Sulastri terisak.Pak Karmo m
Puas berendam, Kartasakti menyudahi mandinya. Dia segera memakai kembali pakaiannya. Kemudian, dia memutuskan untuk berjalan kembali menuju padepokan."Itu dia, Tuan Guru! dia menyerangku setelah latihan. Mungkin dia ndak terima setelah aku kalahkan," lapor Mursidi sambil menunjuk-nunjuk."Kartasakti!?" tegas gurunya itu.Kartasakti melangkah mendekat. Langkah kakinya lebar-lebar. Dia berpikir kali ini dia harus melakukan pembelaan diri."Tapi Guru, dia dulu yang memulai! Mursidi menghina Bapak, dia juga bilang saya murid yang gagal dan memalukan! hati saya sakit, Guru. Saya ndak bisa menerima penghinaan ini," belanya."Apa benar begitu? yang lain, jawab!" titah Tuan Guru Birawa.Pria berusia 57 tahun itu menatap satu-persatu muridnya. Dia seolah menunggu sebuah jawaban. "Jawab!" titahnya lagi membuat 40 orang muridnya tersentak."Saya ndak suka di dalam padepokan ini ada keributan, ada permusuhan. Kalian ini saudara satu guru. Ndak ada murid yang gagal, yang ada cuma murid yang cepat
Kartasakti meneguk saliva dengan kasar. Tangan kanannya terjulur. Dia seperti terhipnotis untuk mengambil benda itu.Tap tap tapSuara langkah kaki terdengar mendekat. Namun, Kartasakti tak menyadarinya. Beberapa saat kemudian, Guru Birawa mendorong pintu ruang rahasia itu.Drrrrkkkk. Pintu berderak, Kartasakti terhenyak. "Apa sudah selesai bersih-bersihnya, Le?" tanya Sang Guru.Kartasakti refleks menyingkir dari sana. Dia tampak gelagapan dan gugup. "Ah, su-sudah, Guru ... sa-saya pamit kembali ke kamar dulu," pamitnya."Monggo, kembalilah. Ini memang sudah malam. Terima kasih sudah membantu yo, Le." Guru Birawa menyahut sambil membukakan pintu."Sami-sami. Monggo,""Hah ... sepertinya aku terlalu khawatir. Kartasakti ndak mungkin mencuri barang-barang semacam ini. Lagipula untuk apa? dia akan bertambah kuat dengan usahanya sendiri," gumam Guru Birawa sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan itu juga."Ha! sepertinya kau akan kecewa kali ini manusia! murid kesayanganmu itu terli
"Koe ... Apa yang koe lakukan pada Tuan Guru!?" teriak Mursidi dengan gigi bergemelatuk. Dia memang salah satu murid yang paling mengidolakan guru Birawa.."Jawab kami, Kartasakti! koe ndak bisu kan!?" desak yang lainnya lagi.Kartasakti diam. Kepalanya tertunduk. Beberapa saat kemudian, dia mengangkat kepala. Lelaki muda bertubuh kurus tinggi itu hanya bisa menatap tajam dengan mata yang basah. Sebuah senyum getir tampak tercetak di wajahnya."Ndak usah banyak tanya, seperti yang kalian lihat ... aku wis membunuhnya!" sahutnya dengan suara bergetar. "Guru sudah mati!" imbuhnya lagi."Biadab! kenapa koe lakukan hal gila ini, Kartasakti!? salah guru iki opo!?" "Kenapa? karena aku ingin," sahut Kartasakti yang akhirnya sukses memancing amarah para murid yang lain."Tak pateni koe! (Ku bunuh kamu!)" sorak para murid."Bagaimana caraku melawan puluhan orang sekaligus? aku pasti ndak sanggup," batin Kartasakti."Jangan khawatir, ada aku. Majulah," bisik wanita itu. "Tak ada waktu, Ibumu b
Kartasakti berjalan tergesa-gesa membelah pekatnya malam. Suara gemerisik daun tertiup angin bercampur suara binatang malam menemani perjalanannya pulang.Dia terus menerobos hutan, tak peduli bahaya yang mungkin akan menghadang. Namun, entah kenapa perjalanan terasa cukup panjang. Kakinya mulai lelah, napasnya mulai memburu. Meski begitu, lelaki muda itu tak berhenti, dia tak sabar untuk segera sampai di rumah.Dia sangat berharap, apa yang Nyai Larapati katakan itu salah. Dia sangat berharap bahwa ibunya baik-baik saja. Namun, jika kematian ibunya itu benar terjadi, dia bertekad akan menghabisi nyawa pelakunya."Hah ... ndak aku sangka. Aku baru saja menjadi pembunuh," gumamnya sambil terus berjalan dengan langkah yang lebar-lebar. Peluh tampak menghiasi keningnya. Napasnya pun mulai tersengal-sengal."Biasakan dirimu, manusia. Hukum rimba selalu berlaku dimanapun. Kalau kau lemah, sampai matipun kau akan jadi bahan injakan. Jadilah kuat," ujar Nyai Larapati yang tiba-tiba mewujud d
Mentari terbit tanda pagi menyapa, Kartasakti membuka mata perlahan. Dia menoleh dan menyadari bahwa dirinya masih tetap dalam posisi memeluk jenazah ibunya. Lelaki itu bangkit, berjalan keluar demi meminta bantuan warga untuk memakamkan jenazah ibunya.Mendengar kabar kematian Rukmini, warga mulai berdatangan. Mereka bergotong-royong menyiapkan segala keperluan. Atas kekompakan mereka, akhirnya jenazahnya bisa dimakamkan dengan cepat."Matur nuwun dulur sedoyo, (terima kasih saudara-saudara semua)," ujar Kartasakti dengan tangan menangkup. Sepasang suami istri mendekat. Si wanita tampaknya membisik ditelinga Kartasakti. Mata pemuda berselimut duka itu membeliak."Ini ulah Juragan Kohar, toh? Bu Dhe tadi ikut memandikan, aku lihat ada banyak lebam dan bekas cekikan. Di punggungnya yo ada bekas cambukan,"Kartasakti diam. Haruskah dia membuka suara soal ini? dia masih ragu. Lagipula kalau orang-orang tau dan suatu saat Juragan Kohar kenapa-kenapa, Kartasakti lah yang akan jadi tersang
Waktu berlalu cepat. Malam kembali hadir menyapa. Suasana begitu terasa sunyi. Kartasakti murung dipeluk kesendirian."Mbok ... saat aku ditinggalkan Bapak, duniaku bergetar, tapi aku masih baik-baik saja. Tetapi, saat sampean yang pergi, kenapa duniaku bisa sehancur ini, Mbok. Aku kudu piye hidup di dunia yang ndak ada sampean di dalamnya?" gumamnya sambil memeluk baju usang milik Rukmini.Kartasakti mengendus sisa aroma khas yang menempel di kain itu. Aroma yang selalu bisa menenangkan dirinya. Aroma yang mulai saat ini akan dia rindukan selamanya."Aku kesepian, Mbok. Rasanya sakit sekali. Aku hilang arah, ndak tau harus berbuat apa," imbuhnya. Hari ini dia habiskan menangis di kamar ibunya. Dia meringkuk di pojok ruangan, menangis seperti anak kecil yang takut ditinggalkan.Mata Kartasakti memicing. Dia melihat sedikit robekan kain disana. Dia yakin betul, itu bukan milik ibunya. Tapi, milik siapa? Kartasakti tampak berpikir sejenak. Lalu, mendadak rahangnya mengetat. "Pasti rob