"Hei, apa ini sudah cukup?" tanya Mariana kepada Mawar. Mawar diam saja, hanya menatap datar."Aku rasa belum, baiklah ayo lakukan lagi," imbuh Mariana."Ma-mau apa lagi koe? akh!!" tanya Diki sembari menahan sakit di organ vitalnya. Belati kecil itu masih menancap disana. Tepat di pangkal miliknya."Bermain-main. Aku masih cukup baik karena tak langsung memotongnya," desis Mariana. Mariana menyeret tubuh Diki, mendekat ke pohon dimana Mawar sedang duduk menunggu. Mariana menarik Diki hingga dia terduduk. Mariana mengitari tubuh Diki dan berhenti tepat di belakangnya.Sepasang tangan pucat berkuku runcing itu mengelus pelan bagian pundak hingga leher Diki. Diki menangis gemetaran antara menahan rasa sakit dan juga takut mati. Mulutnya tak henti-hentinya menggumamkan kata ampun."Lihat dia," tunjuknya ke arah Mawar. "Tidakkah kau merasa bersalah telah menghabisi satu nyawa tak bersalah?" tanyanya lagi."Apa bedanya denganmu, Setan!? koe juga berniat menghabisiku kan!? Hik hiks," umpat
"Pak ... tulung bantu buatkan makam untuk Mbah Karso. Kasihan, ndak ada yang membantu mengurus jenazahnya. Selama ini, kita sama sekali ndak punya masalah dengan keluarganya toh?" pinta Romlah."Nggih, Nduk. Sehabis sarapan Bapak kesana. Kasihan, semasa hidup dia orang yang baik. Keadaan yang membuatnya salah langkah. Warga desa memang sudah berbuat hal-hal yang sangat keterlaluan. Wajar saja toh kalau Mbah Karso sakit hati," sahut Pak Rofik."Ya wis. Ini sarapannya wis siap, Pak. Sampean makan saja dulu. Aku masih mau mandikan Bayu," ujarnya.Pak Rofik segera melahap nasi berlauk kulupan dan tumis demis itu dengan lahap. Setelah selesai dia segera pamit untuk pergi ke rumah Mbah Karso. Tak lupa dia membawa sebuah cangkul dari rumahnya."Bapak budal (berangkat), Nduk!" pamitnya.***Tok Tok TokKrieeeet ... Pintu rumah gubuk Mbah Karso terbuka perlahan. Melati berdiri di baliknya dengan wajah berselimut duka dan mata yang sembab. Melihat Pak Rofik, dia tampak sedikit terkejut, ternyat
Brugh!"Eyang Putri! Panjenengan (sampean) ndak apa-apa kan?" tanya seorang warga yang panik saat melihat Eyang Putri jatuh bersimpuh. Warga bergegas membantu wanita renta itu berdiri. Rasa sakit dan panas di pinggangnya tsk dia pedulikan. Dia hanya ingin memastikan keadaan Sunandar."Dimana ... dimana kalian temukan dia?" tanya Eyang Putri dengan suara bergetar."Di dekat sawah, Eyang. Sepertinya dia mau pulang kesini tapi keburu ndak sadar duluan,""Gimana kondisinya!?" Tanya Eyang Putri sekali lagi."Sepertinya dia terlalu banyak mengeluarkan darah, Eyang. Apa perlu kita minta bantuan Pak Bagyo buat bawa Pak Nandar ke rumah sakit di kota?" tanyanwarga."Kami setuju, Eyang. Kami takut Pak Nandar ini kehabisan darah dan ... ""Hush! ndak perlu diteruske! wis saya pamit mau panggil Pak Bagyo dulu,"Eyang Putri hanya bisa menatap wajah pucat Sunandar. Untuk pertama kalinya ketakutan merajainya. Dia merasa tak berdaya."Aku mau siap-siap dan panggil Santo. Kalian tolong rebahkan Sunanda
"Jadi ... kau mau tetap disini?" tanya Nyai Larapati. "Apa kau yakin?" imbuhnya lagi."Tapi dendamku sama sekali tak ada sangkut pautnya denganmu. Bukankah kau sedang dalam penebusan dosa? dengan membersamaiku, itu artinya masamu di dunia ini jadi semakin lama," sanggah Mawar."Tak masalah, melihatmu mengingatkanku pada diriku yang dulu. Aku ingin melihat bagaimana caramu menghukum para pendosa itu," sahut Mariana.Nyai Larapati tersenyum miring kemudian berucap, "menyedihkan. Rupanya menjadi manusia berparas ayu belum tentu akan punya nasib yang baik."Dia berbalik, mengubah diri serupa asap merah. Tak lama kemudian, dia menghilang. Sebuah suara terdengar menggema."Aku perlu pulihkan diri sepenuhnya. Setelah itu, aku akan urus para warga yang meniadakan Mbah Kesayanganmu,""Ya ... mereka tak bisa lepas begitu saja. Mereka juga harus dihukum!" desis Mawar."***Di Rumah Sakit Kota ...Ndar ... akhirnya koe sadar juga. Sudah seharian koe ndak sadarkan diri. Si Mbok khawatir," ujar Eya
"Arghh!" Pak Karmo berteriak begitu nyaring."Pak! sampean kenapa? mimpi buruk toh?" tanya Sulastri sambil menepuk-nepuk pipi Pak Karmo agak keras."Bu? ini benar sampean kan?" tanya Pak Karmo takut-takut."Iyo lah! siapa lagi kalau bukan aku?" sahut Sulastri.Pak Karmo sejenak bisa bernafas lega. Dia mengusap peluh yang membanjiri keningnya. Mimpi barusan benar-benar terasa begitu nyata."Pak? kenapa dalam mimpi sampean terus-menerus sebut nama Mawar dan Mbah Karso?" telisik Sulastri."Ah ... mungkin karena teror belakangan ini. Bapak jadi kebawa-bawa mimpi, Bu. Sudahlah, ambilkan Bapak air, haus." Pak Karmo memerintah.Sulastri mengangguk, dia bergegas melangkah menuju dapur. Sementara Pak Karmo, memilih menunggu sambil menyandarkan punggungnya di sandaran dipan. Lagi, dia memandangi kedua tangannya. Tangan yang dia gunakan untuk mendorong Mbah Karso temui ajal.Dia terlalu sibuk dengan pikirannya. Pak Karmo tak sadar, bahwa di balik jendela yang terbuka ada sepasang mata yang menat
"Pak ... Duh Gusti, kenapa ini?" seru Sulastri panik saat mendapati suaminya terkapar tak sadarkan diri."Ayo bangun toh, Pak! duh, jangan-jangan darah tingginya kumat, piye iki (bagaimana ini)?" imbuhnya lagi. Dengan tubuh kurusnya, dia sekuat tenaga menarik Pak Karmo ke atas tikar pandan di ruang tengah. Sebuah bantal kapuk usang nan keras dia sanggakan di kepalanya. Dengan telaten, dia mengusapkan minyak angin, berharap suaminya lekas sadar."Cepat bangun toh, Pak. Sampean bikin aku khawatir saja," cicitnya dengan raut wajah khawatir. Meskipun pernikahan ini bukan didasari cinta, namun kebersamaan membuatnya terbiasa.Setengah jam berlalu, Pak Karmo belum juga sadar. Sulastri mulai panik. Namun tak lama kemudian, Pak Karmo membuka mata. Kedua matanya terbelalak. Mulutnya terbuka seolah ingin katakan sesuatu namun tak bisa."Pak ... sa-sampean kenapa?" tanya Sulastri terbata-bata."Ak ... kh ... khh ...," "Ngomonglah, Pak. Jangan buat aku takut," seru Sulastri terisak.Pak Karmo m
Puas berendam, Kartasakti menyudahi mandinya. Dia segera memakai kembali pakaiannya. Kemudian, dia memutuskan untuk berjalan kembali menuju padepokan."Itu dia, Tuan Guru! dia menyerangku setelah latihan. Mungkin dia ndak terima setelah aku kalahkan," lapor Mursidi sambil menunjuk-nunjuk."Kartasakti!?" tegas gurunya itu.Kartasakti melangkah mendekat. Langkah kakinya lebar-lebar. Dia berpikir kali ini dia harus melakukan pembelaan diri."Tapi Guru, dia dulu yang memulai! Mursidi menghina Bapak, dia juga bilang saya murid yang gagal dan memalukan! hati saya sakit, Guru. Saya ndak bisa menerima penghinaan ini," belanya."Apa benar begitu? yang lain, jawab!" titah Tuan Guru Birawa.Pria berusia 57 tahun itu menatap satu-persatu muridnya. Dia seolah menunggu sebuah jawaban. "Jawab!" titahnya lagi membuat 40 orang muridnya tersentak."Saya ndak suka di dalam padepokan ini ada keributan, ada permusuhan. Kalian ini saudara satu guru. Ndak ada murid yang gagal, yang ada cuma murid yang cepat
Kartasakti meneguk saliva dengan kasar. Tangan kanannya terjulur. Dia seperti terhipnotis untuk mengambil benda itu.Tap tap tapSuara langkah kaki terdengar mendekat. Namun, Kartasakti tak menyadarinya. Beberapa saat kemudian, Guru Birawa mendorong pintu ruang rahasia itu.Drrrrkkkk. Pintu berderak, Kartasakti terhenyak. "Apa sudah selesai bersih-bersihnya, Le?" tanya Sang Guru.Kartasakti refleks menyingkir dari sana. Dia tampak gelagapan dan gugup. "Ah, su-sudah, Guru ... sa-saya pamit kembali ke kamar dulu," pamitnya."Monggo, kembalilah. Ini memang sudah malam. Terima kasih sudah membantu yo, Le." Guru Birawa menyahut sambil membukakan pintu."Sami-sami. Monggo,""Hah ... sepertinya aku terlalu khawatir. Kartasakti ndak mungkin mencuri barang-barang semacam ini. Lagipula untuk apa? dia akan bertambah kuat dengan usahanya sendiri," gumam Guru Birawa sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan itu juga."Ha! sepertinya kau akan kecewa kali ini manusia! murid kesayanganmu itu terli
"Cah g3ndeng! wis dibilangin ojo asal celap-celup sana sini! Barangmu kok yo jadi biang masalah terus sih, Santo!?" tanya Eyang Putri naik pitam.Wanita renta itu menjitak kepala Santo. Dia sudah benar-benar tak paham lagi dengan Cucu satu-satunya itu. Bisa-bisanya dia bersengg4ma dengan setan. Tak masuk akal!"Eyang kok tega marahin Santo yang lagi sakit begini?" protes Santo."Mbuh! memang koe ini biang masalah! kalau koe bukan Cucuku, wis kubuang ke laut koe, To!" geram Eyang Putri."Sabar, Mbok ... sabar." Sunandar tampak berusaha menenangkan.Tok Tok Tok! pintu depan diketuk. Eyang Putri bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar. Ternyata, Slamet sudah berdiri disana dengan keringat menghiasi kening."Lho, Bagyo dimana?" tanya Eyang Putri."Ngapunten, Eyang. Ban mobil Pak Bagyo kempes, jadi ndak bisa bawa Santo ke kota. Pak Bagyo juga lagi kurang sehat," jelas Slamet.Eyang Putri mengangguk tanda mengerti. Slamet pamit undur diri. Setelah itu Eyang Putri kembali ke kamar Santoso.
"Arkghhhh, Eyang!" jerit Santo dari luar. Eyang Putri terjingkat kaget. Dia segera bangun dari tidurnya. Wanita renta itu berjalan tergopoh-gopoh keluar dari kamar. Suara teriakan Santo masih terdengar nyaring membuat Eyang Putri kalang kabut."Dimana koe, Santo!?" panggil Eyang Putri."Ada apa, Mbok?" tanya Sunandar yang kini juga berdiri di ambang pintu kamarnya."Ndak tau, Ndar. Tapi kedengarannya Santo teriak-teriak. Ini Mbok mau cek dulu," sahut Eyang Putri."Suaranya dari belakang sana, sepertinya dari arah sumur. Biar Nandar temani periksa keadaan, Mbok." Sunandar berjalan dengan langkah perlahan. Pria itu segera keluar ke belakang rumah bersama Eyang Putri. Keduanya kaget saat mendapati Santo dalam keadaan telanjang bulat di depan kamar mandi sana."Santo, kenapa koe teriak-teriak seperti orang kesetanan!? bikin kaget saja, ono opo!?" sentak Eyang Putri."Kenapa juga koe tel*njang bulat begini tengah malam?" timpal Sunandar."A-anuku ... anuku sakit sekali, Pak Lek," erang S
Ctarrrr!Suara gemuruh petir terdengar menggelegar. Lagi dan lagi, hujan turun mengguyur Desa Ledokombo. Tak ada yang bisa pergi kemana-mana sejak menjelang siang tadi.Santo tergagap, dia sedang asyik tidur saat petir menyambar begitu keras. Jantungnya berdegup kencang. Dia menoleh ke arah jendela yang terbuka, air hujan masuk sebagian ke kamar sebab terbawa angin."Ah, jadi basah!" gerutunya. Dia bangun lalu berjalan tertatih ke arah jendela. Tangannya terulur berniat menutupnya. Namun gerakannya terhenti, dia melihat Melati berdiri di tengah hujan lebat tak jauh dari sana."Melati?" gumam Santoso.Dia mengucek matanya. Namun saat membuka mata, Melati sudah lenyap entah kemana. Santoso menghela napas panjang."Mungkin aku harus tanyakan keadaan Melati ke orang-orang, semoga dia ndak kena imbas teror," lirihnya sambil menutup jendela.Hari sudah sore jelang Maghrib, tapi tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Langit begitu gelap, suara kodok terdengar bersahut-sahutan. Udara menja
Sreeeettt ... Selimut Bu Jamila ditarik perlahan. Kuku-kuku runcing terasa membelai dan sedikit menekan betisnya. Bu Jamila menahan napas, tubuhnya menegang.Bulir-bulir keringat dingin mulai menghiasi keningnya. Udara terasa dingin dan panas secara bersamaan. Beberapa saat kemudian, sosok Mawar tampak merangkak naik ke atas tempat tidur.Lehernya bergerak patah-patah ke kanan dan ke kiri. Mawar menyeringai lebar hingga sudut bibirnya robek menyentuh telinga. Jantung Bu Jamila sudah seakan hampir meledak."Pak ...," panggil Bu Jamila. Siapa yang mendengar? suaranya tak lebih dari sebuah gumaman saja. Mawar terkikik melihat wajah ketakutan wanita itu. Dia mendekatkan wajahnya."Perkenalkan teman hantuku, Bu Dhe ...," bisiknya terdengar mengerikan."Dimana sopan santunmu? berikan salam perkenalan padanya!" titah Mawar masih sambil menyeringai.Bu Jamila tak bisa bergerak. Namun dari ekor matanya dia bisa melihat sosok itu melayang dalam posisi telungkup. Dia maju, memposisikan wajah bu
Jenazah para korban semalam termasuk Markus sudah dimakamkan bersamaan. Langit mendung, nampaknya siang ini akan turun hujan begitu deras. Pak Bagyo yang baru datang dari rumah sakit dan mendengar kabar tak mengenakkan dari warganya.Mendadak, Pak Bagyo merasa menyesal karena pulang. Saat itu juga, dia langsung berkemas. Dia bersiap mengajak keluarganya pergi ke rumah kerabatnya di luar kota sana."Ndak bisa! kita harus segera pergi dari desa terkutuk ini!" ujar Kardi yang baru saja pulang dari pemakaman."Tapi nang ndi, Lek? (mau kemana?)" tanya Indana."Kemana saja, ndak apa meski harus jadi gelandangan asalkan jantung dan nyawa aman! disini ini wis benar-benar ndak aman, bahaya!" Kardi menyahut dengan raut muka serius."Lihat sendiri gimana mereka kesurupan sampai bakar diri? belum lagi soal Markus yang tangannya putus terus ujungnya mati gosong. Hiiy, serem banget!" bisik Mbak Yati sambil mengusap tengkuknya.Bu Mai yang sejak tadi diam ikut menimpali. "Iyo, Mawar benar-benar mena
Di tengah kepanikan dan suasana ricuh, Markus menyeret tubuhnya dengan satu tangan. Dia tak peduli meski kaosnya kotor dengan darah bercampur tanah. Dia hanya ingin menyelamatkan diri.Deg deg deg deg!Suara detak jantung Markus begitu kencang. Dia bahkan bisa mendengarnya dengan jelas. Rasa remuk dan nyeri yang merajai diri tak dia pedulikan kali ini. Markus belum ingin mati sekarang."Datanglah kalian semua! Disini ada pesta, ramaikanlah! hhahaha!" Nyai Larapati dengan wajah mode seramnya tersenyum jahat. Urat-urat halus kebiruan menyembul jelas di wajahnya. Berbagai sosok lelembut dengan rupa menyeramkan satu persatu muncul dalam gelap. Suara tangis, tawa, geraman berbaur jadi satu. Suasana kian mencekam saja, di antara banyaknya orang kesurupan, mereka yang masih sadar memilih kabur."Mau kemana kau?" desis Mawar yang ternyata sudah berdiri angkuh menghadang tepat di depan Markus."A-aku ... ampun, Mawar! biarkan aku hidup, aku menyesal ... aku ndak berniat menghabisimu, malam it
"Ngik! Ngik! Uhuk uhuk! opo iki!? aduh, dadaku kok sesak yo!?" Mamat tampak terbatuk-batuk sambil memukul-mukul dadanya."Uhuk uhuk! asap opo iki?" tanya Astri."Ndak tau! argh sesak!" sahut Mamat.Perempuan 28 tahun itu turun dari amben dengan gemetar. Kekurangan oksigen membuatnya melemas. Dia amati sekeliling kamar yang dipenuhi kabut merah. "Ini bukan asap, Mas! Ini kabut merah! Ah, coba sampean cek Ragil di kamarnya, Mas!" pinta Astri pada suaminya.Mamat berjalan dengan gontai menuju kamar belakang. Di kamar itu Ragil, bocah 9 tahun itu lelap sendirian. Mamat terhenyak melihat Ragil sudah tergeletak di bawah. Wajahnya pucat, napasnya pelan."Gusti! Ragil, Nak!!" panggil Mamat panik. Lelaki 33 tahun itu menghambur masuk. Dia raih putranya ke dalam gendongannya. Dia paksa kakinya yang lemas untuk melangkah keluar."Dek! Ragil ndak sadar! ayo keluar, kita cari bantuan!" teriak Mamat dari ambang pintu.Astri yang terkejut bergegas menyusul suaminya keluar. Namun langkahnya terhent
Kertawani menggeliat pelan di atas amben panjang. Suara ramai membuatnya terjaga. Rupanya tempat yang dia pilih untuk melepas penat semalam adalah sebuah pasar tradisional."Sudah tau ndak ... kabarnya di desa Ledok lagi geger! dukun muda sing terkenal sakti mandraguna itu dibantai," ujar seseibu bernama Sri memulai gosip pagi."Ah sing bener, Sri? aku ndak tau tuh," tanya Inah."Lho beneran, bojoku kan semalam kesana nengokin Pak Leknya yang sakit keras. Ternyata sakitnya itu juga katanya karena ulah si dukun yang nyari tumbal," sahut Sri meyakinkan."Maksudmu piye? tumbalnya ambil dari warga desa Ledok begitu?" Painem, si pedagang kembang ikut bertanya."Ho'oh, kabarnya sih begitu. Makanya, dia dan istrinya benar-benar disiksa habis-habisan semalam. Babak belur karena dipukuli, dicambuk juga." Sri memberi keterangan."Terus piye?" tanya Sutija penasaran."Kata suamiku, terakhir Ki Kartasakti dan Istrinya itu, uhm ...," ujar Sri tagu."Kenapa? Ono opo?" desak Inah tak sabaran."Ki Ka
Bertahun-tahun berlalu, Kertawani tumbuh dengan baik di bawah pengasuhan Maryati. Sementara Kartasakti terlalu sibuk, semakin hari tamunya semakin banyak saja. Dia sudah sukses jadi dukun muda terkuat di desa.Dia disenangi oleh sesama hamba dunia, pecinta harta dan tahta. Namun, orang-orang desa justru merasa terancam pada akhirnya. Sebab, belakangan ini banyak sekali orang yang mati mendadak.Mereka semua khawatir, ini adalah ulah Kartasakti yang mencari tumbal. Terlebih lagi, sudah beberapa orang yang memberi kesaksian tentang wanita bermata merah yang menampakkan diri di depan rumah calon korban di malam hari.Keadaan desa di malam hari juga tak kalah aneh. Sudah beberapa bulan ini, desa selalu diselimuti kabut merah. Penyakit batuk parah hingga muntah darah sudah menyebar luas di desa. Anehnya orang yang sakit hanya akan sembuh jika berobat ke Kartasakti. Mereka jadi berpikir ini memang ulahnya."Kang, apa sampean sibuk?" tanya Maryati malam itu. Kartasakti yang sedang membelai b