Bu Jamila berjalan tergesa-gesa. Saking inginnya dia cepat sampai, wanita itu sampai mengambil jalan pintas. Dia ingin mengakhiri semuanya. Semua teror yang nyaris membuatnya gila.Sesekali wanita itu mengelap jejak keringatnya. Napasnya sedikit tersengal-sengal. Perjalanan ini entah kenapa terasa jauh dan melelahkan."Aku harus cepat sampai. Ndak ada jaminan dia nggak muncul di siang bolong begini. Aku musti tetap waspada," batinnya sambil menatap awas ke segala penjuru.Setelah beberapa saat berjalan, halaman rumah Eyang Putri terlihat. Bu Jamila tersenyum simpul dengan perasaan lega. Dia mengayun langkahnya lebih cepat."Pe-permisi," serunya saat melihat lelaki asing yang duduk di teras sambil menyeruput kopi."Oh ada tamu! pasti nyari Si Mbok yo?" tanyanya.Bu Jamila mengangguk. "Nggih, saya ada perlu," jawabnya.Sunandar beranjak dari duduknya. Dia masuk ke dalam rumah untuk memanggilkan Eyang Putri. Tak lama, wanita yang dihormati itu muncul."Jamila? ono opo? (ada apa?)," tanya
"Huhuhu ... Hiks hiks!"Mawar menangis sambil menatap nanar bongkahan kayu runcing yang merenggut nyawanya. Dia duduk menyendiri, meratapi hidup dan matinya yang menyedihkan."Akan kubalas ..." desisnya geram."Mati ... kalian harus mati, sama sepertiku!" imbuhnya.Saat ini Mawar sedang menahan diri. Nyai Larapati sudah memberinya peringatan untuk berhati-hati. Dia bisa kembali menebar teror saat pria itu tak lagi di desa ini. Mawar belum cukup siap menghadapi Sunandar. Sementara Nyai Larapati sendiri, tak bisa selalu membersamai Mawar sebab istananya sedang dalam masalah. Istananya diserang dalam perebutan kekuasaan sesama makhluk lelembut.Mawar sibuk meratap. Dia tak tahu, orang yang paling dia cinta mungkin dalam bahaya. Hidupnya ada di ujung tanduk.***Waktu yang ditunggu telah tiba. Sesaat setelah adzan magrib berkumandang Sunandar beserta Eyang Putri melakukan sebuah ritual di balai kampung disaksikan oleh orang-orang yang hadir.Kepala kerbau dibakar. Satu kendi besar darah
Mawar menatap nyalang, terlebih pada Bu Jamila yang bersembunyi di kerumunan. Dia benar-benar marah, melihat Mbah Karso dalam keadaan yang menyedihkan. Mawar akan melawan, meski harus berhadapan dengan Sunandar dan lenyap sekalipun."Kubunuh kalian!" lengkingnya dengan suara serak berganda.Sunandar dan Eyang Putri maju, berdiri di barisan paling depan. Mereka seolah siap jadi tameng bagi para warga. Keduanya duduk bersila dengan mulut yang berkomat-kamit."Pinjamkan aku kekuatan," lirih Sunandar.Mawar geram, tak sabar menunggu, dia memadatkan wujud dan terbang mendekat. Niatnya menerjang Sunandar dan memberinya luka fatal."Akhh!!" orang-orang berteriak ketakutan.Sunandar membuka mata, tepat saat jarak Mawar hanya tinggal beberapa jengkal saja. Gerakan Mawar terhenti, seolah ada sesuatu yang menahannya. Bola mata merah itu menatap sekeliling, dia tampak makin murka."Haaaaahhhh!" teriaknya."Kenapa? ndak bisa bergerak? koe itu wis terlalu meremehkan aku. Koe pikir cuma Mbah sialanm
"Bagaimana ini, Mbok? rantai ghaibnya sudah terlepas. Ikatan sampean juga wis terpatahkan. Dua makhluk di depan sana ... mereka sama-sama kuat dan ...," ujar Sunandar terjeda."Dan opo, Ndar?" tanya Eyang Putri."Dua-duanya memiliki nafsu ingin membunuh yang tinggi, Mbok. Tidakkah si Mbok merasakannya juga?""Iyo, aku paham. Sekarang piye?" "Kita lawan semampunya, Mbok."Suara kerincing dan tapak kaki kuda terdengar dari kejauhan. Kabut kemerahan muncul entah dari mana. Begitu pekat dan dingin.Eyang Putri berucap lirih, "tidak ... jangan sekarang." Wajahnya semakin pucat masai. Dulu, saat dia masih muda dan bernyali besar, mungkin dia berani hadapi apapun. Namun sekarang berbeda. Tubuhnya sudah renta. Kemampuannya sudah jauh menurun.Meski ada Sunandar, tapi ia tak yakin keponakannya itu bisa melawan Sang Nyai Larapati. Dia bukanlah Jarmoko yang sakti mandraguna. Meski tak bisa dipungkiri darahnya mengalir di dirinya.Kletak ... Kletuk ... Kletak ... Kletuk ...Cring Cring Cring!S
Mawar berhenti sejenak, kakinya memijak dahan pohon tertinggi. Melihat itu, Mariana turut berhenti."Kenapa ...? kenapa membantuku?" tanya Mawar.Mariana menatap lurus. Dua sosok dengan nasib serupa itu berdiri saling berhadapan. Mata Mariana yang semula menatap nyalang mendadak sendu."Tak bisakah kau melihatnya?" tanya Mariana."Melihat apa?" Mawar tampak tak mengerti."Masa laluku. Aku langsung bisa melihat masa lalumu saat kita saling pandang,""Aku tidak ... entahlah, aku cuma lihat gadis ayu yang diculik dan di ...""Itu aku," jelas Mariana dengan tatapan menerawang. "Kau pasti tak mengenalinya karena penampilan burukku," imbuhnya.Mariana mengubah tampilannya. Sosok yang semula tampak menyeramkan dengan mata hitam, wajah retak-retak dan leher patah kini telah berubah. Mariana menjelma menjadi sosok gadis jelita bermayang panjang. Kulitnya putih bersih dan rambutnya tergerai indah."Kau benar-benar gadis itu ... tapi sayang aku tak paham jalan ceritamu. Yang ku lihat cuma serupa
"Hei, apa ini sudah cukup?" tanya Mariana kepada Mawar. Mawar diam saja, hanya menatap datar."Aku rasa belum, baiklah ayo lakukan lagi," imbuh Mariana."Ma-mau apa lagi koe? akh!!" tanya Diki sembari menahan sakit di organ vitalnya. Belati kecil itu masih menancap disana. Tepat di pangkal miliknya."Bermain-main. Aku masih cukup baik karena tak langsung memotongnya," desis Mariana. Mariana menyeret tubuh Diki, mendekat ke pohon dimana Mawar sedang duduk menunggu. Mariana menarik Diki hingga dia terduduk. Mariana mengitari tubuh Diki dan berhenti tepat di belakangnya.Sepasang tangan pucat berkuku runcing itu mengelus pelan bagian pundak hingga leher Diki. Diki menangis gemetaran antara menahan rasa sakit dan juga takut mati. Mulutnya tak henti-hentinya menggumamkan kata ampun."Lihat dia," tunjuknya ke arah Mawar. "Tidakkah kau merasa bersalah telah menghabisi satu nyawa tak bersalah?" tanyanya lagi."Apa bedanya denganmu, Setan!? koe juga berniat menghabisiku kan!? Hik hiks," umpat
"Pak ... tulung bantu buatkan makam untuk Mbah Karso. Kasihan, ndak ada yang membantu mengurus jenazahnya. Selama ini, kita sama sekali ndak punya masalah dengan keluarganya toh?" pinta Romlah."Nggih, Nduk. Sehabis sarapan Bapak kesana. Kasihan, semasa hidup dia orang yang baik. Keadaan yang membuatnya salah langkah. Warga desa memang sudah berbuat hal-hal yang sangat keterlaluan. Wajar saja toh kalau Mbah Karso sakit hati," sahut Pak Rofik."Ya wis. Ini sarapannya wis siap, Pak. Sampean makan saja dulu. Aku masih mau mandikan Bayu," ujarnya.Pak Rofik segera melahap nasi berlauk kulupan dan tumis demis itu dengan lahap. Setelah selesai dia segera pamit untuk pergi ke rumah Mbah Karso. Tak lupa dia membawa sebuah cangkul dari rumahnya."Bapak budal (berangkat), Nduk!" pamitnya.***Tok Tok TokKrieeeet ... Pintu rumah gubuk Mbah Karso terbuka perlahan. Melati berdiri di baliknya dengan wajah berselimut duka dan mata yang sembab. Melihat Pak Rofik, dia tampak sedikit terkejut, ternyat
Brugh!"Eyang Putri! Panjenengan (sampean) ndak apa-apa kan?" tanya seorang warga yang panik saat melihat Eyang Putri jatuh bersimpuh. Warga bergegas membantu wanita renta itu berdiri. Rasa sakit dan panas di pinggangnya tsk dia pedulikan. Dia hanya ingin memastikan keadaan Sunandar."Dimana ... dimana kalian temukan dia?" tanya Eyang Putri dengan suara bergetar."Di dekat sawah, Eyang. Sepertinya dia mau pulang kesini tapi keburu ndak sadar duluan,""Gimana kondisinya!?" Tanya Eyang Putri sekali lagi."Sepertinya dia terlalu banyak mengeluarkan darah, Eyang. Apa perlu kita minta bantuan Pak Bagyo buat bawa Pak Nandar ke rumah sakit di kota?" tanyanwarga."Kami setuju, Eyang. Kami takut Pak Nandar ini kehabisan darah dan ... ""Hush! ndak perlu diteruske! wis saya pamit mau panggil Pak Bagyo dulu,"Eyang Putri hanya bisa menatap wajah pucat Sunandar. Untuk pertama kalinya ketakutan merajainya. Dia merasa tak berdaya."Aku mau siap-siap dan panggil Santo. Kalian tolong rebahkan Sunanda