Tok Tok Tok"Permisi," ujar Melati yang berdiri kaku di deoan pintu."Siapa itu, Yu?" tanya Bu Yayuk."Ini Melati namanya. Dia kerabat jauhnya Mbah Karso. Datang kesini karena Mbah Karso lagi sendirian dan dalam kondisi ndak sehat," sahut Mbok Asih yang ternyata datang bersamanya."Permisi, salam kenal," ujar Melati sopan. "Ayu banget," gumam mereka yang hadir. Hampir semua mata terpikat akan kecantikannya. Mereka semua menatap kagum, kecuali Eyang Putri dan Bu Jamila."Rasanya wajah itu ndak asing. Dimana aku pernah melihatnya yo?" batin Eyang Putri."Wajahnya ... sepertinya aku pernah lihat," celetuk Bu Jamila."Kita memang pernah ketemu beberapa hari yang lalu, Bu. Sampean mungkin sudah lupa," jawab Melati masih sambil membingkai senyum manis."Apa dia mengenali wajah ini?" batin Mawar."Jangan khawatir, si tua bangka ini pasti sudah pikun. Energiku juga sudah kutekan, dia tak akan bisa merasakan kehadiranku," sahut Nyai Larapati. Lucu dan terkesan aneh. Dua entitas saling berbic
"Set-setan! aaakh!!" Jhoni menjerit tak karuan.Dia mundur, lalu berniat berlari keluar dari gubuk. Tapi sialnya, Mawar tak akan dengan mudah membiarkannya pergi. Saat Jhoni hendak berlari, Mawar dengan cepat memegangi pergelangan kakinya hingga dia jatuh tersungkur mencium tanah.Brugh! "Mau kemana, Kang? katanya mau ... bersenang-senang? hihihi!" tanya mawar setengah meledek."Pergi kamu, Setan! pergi!" usirnya dengan nada ketakutan."Katanya ndak takut ... kok mengompol toh, Kang?" cibir Mawar sambil merangkak mendekat.Jhoni menarik dirinya mundur, mencari tempat aman untuk bersembunyi. Dia berlari secepat yang dia bisa, namun perasaan ringan membuatnya berkali-kali tersandung dan terjatuh. Efek minuman keras belum sepenuhnya hilang, dia masih setengah mabuk. Langkahnya gontai, keseimbangan tubuhnya tak stabil.Dia menemukan semak yang lumayan tinggi. Dia segera bersembunyi di baliknya. Hatinya berharap Mawar tak bisa menemukan dirinya. Namun sial, harapannya pupus saat aroma any
Sebuah mobil berhenti di depan rumah yang berhalaman luas itu. Tak lama, Eyang Putri dan Bagyo keluar dari dalamnya. Bagyo tampak celingukan, aura rumah itu benar-benar berbeda."Rumah siapa ini, Eyang?" tanya Bagyo."Ndak usah banyak tanya. Tugasmu cuma mengantarkan aku, Bagyo!" Eyang Putri menyahut dengan ketus.Tok tok tokEyang Putri mengetuk pintu beberapa kali. Tak lama kemudian pintu terbuka lebar. Seorang pria berbaju hitam tampak terkejut melihat siapa yang bertamu."Mbok ... sampean datang kemari jauh-jauh, ada apa?" tanya Sunandar.Pria itu menyambut Eyang Putri dengan tanya. Bukannya berniat tak sopan, tapi Eyang Putri yang datang jauh-jauh begini pasti membawa kabar. Sunandar khawatir itu kabar buruk."Sopanlah sedikit, Nandar. Koe ndak mau menyuruhku masuk? aku wis datang jauh-jauh kesini," sinis Eyang Putri."Ah, ngapunten (maaf) ... Monggo masuk dulu, Mbok." Pria itu mempersilahkan.Eyang Putri melangkah masuk. Pasang mata tuanya memindai sekitar. Sedangkan Bagyo menge
Hening dan sepi, hanya semilir angin terdengar meniup dedaunan. Suasana desa saat malam tak ubahnya laksana desa mati. Tak ada lagi kegiatan pos kamling. Teror Mawar benar-benar membawa ketakutan yang mendalam."Sepi sekali," batin Sunandar. Dia berjalan sendiri tanpa takut. Hal berbau ghaib sudah biasa dia temui. Dia bukanlah orang yang sembarangan.Whushh ...Sekelebat bayangan merah melintas di atasnya. Bukannya lari, Sunandar malah mengejarnya. Dia benar-benar yakin, sosok barusan adalah yang harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi di desa."Hihihi ... aahahahhaha!" Mawar tertawa terkikik sambil terus melayang bebas."Apa yang koe tertawakan, Bocah? nasibmu yang suram, atau ... cara matimu yang mengenaskan? Hmmmm, aku pikir seharusnya koe menangis saja," seru Sunandar membuat Mawar terdiam.Mendengar ucapan itu Mawar melayang turun, berdiri terpaku dengan posisi membelakangi. Pandangannya menerawang dan kosong. Dia berbalik, satu tangannya terangkat menunjuk Sunandar."Sopo
Bu Jamila berjalan tergesa-gesa. Saking inginnya dia cepat sampai, wanita itu sampai mengambil jalan pintas. Dia ingin mengakhiri semuanya. Semua teror yang nyaris membuatnya gila.Sesekali wanita itu mengelap jejak keringatnya. Napasnya sedikit tersengal-sengal. Perjalanan ini entah kenapa terasa jauh dan melelahkan."Aku harus cepat sampai. Ndak ada jaminan dia nggak muncul di siang bolong begini. Aku musti tetap waspada," batinnya sambil menatap awas ke segala penjuru.Setelah beberapa saat berjalan, halaman rumah Eyang Putri terlihat. Bu Jamila tersenyum simpul dengan perasaan lega. Dia mengayun langkahnya lebih cepat."Pe-permisi," serunya saat melihat lelaki asing yang duduk di teras sambil menyeruput kopi."Oh ada tamu! pasti nyari Si Mbok yo?" tanyanya.Bu Jamila mengangguk. "Nggih, saya ada perlu," jawabnya.Sunandar beranjak dari duduknya. Dia masuk ke dalam rumah untuk memanggilkan Eyang Putri. Tak lama, wanita yang dihormati itu muncul."Jamila? ono opo? (ada apa?)," tanya
"Huhuhu ... Hiks hiks!"Mawar menangis sambil menatap nanar bongkahan kayu runcing yang merenggut nyawanya. Dia duduk menyendiri, meratapi hidup dan matinya yang menyedihkan."Akan kubalas ..." desisnya geram."Mati ... kalian harus mati, sama sepertiku!" imbuhnya.Saat ini Mawar sedang menahan diri. Nyai Larapati sudah memberinya peringatan untuk berhati-hati. Dia bisa kembali menebar teror saat pria itu tak lagi di desa ini. Mawar belum cukup siap menghadapi Sunandar. Sementara Nyai Larapati sendiri, tak bisa selalu membersamai Mawar sebab istananya sedang dalam masalah. Istananya diserang dalam perebutan kekuasaan sesama makhluk lelembut.Mawar sibuk meratap. Dia tak tahu, orang yang paling dia cinta mungkin dalam bahaya. Hidupnya ada di ujung tanduk.***Waktu yang ditunggu telah tiba. Sesaat setelah adzan magrib berkumandang Sunandar beserta Eyang Putri melakukan sebuah ritual di balai kampung disaksikan oleh orang-orang yang hadir.Kepala kerbau dibakar. Satu kendi besar darah
Mawar menatap nyalang, terlebih pada Bu Jamila yang bersembunyi di kerumunan. Dia benar-benar marah, melihat Mbah Karso dalam keadaan yang menyedihkan. Mawar akan melawan, meski harus berhadapan dengan Sunandar dan lenyap sekalipun."Kubunuh kalian!" lengkingnya dengan suara serak berganda.Sunandar dan Eyang Putri maju, berdiri di barisan paling depan. Mereka seolah siap jadi tameng bagi para warga. Keduanya duduk bersila dengan mulut yang berkomat-kamit."Pinjamkan aku kekuatan," lirih Sunandar.Mawar geram, tak sabar menunggu, dia memadatkan wujud dan terbang mendekat. Niatnya menerjang Sunandar dan memberinya luka fatal."Akhh!!" orang-orang berteriak ketakutan.Sunandar membuka mata, tepat saat jarak Mawar hanya tinggal beberapa jengkal saja. Gerakan Mawar terhenti, seolah ada sesuatu yang menahannya. Bola mata merah itu menatap sekeliling, dia tampak makin murka."Haaaaahhhh!" teriaknya."Kenapa? ndak bisa bergerak? koe itu wis terlalu meremehkan aku. Koe pikir cuma Mbah sialanm
"Bagaimana ini, Mbok? rantai ghaibnya sudah terlepas. Ikatan sampean juga wis terpatahkan. Dua makhluk di depan sana ... mereka sama-sama kuat dan ...," ujar Sunandar terjeda."Dan opo, Ndar?" tanya Eyang Putri."Dua-duanya memiliki nafsu ingin membunuh yang tinggi, Mbok. Tidakkah si Mbok merasakannya juga?""Iyo, aku paham. Sekarang piye?" "Kita lawan semampunya, Mbok."Suara kerincing dan tapak kaki kuda terdengar dari kejauhan. Kabut kemerahan muncul entah dari mana. Begitu pekat dan dingin.Eyang Putri berucap lirih, "tidak ... jangan sekarang." Wajahnya semakin pucat masai. Dulu, saat dia masih muda dan bernyali besar, mungkin dia berani hadapi apapun. Namun sekarang berbeda. Tubuhnya sudah renta. Kemampuannya sudah jauh menurun.Meski ada Sunandar, tapi ia tak yakin keponakannya itu bisa melawan Sang Nyai Larapati. Dia bukanlah Jarmoko yang sakti mandraguna. Meski tak bisa dipungkiri darahnya mengalir di dirinya.Kletak ... Kletuk ... Kletak ... Kletuk ...Cring Cring Cring!S