Mbah Karso membuka mata, kala merasakan sengatan di kulitnya yang keriput. Benar, mentari telah meninggi, sinarnya terasa menyengat dan membakar kulit. Setelah malam yang begitu melelahkan, tanpa terasa Mbah Karso ketiduran di atas gundukan tanah makam cucunya.
"Ngapain disitu, Mbah? Anak itu ndak akan hidup lagi, wis percuma di tangisi! Mending pulang dan lanjut tidur," seru seorang wanita yang tampaknya akan pergi ke sawah mengantarkan kiriman nasi. Mbah Karso memilih diam, tak tertarik untuk sekedar menyahuti."Hah, sampean kok malah nangis sendirian? wis bagus dia mati, jadi warga desa ini bisa hidup dengan tentram, tanpa perlu takut ratu iblis itu bangkit melalui tubuh Mawar!" imbuh Bu Jamila tanpa peduli perasaan."Putuku bukan binatang! Seenaknya lambemu (mulutmu) ngomong mati! Aku ngerti, sampean benci Mawar, tapi ndak adakah sedikit saja simpati sampean buat dia yang sudah menyatu dengan tanah? Atau mungkin hati sampean memang wis mati?" umpat Mbah Karso dengan geramnya."Cih!!" Bu Jamila berdecih lantas melenggang pergi begitu saja tanpa ada rasa bersalah."Wadon (perempuan) kurang ajar!" Umpat Mbah Karso.***"Sudah dengar soal dia belum? kabarnya dia sudah mati," bisik-bisik mulai terdengar dari Ibu-ibu muda yang sedang menggerombol di depan rumah. Mereka asyik membicarakan orang lain sambil memanen telur kutu."Anak iblis itu to? aku wis dengar kabarnya dari Tuminah, istrinya si Kardi. Katanya, semalam Mbah Karso gedor-gedor rumahnya, minta Kardi buatin makamnya Mawar," ujar Mbak Yati, wanita bergincu tebal dengan rambut megarnya."Terus piye? Kardi mau ndak?" tanya Bu Tini"Edan! Yo ndak mau lah! Siapa juga yang berani berurusan sama gadis itu, hiiyy!" sahut Mbak Yati."Lah terus siapa yang menggali makam?" tanya Indana."Tentu Mbah Karso sendiri. Tadi di belakang rumahnya, ada gundukan tanah merah. Mbah Karso ketiduran disana," sahut Mbak Yati lagi."Kasihan, yo?" desah Indana."Alah, ngapain kasian? Lebih kasian kita kalau paceklik ini ndak segera berakhir. Ingat, kata Eyang Putri, paceklik ini cuma sebagian kecil dari bala yang bisa dikirimkan si Ratu Iblis. Lah sedangkan kita sendiri tau toh, si Nyai menghilang tepat setelah Ki Kartasakti terbunuh!Nyai ndak bakal bisa kirim bala lagi, kecuali ada seorang yang menghubungkan dia dengan desa ini. Aku yakin, si Mawar itu orangnya. Secara, matanya saja sama merahnya, iyo ndak?" celetuk Bu Mai, wanita yang usianya paling tua di antara mereka."Omong-omong soal Ki Kartasakti, kata si Mbahku, dulu dia punya anak kecil toh? Tapi anaknya itu menghilang dari rumah di hari pembantaian si Dukun bejat itu! untung dia ndak disini, bisa bahaya toh kalau dia meneruskan ajaran sesat Bapaknya," sambung Bu Tini."Eh, Yu Kasih! Anak sampean sering gangguin dia to? Hati-hati lho, semoga si Mawar ndak jadi demit!""Hushhh! ndak boleh asal ngomong begitu, kalau jadi demit beneran piye? Desa ini baru saja merasa tentram karena dia mati, masa mau dibikin sengsara lagi?" Orang yang memilik nama Kasih itu mencebik."Aku yakin, paceklik berkepanjangan ini juga karena ulahnya. Haduh, satu kampung ketiban sial! Padahal kan, dari dulu desa kita makmur yo, Yu? tapi sejak kelahiran Mawar, semuanya berubah, ada aja masalah baru," ujar Bu Mai."Beruntung, Eyang Putri dan petinggi desa cepat ambil tindakan!" seru Yu Kasih, perempuan yang suaminya bekerja di salah satu rumah petinggi desa sebagai tukang kebun."Maksud sampean opo?" tanya Mbak Yati."Ah, aku pulang dulu yo? aku dengar kabar kalau Pramono meninggal ulah si Mawar, jadi mau siap-siap melayat! Monggo," Yu Kasih berjalan tergesa-gesa melewati jalan setapak yang kanan kirinya ditumbuhi tanaman putri malu."Pramono? anak angkate Mbok Jumi?" tanya Mbak Yati."Iyo, kata Yu Kasih meninggal karena ulah Mawar? Aku kok ndak paham maksudnya toh? Mawar kan juga wis ndak ada," sahut Indana."Omong-omong, Mawar meninggal kenapa to? kayake kemarin sehat-sehat saja! Apa ini ada kaitannya sama kematian Pramono?" gumam Mbak Yati lagi."Mana aku tau, aku yo ora peduli! Wis ayo siap-siap melayat! Aku mau ambil beras dulu," ujar Bu Tini.Para Ibu-ibu itu bubar dan pulang ke rumah masing-masing setelah berjanjian akan bertemu di pos ronda sepuluh menit lagi. Mereka akan ke rumah Pramono bersama-sama.***"Nduk, nyatane benar ndak ada yang peduli sama kematian sampean. Apa cuma Si Mbah yang merasakan duka ini? Lihatlah dan dengarkan, Nduk. Mereka tertawa suka cita, menjadikan kematian sampean jadi bahan olokan. Mereka berbahagia, seolah kepergian sampean adalah hal yang mereka pinta," gumam Mbah Karso sembari mengintip dari celah lubang gedeknya.Sejak tadi, banyak orang berlalu lalang di sekitar rumah Mbah Karso dengan membawa kantung beras. Tentu Mbah Karso tau, itu akan dibawa ke rumah Pramono, bukan ke rumahnya. "Lucu sekali kan, sampean dan Pramono meninggal di malam yang sama, tapi seorangpun ndak ada yang bertandang kemari buat sekedar mengucap belasungkawanya." Mbah Karso menghela nafas panjang. "Mereka memang sudah keterlaluan, Nduk. Terlepas dari tau atau ndaknya mereka atas tragedi semalam," imbuhnya.Mbah Karso berlalu ke pawon, menggeser meja panjang yang biasa dia jadikan tempat lauk. Tangannya meraba-raba, namun dia segera menggeleng pelan."Wis tertimbun, harus digali," gumamnya. Dia berbalik, mengambil cangkul lalu mulai menggali tanah di pojokan pawonnya."Ndak bisa di pungkiri, akulah Kertawani," gumam Mbah Karso. "Maafkan si Mbah yo, Nduk. Sepertinya Mbah harus lakukan ini. Ini demi mendapatkan keadilan, sampean dihinakan mereka Nduk, Mbah ndak bisa terima!" imbuhnya lagi.Mbah Karso segera menarik sebuah kotak kayu berukuran kecil yang terkubur di dalam tanah. Dia membersihkan tanah yang menempel di atasnya, kemudian membuka penutupnya dengan sekali sentak."Syukurlah, ini ndak rusak!" ujarnya lirih. Tangannya mulai membuka lembar demi lembar buku usang itu. Mata rabunnya berusaha fokus membaca tulisan dengan aksara jawa di setiap lembarannya."Maafkan aku, Mbok! Aku ingkar janji buat ndak mengikuti jejak Bapak. Kali ini, hatiku sakit sekali, Mbok. Mereka membuat aku kehilangan, lagi..." lirihnya di iringi isak tangis. Derita lama yang kembali terkuak, menambah perih luka yang baru saja tercipta."Dimana ku simpan benda itu? sepertinya ada satu lagi yang Bapak titipkan sebelum kejadian itu. Duh Gusti, otak tuaku ini kenapa pikun sekali?"Mbah Karso berpikir keras, dia memindai ke segala arah, hingga pasang matanya terpaku di satu titik. "Kendi itu!" Serunya kemudian berjalan tergopoh-gopoh ke arah lemari tua tanpa pintu. Dia menurunkan sebuah kendi kecil yang sudah lama tak terpakai. Dia membalik kendi itu hingga sesuatu menggelinding keluar dari dalamnya."Akhirnya kutemukan juga," gumamnya dengan mata berbinar.Mbah Karso mengangkat benda bulat kecil di tangannya, memindainya dengan mata renta berlingkar hitam di bawahnya. Sinar mentari menerobos masuk dari celah gedeknya yang berlubang, membuat benda itu makin tampak berkilau karena terbias cahaya."Permata merah ini," gumamnya sembari mengenang masa lalu. Mbah Karso memejamkan matanya rapat. "Bapak, ternyata jadi orang lemah itu menyakitkan, karena kelemahanku ini, aku gagal menjaga Cucuku sendiri." Lagi, dia menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Mawar."Balaskan..." Lirih suara terdengar menyapu gendang telinga Mbah Karso. Mbah Karso celingukan mencari sumber suara yang terdengar mendayu-dayu itu."Si-siapa?" serunya parau. Mbah Karso berdiri dari jongkoknya, sesekali tangan keriput miliknya mengusap-usap tengkuk."Kau melupakan aku, Bocah?" suaranya terdengar dekat, Mbah Karso kembali memindai sekitar, namun lagi-lagi tak dia temukan siapapun. Dia hanya sendirian saja."Akulah yang membersamai Kartasakti," suara itu terdengar semakin
"Duh Gusti, semoga dia ndak menemukan aku," batin Mbah Karso. Terdengar lucu memang, dia sedang mencuri ayam tetangga, namun dia juga berdoa kepada Tuhan yang dia sekutukan agar kelakuannya tak ketahuan.Kardi mulai mendekat ke arah kandang. Pasang matanya memicing saat mendapati pintu kandang ayamnya terbuka. "Janc*k! Maling pitik! (Maling ayam!)" umpat Kardi. Dia bergegas menutup kembali pintu kandangnya, kemudian segera mengedarkan pandang ke berbagai penjuru sekitar rumahnya. Giginya bergemulatuk menahan amarah. Wajar saja, dia pecinta ayam, peliharaan ayamnya juga tergolong ayam yang langka dan mahal. Sudah pasti dia menahan geram, tak ingin kehilangan seekorpun ayam kesayangannya.Kardi berkeliling, mencari di semua sisi yang baginya tampak mencurigakan. Tempat terakhir yang akan dia periksa segera adalah kandang ayam petelur, dimana Mbah Karso bersembunyi di baliknya. Suara langkah diseret mendekat, keringat dingin membasahi kening keriput Mbah Karso.**Tes.. Tes.. Tes..**Kard
"Koe dengar suara kerincing kuda ndak?" tanya Eyang Putri, janda sepuh yang begitu dihormati di desa. Dia sedang menikmati makan malam berupa singkong rebus yang dicocol dengan sambal, saat tiba-tiba suara kerincing dan tapak kuda terdengar melewati pelataran rumahnya."Nggih, Eyang. Aku kira cuma aku yang dengar," sahut Santo, cucu semata wayang Eyang Putri."Semoga ini bukan suara kerincing kuda milik dia," gumam Eyang Putri yang seketika menghentikan makannya. Dia bangkit dari amben bambu beralaskan tiker pandan miliknya, lantas berjalan tertatih-tatih menuju jendela.Pasang mata tua dengan guratan halus terukir nyata itu memicing, kemudian hanya dalam beberapa detik saja, netranya membola. "Gawat!! Ini bencana!" Serunya dengan suara khasnya yang berat nan parau. "Ada apa Eyang? Bukankah Mawar sudah berhasil kami singkirkan? Lantas apalagi yang perlu ditakutkan?" tanya Santo pada Eyangnya."Ini bahaya yang jauh lebih besar, apa koe ndak lihat jejak aura serupa kabut merah di udara
Mentari baru saja terbit, membuat langit merona. Suasana pedesaan sangat kental, aroma kepulan asap hasil menanak nasi menyebar bercampur dengan aroma embun yang menyegarkan. Suara kokok ayam dan kicau burung terdengar bersahut-sahutan."Saaaayuuuuuuurrrrrr! Saaayuuuurrrrr!!!" Suara wlijo (bakul sayur) terdengar nyaring. Dia menjajakan sayurannya dengan sepeda onthel tua berkarat. Tak butuh waktu lama, para Ibu-ibu keluar dari rumahnya, berkumpul mengelilingi bakul sayur itu untuk sekedar berebut sayuran segar."Semalam aku ndak bisa tidur, suasana semalam entah kenapa agak lain sejak setelah waktu Isya'. Bayiku juga rewel terus, ndak tau kenapa," ujar Mina, seorang Ibu muda yang baru pindah dari desa sebelah sekitar dua hari yang lalu."Lha, koe ndak diganggu toh?" Bisik Bu Tini sambil berkali-kali mengusap tengkuk belakang yang meremang. Kening Mina mengernyit, "diganggu piye toh, Bu?" tanyanya keheranan. Para Ibu-ibu lain mendekat, lalu ikut berbisik."Sampean juga diganggu, Bu? Hih
Suara isak tangis yang terdengar bersahut-sahutan. Hingga beberapa saat kemudian, Mbah Karso kembali buka suara. "Siapa Nduk? Katakan, siapa orangnya? Siapa Iblis berwujud manusia yang sudah tega melecehkanmu, Nduk!?" tanya Mbah Karso dengan suara parau."Boleh aku lanjutkan ceritaku, Mbah?" tanya perempuan itu. Sakit, dendam, amarah dan putus asa tergambar jelas di matanya. Mbah Karso mengangguk, seolah mempersilahkan. Pria renta itu menghela nafas, menyiapkan hati untuk kembali digerogoti rasa sakit."Aku wis bilang sama mereka, Mbah. Mbah lagi ndak ada di rumah. Tapi mereka bilang, mereka sengaja datang saat sampean ndak ada. Aku ketakutan, Mbah. Aku merasa terancam. Aku melarikan diri lewat pintu belakang, berlari ke arah tebing dengan harapan bisa ketemu Mbah di jalan. Tapi.." "Kenapa, Nduk?""Kaki telanjangku tertusuk pecahan beling, Mbah. Sakit sekali. Aku ndak kuat buat sekedar berlari. Mereka kembali menemukan aku, Mbah. Mereka merudapaksa aku, sampai tanpa sengaja sumpahku
"Dek! Mau kemana toh? Kenapa buru-buru sekali?" tanya lelaku itu. Melati masih diam enggan menyahut. "Siapa namamu? Aku ndak pernah lihat sampean di desa ini sebelumnya," tanyanya lagi sambil menahan pundak Melati dan menariknya pelan. Melati berhenti dan berbalik."Aku MELATI," sahutnya sambil mengukir senyum aneh yang tak disadari oleh lelaki itu. Dia terlalu fokus mengagumi kecantikan wajah gadis jelita bermayang panjang di depannya."Ah, kenalkan aku Santo," ujar Santo memperkenalkan diri. "Sampean mau kemana? Sampean keliatan kebingungan, mau Mas antar?" tawar Santo. Melati mengangguk malu-malu. 'Kena kau!' gumamnya dalam hati.Keduanya berjalan berdampingan, Santo sengaja memperlama perjalanan mereka dengan niat melakukan pendekatan. Santo telah jatuh hati pada dia yang baru saja dia temui sekali ini."Sudah sampai, masuklah," titah Santo."Terima kasih karena sudah mengantar, Kang Mas!" ucap Melati dengan senyum manis terbingkai. Itu tentu membuat jantung Santo berdetak semakin
***Krieeeetttt... Pintu kayu yang sudah lapuk itu perlahan tertutup. Suara derap langkah kaki Melati terdengar mendekat."Mbah.. sampean lupa yo, aku bukan lagi Mawar, Mbah. Aku MELATI, jangan lupakan itu. Santo dengar dan hampir curiga, Mbah," ujar Melati yang kini duduk di samping Mbah Karso. Mbah Karso menatap dengan mata tuanya, memindai wajah yang tampak asing di depannya. Dia Mawar, tapi bukan Mawar. Ah, benar-benar di luar nalar manusia."Maaf yo, Nduk. Maafkan Si Mbah. Mbah cuma belum terbiasa," sesal Mbah Karso."Ndak apa-apa, Mbah. Kita harus lebih berhati-hati agar semua berjalan sesuai dengan rencana. Aku ndak mau pembalasan dendam ini gagal. Mereka yang membuatku mati juga harus mati dengan cara yang jauh lebih kejam dari cara mereka meniadakan aku." Melati menyahut dengan tangan terkepal.Mbah Karso tampak menghela nafas panjang, hatinya sama sakitnya. Kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa karena takdir merenggut membuat hatinya hancur berkeping."Apa rencanamu,
Santo sudah hampir sampai ke tempat biasa Pak Dahlan menunggu penumpang. Namun, dari kejauhan, dia melihat delman Pak Dahlan sudah berjalan menjauh dengan beberapa penumpang di dalamnya. Santo berteriak memanggil, sambil mempercepat langkahnya, namun sialnya sebuah batu membuatnya tersandung dan jatuh. Kakinya terkilir, susah digerakkan."Pak!! Pak Dahlan!" seru Santo. Namun delman satu-satunya di desa itu tampaknya sudah menjauh pergi. "Ck! Pakai acara jatuh segala! Sekarang aku kudu piye? Aku ketinggalan delman, mau balik ke rumah, jauh... Mana kakiku sakit pula, huft!" keluhnya. Santo melihat sekitar dan mendapati langit sudah mulai menggelap. Lelaki itu meneguk salivanya dengan susah payah."Ndak apa-apa, Maghrib masih lama, mending jalan pelan-pelan dan kembali ke rumah," gumamnya berusaha menguatkan diri.Santo berjalan tertatih-tatih, menyeret langkahnya melewati jalanan yang becek dan berbatu. Suara meringis berkali-kali keluar dari mulutnya. "Aghhh sial! Ndak bisa, aku pasti