Harun masih duduk di sini, di sudut ruangan perpustakaan tengah kota ketika ingatan itu membuyarkan konsentrasi. Masih begitu tampak jelas bagaimana wajah Asih kala itu. Di seberang jalan yang penuh dengan debu dan kerikil yang siap menusuk setiap kaki yang telanjang. Wajahnya begitu sendu. Kesedihan tampak jelas di sana ketika gadis itu melepas pergi sang kekasih. Air dari sumber cahaya matanya yang begitu bening memang tidak menetes atau mengotori wajah yang begitu teduh dan asih. Rambut hitam yang di ikat satu di belakang bak ekor kuda membuat lehernya tampak begitu jenjang dan menambah paras ayu. Ketika itulah Harun pergi meninggalkan kekasihnya dan juga desa yang selama ini menjadi tempatnya bercengkrama, mengadu akan pedihnya kehidupan.
Suasana ruangan yang begitu luas di lantai satu ini sepi. Tak ada orang yang bercakap-cakap atau bahkan tertawa. Mereka sibuk dengan buku yang ada di depannya. Begitu khusyuk. Dari balik jendela yang setiap hari selalu bersih Harun mengusap wajahnya. Tidak ada peluh yang membasahi wajah. Pun debu yang mengotori tangan. Ingatan akan hari itu yang merenggut kebahagiaan pemuda berkemeja kotak-kotak itu.
Apa kabarmu cah ayu?
Napasnya terasa semakin berat setelah menyadari bahwa rindu ini juga telah merenggut ketenangan batin setelah beberapa hari yang lalu, hari dimana Harun tak sengaja melihat foto dalam sampul bukunya yang masih disimpan rapi hingga kini.
Buku berjudul Biaya Membangun Rumah karya seorang laki-laki bertitel S2 ini digenggam dengan erat. Seolah memegang tangan kekasihnya yang tak ingin dilepas. Memang benar kata ibunya Asih kala itu, kita masih terlalu muda untuk memulai kehidupan yang baru. Kehidupan yang penuh dengan ujian. Kehidupan yang menurut orang-orang tidak hanya modal cinta saja. Tapi harusnya mereka juga tahu, jika kita sudah siap untuk menjalani kehidupan itu, berarti kita sanggup menanggung segalanya. Bahagianya, dukanya, sabarnya, marahnya atau bahkan lapar dan kenyangnya. Harun pun masih ingat dengan jelas perkataan wanita paruh baya itu. Belajarlah dulu, atau bekerjalah dulu, biarkan Asih juga belajar terlebih dulu. Ucapan itu hingga kini masih jelas di telinganya ketika ia ingat waktu itu.
Mungkin seperti itulah yang di rasakan Prabu Niwata Kawaca ketika lamarannya di tolak. Sakit hati membuat ia gelap mata. Raja dari kerajaan Manikmantaka itu menyerang Kahyangan Jong Giri Saloka. Ia bersumpah, tidak akan mundur selangkah pun untuk mengahcurkan Kahyangan Jong Giri Saloka, kalau tidak berhasil menyunting Supraba, titisan dewi Widowati cinta pertama Rahwana itu menjadi istrinya.
Harun tersenyum sendiri mengingat suatu peristiwa hari lalu. Bagaimana perjuangannya menuju rumah Asih yang di juluki "Wisata Jeglongan Sewu". Baju yang semula bersih dan disetrika dengan rapi berkat setrika arang pinjaman dari tetangga yang harus di telan mentah-mentah terlebih dahulu ceramahnya yang begitu panjang, seketika berubah menjadi kotor karena percikan lumpur, ditambah dengan sepeda ontanya yang tak ada selebornya membuat celana Harun penuh dengan lumpur yang terkadang juga harus mendapat “hadiah” dari pengendara sepeda mesin yang begitu merasa "punya".
Rindu itu membuncah lagi. Pandangannya menerawang jauh keluar jendela. Seolah disana ada tawa sang kekasih, dan di genggam semakin erat buku di hadapannya bak menggenggam tangan Asih. "Asih, bersabarlah dan percayalah, aku akan datang meski peristiwa beberapa tahun lalu harus kualami lagi." Harun menunduk lesu di sudut ruang. Bayangan wajah Asih kian menjadi. Membuat pemuda desa itu semakin sekarat untuk kesekian kali.
Harun melihat di sana ada seseorang menulis sesuatu dalam selembar kertas. Ia tersenyum menyambut. Ingatan ketika ia menunggu balasan surat Asih di kebun jati milik pak haji yang berujung ketiduran di bawah pohon dan di keroyok semut hitam, masih mampu membuatnya tersenyum bahagia meski sudah diingat entah untuk keberapa ratus kali. Dan kamu tahu Asih, aku masih menyimpan suratnya hingga kini. Surat pertamamu yang berisi balasan perasaanmu padaku setelah sekian lama kupendam. Kamu membalas perasaanku. Ketika itu Harun sungguh tak tahu harus berbicara apa. Lidahnya menjadi beku. Raganya pun kaku. Seolah mimpi namun ini nyata. Dia Asih. Gadis manisnya. Gadis desa yang kini entah bagaimana kabarnya.
Jam berdentang sebelas kali. Tanda sekarang sudah pukul sebelas siang. Dan terhitung sudah tiga jam ia duduk disini, di tepi jendela perpustakaan tengah kota. Buku itu masih di genggam dengan erat. Namun sekali pun tak di baca. Sudah ia putuskan hari ini akan menghabiskan waktunya disini. Di tempat ramai namum begitu sepi. Harun bisa mengingat semuanya tentang Asih. Tentang mereka hari lalu. Sebelum ia jauh meninggalkan Asih.
Setumpuk buku di hadapannya tak satu pun dibaca. Dari buku yang berjudul Desain Rumah Aplikatif yang tebalnya tak seberapa, hanya dua puluh tujuh halaman, Perencanaan Pembangunan Daerah yang tebalnya sekitar Seratus Tujuh Puluh Dua halaman, hingga yang berjudul Pendinginan Pasif yang tebalnya sekitar dua ratus empat puluh satu halaman. Harun hanya mengumpulkan, jauh dari rencana semula. Menyelesaikan tugas yang ia dapat hari lalu. Merancang desain rumah yang minimalis dengan pendingin pasif. Mungkin terpaksa nanti malam ia harus lembur, jika bayangan tentang Asih tak lagi menggoda. Entah ada apa dengan kekasihnya di sana. Ini adalah kesekian kalinya Harun tak bisa berfikir. Asih, kamu baik-baik saja disana? Biarkan aku berjuang disini sekeras mungkin, untuk mendapatkan apa yang ibunmu ingin.
Orang-orang berhamburan keluar ruangan. Harun masih saja duduk di pojokan. Menunggu gerombolan orang-orang berebut keluar ruangan yang luas namun tetap terasa sempit. Ia membereskan setumpuk buku yang tadi dibawa. Dikembalikan ke tempat semula. Satu per satu. Menyusuri lorong demi lorong. Semakin terasa sepi. Di lirik tulisan exit, tampak mulai lengang. Ia melangkah pelan dengan tas ransel di punggung yang berisi bekal makanan dan alat-alat “perang”.
Di warung yang biasa dia mangkal. Tampak segerombolan bapak-bapak ramai baru merapatkan pantatnya pada kursi kayu. Satu persatu melepas hemlnya yang berwarna kuning. Salah satu dari mereka memanggil penjaga warung. Memesan makanan secara ramai-ramai. Ada yang memesan ayam kremes. Ada yang memesan nasi campur. Ada juga yang memesan tahu tempe. Dan juga ada yang memesan nasi rawon. Di warung Sedehana itu tidak hanya menyediakan satu menu makanan, tapi bermacam-macam menu masakan. Sesekali mereka kasak-kusuk membahas tentang proyek yang sedang mereka bangun. Itu hal wajar dalam dunia kerja. Terlebih dunia proyek. Terkadang material datang terlambat. Terkadar mandornya yang kebangetan, kebangetan baik ada, sebaliknya juga ada.
Harun meneguk es teh yang tadi di pesan. Sesekali memasukkan suapan nasi yang ada di sendok. Memahami bahwa hidupnya sama dengan mereka. Sama-sama kuli bangunan. Yang membedakan saat ini adalah proyek yang ia kerjakan sedang libur, belum ada kerjaan. Jadi, Harun bisa fokus dengan kuliahnya. Iya, dia seorang mahasiswa dengan jurursan arsitektur. Meski ia seorang kuli bangunan, ia tetap berusaha mengampu pendidikan yang lebih tinggi. Bukan tanpa alasan ia mengambil jurusan arsitektur. Karena saat ini, Harun adalah seorang kuli bangunan. Jadi bisa mengikuti perkuliahan di hari Sabtu dan Minggu.
Perlahan tapi pasti. Menghabiskan bekal makanan yang di bawa. Lalu menenggak es teh yang di pesan sebelumnya. Sesekali Harun menguping percakapan mereka. Tak sengaja ia dengar keluhan seorang laki-laki berbadan gemuk yang baru datang dengan helm putih di kepala. Menunjukkan jabatan laki-laki gendut itu lebih tinggi dari segerombolan orang dengan helm kuning yang bergerombol. “Bagaimana bisa dia keluar kota meninggalkan proyek pas lagi padat-padatnya?” Ocehan demi ocehan ia keluarkan. Begitu tampak kesal di wajah laki-laki yang mengenakan rompi kuning. Ia kemudian duduk di kursi panjang sembari melepas helmnya. Tanpa permisi, ia menenggak habis es teh milik salah satu pekerjanya.
“Lho pak ....” Belum selesai si pemilik es teh protes.
“Mbak, es tehnya dua gelas ya.” Pak mandor langsung memesan dua gelas es teh sekaligus pada si pemilik warung. Tak lama. Mbak-mbak ayu si pelayan warung datang dengan dua gelas es teh di atas nampan.
“Mbak, yang gelas ini tambah lagi ya.” Belum sempat mengucapkan terimakasih pak mandor yang berperut buncit langsung minta tambah satu gelas lagi. Semua orang di sekelilingnya melongo. Tak tekecuali Harun yang duduk di sebelah pak Mandor.
“Ini untukmu, Din, sebagai ganti tadi es mu udah ku serobot.” Pak mandor menyodorkan segelas es teh pada laki-laki krempeng yang di panggil Din.
“Alhamdulillah, tak pikir tadi gak di ganti, Pak.” Nurdin mengatakan kejujurannya. Logat bahasa jawanya masih fasih meski sudah melalng buana. Semua temannya tertawa. Meski hanya segelas es teh, tapi bagi Nurdin itu sangatlah berarti. Dia harus berhemat untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Terutama untuk biaya anaknya yang lagi sakit-sakitan.
Selang tak berapa lama, palayan warung yang ayu tadi datang lagi. Kali ini tak membawa baki. Hanya satu gelas es teh yang langsung di berikan sama pak Mandor. Bapak-bapak berperut buncit itu menerima es teh dan perempuan itu langsung pergi meninggalkan segerombolan pekerja proyek setelah mendengar ucapak terima kasih dari pak mandor.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Semua pekerja proyek kembali ke tempat kerja. Tampaknya mereka membangun sebuah perumahan yang akan di jadikan komplek.
Meja telah kembali bersih dan rapi. Harun bisa menggelar kertas gulungan dalam tabung yang ia bawa kemana-kemana sedari tadi. Diamati sekilas rancangan desain rumah yang jadi tugas kuliah. Jika otaknya mampu di ajak bekerja, ini tugas pasti sudah kelar. Harun menarik napas panjang dan menggumam dalam hati. Diamati sekali lagi. Dari sudut pandang mana ia harus meletakkan jendela dan dinding kaca ini. Pikirannya sedari tadi pagi muter hanya pada satu titik saja. Apalagi setelah bayangan Asihnya datang. Semakin kacau tak tekira saja.
Tampak sekilas pak mandor yang tidak ikut membuyarkan diri melirik Harun. Ia hanya bisa tersenyum. Tak tau apa yang akan ditakan pada laki-laki gendut itu. Ngobrol pun ia tak tau memulai dari mana.
“Masih kuliah atau magang, Mas?” Di luar dugaan. Pak mandor yang gendut, perutnya buncit dan berkumis tebal dan berwajah galak itu tenyata ramah sekali. Benar saja anak buahnya tidak ada yang lari meski dia datang dengan keadaan ngomel-ngomel.
“Masih kuliah, Pak. Tapi sambil kerja sebenarnya.” Harun menjawab dengan ramah. Tak luput juga diselipkan senyuman semanis mungkin, ya meski bagi pak mandor tetap tak ada manisnya.
“Jurusan apa?” Pak mandor melirik kertas yang di gelar di atas meja warung makan pinggir jalan.
“Jurusan arsitek pak. Ini tugas desain rumah minimalis dengan pendinginan pasif.” Ia menjelaskan sebisa mungkin singkat dan padat. Harun paham betul pasti pak mandor mengerti seketika. Diskusi kecil pun mulai terjadi antara pak Mandor dan Harun.
Pak mandor mengangguk-angguk paham. Tampaknya ia mulai berfikir. Sesekali melirik. Tak jarang pula ia melirik desain yang ada dalam kertas milik Harun.
“Kamu kerja dimana sekarang?” Pak mandor mulai banyak tanya. Harun suka. Itu pertanda, ia akan memiliki teman baru, terutama dalam bidang pembangunan perumahan.
“Saya ikut di salah satu proyek yang ada disini, Pak. Tapi sedang tidak ada kerjaan. Nganggur, Pak. Makanya saya maembawa bekal, ngirit.” Ia terkekeh menjawabnya. Antara berharap di kasih kerjaan dan malu.
“Aku sedang sebel sama arsitekku. Dia suka pergi-pergi keluar kota padahal proyek disini masih butuh pantauannya.” Pak Mandor akhirnya mengeluarkan unek-unek yang ia simpan dalam pikiran.
“Apa kamu mau kerja denganku. Untuk sementara gantiin arsitekku kalo orangnya keluar kota. Nanti biar aku yang bicara dengannya.” Dan akhirnya pucuk dicinta ulampun tiba. Sesuai harapan. Pak Mandor memberikan pekerjaan, bahkan lebih baik dari kerjaannya hari lalu yang sebagai seorang yang sering mengaduk semen.
Harun mengangguk pertanda setuju. Tak henti-henti ia mengucapkan terima kasih sembari menyalami tangan pak Mandor yang juga tampak hitam seperti tangannya, namun di rasa masih kasar tangannya. Wajah Harun berseri bahagia. Ingatan akan Asih hilang untuk sementara. Digantikan sebuah pengaharapan kehidupan baru tampak mulai tiba.
Pak mandor segera berlalu. Jam istirahatnya sudah habis. Begitupun Harun. Dia akan segera kembali ke perpustakaan tua tengah kota. Semangatnya kembali pulih. Ide-ide dalam pikiran kembali bermunculan. Bayangan Asih sudah membaik, tak seperti beberapa jam lalu. Bayangan kekasihnya kini menumbuhkan semangat baru. Akan segera di selesaikan tugas kuliahnya, agar bisa segera kembali pulang dan bertemu dengan Asihnya. Asih, bersabarlah. Akan segera kuselesaikan semuanya untukmu. Senyumnya berkembang di barengi dengan langkah yang kian pasti. Demi masa depan bersama Asih.
Selepas perginya pak Mandor, ia segera berkemas. Gulungan kertas yang semula di gelar di meja panjang rumah makan Sedehana langganannya kini di gulung kembali. Di masukkan ke dalam tabung besar. Di cangklongnya di pundak sebelah anan. Tas ransel yang warnanya sudah mulai lusuh melekat di punggungnya. Langkanya kini membawanya kembali ke perpustakaan tengah kota. Ia berjalan dengan mantab dan pasti. Hasil diskusi ringan dengan pak Mandor beberapa menit yang lalu menghadirkan sebuah ide cemerlang, di mana ia harus meletakkan jendela dan kaca agar bisa menghemat listrik namun bisa menjadi penerangan dalam ruangan.
Senyum asih kini tampak lebih manis. Terlihat begitu menguatkan. Cambuk kerinduan itu mampu membangkitkan gairah semangat yang sempat meredup. Jika bibirnya beberapa jam lalu hanya terkunci rapat kini justru mesam-mesem menebar bahagia di sepanjang jala.
Ruangan besar yang terletak di Gedung Pangandaran kota yang mendapat julukan kota Lumpia itu sekarang masih sepi. Hanya beberapa orang yang sudah sibuk menjelajahi buku yang ada di hadapannya. Setelah mengisi daftar hadir Harun memilih tempat yang tadi sempat memporak-porandakan hati dan pikirannya. Di sebuah kursi yang teletak di sisi pojok dengan pemandangan yang langsung mengarah pada jendela.
Buku-buku yang tadi dikembalikan kini di ambil satu per satu kembali. Kertas yang tadi gulung dan di masukkan ke dalam tabung besar sekarang di gelar di meja besar perpustakaan. Tumpukan buku yang tadi di ambilnya berada di sebelah kanannya masih tetata rapi. Matanya sibuk mengawasi gambar di kertasnya. Otaknya yang memang pintar sejak dulu kini mulai bekerja. Tangan kanannya menarikan pensil di jari-jarinya yang kokoh. Ia teringat model bangunan di stasiun kotanya. Meski hanya sekilas, namun ia begitu mengamati model bangunan tempat yang memsihkan antara dirinya dengan Asih.
Bayangan-bayangan perpisahannya kembali terngiang. Namun kali ini tak mengganggu. Tapi justru memberikan gambaran seperti apa yang akan ia torehkan di kertasnya. Terima kasih, Asih. Tak hentinya bibir pemuda itu tersenyum dan mengucap syukur.
Asih, gadis desa "Wisata Jeglongan Sewu" itu masih saja setiap hari mendatangi stasiun tengah kota. Dari kejauhan yang selalu menjadi tempat langganannya, ia memandang sayu tempat bagi orang-orang yang melepas atau mengikat tali rindu di leher, seperti dia dan dengan sejuta harap, pemuda yang dicintai selama ini tiba-tiba datang dari kota setelah sekian lama menuntut penghidupan yang layak. Apa kamu tak ingat aku sekalipun, Kang? Pertanyaan yang selalu sama dan selalu sama pula, tak ada jawaban untuknya. Seperti hari-hari berat yang selama ini ia lalui, pulang dengan tangan kosong setelah puas memandangi stasiun tua tengah kota yang suhunya kian memanas setiap hari. Berbekal sepeda biru kesayangan, selalu setia menemani kemanapun langkahnya.Langkah kian langkah membawa gadis desa itu semakin menjauh dari tempat langganan. Namun bukan Asih namanya jika ia patah semangat. Setatus perawan tua yang kini diberikan oleh tetangganya diterima dengan baik. Ia begitu
Hari demi hari dilalui Asih seperti biasa. Setiap pagi, ia selalu menyempatkan waktu untuk mendatangi stasiun. Masih dengan penuh harap, Harun kembali untuknya. Orang-orang di sekeliling mulai mengatakan, ia mulai tak waras. Namun, hanya karena mengharapkan kehadiran seseorang yang telah lama pergi padahal ia berjanji akan kembali di katakan tak waras? Rasanya sungguh aneh. Pikirnya. Gadis itu mengabaikan kasak-kusuk tetangga dan saudaranya. Mengapa ia tak kunjung menikah? Apa yang ia tunggu? Harun yang jelas-jelas tak kunjung pulang atau bahkan sudah mengingkari janjinya. Tapi dengan kesungguhan hati ia percaya bahwa Harun akan menepati janji. Meski entah kapan waktu itu tiba.“Nduk, ambilkan pisang Raja di rumah Bu Carik, ya?” Suara emak membuyarkan lamunan. Ia mengangguk lalu beranjak dari duduk. Tak banyak bicara. Namun masih bersikap wajar. Diambil se
Angin semilir menarikan rambut panjang anak gadis Mak Ram. Sesekali mengganggu lamunan. Ia menyibakkan rambut yang terlepas dari ikatan dan mencoba bergelayutan manja di wajahnya. Ia duduk di teras rumah. Menikmati suasana sore yang indah. Di depan rumah yang terbuat dari anyaman bambu milik Mak Ram terdapat taman bambu yang menyejukkan suasana. Suara kemeratak dari bambu yang saling bergesekan karena angin menarikan batangnya menambah syahdu suasana. Setiap sore, gadis itu menikmati pemberian Tuhan. Sesekali gadis itu tersenyum. Mata indah milik Asih menerawang jauh ke awang-awang. Kakinya menari, maju mundur di angkul-angkul kursi panjang. Tangannya meremas-remas rok panjang yang ia kenakan. “Nduk, sudah selesai ngepack ledrenya?” Suara emak membuyarkan lamunan. Asih sedikit kece
Suasana perkampungan itu begitu terasa. Di sana emak-emak hilir mudik mencari sayuran. Bukan dari warung atau dari pasar. Tetapi meminta dari tetangga. Begitulah kehidupan di desa, tempat tinggal Harun. Saling membantu. Tak terkecuali dalam urusan dapur. Pengen masak sayur apa yang di miliki tetangga, boleh diminta. Tinggal metik setelah dapat ijin dari si pemilik.“Run, bapakmu udah berangkat to?” logat bahasa jawa timuran paling barat melekat pada perempuan dengan rambut panjangnya yang di gelung kecil di kepala seperti khas gelungan di era Majapahit menanyakan perihal suami pada anak sulungnya.“Sudah mungkin, Mak.” Yang di tanya menjawab dengan santai sambil menyiapkan perkakas perangnya. Sekop yang sudah ia pastikan bersih dan tajam, serta baju kerja andalan. Di tatapnya perempuan yang ia panggil emak dari kejauhan. Wanita itu menggunakan rok dari kain batik yang di lilit, tanpa di jahit. Tampak tengah ngobrol dengan lawan bicara sambil mem
Bayangan Harun menerawang jauh. Di tangkapnya bayang-bayang ketika ia pertama kali bertemu Asih. Gadis itu malu-malu. Senyum indah dan kedipan matanya yang begitu lentik yang menyeret Harun mengajaknya kenalan.Ia mendekat perlahan. Gadis yang kini berjarak beberapa meter di depannya menampakkan pipinya yang merah merona. Jantung Harun berdetak di atas ambang normal. Namun ia juga bersiap ketika gadis manis itu justru menjauh meninggalkan dia, masih untung jika ia tak di damprat oleh gadis manis itu.“Nuwun sewu, Mbak, angsal nderek lungguh mriki?” suara berat itu bergetar, namun sebisa mungkin Harun menyembunyikan.Gadis berkaos merah muda dengan lengan panjang itu menoleh. Senyum manis tersungging di bibirnya. Tak ada jawaban, hanya anggukan yang mampu ia berikan sebagai jawaban. Degup jantungnya pun tak kalah dengan Harun. Berdetak lebih kencang dari biasanya.Harun duduk di sebalah kanan gadis manis yang kala itu menyebutkan naman
Emak tampak merenung. Di pandanginya padi yang ada di pelataran rumah. Harun paham betul apa yang ada di pikiran emaknya. Namun sepatah kata pun tak mampu di keluarkan. Ia pendam mentah-mentah semua yang ada di benaknya. Panen musim ini tak seperti biasanya. Berkurang lima karung lebih. Namun, meski begitu tetap bersyukur.Janji melamar Asih sewaktu panen membayang seketika. Wajahnya yang ayu, matanya yang teduh, dan senyum manis yang ditambah dengan lesung pipit menambah khas kekasihnya itu.“Run, udah makan?” Wanita dengan gelungan membuyarkan lamunannya. Harun menatap emaknya dengan seksama. Wanita yang ditatap mengerti perasaan dan apa yang di pikirkan anak laki-lakinya itu. Hanya anggukan dan jawaban enggih yang di berikan. Tanpa basa-basi, ia lalu beranjak dari duduknya dan meninggalkan emaknya. Punggung Harun semakin menjauh. Hal yang wajar, ikatan anak dan emak memanglah begitu kental. Meski senyum manis apapun yang Harun berikan,
Kamar berukuran tiga kali tiga meter itu terasa begitu pengap. Bayangan Asih dan janjinya terhadap Mak Ram serta kehidupannya waktu di desa benar-benar menyita waktunya. Emak yang selalu ia rindukan perihal nasehat-nasehatnya, jangan lupa makannya, jangan lupa ibadahnya, senyumnya yang begitu tulus hingga marahnya, seperti hari itu ketika ia pulang main bola menjelang maghrib, emak sudah mondar-mondar di depan pintu dengan sampu di tangan kanannya, sedang tangan kirinya masih nyincing Tapeh yang dari jarik lurik.“Ileng muleh barang kowe, Run?” Suara keras itu menyambutnya memasuki halaman rumah yang sederhana.“Tadi istirahat dulu, Mak?” Harun berusaha membela diri meski tak mampu ditatap wajah emaknya yang begitu tampak mengerikan.“Besok ulangi lagi kalau pengen tahu rasanya sapu ini.” Mata itu menatap tajam sembari mengacungkan sapu yang di pegangnya.“Mbo
Di pandangi makanan yang ada di depannya. Di aduk-aduk. Selera makannya seketika hilang. Di teguk es teh yang ada di sebelah kanan sikunya. Berharap selera makannya bisa pulih seperti sedia kala. Rasa rindu di hati benar-benar membuncah. Tak tertahankan. Ingin sekali ia mengunjungi keluarga dan juga Asih, kekasihnya.Di genggam surat dari emak yang ia terima kemarin. Pikirannya kacau. Ia ingat betul betapa sibuknya orang-orang di desa ketika acara seperti yang di ceritakan emak. Acara yang selalu ada di setiap tahun. Menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan atas apa yang telah diterima.Nyadran berasal dari bahasa Sansakerta, Sraddha yang artinya keyakinan. Masyarakat desa dimana Harun berasal mempercayai, bahwa semua nikmat yang telah ia terima adalah pemberian Tuhan melalui usaha dan kerja keras.Begitu juga dengan keluarga Harun. Mengikuti acara sakral itu dengan khidmat. Di bawanya makanan yang sudah di letakkan pada sebuah wadah yang cukup untuk menamp
Harun menjalani hari-harinya dengan perasaan yang aneh. Ia merasa ada yang kurang dari hidupnya. Perasaan bersalah tehadap Asih teru saja menghantuinya. Hingga suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Asih.“Ah, mungkin kamu merindukan dia, Run,” Dewa menanggapi dengan santai.“Bisa jadi, sih, Wa. Tapi keliatannya hari lalu aku nggak mikirin dia, deh, Wa,” Harun menyanggah pendapat Harun.“Atau mungkin dia minta di doain, Wa?” Dewa memberi jawaban yang mampu membuat Harun berpikir dengan serius kali ini.Harun mengangguk sebagai tanda setuju dengan jawaban Dewa, lalu menyeruput kopinya Dewa yang terletak tidak jauh dari Harun.“Kebiasaan, deh, Run,” Dewa melihat Harun yang terbiasa menyerobot kopinya. Harun hanya merenges lalu ia mengajak Dewa ke warung Mak Yem.“Ngapain ke Mak Yem?” Dewa melirik Harun dengan tatapan penuh curiga.“Kamu nggak laper apa?” sekarang gi
Setelah beberapa kali ia menerima surat dari Asih dan Mak Ram secara terus menerus, Harun akhirnya memutuskan untuk pindah rumah kontrakan, Dewa pun ikut serta bersama Harun.Harun baru saja menempelkan pantatnya pada kursi yang berada di teras rumah. Dewa lalu datang membawa surat berbungkus amplop cokelat. Harun melirik sekejap surat ituyang kemudian tersenyum, “Makasih ya, Wa.”Dewa mengangguk kemudian duduk di sebelahnya dan menyeruput kopi yang ada di tangan kanannya.“Jadi yang tahu alamat ini Cuma emak?” Dewa mulai percakapan.Harun hanya mengangguk, ia sedang sibuk mengeja setiap kata yang ada dalam tulisan surta itu. namun, tiba-tiba Harun mengertutkan keningnya, ekspresinya juga berubah tidak seceria beberapa menit yang lalu.“Kenapa?” tanya Dewa penasaran.Harun masih terdiam, pandangannya masih fokus pada surat yang ada di tangannya. Dewa memperhatikan perubahan ekspresi Harun sedari tadi. Sele
Perlahan matahari mulai turun, Harun menyusuri lorong stasiun dengan tatapan para penumpang. Tubuhnya telah lelah dan juga hatinya. Selepas ia memberikan laporan di kantor Harun segera meninggalkan keramaian tempat umum itu.Harun segera memesan becak yang tengah mangkal di tempat biasa badannya teramat lelah untuk berjalan dari stasiun sampai ke kostnya dengan berjalan kaki. Laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun yang tengah mengayuh becaknya terlihat sesekali mengusap keringat dengan handuk kecil yang melingkar di pundaknya.Selang sepuluh menit becak itu berhenti pada sebuah bangunan rumah yang bergaya modern. Di sanalah ia tengah mengontrak sebuah rumah bersama Dewa. Dewa sedang duduk santai di teras masih dengan baju kerjanya.Setelah mengcapkan salam Harun langsung masuk ke rumah dan menuju kamar yang tengah terbuka lebar. Dewa membiarkan Harun sendiri untuk sementara waktu. Iajuga butuh istirahat setelah terjadi insiden pekerjanya yang kecelakaa
Pagi-pagi sekali Harun telah bersiap lengkap dengan baju dinasnya. Asih memperhatikan Harun dari jauh. Betapa beruntungnya ia jika hubungannya akan baik-baik saja dengan Harun. Asih menepis semua bayang-bayang tentang Harun.Harun mengenakan jaketnya yang berwarna hijau lumut, jaket itu menutup seluruh bajunya yang putih. Ia lalu menyalami kedua orang tuanya, Sekar dan Asih. harun tidak mengatakan apapun untk Asih.Tetangganya yang berprofesi sebagai tukang ojek telah menunggunya di depan rumah. Setelah Harun siap ia kemudian menghilang dari pandangan bersama tukang ojek.Asih berdiri terdiam dan mematung di tempatnya. Ia tidak bisa menafsirkan prihal perasaannya. Emak merangkul pundaknya dan membimbingnya masuk ke dalam rumah.Sekar yang semula masih ngantuk memutuskan untuk kembali tidur. Asih dan Emak lanjut menuju dapur. Mereka harus menyiapkan sarapan sebelum bapak dan Sekar ke tempat tujuannya masing-masing.“Nduk, kamu n
Mak Ram datang dengan membawa beberapa tas besar yang terisi penuh. Wajahnya terlihat lelah, ia segera mencari Asih berniat untuk menghilangkan penatannya.Mak Ram mendapati Asih yang tersungkur dalam amben. Suara tangisan terdengar jelas dari sana. Mak Ram segera mendekat dan memeluk anaknya. Namun Asih dengan tegas menolak bahkan menjauhkan tubuhnya dari Mak Ram.“Ada apa, Nduk?” Mak Ram betanya kebingungan.“Harusnya Asih yang bertanya ke Emak, ada apa?” Asih menjawab dengan air mata yang tidak berhenti berlinang.Mak Ram semakin bingung, ia mencoba meraih angan Asih, tapi Asih menepis lagi.“Ada apa?” Mak Ram mencoba bertanya pada Asih sekali lagi.“Ini surat dari siapa, Mak?” Asih memperlihatkan surat yang diberikan Emaknya beberapa waktu yang lalu.Mak Ram bingung, sepertinya Asih telah mengetahui semuanya, pikirnya.“Itu kan jelas dari Harun, Nduk?” Mak Ram beru
Pagi-pagi sekali Harun telah sampai di pelataran rumah ketika orang-orang hendak berangkat ke sawah. Setelah ia membayar becak Harun langsung masuk ke rumah, rupanya keluarganya tengah sarapan nasi jagung goreng bersama-bersama.“Kang Harun,” Sekar berteriak kegirangan.Emak dan bapaknya yang semula fokus sama sepiring nasi kini mengalihkan perhatiannya. Senyumnya mengembang melihat Si Sulung. Harun segera mengulurkan tangan untuk mencium tangan bapak dan emaknya.“Kok tumben wes bali maneh?” Emak bertanya curiga.“Kangen rumah, Mak,” Harun menjawab dengan senyuman setelah emak mencium kening anaknya.Nasi jagung goreng adalah makanan kesukaan Harun, matanya tidak bisa lepas dari nasi goreng yang tengah terhidang di meja. Harun kemudian segera mengambil piring yang ada di dapur dan ikut sarapan bersama.Bapak telah usai makan terlebih dulu, ia bergegeas hendak pergi ke sawah. Itu terlihat dari baj
Harun memarkirkan sepedanya di halaman kontrakan, ia memasuki kontrkan bersamaan dengan Dewa. Harun langsung merebahkan tubuhnya pada kasur sudah melambaikan tangan. Sedangkan Dewa langsung membersihkan badan karena bajunya yang penuh dengan semen.Dewa menyeka keringat yang yang mengalir di pelipis dengan handuk kecil yang melingkar di pundak. Ia menatap Harun dengan tatapan penuh iri.“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Harun menyadari bahwa Dewa tengah menatapnya.“Aku tekadang iri denganmu, Run,” Dewa menempelkan pantatnya pada kursi di depan meja. Harun bangun dari tidurnya lalu memosisikan diri sebaik mungkin untu menatap Dewa.“Apa maksudmu?” Harun menatap Dewa dengan penuh selidik.“Kamu menatapku biasa aja bisa nggak?” Dewa mengalihkan pembicaraan karena merasa risih ditatap oleh Harun sedemikian rupa,“Kamu ganteng, pekerjaanmu bagus, banyak perempuan yang menyukaimu, kekasihmu
Asih berlari keluar kamar setelah mendengar bel sepeda petugas POS. Ia mulai hapal dengan suara itu. tepat sekali, Pak Pos sudah betengger di teras rumah menunggu Asih yang sedang lari-lari kecil.“Terima kasih,” Asih menerima surat itu dan Pak Pos pun berlalu.Asih gemetar menerima amplop yang tetera nama Harun di sampul depan. Ia merasa bungah sekaligus susah menerima surat itu. Ia teringat kedatangan pemuda beseta bapaknya yang tak ia kenal. Mak Ram dengan tanpa pikir panjang langsung mengiyakan lamaran pemuda itu dan berniat membatalkan lamaran Harun.Asih masuk kamar dan membuka amplop dengan perlahan. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk Harun.Assalamualaikum, Cah Ayu,Kakangmu juga sehat, Nduk. Cah Ayu, kamu tidak usah repot-repot membantu mengumpulkan biaya buat perkawinan kita. Itu sudah tanggung jawab kakangmu ini. Nduk, Cah Ayu, kakangmu cuma mau kamu hati-hati di sana, jaga diri juga j
Harun kembali ke Semarang setelah memperbaiki hubungannya dengan Asih. Emak dan bapak juga ikut bahagia karena anak sulungnya tidak lagi berpura-pura bahagia. Terlebih Sekar, jadi ia bisa punya teman bercerita.“Akhirnya kamu jadi nikah sama Asih?” Dewa bertanya dengan mulut yang penuh makanan.Harun mengangguk diiringi dengan senyuman yang mengembang. Wajahnya terlihat bahagia. Aura ketampanannya bersinar dengan sempurna.“Kamu jadi nikah sama Asih, sedangkan aku masih terbelenggu dengan perasaan Dewi,” Dewa menghentikan kunyahannya.“Cobalah untuk berdamai dengan perasaanmu sendiri,” Harun kemudian duduk di tepian ranjang, menghentikan aktifitasnya melipat dan memasukkan baju ke dalam lemari.“Maksudmu?” Dewa menghentikan makannya. Ia lebih tertarik dengan apa yang dikatakan Harun.“Aku pernah cerita kan tentang nasehat bapakku?”Dewa mengangguk pelan dibarengi dengan memas