Di pandangi makanan yang ada di depannya. Di aduk-aduk. Selera makannya seketika hilang. Di teguk es teh yang ada di sebelah kanan sikunya. Berharap selera makannya bisa pulih seperti sedia kala. Rasa rindu di hati benar-benar membuncah. Tak tertahankan. Ingin sekali ia mengunjungi keluarga dan juga Asih, kekasihnya.
Di genggam surat dari emak yang ia terima kemarin. Pikirannya kacau. Ia ingat betul betapa sibuknya orang-orang di desa ketika acara seperti yang di ceritakan emak. Acara yang selalu ada di setiap tahun. Menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan atas apa yang telah diterima.
Nyadran berasal dari bahasa Sansakerta, Sraddha yang artinya keyakinan. Masyarakat desa dimana Harun berasal mempercayai, bahwa semua nikmat yang telah ia terima adalah pemberian Tuhan melalui usaha dan kerja keras.
Begitu juga dengan keluarga Harun. Mengikuti acara sakral itu dengan khidmat. Di bawanya makanan yang sudah di letakkan pada sebuah wadah yang cukup untuk menampung nasi beserta lauk pauk yang rata-rata berupa ingkung ayam, sayur mayur, dan buah. Biasanya bapak yang membawa dan meletakkan di atas kepala. Ia membuntuti di belakang.
Semua warga berkumpul di sebuah tempat yang luas. Menggelar tikar yang di bawa masing-masing keluarga. Di gelarnya tikar yang di bawa oleh emak. Harun beserta bapak, emak dan adiknya duduk di sana. Menunggu yang lain berdatangan. Juga sesepuh yang belum datang. Semua tampak antusias. Hingar bingar terlihat di wajah mereka.
Es teh tadi belum habis. Kini di teguk lagi. Tandas. Ingatan demi ingatan acara nyadran di rumah membayang. Tak hanya itu. Kerinduan pada kekasihnya juga mengganggu pikiran dan perasaan. Di elus perut yang terasa lapar. Namun kehilangan selera makannya menghalangi seonggok nasi masuk ke dalam perut.
Hingar bingar lalu lintas kota Atlas tak lagi pernah ia hiraukan. Di lihat jam yang betengger di dinding warung pinggir jalan langganannya. Pukul tujuh. Di raihnya helm berwarna kuning. Lalu mengangkat bokongnya dari kursi panjang yang telah mempertemukan bersama pak Mandor berperut buncit yang kini di anggapnya seorang ayah di tanah rantau.
“Mak, biasa ya. Bon dulu.” Suara Harun terdengar menggoda sembari mengangkat alisnya. Merayu penjual nasi yang biasa di panggilnya Mak Yem. Sang pemilik warung. Rewang Mak Yem yang ayu melirik malu-malu. Melepas kepergian Harun.
“Run, Harun. Kok enggak di makan to?” Mak Yem menjawabnya dengan sebuah pertanyaan. Pemuda itu sudah di anggap seperti anaknya sendiri. Dia selalu baik padanya. Tak sungkan ia membantu mencuci piring atau bersih-bersih di warungnya.
Di jawab dengan cengiran khas pemuda desa itu. Selalu ada cara untuk menutupi segala kegundahan hatinya. Namun tidak untuk wanita janda yang berparas ayu ini. Meski di panggilnya emak, namun ia masih ayu dan segar.
Mak Yem menatap nanar punggung Harun yang berlalu meninggalkan warung. Namun wajah sendu milik Harun masih tetinggal di warung Tombo Lesu pinggir jalan. Senyuman manis keluar di bibir mak Yem, meski hanya secepat kilat.
***
Hari ini jalanan cukup padat. Harun sengaja memilih berjalan kaki untuk menuju stasiun. Langkahnya santai tapi semangat membara di dada. Pandangannya lurus ke depan. Tidak jelalatan seperti ketika ia jalan-jalan menikmati suasana malam. Tas kecil di cangklong di pundak kiri. Kaos oblong berwarna putih di lapisi dengan kemeja kotak-kotak dengan kancing yang tetap di biarkan terbuka. Wajahnya yang tampan dan kulitnya yang bersih membuat gadis-gadis yang tak sengaja berpapasan pasti akan melirik.
Lima belas menit berjalan. Tempat yang ia tuju kini di depan mata. Begitu ramai. Tampak beberapa gerombolan dengan membawa tas-tas besar. Seperti mau bepergian jauh. Bahkan, ia melirik sekitarnya, hanya dia seorang yang dengan pakaian santai dan tas kecil yang di rasa cukup untuk mengisi barang bawaannya.
Di rogoh tiket yang sudah ia pesan kemarin. Tiket seharga enam ribu rupiah. Tiket kereta lokal dengan kecepatan sedang dan fasilitas seadanya. Tak mengapa. Itu sudah lebih dari cukup untuk segera melepas rindu kepada perempuan yang telah melahirkannya.
Namun tiba-tiba pikirannya resah tak terkira. Ia ingat bagaimana isi surat dari sahabatnya perihal Asih. Sang kekasih yang terus menunggu kedatangannya di stasiun tua tengah kota, tempat di mana dulu ia berjanji akan pulang dan menemuinya di sana.
Perasaan bersalah mendayu-dayu. Sepanjang jalan di kereta, ia terus di selimuti rasa bersalah. Namun, ia juga telah berjanji, tidak akan pulang untuk menemui Asih sebelum ia sukses. Kepulangannya dan menemui Asih, berarti ia harus segera memenuhi janjinya pada Mak Ram.
Di luar hujan semakin deras. Bulir-bulir bening membasahi dinding kaca yang ada di sebelahnya. Hari ini kereta lokal ini tak ramai, meski stasiunnya begitu padat. Mungkin, mereka akan pergi jauh dari kota Atlas, tempatnya mencari penghidupan yang layak.
Pikiran yang melayang entah kemana membawanya tiba pada tujuan. Stasiun yang paling dekat dengan tempat tinggalnya. Meski terletak di luar kota. Karena Harun tinggal di bantaran sungai bengawan Solo, sungai terpanjang di pulau jawa yang memisahkan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Di percepat langkahnya. Di sana, seorang wanita paruh baya dengan pakaian kebaya tengah berlari-lari kecil menjemput. Menyibak gerombolan para tukang ojek yang mengais rejeki.
Di rengkuh perempuan berhijab biru muda setelah ia mencium tangannya. Terdengar sesenggukan di dada bidangnya. Rasa bersalah kian membesar. Tidak hanya pada Asih, namun juga pada emaknya.
Gadis muda berhijab warna pink yang kini sudah mulai tampak lebih dewasa memperhatikannya dari jauh. Ikut menitikkan air mata bahagia. Dialah Sekar, adik kandung Harun. Yang dulu masih kecil dan menggemaskan ketika di tinggal merantau.
Harun membimbing kedua bidadari itu untuk duduk di kursi ruang tunggu paling pojok. Sehingga tak ada lalu lalang yang akan mengganggu pertemuan sementara mereka.
Sekar membuka bontot yang sudah di persiapkan untuk mas yang begitu di rindukan. Jika dulu ada yang selalu usil kini Sekar harus menerima kenyataan perihal kesepiannya.
“Wingi kan nyadran, Le. Ki emak gowo makanan sing mbok senengi.” Di lirik isi kresek ungu yang tadi di buka oleh adiknya. Wajahnya terlihat berbunga. Kebahagian itu kini berlipat ganda. Rindunya bertemu emak dan adiknya terbayar, juga pada pada makanan yang selalu di cari ketika acara nyadran.
Jadah goreng. Di ambil dan langsung saja di masukkan ke dalam mulut.
“Sejak kapan kamu makan tanpa membaca doa, Le?” Emak risih dengan kerakusan anak sulungnya.
Segera di telan makanan yang sudah terlanjur masuk. Lalu merapalkan doa sebelum memakan lagi. Wajahnya merah padam. Omongan emakanya memang halus dan lembut, tapi serasa menampar seketika.
Harun cengar-cengir mengingat tentang makanan yang ia makan. Jadah. Makanan yang berasal dari beras ketan yang bersifat lengket saat di masak. Dan ketika membuatnya juga penuh dengan kesabaran. Makanan yang menurut sesepuh memiliki makna dan harapan agar keyakinan kita terhadap Tuhan tetap lengket di hati. Makanan ini biasanya selalu ada di acara perkawinan, degan tujuan agar mempelai tetap lengket dan tidak akan mudah terpisahkan.
Ia lalu mengambil sepotong kue cucur. Kue yang di percaya oleh masyarakat Thailand sebagai lambang cinta. Dengan maksud agar si pemenerima makanan merasakan pemberian cintanya, kasih sayang, hormat menghormati sesama manusia.
Tenggorokan Harun mulai terasa kering. Di raihnya pisang raja agar sedikit membasahi tenggorokan. Pisang ini melambangkan kesuburan. Dengan harapan selalu subur tanaman yang di tanam dan bisa mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah.
Sesekali mereka sambil bercerita. Bagaimana kabar di desa, bagaimana keadaan bapak, mengapa beliau tak ikut menemuinya? Dan juga tentang hubungannya sama Asih.
Belum selesai cerita itu berlanjut. Suara yang bersumber dari pengeras suara itu terdengar. Ia langsung berpamitan pada emak dan adiknya. Waktu melepas rindu telah habis. Di cium tangan yang kini sudah banyak keriput dan juga di elus kepala adiknya ketika mencium tangan.
Harun segera berlalu. Lagu Suwe Ora Jamu yang menjadi khas pertanda masuknya kereta penumpang ke stasiun telah terdengar. Di lihatnya kedua bidadari yang memandangnya dari kejauhan dengan senyum paksa. Sekelebat banyangan Asih mengganggu. Sebelum akhirnya, gerbong kereta memisahkan pandang mata di antara mereka.
Kereta lokal itu membawa Harun kembali ke parantauan. Suara saut-sautan orang bercengkrama dalam kereta begitu riuh. Pak kondektur menyibak lalu-lalang pedagang yang hilir mudik. Mengecek satu persatu tiket penumpang.Lidahnya masih kelu. Wajah emak dan sekar masih terlintas. Bayang-bayang Asih juga ikut menghantui. Diliriknya perempuan cantik yang kini duduk di sebelah. Ia tampak berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kesedihan. Air mata itu sesekali menetes. Secepat kilat tangan yang terlihat putih pucat itu meraih bulir-bulir bening yang mulai jatuh, agar tak ada orang yang tahu perihal dukanya. Di ulurkan sapu tangan yang sedari tadi bersembunyi di balik kantong tas kecil yang di cangklong Harun. Ragu, perempuan yang berambut bergelombang di sebelahnya menerima. Harun mengangguk mantab. Meyakinkan bahwa ia ikhlas memberikan. Di usapnya sapu tangan berwarna biru ke wajah gadis manis di sebalah. Adakala digunakan untuk menutupi wajahnya ketika wanit
“Asih, Renjanaku, apa kabar? Maafkan aku.” Sudah seminggu layang itu di kirimkan. Perasaannya kacau. Merusak konsentrasi kegiatan belajar. Semangatnya tak membara seperti dulu, ketika ingat janji untuk segera melamar kekasihnya. Namun kini, keadaan sudah berbalik. Alam tidak mendukung niatnya.Juga sekitar satu minggu, ia tidak bekerja. Dan hari ini adalah hari pertama setelah seminggu kerjaan berhenti. Bukan karena Harun sakit, tapi melainkan karena memang tidak ada proyek yang harus di kerjakan.Tapi, Harun berangkat tidak penuh semangat seperti biasa. Ternyata pedihnya perasaan juga berimbas pada semangat kerja. Dewa, teman bekerja sekaligus sahabatnya yang mengetahui segala dari Harun─ selain teman kerja dan teman kuliah Harun─ menghempaskan napas dengan kasar dan geleng-geleng kepala. Dewa paham betul lara hati yang di dera sahabatnya. Sungguh tidak mudah menjadi Harun. Bahkan, jika ia sendiri yang mengalami, ia tidak tahu harus menga
Suara gaungan ular besi terdengar jelas di telinga Asih. Beberapa penumpang segera mengangkat bokongnya dan beranjak meninggalkan stasiun. Asih masih tetap duduk di ruang tunggu sedari dua jam yang lalu.Para calon penumpang datang dan pergi. Entah sudah ganti berapa orang yang duduk di sekitarnya. Hanya ia yang masih tetap di sana. Dengan stastus menjemput tetapi tak jelas yang di tunggu.Waktu berputar terus. Hingga tak terasa Asih tetap melakukan ini meski sudah di terimanya surat dari Harun kala itu. Surat yang mengabarkan berakhirnya hubungan mereka.Gadis desa itu tampak sudah mulai lelah. Di keluarkan nafas berat berkali-kali. Meski ia harus menerima perasaan hancur seperti biasa. Pulang tanpa kabar angin pun dari kekasihnya yang telah mengakhiri hubungan secara sepihak.Wajah ayunya menyapa satu persatu petugas stasiun yang kebetulan berpapasan. Senyum dan sikap santun ia lemparkan. Beberapa ikut merasakan kepedihan yang di alami gadis ya
Asih, cah ayu, Renjanaku, maafkan aku. Mata Harun menatapnya begitu lekat. Ingin sekali di rengkuh gadis manis yang menitikkan bulir bening. Keadaan masih terasa begitu menegangkan. Aliran darah masih belum sepenuhnya kembal berdesir.Wajah Asih tampak lebih ayu. Dia juga tampak lebih dewasa. Meski masih seperti dulu, dengan wajah yang di biarkan natural. Juga dengan baju yang sopan.“Kang Harun?,” Di ejanya nama itu sekali lagi.Lidah Asih masih terasa kelu. Matanya tak lepas dari sosok yang sekarang berdiri di depannya. Tinggi Harun yang dulu hampir sama dengan dia, kini sudah menjulang tinggi. Tubuhnya lebih gagah. Kumis tipis tampak sebagai pemanis.Tak ada kata. Hanya senyuman yang membuat mata pemuda itu semakin sipit sembari bibirnya mengangkat seulas senyuman untuk gadis yang mematung. Di dekatinya Asih yang masih tergugu. Tangisan bahagia itu benar-benar tumpah ruah di ruang tunggu stasiun.Beberapa penumpang
Hari ini, suasana rumah Asih begitu ramai. Hilir mudik emak-emak dengan segala kesibukan. Ada yang membawa rantang, ada yang membawa makanan, juga ada yang sibuk menata meja depan.Asih masih mengurung diri di kamar. Pikiran dan hatinya kacau. Bagaimana bisa penantian panjangnya selama ini sia-sia. Mengapa kamu tega sekali padaku, Kang? Asih masih belum sepenuhnya menerima keputusan yang di berikan Harun.Suara canda tawa anak-anak kecil terdengar begitu nyaring. Di luar sana orang-orang tengah bahagia. Mereka kira, Asih menerima keputusan ini dengan lapang dada. Kang, hari ini aku harus lamaran dengan laki-laki selain kamu. Apakah kamu siap dan baik-baik saja dengan keputusanmu?Suara ketukan pintu kamarnya membuyarkan segala lamunan. Juga air mata yang semalam telah membasahi bantal putih miliknya. Di sapu air mata kepedihan itu. Perlahan ia bangkit dan membuka pintu.“Mbak, kulo tukang rias sing di pesen ibu.” Seo
Harun melangkah pasti. Napasnya juga teratur. Tatapannya lurus ke depan. Di punggung ada tas hitam besar. Tak begitu berat, tapi berisi penuh. Digenggamnya beberapa lembar kertas. Di kepalanya ada topi kebesaran. Wajahnya menawan. Baju yang ia kenakan bersih, rapi, dan wangi. Rahangnya tampak mengeras. Wajah lelah melekat di sana. Namun tak mengurangi sedikit pun performa ketampanannya.“Langsung pulang, Pak?” Laki-laki yang tak kalah tinggi dari Harun memutus kesunyian di antara mereka.“Iya, Pak. Aku sudah berjanji sama emak. Akan bertemu di Cepu.” Harun menjawab sembari duduk. Suaranya terdengar tegas.“Ya sudah. Saya duluan kalau begitu.” Pemuda itu berlalu. Meninggalkan ia yang duduk sembari menunggu kereta yang akan membawanya menemui Emak nya.Hatinya bergemuruh. Debar-debar kerinduan sudah ingin keluar dari tempatnya. Sesekali dilihatnya sepatu yang mengkilap. Tak seperti dulu. Sewaktu kecil, kaki itu beralaskan
Cuaca kota Atlas hari itu terasa panas. Setelah membersihkan diri ia merebahkan badannya di kasur. Tubuhnya terasa lelah juga perasaannya. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar, terlihat plavon yang bersih dan rapi tidak seperti kostnya kala itu ketika ia masih jadi kuli bangunan.Kerinduan terhadap Asih masih ada hingga kini meski ia telah menyelesaikan hubungannya. Gadis manis dengan lesung pipit di pipi kanannya membuat Harun selalu teringat tentang Asih.Harun merogoh selembar kertas yag ia simpan di balik bantal. Di sana ada gambar perempuan yang haru lalu ia relakan untuk orang lain. Perempuan yang selama ini menunggunya dengan penuh setia dan percaya bahwa ia akan menepati janjinya.Harun mengeluarkan napasnya dengan kasar. Terasa sekali beban berat perasaan yang di pikul. Di elus beberapa kali foto itu. Wajah perempuan disana tidak berubah cemberut atau tertawa.Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan dan melupakan kamu begitu saja, Cah
Sepulang jalan-jalan sama Dewa menyusuri kota Lumpia, Harun merebahkan badannya. Dewa sudah mengeluarkan suara khas ketika tidur. Harun berbaring di sebelahnya. Matanya tak kunjung merem. Pikirannya semrawut tak karuan.Dia memikirkan kembali kata-kata Dewa beberapa waktu yang lalu. Sekuat apapun manusia berusaha melupaka, semakin jelas ingatan itu akan mendatangi kita. Harun mengusap wajahnya dengan kasar. Ia lelah dan ingin tidur. Besok ia harus berangkat pagi untuk bekerja.Di paksa matanya untuk terpejam. Tapi yang ada hanyalah lelah memejamkan mata. Harun bangun dari tidurnya dan mengambil selembar foto yang ia simpan di balik bantal tidurnya.Cah Ayu, semoga kamu bahagia dengan pilihan emak. Maafkan aku yang berjanji akan kembali tapi justeru malah memberi hatimu duri. Harun ingin menangisis keadaan hatinya. Perasaannya hancur ketika Mak Ram menolak lamarannya. Namun kehancuran itu tak separah ketika ia memutuskan hubunga
Harun menjalani hari-harinya dengan perasaan yang aneh. Ia merasa ada yang kurang dari hidupnya. Perasaan bersalah tehadap Asih teru saja menghantuinya. Hingga suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Asih.“Ah, mungkin kamu merindukan dia, Run,” Dewa menanggapi dengan santai.“Bisa jadi, sih, Wa. Tapi keliatannya hari lalu aku nggak mikirin dia, deh, Wa,” Harun menyanggah pendapat Harun.“Atau mungkin dia minta di doain, Wa?” Dewa memberi jawaban yang mampu membuat Harun berpikir dengan serius kali ini.Harun mengangguk sebagai tanda setuju dengan jawaban Dewa, lalu menyeruput kopinya Dewa yang terletak tidak jauh dari Harun.“Kebiasaan, deh, Run,” Dewa melihat Harun yang terbiasa menyerobot kopinya. Harun hanya merenges lalu ia mengajak Dewa ke warung Mak Yem.“Ngapain ke Mak Yem?” Dewa melirik Harun dengan tatapan penuh curiga.“Kamu nggak laper apa?” sekarang gi
Setelah beberapa kali ia menerima surat dari Asih dan Mak Ram secara terus menerus, Harun akhirnya memutuskan untuk pindah rumah kontrakan, Dewa pun ikut serta bersama Harun.Harun baru saja menempelkan pantatnya pada kursi yang berada di teras rumah. Dewa lalu datang membawa surat berbungkus amplop cokelat. Harun melirik sekejap surat ituyang kemudian tersenyum, “Makasih ya, Wa.”Dewa mengangguk kemudian duduk di sebelahnya dan menyeruput kopi yang ada di tangan kanannya.“Jadi yang tahu alamat ini Cuma emak?” Dewa mulai percakapan.Harun hanya mengangguk, ia sedang sibuk mengeja setiap kata yang ada dalam tulisan surta itu. namun, tiba-tiba Harun mengertutkan keningnya, ekspresinya juga berubah tidak seceria beberapa menit yang lalu.“Kenapa?” tanya Dewa penasaran.Harun masih terdiam, pandangannya masih fokus pada surat yang ada di tangannya. Dewa memperhatikan perubahan ekspresi Harun sedari tadi. Sele
Perlahan matahari mulai turun, Harun menyusuri lorong stasiun dengan tatapan para penumpang. Tubuhnya telah lelah dan juga hatinya. Selepas ia memberikan laporan di kantor Harun segera meninggalkan keramaian tempat umum itu.Harun segera memesan becak yang tengah mangkal di tempat biasa badannya teramat lelah untuk berjalan dari stasiun sampai ke kostnya dengan berjalan kaki. Laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun yang tengah mengayuh becaknya terlihat sesekali mengusap keringat dengan handuk kecil yang melingkar di pundaknya.Selang sepuluh menit becak itu berhenti pada sebuah bangunan rumah yang bergaya modern. Di sanalah ia tengah mengontrak sebuah rumah bersama Dewa. Dewa sedang duduk santai di teras masih dengan baju kerjanya.Setelah mengcapkan salam Harun langsung masuk ke rumah dan menuju kamar yang tengah terbuka lebar. Dewa membiarkan Harun sendiri untuk sementara waktu. Iajuga butuh istirahat setelah terjadi insiden pekerjanya yang kecelakaa
Pagi-pagi sekali Harun telah bersiap lengkap dengan baju dinasnya. Asih memperhatikan Harun dari jauh. Betapa beruntungnya ia jika hubungannya akan baik-baik saja dengan Harun. Asih menepis semua bayang-bayang tentang Harun.Harun mengenakan jaketnya yang berwarna hijau lumut, jaket itu menutup seluruh bajunya yang putih. Ia lalu menyalami kedua orang tuanya, Sekar dan Asih. harun tidak mengatakan apapun untk Asih.Tetangganya yang berprofesi sebagai tukang ojek telah menunggunya di depan rumah. Setelah Harun siap ia kemudian menghilang dari pandangan bersama tukang ojek.Asih berdiri terdiam dan mematung di tempatnya. Ia tidak bisa menafsirkan prihal perasaannya. Emak merangkul pundaknya dan membimbingnya masuk ke dalam rumah.Sekar yang semula masih ngantuk memutuskan untuk kembali tidur. Asih dan Emak lanjut menuju dapur. Mereka harus menyiapkan sarapan sebelum bapak dan Sekar ke tempat tujuannya masing-masing.“Nduk, kamu n
Mak Ram datang dengan membawa beberapa tas besar yang terisi penuh. Wajahnya terlihat lelah, ia segera mencari Asih berniat untuk menghilangkan penatannya.Mak Ram mendapati Asih yang tersungkur dalam amben. Suara tangisan terdengar jelas dari sana. Mak Ram segera mendekat dan memeluk anaknya. Namun Asih dengan tegas menolak bahkan menjauhkan tubuhnya dari Mak Ram.“Ada apa, Nduk?” Mak Ram betanya kebingungan.“Harusnya Asih yang bertanya ke Emak, ada apa?” Asih menjawab dengan air mata yang tidak berhenti berlinang.Mak Ram semakin bingung, ia mencoba meraih angan Asih, tapi Asih menepis lagi.“Ada apa?” Mak Ram mencoba bertanya pada Asih sekali lagi.“Ini surat dari siapa, Mak?” Asih memperlihatkan surat yang diberikan Emaknya beberapa waktu yang lalu.Mak Ram bingung, sepertinya Asih telah mengetahui semuanya, pikirnya.“Itu kan jelas dari Harun, Nduk?” Mak Ram beru
Pagi-pagi sekali Harun telah sampai di pelataran rumah ketika orang-orang hendak berangkat ke sawah. Setelah ia membayar becak Harun langsung masuk ke rumah, rupanya keluarganya tengah sarapan nasi jagung goreng bersama-bersama.“Kang Harun,” Sekar berteriak kegirangan.Emak dan bapaknya yang semula fokus sama sepiring nasi kini mengalihkan perhatiannya. Senyumnya mengembang melihat Si Sulung. Harun segera mengulurkan tangan untuk mencium tangan bapak dan emaknya.“Kok tumben wes bali maneh?” Emak bertanya curiga.“Kangen rumah, Mak,” Harun menjawab dengan senyuman setelah emak mencium kening anaknya.Nasi jagung goreng adalah makanan kesukaan Harun, matanya tidak bisa lepas dari nasi goreng yang tengah terhidang di meja. Harun kemudian segera mengambil piring yang ada di dapur dan ikut sarapan bersama.Bapak telah usai makan terlebih dulu, ia bergegeas hendak pergi ke sawah. Itu terlihat dari baj
Harun memarkirkan sepedanya di halaman kontrakan, ia memasuki kontrkan bersamaan dengan Dewa. Harun langsung merebahkan tubuhnya pada kasur sudah melambaikan tangan. Sedangkan Dewa langsung membersihkan badan karena bajunya yang penuh dengan semen.Dewa menyeka keringat yang yang mengalir di pelipis dengan handuk kecil yang melingkar di pundak. Ia menatap Harun dengan tatapan penuh iri.“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Harun menyadari bahwa Dewa tengah menatapnya.“Aku tekadang iri denganmu, Run,” Dewa menempelkan pantatnya pada kursi di depan meja. Harun bangun dari tidurnya lalu memosisikan diri sebaik mungkin untu menatap Dewa.“Apa maksudmu?” Harun menatap Dewa dengan penuh selidik.“Kamu menatapku biasa aja bisa nggak?” Dewa mengalihkan pembicaraan karena merasa risih ditatap oleh Harun sedemikian rupa,“Kamu ganteng, pekerjaanmu bagus, banyak perempuan yang menyukaimu, kekasihmu
Asih berlari keluar kamar setelah mendengar bel sepeda petugas POS. Ia mulai hapal dengan suara itu. tepat sekali, Pak Pos sudah betengger di teras rumah menunggu Asih yang sedang lari-lari kecil.“Terima kasih,” Asih menerima surat itu dan Pak Pos pun berlalu.Asih gemetar menerima amplop yang tetera nama Harun di sampul depan. Ia merasa bungah sekaligus susah menerima surat itu. Ia teringat kedatangan pemuda beseta bapaknya yang tak ia kenal. Mak Ram dengan tanpa pikir panjang langsung mengiyakan lamaran pemuda itu dan berniat membatalkan lamaran Harun.Asih masuk kamar dan membuka amplop dengan perlahan. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk Harun.Assalamualaikum, Cah Ayu,Kakangmu juga sehat, Nduk. Cah Ayu, kamu tidak usah repot-repot membantu mengumpulkan biaya buat perkawinan kita. Itu sudah tanggung jawab kakangmu ini. Nduk, Cah Ayu, kakangmu cuma mau kamu hati-hati di sana, jaga diri juga j
Harun kembali ke Semarang setelah memperbaiki hubungannya dengan Asih. Emak dan bapak juga ikut bahagia karena anak sulungnya tidak lagi berpura-pura bahagia. Terlebih Sekar, jadi ia bisa punya teman bercerita.“Akhirnya kamu jadi nikah sama Asih?” Dewa bertanya dengan mulut yang penuh makanan.Harun mengangguk diiringi dengan senyuman yang mengembang. Wajahnya terlihat bahagia. Aura ketampanannya bersinar dengan sempurna.“Kamu jadi nikah sama Asih, sedangkan aku masih terbelenggu dengan perasaan Dewi,” Dewa menghentikan kunyahannya.“Cobalah untuk berdamai dengan perasaanmu sendiri,” Harun kemudian duduk di tepian ranjang, menghentikan aktifitasnya melipat dan memasukkan baju ke dalam lemari.“Maksudmu?” Dewa menghentikan makannya. Ia lebih tertarik dengan apa yang dikatakan Harun.“Aku pernah cerita kan tentang nasehat bapakku?”Dewa mengangguk pelan dibarengi dengan memas