Suara gaungan ular besi terdengar jelas di telinga Asih. Beberapa penumpang segera mengangkat bokongnya dan beranjak meninggalkan stasiun. Asih masih tetap duduk di ruang tunggu sedari dua jam yang lalu.
Para calon penumpang datang dan pergi. Entah sudah ganti berapa orang yang duduk di sekitarnya. Hanya ia yang masih tetap di sana. Dengan stastus menjemput tetapi tak jelas yang di tunggu.
Waktu berputar terus. Hingga tak terasa Asih tetap melakukan ini meski sudah di terimanya surat dari Harun kala itu. Surat yang mengabarkan berakhirnya hubungan mereka.
Gadis desa itu tampak sudah mulai lelah. Di keluarkan nafas berat berkali-kali. Meski ia harus menerima perasaan hancur seperti biasa. Pulang tanpa kabar angin pun dari kekasihnya yang telah mengakhiri hubungan secara sepihak.
Wajah ayunya menyapa satu persatu petugas stasiun yang kebetulan berpapasan. Senyum dan sikap santun ia lemparkan. Beberapa ikut merasakan kepedihan yang di alami gadis yang teramat setia, namun yang lainnya justru mengatakan betapa gobloknya anak perawan mak Ram.
“Mantuk, Mbak?” Petugas parkir menyapa dengan haru. Setiap hari selalu seperti itu. Menatapnya dengan sendu.
“Inggih, Pak,” Di anggukkan kepalanya sembari menerima sepeda dari pak Parno yang bertugas sebagai penjaga parkir.
“Monggo.”Asih memberi hormat lagi sebelum meninggalkan pak Parno, laki-laki yang seusia dengan bapaknya.
Punggung Asih semakin menjauh. Meninggalkan hiruk pikuk stasiun yang tak pernah tidur.
Di susuri jalanan kota Ledre yang kian hari kian ramai. Sudah dua tahun sejak surat terakhir yang ia kirimkan melayang. Hingga kini tak ada jawaban. Juga ia tak kunjung datang.
Sepanjang jalan pikirannya berkecamuk. Kemana perginya Harun. Apakah sudah menikah atau kemana? Genap dua tahun sudah ia setiap hari mendatangi stasiun tua tengah kota dan berharap kekasihnya datang. Namun, sekalipun ia tak datang.
Terus di kayuh sepeda ontelnya. Jeglongan Sewu kini tak separah dulu. Meski tetap saja masih banyak jeglongan. Tulisan Bupatiku Ayu, Camatku Ganteng tapi Dalanku Elek, kini sudah tak ada lagi di sepanjang jalan seperti dulu. Sekarang tergantikan spanduk iklan atau poster-poster kampanye wakil rakyat yang mencoba merayu.
Debu beterbangan dimana-mana. Mereka yang melintas sering menjuluki Saljo Jowo. Namun senyum manis itu tetap mampu keluar dari bibir mungil Asih. “Bener dugaanku, Kang. Awakmu ngapusi. Nyatane, awakmu gak wani muleh nemui aku.” Asih merasa menang. Dugaannya seolah benar. Harun tak pulang. Harun berbohong. Harun masih mencintainya.
***
Pagi ini berkabut. Awan hitam tampak bergelayutan. Asih mengeluarkan napas keresahan. Wajahnya tampak begitu tak tenang sembari tetap mengupas pisang raja yang akan di olah menjadi jajanan khas kota yang berbatasan langsung dengan Jawa Tengah.
“Wes rampung, Nduk?” Suara mak Ram membuyarkan lamunan. Ia segera begegas. Berusaha menghilangkan wajah keresahan.
Di bawanya baskom berisi pisang yang telah di suir-suir. Ia mendekat mak Ram. Duduk di depan tungku perapian. Wajan baja di depanya telah mengeluarkan asap panas. Mak Ram segera mengoles wajan dengan cairan berwarna putih.
Asih bangkit dan meninggalkan emaknya. Membereskan peralatan kotor. Menata peralatan yang telah ia cuci. Dan menyapu dapur.
Mak Ram menatap dari jauh. Rambut hitam dan panjang serta wajah oval yang putih bersih menambahkan kecantikan Asih. Mak Ram menatap anak perawannya dengan rasa bersalah. Seoalah dialah yang menjadikan anaknya seperti ini. Menunggu seseorang dengan tidak pasti.
“Mak, Asih mangkat kuliah luwh awal, geh?!” Ia menyadari bahwa emaknya sedari tadi memperhatikan.
“Lha kenopo? Opo mlebu isuk to?” Tangan mak Ram masih dengan lihai menggulung lembaran yang masih panas.
Hening. Tak ada jawaban. Asih ingin menjawabnya, namun begitu ragu.
“Mau mampir ndek staisun?” Pertanyaan emak begitu mengagetkan. Matanya tebelalak. Asih tak lagi bisa menyembunyikan kekagetannya.
Asih menunduk. Di anggukkan kepalanya. Mata indah itu menatap ke bawah. Tak berani memandang emaknya yang sedari dulu membesarkan ia seorang diri.
“Yawis, budalo.” Lagi, Asih kaget di buatnya. Biasanya emak selalu melarang ia pergi ke stasiun, menjemput kekasihnya tanpa pasti kapan akan datang.
Wajahnya berbinar. Tak lagi ia sembunyikan. Di rangkulnya emak dengan erat. Bulir bening keluar dari pelupuk mata gadis yang kini beranjak dua puluh tiga.
Dengan penuh semangat berbekal restu dari emak, Asih menggenjot sepedanya. Setumpuk buku yang telah ia masukkan ke dalam tas buatan sendiri, ia masukkan ke dalam keranjang depan sepeda.
Sepanjang jalan, bibir mungil dan merah milik Asih tersenyum. Tampak jelas kebahagiaan disana. Orang-orang memandangnya kaget. Asih yang biasanya pergi ke stasiun dengan buru-buru dan pulang dengan wajah sendu yang tetap di tutupi dengan senyum manis yang ia buat-buat, kini berbebda.
“Sugeng enjing, Pak” Di sapanya petugas parkir langganannya di stasiun.
“Sugeng enjing, Mbak. Lha kok isuk temen to?” Pak Parno menyambut sepedanya dengan senyum sumringah seolah ikut merasakan kebahagian yang terpancar di wajah Asih.
“Enjih, Pak. Mengke langsung mangkat kuliah,” Di tariknya tas itu dari keranjang sepeda.
“Nitip geh, Pak.” Asih berpamitan dan segera meninggalkan pak Parno yang masih keheranan.
Hari ini stasiun tidak seramai biasanya. Matanya celingukan mencari bangku kosong di ruang tunggu. Namun nihil. Tak ada bangku kosong.
Dunia terasa berhenti. Aliran darah di rasa juga berhenti berdesir. Detak jantungnya mendadak sesak. Matanya menangkap sosok pemuda yang sedari tadi menatapnya. Wajah yang begitu ia kenali. Wajah yang bertahun-tahun ia tunggu di sini. Wajah yang begitu ia rindukan.
Tak ada pergerakan dalam diri Asih. Tubuh yang kini tinggi semampai mematung tak percaya. Pemuda itu kini berjalan mendekat. Tubunya yang tinggi. Kulitnya yang tetap bersih. Rahangnya yang kini tampak mengeras tak seperti dulu.
“Sugeng enjing, cah ayu” Suara berat itu terdengar bergetar. Matanya menatap tajam. Seolah ingin masuk ke dalam dan menyelami samudra kerinduan Asih.
“Sugeng enjing, Kang” Suara Asih begitu tenang meski matanya menitikkan air mata dan menatap Harun tajam. Tampak jelas di sana bahwa Asih ingin segera menumpahkan tangis kerinduan di dada bidang pemuda yang kini jauh lebih tinggi darinya.
Semua terasa bisu. Tak ada suara gaungan kereta. Tak ada lagu Pinarak Bojonegoro. Tak ada lalu lalang para calon penumpang.
Asih, cah ayu, Renjanaku. Jangan menangis. Aku tak sanggup menatapmu. Harun masih diam membeku. Ingin di rengkuh gadis manis di depannya. Namun di urungkan karena ingat tujuannya. Asih, cah ayu, Renjanaku, maafkan aku.
Asih, cah ayu, Renjanaku, maafkan aku. Mata Harun menatapnya begitu lekat. Ingin sekali di rengkuh gadis manis yang menitikkan bulir bening. Keadaan masih terasa begitu menegangkan. Aliran darah masih belum sepenuhnya kembal berdesir.Wajah Asih tampak lebih ayu. Dia juga tampak lebih dewasa. Meski masih seperti dulu, dengan wajah yang di biarkan natural. Juga dengan baju yang sopan.“Kang Harun?,” Di ejanya nama itu sekali lagi.Lidah Asih masih terasa kelu. Matanya tak lepas dari sosok yang sekarang berdiri di depannya. Tinggi Harun yang dulu hampir sama dengan dia, kini sudah menjulang tinggi. Tubuhnya lebih gagah. Kumis tipis tampak sebagai pemanis.Tak ada kata. Hanya senyuman yang membuat mata pemuda itu semakin sipit sembari bibirnya mengangkat seulas senyuman untuk gadis yang mematung. Di dekatinya Asih yang masih tergugu. Tangisan bahagia itu benar-benar tumpah ruah di ruang tunggu stasiun.Beberapa penumpang
Hari ini, suasana rumah Asih begitu ramai. Hilir mudik emak-emak dengan segala kesibukan. Ada yang membawa rantang, ada yang membawa makanan, juga ada yang sibuk menata meja depan.Asih masih mengurung diri di kamar. Pikiran dan hatinya kacau. Bagaimana bisa penantian panjangnya selama ini sia-sia. Mengapa kamu tega sekali padaku, Kang? Asih masih belum sepenuhnya menerima keputusan yang di berikan Harun.Suara canda tawa anak-anak kecil terdengar begitu nyaring. Di luar sana orang-orang tengah bahagia. Mereka kira, Asih menerima keputusan ini dengan lapang dada. Kang, hari ini aku harus lamaran dengan laki-laki selain kamu. Apakah kamu siap dan baik-baik saja dengan keputusanmu?Suara ketukan pintu kamarnya membuyarkan segala lamunan. Juga air mata yang semalam telah membasahi bantal putih miliknya. Di sapu air mata kepedihan itu. Perlahan ia bangkit dan membuka pintu.“Mbak, kulo tukang rias sing di pesen ibu.” Seo
Harun melangkah pasti. Napasnya juga teratur. Tatapannya lurus ke depan. Di punggung ada tas hitam besar. Tak begitu berat, tapi berisi penuh. Digenggamnya beberapa lembar kertas. Di kepalanya ada topi kebesaran. Wajahnya menawan. Baju yang ia kenakan bersih, rapi, dan wangi. Rahangnya tampak mengeras. Wajah lelah melekat di sana. Namun tak mengurangi sedikit pun performa ketampanannya.“Langsung pulang, Pak?” Laki-laki yang tak kalah tinggi dari Harun memutus kesunyian di antara mereka.“Iya, Pak. Aku sudah berjanji sama emak. Akan bertemu di Cepu.” Harun menjawab sembari duduk. Suaranya terdengar tegas.“Ya sudah. Saya duluan kalau begitu.” Pemuda itu berlalu. Meninggalkan ia yang duduk sembari menunggu kereta yang akan membawanya menemui Emak nya.Hatinya bergemuruh. Debar-debar kerinduan sudah ingin keluar dari tempatnya. Sesekali dilihatnya sepatu yang mengkilap. Tak seperti dulu. Sewaktu kecil, kaki itu beralaskan
Cuaca kota Atlas hari itu terasa panas. Setelah membersihkan diri ia merebahkan badannya di kasur. Tubuhnya terasa lelah juga perasaannya. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar, terlihat plavon yang bersih dan rapi tidak seperti kostnya kala itu ketika ia masih jadi kuli bangunan.Kerinduan terhadap Asih masih ada hingga kini meski ia telah menyelesaikan hubungannya. Gadis manis dengan lesung pipit di pipi kanannya membuat Harun selalu teringat tentang Asih.Harun merogoh selembar kertas yag ia simpan di balik bantal. Di sana ada gambar perempuan yang haru lalu ia relakan untuk orang lain. Perempuan yang selama ini menunggunya dengan penuh setia dan percaya bahwa ia akan menepati janjinya.Harun mengeluarkan napasnya dengan kasar. Terasa sekali beban berat perasaan yang di pikul. Di elus beberapa kali foto itu. Wajah perempuan disana tidak berubah cemberut atau tertawa.Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan dan melupakan kamu begitu saja, Cah
Sepulang jalan-jalan sama Dewa menyusuri kota Lumpia, Harun merebahkan badannya. Dewa sudah mengeluarkan suara khas ketika tidur. Harun berbaring di sebelahnya. Matanya tak kunjung merem. Pikirannya semrawut tak karuan.Dia memikirkan kembali kata-kata Dewa beberapa waktu yang lalu. Sekuat apapun manusia berusaha melupaka, semakin jelas ingatan itu akan mendatangi kita. Harun mengusap wajahnya dengan kasar. Ia lelah dan ingin tidur. Besok ia harus berangkat pagi untuk bekerja.Di paksa matanya untuk terpejam. Tapi yang ada hanyalah lelah memejamkan mata. Harun bangun dari tidurnya dan mengambil selembar foto yang ia simpan di balik bantal tidurnya.Cah Ayu, semoga kamu bahagia dengan pilihan emak. Maafkan aku yang berjanji akan kembali tapi justeru malah memberi hatimu duri. Harun ingin menangisis keadaan hatinya. Perasaannya hancur ketika Mak Ram menolak lamarannya. Namun kehancuran itu tak separah ketika ia memutuskan hubunga
Cuaca kota Atlas hari itu terasa panas. Setelah membersihkan diri ia merebahkan badannya di kasur. Tubuhnya terasa lelah juga perasaannya. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar, terlihat plavon yang bersih dan rapi tidak seperti kostnya kala itu ketika ia masih jadi kuli bangunan.Kerinduan terhadap Asih masih ada hingga kini meski ia telah menyelesaikan hubungannya. Gadis manis dengan lesung pipit di pipi kanannya membuat Harun selalu teringat tentang Asih.Harun merogoh selembar kertas yag ia simpan di balik bantal. Di sana ada gambar perempuan yang haru lalu ia relakan untuk orang lain. Perempuan yang selama ini menunggunya dengan penuh setia dan percaya bahwa ia akan menepati janjinya.Harun mengeluarkan napasnya dengan kasar. Terasa sekali beban berat perasaan yang di pikul. Di elus beberapa kali foto itu. Wajah perempuan disana tidak berubah cemberut atau tertawa.Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan dan melupakan kamu begitu saja, Cah
Sepulang jalan-jalan sama Dewa menyusuri kota Lumpia, Harun merebahkan badannya. Dewa sudah mengeluarkan suara khas ketika tidur. Harun berbaring di sebelahnya. Matanya tak kunjung merem. Pikirannya semrawut tak karuan.Dia memikirkan kembali kata-kata Dewa beberapa waktu yang lalu. Sekuat apapun manusia berusaha melupaka, semakin jelas ingatan itu akan mendatangi kita. Harun mengusap wajahnya dengan kasar. Ia lelah dan ingin tidur. Besok ia harus berangkat pagi untuk bekerja.Di paksa matanya untuk terpejam. Tapi yang ada hanyalah lelah memejamkan mata. Harun bangun dari tidurnya dan mengambil selembar foto yang ia simpan di balik bantal tidurnya.Cah Ayu, semoga kamu bahagia dengan pilihan emak. Maafkan aku yang berjanji akan kembali tapi justeru malah memberi hatimu duri. Harun ingin menangisis keadaan hatinya. Perasaannya hancur ketika Mak Ram menolak lamarannya. Namun kehancuran itu tak separah ketika ia memutuskan hubunga
Harun meninggalkan stasiun Semarang dengan perasaan penuh resah. Ia teringat tentang Asih. Bagaimana kira-kira kabarnya setelah hari itu? pikirannya melayang. Namun ia masih sanggup fokus dalam bekerja. Setelah perjalanan panjang seharian, jam kerjanya telah usai Harun meninggalkan stasiun untk pulang ke rumah yang sudah lama ia tinggalkan. Tidak ada seseorang yang menunggu seperti para penumpang atau petugas lainnya.Harun berjalan keluar meningalkan area stasiun dan segera memesan becak yang tengah mangkal di pintu keluar. Dengan wajah sumringah Harun menaiki becak. Perasaan haru tengah memburu hatinya. Ia ingin sekali sampai rumah dengan cepat. Setelah menikmati perjalanan yang cukup panjang menurut perasaan Harun, akhirnya ia sampai di rumah yang selama ini rindukan. Emaknya yang tengah asyik ngobrol dengan bapaknya di sore hari kaget melihat kepulangan anaknya. Setelah membayar becak Harun sege
Harun menjalani hari-harinya dengan perasaan yang aneh. Ia merasa ada yang kurang dari hidupnya. Perasaan bersalah tehadap Asih teru saja menghantuinya. Hingga suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Asih.“Ah, mungkin kamu merindukan dia, Run,” Dewa menanggapi dengan santai.“Bisa jadi, sih, Wa. Tapi keliatannya hari lalu aku nggak mikirin dia, deh, Wa,” Harun menyanggah pendapat Harun.“Atau mungkin dia minta di doain, Wa?” Dewa memberi jawaban yang mampu membuat Harun berpikir dengan serius kali ini.Harun mengangguk sebagai tanda setuju dengan jawaban Dewa, lalu menyeruput kopinya Dewa yang terletak tidak jauh dari Harun.“Kebiasaan, deh, Run,” Dewa melihat Harun yang terbiasa menyerobot kopinya. Harun hanya merenges lalu ia mengajak Dewa ke warung Mak Yem.“Ngapain ke Mak Yem?” Dewa melirik Harun dengan tatapan penuh curiga.“Kamu nggak laper apa?” sekarang gi
Setelah beberapa kali ia menerima surat dari Asih dan Mak Ram secara terus menerus, Harun akhirnya memutuskan untuk pindah rumah kontrakan, Dewa pun ikut serta bersama Harun.Harun baru saja menempelkan pantatnya pada kursi yang berada di teras rumah. Dewa lalu datang membawa surat berbungkus amplop cokelat. Harun melirik sekejap surat ituyang kemudian tersenyum, “Makasih ya, Wa.”Dewa mengangguk kemudian duduk di sebelahnya dan menyeruput kopi yang ada di tangan kanannya.“Jadi yang tahu alamat ini Cuma emak?” Dewa mulai percakapan.Harun hanya mengangguk, ia sedang sibuk mengeja setiap kata yang ada dalam tulisan surta itu. namun, tiba-tiba Harun mengertutkan keningnya, ekspresinya juga berubah tidak seceria beberapa menit yang lalu.“Kenapa?” tanya Dewa penasaran.Harun masih terdiam, pandangannya masih fokus pada surat yang ada di tangannya. Dewa memperhatikan perubahan ekspresi Harun sedari tadi. Sele
Perlahan matahari mulai turun, Harun menyusuri lorong stasiun dengan tatapan para penumpang. Tubuhnya telah lelah dan juga hatinya. Selepas ia memberikan laporan di kantor Harun segera meninggalkan keramaian tempat umum itu.Harun segera memesan becak yang tengah mangkal di tempat biasa badannya teramat lelah untuk berjalan dari stasiun sampai ke kostnya dengan berjalan kaki. Laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun yang tengah mengayuh becaknya terlihat sesekali mengusap keringat dengan handuk kecil yang melingkar di pundaknya.Selang sepuluh menit becak itu berhenti pada sebuah bangunan rumah yang bergaya modern. Di sanalah ia tengah mengontrak sebuah rumah bersama Dewa. Dewa sedang duduk santai di teras masih dengan baju kerjanya.Setelah mengcapkan salam Harun langsung masuk ke rumah dan menuju kamar yang tengah terbuka lebar. Dewa membiarkan Harun sendiri untuk sementara waktu. Iajuga butuh istirahat setelah terjadi insiden pekerjanya yang kecelakaa
Pagi-pagi sekali Harun telah bersiap lengkap dengan baju dinasnya. Asih memperhatikan Harun dari jauh. Betapa beruntungnya ia jika hubungannya akan baik-baik saja dengan Harun. Asih menepis semua bayang-bayang tentang Harun.Harun mengenakan jaketnya yang berwarna hijau lumut, jaket itu menutup seluruh bajunya yang putih. Ia lalu menyalami kedua orang tuanya, Sekar dan Asih. harun tidak mengatakan apapun untk Asih.Tetangganya yang berprofesi sebagai tukang ojek telah menunggunya di depan rumah. Setelah Harun siap ia kemudian menghilang dari pandangan bersama tukang ojek.Asih berdiri terdiam dan mematung di tempatnya. Ia tidak bisa menafsirkan prihal perasaannya. Emak merangkul pundaknya dan membimbingnya masuk ke dalam rumah.Sekar yang semula masih ngantuk memutuskan untuk kembali tidur. Asih dan Emak lanjut menuju dapur. Mereka harus menyiapkan sarapan sebelum bapak dan Sekar ke tempat tujuannya masing-masing.“Nduk, kamu n
Mak Ram datang dengan membawa beberapa tas besar yang terisi penuh. Wajahnya terlihat lelah, ia segera mencari Asih berniat untuk menghilangkan penatannya.Mak Ram mendapati Asih yang tersungkur dalam amben. Suara tangisan terdengar jelas dari sana. Mak Ram segera mendekat dan memeluk anaknya. Namun Asih dengan tegas menolak bahkan menjauhkan tubuhnya dari Mak Ram.“Ada apa, Nduk?” Mak Ram betanya kebingungan.“Harusnya Asih yang bertanya ke Emak, ada apa?” Asih menjawab dengan air mata yang tidak berhenti berlinang.Mak Ram semakin bingung, ia mencoba meraih angan Asih, tapi Asih menepis lagi.“Ada apa?” Mak Ram mencoba bertanya pada Asih sekali lagi.“Ini surat dari siapa, Mak?” Asih memperlihatkan surat yang diberikan Emaknya beberapa waktu yang lalu.Mak Ram bingung, sepertinya Asih telah mengetahui semuanya, pikirnya.“Itu kan jelas dari Harun, Nduk?” Mak Ram beru
Pagi-pagi sekali Harun telah sampai di pelataran rumah ketika orang-orang hendak berangkat ke sawah. Setelah ia membayar becak Harun langsung masuk ke rumah, rupanya keluarganya tengah sarapan nasi jagung goreng bersama-bersama.“Kang Harun,” Sekar berteriak kegirangan.Emak dan bapaknya yang semula fokus sama sepiring nasi kini mengalihkan perhatiannya. Senyumnya mengembang melihat Si Sulung. Harun segera mengulurkan tangan untuk mencium tangan bapak dan emaknya.“Kok tumben wes bali maneh?” Emak bertanya curiga.“Kangen rumah, Mak,” Harun menjawab dengan senyuman setelah emak mencium kening anaknya.Nasi jagung goreng adalah makanan kesukaan Harun, matanya tidak bisa lepas dari nasi goreng yang tengah terhidang di meja. Harun kemudian segera mengambil piring yang ada di dapur dan ikut sarapan bersama.Bapak telah usai makan terlebih dulu, ia bergegeas hendak pergi ke sawah. Itu terlihat dari baj
Harun memarkirkan sepedanya di halaman kontrakan, ia memasuki kontrkan bersamaan dengan Dewa. Harun langsung merebahkan tubuhnya pada kasur sudah melambaikan tangan. Sedangkan Dewa langsung membersihkan badan karena bajunya yang penuh dengan semen.Dewa menyeka keringat yang yang mengalir di pelipis dengan handuk kecil yang melingkar di pundak. Ia menatap Harun dengan tatapan penuh iri.“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Harun menyadari bahwa Dewa tengah menatapnya.“Aku tekadang iri denganmu, Run,” Dewa menempelkan pantatnya pada kursi di depan meja. Harun bangun dari tidurnya lalu memosisikan diri sebaik mungkin untu menatap Dewa.“Apa maksudmu?” Harun menatap Dewa dengan penuh selidik.“Kamu menatapku biasa aja bisa nggak?” Dewa mengalihkan pembicaraan karena merasa risih ditatap oleh Harun sedemikian rupa,“Kamu ganteng, pekerjaanmu bagus, banyak perempuan yang menyukaimu, kekasihmu
Asih berlari keluar kamar setelah mendengar bel sepeda petugas POS. Ia mulai hapal dengan suara itu. tepat sekali, Pak Pos sudah betengger di teras rumah menunggu Asih yang sedang lari-lari kecil.“Terima kasih,” Asih menerima surat itu dan Pak Pos pun berlalu.Asih gemetar menerima amplop yang tetera nama Harun di sampul depan. Ia merasa bungah sekaligus susah menerima surat itu. Ia teringat kedatangan pemuda beseta bapaknya yang tak ia kenal. Mak Ram dengan tanpa pikir panjang langsung mengiyakan lamaran pemuda itu dan berniat membatalkan lamaran Harun.Asih masuk kamar dan membuka amplop dengan perlahan. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk Harun.Assalamualaikum, Cah Ayu,Kakangmu juga sehat, Nduk. Cah Ayu, kamu tidak usah repot-repot membantu mengumpulkan biaya buat perkawinan kita. Itu sudah tanggung jawab kakangmu ini. Nduk, Cah Ayu, kakangmu cuma mau kamu hati-hati di sana, jaga diri juga j
Harun kembali ke Semarang setelah memperbaiki hubungannya dengan Asih. Emak dan bapak juga ikut bahagia karena anak sulungnya tidak lagi berpura-pura bahagia. Terlebih Sekar, jadi ia bisa punya teman bercerita.“Akhirnya kamu jadi nikah sama Asih?” Dewa bertanya dengan mulut yang penuh makanan.Harun mengangguk diiringi dengan senyuman yang mengembang. Wajahnya terlihat bahagia. Aura ketampanannya bersinar dengan sempurna.“Kamu jadi nikah sama Asih, sedangkan aku masih terbelenggu dengan perasaan Dewi,” Dewa menghentikan kunyahannya.“Cobalah untuk berdamai dengan perasaanmu sendiri,” Harun kemudian duduk di tepian ranjang, menghentikan aktifitasnya melipat dan memasukkan baju ke dalam lemari.“Maksudmu?” Dewa menghentikan makannya. Ia lebih tertarik dengan apa yang dikatakan Harun.“Aku pernah cerita kan tentang nasehat bapakku?”Dewa mengangguk pelan dibarengi dengan memas