Angin semilir menarikan rambut panjang anak gadis Mak Ram. Sesekali mengganggu lamunan. Ia menyibakkan rambut yang terlepas dari ikatan dan mencoba bergelayutan manja di wajahnya. Ia duduk di teras rumah. Menikmati suasana sore yang indah. Di depan rumah yang terbuat dari anyaman bambu milik Mak Ram terdapat taman bambu yang menyejukkan suasana. Suara kemeratak dari bambu yang saling bergesekan karena angin menarikan batangnya menambah syahdu suasana. Setiap sore, gadis itu menikmati pemberian Tuhan.
Sesekali gadis itu tersenyum. Mata indah milik Asih menerawang jauh ke awang-awang. Kakinya menari, maju mundur di angkul-angkul kursi panjang. Tangannya meremas-remas rok panjang yang ia kenakan.
“Nduk, sudah selesai ngepack ledrenya?” Suara emak membuyarkan lamunan. Asih sedikit kecewa. Ingatan sewaktu ia dan Harun bermain di sebuah tempat buyar seketika.
“Sampun, Mak.” Ia sedikit melangkah masuk ke dalam rumah. Di lihat emak sedang meneliti hasil kerjanya. Asih tersenyum dan kembali duduk di kursi. Namun, tak senyaman tadi. Angin semilir pun sudah mulai membuyarkan diri. Ia berusaha duduk senyaman mungkin di kursi itu, meski tanpa di temani angin yang berhembus mesra seperti sewaktu tadi.
“Nduk, besok setorkan ke Pak Kardi yo.” Emak tiba-tiba sudah ngampping di daun pintu. Asih kaget di buatnya. Ia mengangguk dan di ikuti suara lirih “Enggih, Mak.” Setelah membuang napasnya dengan berat.
Emak segera berlalu, Asih pun meninggalkan teras. Alam sudah menunjukkan pertanda perubahan waktu. Hari sudah mulai gelap. Ia masuk rumah dan persiapan sembahyang di surau di sebelah rumah. Tempat ibadah yang tidak cukup besar, hanya bisa menampung beberapa jamaah. Tempat itu masih milik keluarga Asih, tepatnya, imam surau itu adalah pamannya. Surau itu pun tidak mewah seperti di kota-kota. Beralaskan kayu yang di jejer rapi sehingga berbentuk lantai. Di surau itulah Asih selalu mempasrahkan hubungannya dengan sang kekasih.
Jam berlalu dengan cepat. Jam beker di meja sebelah tempat tidurnya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun matanya masih saja bersinar terang. Tak seperti biasanya. Di jam-jam seperti sekarang ini sudah mulai terasa berat. Matanya menerawang jauh. Di tatapnya plafon kamar yang juga terbuat dari anyaman bambu yang sudah mulai di penuhi dengan kukus gantung. Ternyata, ingatan Asih belum puas dengan kejadian tadi sore. Mungkin malam ini ia akan membayar tuntas perihal ingatan tersebut. Tanpa sadar, bibir mungilnya kembali tersenyum. Matanya semakin memancarkan kebahagian yang tersembunyi begitu dalam. Ia bangun dari rebahan. Mengambil sesuatu yang ia simpan rapi di bawah kasur. Sebuah foto ketika ia jalan-jalan mengunjungi kawasan wisata Kahyangan Api. Di sana tampak dirinya sedang duduk bersama pemuda tampan di bebatuan. Di belakang mereka ada sebuah candi kecil dengan empat pilar, di depannya ada api yang muncul dari bebatuan yang di batasi lingkaran beton. Empat bangunan candi kecil itu mengelilingi api tersebut. Berjarak sekitar lima puluh meter dari api, terdapat sumur Blekutuk. Sumur itu berisi air yang tampak mendidik terus menerus dan menimbulkan suara seperti air mendidih. Dari sumur tercium aroma belerang yang sangat kuat. Secara ilmiah api itu dari gas alam yang tersulut api sehingga terus menyala karena di kawasan tersebut mengandung gas dan minyak bumi yang cukup banyak.
Asih senyam-senyum mengingat bagaimana perjuangan mengambil foto itu. Ia harus dengan berani meminta tolong orang lain untuk mengambilkan fotonya bersama Harun. Klise foto itu juga masih ada. Di simpannya rapi hingga kini.
Seandainya saja ia bisa seperti Sukasrana yang bisa memindahkan taman Sriwedari dari Kahyangan Untarasegara ke Maespati dalam waktu semalam, Asih ingin memindahkan Kahyangan Api ke pelataran rumahnya, agar bisa mengenang kebersamaannya dengan Harun, sang kekasih, setiap saat.
***
Mata itu tak memancarkan sinar bahagia seperti sediakala. Sinar itu kini redup. Juga dengan senyumnya. Ketika ia ingat bagaimana mitos yang beredar kala itu. Jangan datang ke Kahyangan Api bersama pasangan, nanti bisa putus.
Asih memandang lamat-lamat foto di tangannya. Apakah hubungannya dengan Harun akan kandas di tengah jalan. Kekhawatiran itu sering kali menghantui hari-hari Asih. Seperti malam ini. Jam sudah menunjukkan setengah dua belas malam. Namun mata indah itu masih bersinar terang dan mulutnya tak sekalipun menguap. Ini bahkan bukan malam pertamanya seperti sekarang ini, sudah malam yang entah keberapa kali. Malam seperti ini sering ia alamai semenjak Harun memutuskan pergi ke luar kota.
Ia benar-benar ingin tidur. Ia telah lelah. Melewati hari-hari yang terasa berat dan juga dengan perasaannya yang semakin membuatnya sekarat. Malam, tenangkan aku. Bawa aku kedalam mimpi bersamanya. Tunjukkan padaku meski hanya melalui mimpi, di manakah dia dan apa kabarnya. Asih memejamkan mata. Angin semilir berhembus melalui dinding-dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Seoalah alam menyambut dan akan mengantarkan doanya pada sang pencipta.
Jam beker yang dibeli beberapa tahun lalu membangunkan dari buaian tidurnya. Sudah menunjukkan pukul lima pagi. Hari ini ia libur absen pada Tuhan, jadi bisa menebus tidurnya yang kurang sejak semalam.
Ia bergegas memulai hari seperti hari biasa. Tidak ada waktu untuk bersantai sejenak. Pekerjaan rumah telah menunggunya. Belum lagi ia harus ke stasiun. Harapan akan kepulangan Harun masih tumbuh subur di hatinya. Dan ia selalu membayangkan, jika hari ini Harun akan pulang dan menunggunya di stasiun.
Ia memutar badannya entah sudah berapa kali di depan cermin yang ada di kamar. Sesekali ia melebarkan rok bermotif bunga. Ia senyam-senyum sendiri di depan cermin. Hatinya bergemuruh. Bayangan akan bertemu harun memenuhi otak. Ia berfikir, apa yang akan di ucapkan jika nanti bertemu Harun di stasiun. Wajahnya merah padam. Malu. Membayangkan nanti, meski Harun blum tentu datang seperti hari biasa.
Emak membuka tirai yang warnanya sudah mulai kumal. Ia mendapati anak gadisnya sedang sibuk di depan cermin. Mematut-matut diri. Perasaan getir muncul di hati perempuan yang sudah berusia empat puluh tahun. Yang di tatap tersenyum getir. Ada seribu makna yang tak bisa ia ucapakn. Gadis itu lalu berpamitan. Mencium tangan perempuan yang di panggil emak. Tangan itu tampak mulai keriput. Ingin sekali wanita itu menarik tangan anak gadis itu. Tak memberi ijin kepergiannya.
Matahari sudah mulai meninggi. Tak ada gumpalan awan hitam disana. Namun tak menyurutkan sedikit pun langkah Asih. Ia mengayuh sepeda dengan penuh semangat. Sepanjang jalan ia berdoa, semoga Harun hari ini pulang dan mereka betemu di stasiun. Semakin menggebu doa itu dalam hati ketika ingat penuturan emak semalam. Lupakan Harun, sudah lama ia pergi namun tak juga kembali untuk menepati janjinya, menemuimu.
Begitu jelas tembok pembatas di antara mereka. Namun tak menghentikan Asih untuk tetap setia menunggu kepulangan Harun. Begitu besar perasaan gadis desa itu untuk seorang Harun, pemuda desa yang menggugah cintanya dan berjanji akan datang untuk melamar setelah sukses seperti permintaan Mak Ram, emak Asih.
Sepeda ontel warna biru itu berhenti di bawah pohon rindang depan stasiun tua tengah kota. Hari ini ia tidak akan masuk kesana. Cukup menatap dari jauh. Ia masih ingat betul bagaimana wajah kekasihnya. Terutama tatapan mata yang tajam dan senyuman khas dengan dagu lancipnya.
Suara kendaraan wira-wiri di jalanan. Menyamarkan suara lagu Pinarak Bojonegoro sebagai lagu pengiring kereta penumpang datang. Namun ia tetap sabar menunggu di sana. Keringat mulai membuat penampilannya awut-awutan. Tak secantik ketika ia masih di kamar. Dan debu-debu jalanan juga sudah mengotori wajah ayunya. Ia menyeka peluh yang menetes di alisnya. Suara samar-samar lagu Bengawan Solo yang di populerkan Mbah Gesang sayu-sayu ia dengar. Ia melirik, mencari asal suara lagu yang menambah buyar lagu khas stasiun ketika ada kereta penumpang datang.
Namun, bukan kecewa atau kemarahan yang akan di berikan untuk tukang becak yang ada di sebelahnya. Justeru ia tesenyum. Ia semakin teringat Harun. Pemuda yang namanya ia simpan rapat di hati, dari sanalah ia tinggal, di bantaran sungai bengawan Solo.
Suasana perkampungan itu begitu terasa. Di sana emak-emak hilir mudik mencari sayuran. Bukan dari warung atau dari pasar. Tetapi meminta dari tetangga. Begitulah kehidupan di desa, tempat tinggal Harun. Saling membantu. Tak terkecuali dalam urusan dapur. Pengen masak sayur apa yang di miliki tetangga, boleh diminta. Tinggal metik setelah dapat ijin dari si pemilik.“Run, bapakmu udah berangkat to?” logat bahasa jawa timuran paling barat melekat pada perempuan dengan rambut panjangnya yang di gelung kecil di kepala seperti khas gelungan di era Majapahit menanyakan perihal suami pada anak sulungnya.“Sudah mungkin, Mak.” Yang di tanya menjawab dengan santai sambil menyiapkan perkakas perangnya. Sekop yang sudah ia pastikan bersih dan tajam, serta baju kerja andalan. Di tatapnya perempuan yang ia panggil emak dari kejauhan. Wanita itu menggunakan rok dari kain batik yang di lilit, tanpa di jahit. Tampak tengah ngobrol dengan lawan bicara sambil mem
Bayangan Harun menerawang jauh. Di tangkapnya bayang-bayang ketika ia pertama kali bertemu Asih. Gadis itu malu-malu. Senyum indah dan kedipan matanya yang begitu lentik yang menyeret Harun mengajaknya kenalan.Ia mendekat perlahan. Gadis yang kini berjarak beberapa meter di depannya menampakkan pipinya yang merah merona. Jantung Harun berdetak di atas ambang normal. Namun ia juga bersiap ketika gadis manis itu justru menjauh meninggalkan dia, masih untung jika ia tak di damprat oleh gadis manis itu.“Nuwun sewu, Mbak, angsal nderek lungguh mriki?” suara berat itu bergetar, namun sebisa mungkin Harun menyembunyikan.Gadis berkaos merah muda dengan lengan panjang itu menoleh. Senyum manis tersungging di bibirnya. Tak ada jawaban, hanya anggukan yang mampu ia berikan sebagai jawaban. Degup jantungnya pun tak kalah dengan Harun. Berdetak lebih kencang dari biasanya.Harun duduk di sebalah kanan gadis manis yang kala itu menyebutkan naman
Emak tampak merenung. Di pandanginya padi yang ada di pelataran rumah. Harun paham betul apa yang ada di pikiran emaknya. Namun sepatah kata pun tak mampu di keluarkan. Ia pendam mentah-mentah semua yang ada di benaknya. Panen musim ini tak seperti biasanya. Berkurang lima karung lebih. Namun, meski begitu tetap bersyukur.Janji melamar Asih sewaktu panen membayang seketika. Wajahnya yang ayu, matanya yang teduh, dan senyum manis yang ditambah dengan lesung pipit menambah khas kekasihnya itu.“Run, udah makan?” Wanita dengan gelungan membuyarkan lamunannya. Harun menatap emaknya dengan seksama. Wanita yang ditatap mengerti perasaan dan apa yang di pikirkan anak laki-lakinya itu. Hanya anggukan dan jawaban enggih yang di berikan. Tanpa basa-basi, ia lalu beranjak dari duduknya dan meninggalkan emaknya. Punggung Harun semakin menjauh. Hal yang wajar, ikatan anak dan emak memanglah begitu kental. Meski senyum manis apapun yang Harun berikan,
Kamar berukuran tiga kali tiga meter itu terasa begitu pengap. Bayangan Asih dan janjinya terhadap Mak Ram serta kehidupannya waktu di desa benar-benar menyita waktunya. Emak yang selalu ia rindukan perihal nasehat-nasehatnya, jangan lupa makannya, jangan lupa ibadahnya, senyumnya yang begitu tulus hingga marahnya, seperti hari itu ketika ia pulang main bola menjelang maghrib, emak sudah mondar-mondar di depan pintu dengan sampu di tangan kanannya, sedang tangan kirinya masih nyincing Tapeh yang dari jarik lurik.“Ileng muleh barang kowe, Run?” Suara keras itu menyambutnya memasuki halaman rumah yang sederhana.“Tadi istirahat dulu, Mak?” Harun berusaha membela diri meski tak mampu ditatap wajah emaknya yang begitu tampak mengerikan.“Besok ulangi lagi kalau pengen tahu rasanya sapu ini.” Mata itu menatap tajam sembari mengacungkan sapu yang di pegangnya.“Mbo
Di pandangi makanan yang ada di depannya. Di aduk-aduk. Selera makannya seketika hilang. Di teguk es teh yang ada di sebelah kanan sikunya. Berharap selera makannya bisa pulih seperti sedia kala. Rasa rindu di hati benar-benar membuncah. Tak tertahankan. Ingin sekali ia mengunjungi keluarga dan juga Asih, kekasihnya.Di genggam surat dari emak yang ia terima kemarin. Pikirannya kacau. Ia ingat betul betapa sibuknya orang-orang di desa ketika acara seperti yang di ceritakan emak. Acara yang selalu ada di setiap tahun. Menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan atas apa yang telah diterima.Nyadran berasal dari bahasa Sansakerta, Sraddha yang artinya keyakinan. Masyarakat desa dimana Harun berasal mempercayai, bahwa semua nikmat yang telah ia terima adalah pemberian Tuhan melalui usaha dan kerja keras.Begitu juga dengan keluarga Harun. Mengikuti acara sakral itu dengan khidmat. Di bawanya makanan yang sudah di letakkan pada sebuah wadah yang cukup untuk menamp
Kereta lokal itu membawa Harun kembali ke parantauan. Suara saut-sautan orang bercengkrama dalam kereta begitu riuh. Pak kondektur menyibak lalu-lalang pedagang yang hilir mudik. Mengecek satu persatu tiket penumpang.Lidahnya masih kelu. Wajah emak dan sekar masih terlintas. Bayang-bayang Asih juga ikut menghantui. Diliriknya perempuan cantik yang kini duduk di sebelah. Ia tampak berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kesedihan. Air mata itu sesekali menetes. Secepat kilat tangan yang terlihat putih pucat itu meraih bulir-bulir bening yang mulai jatuh, agar tak ada orang yang tahu perihal dukanya. Di ulurkan sapu tangan yang sedari tadi bersembunyi di balik kantong tas kecil yang di cangklong Harun. Ragu, perempuan yang berambut bergelombang di sebelahnya menerima. Harun mengangguk mantab. Meyakinkan bahwa ia ikhlas memberikan. Di usapnya sapu tangan berwarna biru ke wajah gadis manis di sebalah. Adakala digunakan untuk menutupi wajahnya ketika wanit
“Asih, Renjanaku, apa kabar? Maafkan aku.” Sudah seminggu layang itu di kirimkan. Perasaannya kacau. Merusak konsentrasi kegiatan belajar. Semangatnya tak membara seperti dulu, ketika ingat janji untuk segera melamar kekasihnya. Namun kini, keadaan sudah berbalik. Alam tidak mendukung niatnya.Juga sekitar satu minggu, ia tidak bekerja. Dan hari ini adalah hari pertama setelah seminggu kerjaan berhenti. Bukan karena Harun sakit, tapi melainkan karena memang tidak ada proyek yang harus di kerjakan.Tapi, Harun berangkat tidak penuh semangat seperti biasa. Ternyata pedihnya perasaan juga berimbas pada semangat kerja. Dewa, teman bekerja sekaligus sahabatnya yang mengetahui segala dari Harun─ selain teman kerja dan teman kuliah Harun─ menghempaskan napas dengan kasar dan geleng-geleng kepala. Dewa paham betul lara hati yang di dera sahabatnya. Sungguh tidak mudah menjadi Harun. Bahkan, jika ia sendiri yang mengalami, ia tidak tahu harus menga
Suara gaungan ular besi terdengar jelas di telinga Asih. Beberapa penumpang segera mengangkat bokongnya dan beranjak meninggalkan stasiun. Asih masih tetap duduk di ruang tunggu sedari dua jam yang lalu.Para calon penumpang datang dan pergi. Entah sudah ganti berapa orang yang duduk di sekitarnya. Hanya ia yang masih tetap di sana. Dengan stastus menjemput tetapi tak jelas yang di tunggu.Waktu berputar terus. Hingga tak terasa Asih tetap melakukan ini meski sudah di terimanya surat dari Harun kala itu. Surat yang mengabarkan berakhirnya hubungan mereka.Gadis desa itu tampak sudah mulai lelah. Di keluarkan nafas berat berkali-kali. Meski ia harus menerima perasaan hancur seperti biasa. Pulang tanpa kabar angin pun dari kekasihnya yang telah mengakhiri hubungan secara sepihak.Wajah ayunya menyapa satu persatu petugas stasiun yang kebetulan berpapasan. Senyum dan sikap santun ia lemparkan. Beberapa ikut merasakan kepedihan yang di alami gadis ya
Harun menjalani hari-harinya dengan perasaan yang aneh. Ia merasa ada yang kurang dari hidupnya. Perasaan bersalah tehadap Asih teru saja menghantuinya. Hingga suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Asih.“Ah, mungkin kamu merindukan dia, Run,” Dewa menanggapi dengan santai.“Bisa jadi, sih, Wa. Tapi keliatannya hari lalu aku nggak mikirin dia, deh, Wa,” Harun menyanggah pendapat Harun.“Atau mungkin dia minta di doain, Wa?” Dewa memberi jawaban yang mampu membuat Harun berpikir dengan serius kali ini.Harun mengangguk sebagai tanda setuju dengan jawaban Dewa, lalu menyeruput kopinya Dewa yang terletak tidak jauh dari Harun.“Kebiasaan, deh, Run,” Dewa melihat Harun yang terbiasa menyerobot kopinya. Harun hanya merenges lalu ia mengajak Dewa ke warung Mak Yem.“Ngapain ke Mak Yem?” Dewa melirik Harun dengan tatapan penuh curiga.“Kamu nggak laper apa?” sekarang gi
Setelah beberapa kali ia menerima surat dari Asih dan Mak Ram secara terus menerus, Harun akhirnya memutuskan untuk pindah rumah kontrakan, Dewa pun ikut serta bersama Harun.Harun baru saja menempelkan pantatnya pada kursi yang berada di teras rumah. Dewa lalu datang membawa surat berbungkus amplop cokelat. Harun melirik sekejap surat ituyang kemudian tersenyum, “Makasih ya, Wa.”Dewa mengangguk kemudian duduk di sebelahnya dan menyeruput kopi yang ada di tangan kanannya.“Jadi yang tahu alamat ini Cuma emak?” Dewa mulai percakapan.Harun hanya mengangguk, ia sedang sibuk mengeja setiap kata yang ada dalam tulisan surta itu. namun, tiba-tiba Harun mengertutkan keningnya, ekspresinya juga berubah tidak seceria beberapa menit yang lalu.“Kenapa?” tanya Dewa penasaran.Harun masih terdiam, pandangannya masih fokus pada surat yang ada di tangannya. Dewa memperhatikan perubahan ekspresi Harun sedari tadi. Sele
Perlahan matahari mulai turun, Harun menyusuri lorong stasiun dengan tatapan para penumpang. Tubuhnya telah lelah dan juga hatinya. Selepas ia memberikan laporan di kantor Harun segera meninggalkan keramaian tempat umum itu.Harun segera memesan becak yang tengah mangkal di tempat biasa badannya teramat lelah untuk berjalan dari stasiun sampai ke kostnya dengan berjalan kaki. Laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun yang tengah mengayuh becaknya terlihat sesekali mengusap keringat dengan handuk kecil yang melingkar di pundaknya.Selang sepuluh menit becak itu berhenti pada sebuah bangunan rumah yang bergaya modern. Di sanalah ia tengah mengontrak sebuah rumah bersama Dewa. Dewa sedang duduk santai di teras masih dengan baju kerjanya.Setelah mengcapkan salam Harun langsung masuk ke rumah dan menuju kamar yang tengah terbuka lebar. Dewa membiarkan Harun sendiri untuk sementara waktu. Iajuga butuh istirahat setelah terjadi insiden pekerjanya yang kecelakaa
Pagi-pagi sekali Harun telah bersiap lengkap dengan baju dinasnya. Asih memperhatikan Harun dari jauh. Betapa beruntungnya ia jika hubungannya akan baik-baik saja dengan Harun. Asih menepis semua bayang-bayang tentang Harun.Harun mengenakan jaketnya yang berwarna hijau lumut, jaket itu menutup seluruh bajunya yang putih. Ia lalu menyalami kedua orang tuanya, Sekar dan Asih. harun tidak mengatakan apapun untk Asih.Tetangganya yang berprofesi sebagai tukang ojek telah menunggunya di depan rumah. Setelah Harun siap ia kemudian menghilang dari pandangan bersama tukang ojek.Asih berdiri terdiam dan mematung di tempatnya. Ia tidak bisa menafsirkan prihal perasaannya. Emak merangkul pundaknya dan membimbingnya masuk ke dalam rumah.Sekar yang semula masih ngantuk memutuskan untuk kembali tidur. Asih dan Emak lanjut menuju dapur. Mereka harus menyiapkan sarapan sebelum bapak dan Sekar ke tempat tujuannya masing-masing.“Nduk, kamu n
Mak Ram datang dengan membawa beberapa tas besar yang terisi penuh. Wajahnya terlihat lelah, ia segera mencari Asih berniat untuk menghilangkan penatannya.Mak Ram mendapati Asih yang tersungkur dalam amben. Suara tangisan terdengar jelas dari sana. Mak Ram segera mendekat dan memeluk anaknya. Namun Asih dengan tegas menolak bahkan menjauhkan tubuhnya dari Mak Ram.“Ada apa, Nduk?” Mak Ram betanya kebingungan.“Harusnya Asih yang bertanya ke Emak, ada apa?” Asih menjawab dengan air mata yang tidak berhenti berlinang.Mak Ram semakin bingung, ia mencoba meraih angan Asih, tapi Asih menepis lagi.“Ada apa?” Mak Ram mencoba bertanya pada Asih sekali lagi.“Ini surat dari siapa, Mak?” Asih memperlihatkan surat yang diberikan Emaknya beberapa waktu yang lalu.Mak Ram bingung, sepertinya Asih telah mengetahui semuanya, pikirnya.“Itu kan jelas dari Harun, Nduk?” Mak Ram beru
Pagi-pagi sekali Harun telah sampai di pelataran rumah ketika orang-orang hendak berangkat ke sawah. Setelah ia membayar becak Harun langsung masuk ke rumah, rupanya keluarganya tengah sarapan nasi jagung goreng bersama-bersama.“Kang Harun,” Sekar berteriak kegirangan.Emak dan bapaknya yang semula fokus sama sepiring nasi kini mengalihkan perhatiannya. Senyumnya mengembang melihat Si Sulung. Harun segera mengulurkan tangan untuk mencium tangan bapak dan emaknya.“Kok tumben wes bali maneh?” Emak bertanya curiga.“Kangen rumah, Mak,” Harun menjawab dengan senyuman setelah emak mencium kening anaknya.Nasi jagung goreng adalah makanan kesukaan Harun, matanya tidak bisa lepas dari nasi goreng yang tengah terhidang di meja. Harun kemudian segera mengambil piring yang ada di dapur dan ikut sarapan bersama.Bapak telah usai makan terlebih dulu, ia bergegeas hendak pergi ke sawah. Itu terlihat dari baj
Harun memarkirkan sepedanya di halaman kontrakan, ia memasuki kontrkan bersamaan dengan Dewa. Harun langsung merebahkan tubuhnya pada kasur sudah melambaikan tangan. Sedangkan Dewa langsung membersihkan badan karena bajunya yang penuh dengan semen.Dewa menyeka keringat yang yang mengalir di pelipis dengan handuk kecil yang melingkar di pundak. Ia menatap Harun dengan tatapan penuh iri.“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Harun menyadari bahwa Dewa tengah menatapnya.“Aku tekadang iri denganmu, Run,” Dewa menempelkan pantatnya pada kursi di depan meja. Harun bangun dari tidurnya lalu memosisikan diri sebaik mungkin untu menatap Dewa.“Apa maksudmu?” Harun menatap Dewa dengan penuh selidik.“Kamu menatapku biasa aja bisa nggak?” Dewa mengalihkan pembicaraan karena merasa risih ditatap oleh Harun sedemikian rupa,“Kamu ganteng, pekerjaanmu bagus, banyak perempuan yang menyukaimu, kekasihmu
Asih berlari keluar kamar setelah mendengar bel sepeda petugas POS. Ia mulai hapal dengan suara itu. tepat sekali, Pak Pos sudah betengger di teras rumah menunggu Asih yang sedang lari-lari kecil.“Terima kasih,” Asih menerima surat itu dan Pak Pos pun berlalu.Asih gemetar menerima amplop yang tetera nama Harun di sampul depan. Ia merasa bungah sekaligus susah menerima surat itu. Ia teringat kedatangan pemuda beseta bapaknya yang tak ia kenal. Mak Ram dengan tanpa pikir panjang langsung mengiyakan lamaran pemuda itu dan berniat membatalkan lamaran Harun.Asih masuk kamar dan membuka amplop dengan perlahan. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk Harun.Assalamualaikum, Cah Ayu,Kakangmu juga sehat, Nduk. Cah Ayu, kamu tidak usah repot-repot membantu mengumpulkan biaya buat perkawinan kita. Itu sudah tanggung jawab kakangmu ini. Nduk, Cah Ayu, kakangmu cuma mau kamu hati-hati di sana, jaga diri juga j
Harun kembali ke Semarang setelah memperbaiki hubungannya dengan Asih. Emak dan bapak juga ikut bahagia karena anak sulungnya tidak lagi berpura-pura bahagia. Terlebih Sekar, jadi ia bisa punya teman bercerita.“Akhirnya kamu jadi nikah sama Asih?” Dewa bertanya dengan mulut yang penuh makanan.Harun mengangguk diiringi dengan senyuman yang mengembang. Wajahnya terlihat bahagia. Aura ketampanannya bersinar dengan sempurna.“Kamu jadi nikah sama Asih, sedangkan aku masih terbelenggu dengan perasaan Dewi,” Dewa menghentikan kunyahannya.“Cobalah untuk berdamai dengan perasaanmu sendiri,” Harun kemudian duduk di tepian ranjang, menghentikan aktifitasnya melipat dan memasukkan baju ke dalam lemari.“Maksudmu?” Dewa menghentikan makannya. Ia lebih tertarik dengan apa yang dikatakan Harun.“Aku pernah cerita kan tentang nasehat bapakku?”Dewa mengangguk pelan dibarengi dengan memas