Suasana perkampungan itu begitu terasa. Di sana emak-emak hilir mudik mencari sayuran. Bukan dari warung atau dari pasar. Tetapi meminta dari tetangga. Begitulah kehidupan di desa, tempat tinggal Harun. Saling membantu. Tak terkecuali dalam urusan dapur. Pengen masak sayur apa yang di miliki tetangga, boleh diminta. Tinggal metik setelah dapat ijin dari si pemilik.
“Run, bapakmu udah berangkat to?” logat bahasa jawa timuran paling barat melekat pada perempuan dengan rambut panjangnya yang di gelung kecil di kepala seperti khas gelungan di era Majapahit menanyakan perihal suami pada anak sulungnya.
“Sudah mungkin, Mak.” Yang di tanya menjawab dengan santai sambil menyiapkan perkakas perangnya. Sekop yang sudah ia pastikan bersih dan tajam, serta baju kerja andalan. Di tatapnya perempuan yang ia panggil emak dari kejauhan. Wanita itu menggunakan rok dari kain batik yang di lilit, tanpa di jahit. Tampak tengah ngobrol dengan lawan bicara sambil memetik daun ketela rambat milik tetangga. Rupanya, Harun tahu apa rencana yang akan di masak emaknya. Sayur asem daun ketela dan terong. Terong miliknya yang ia tanam di pekarangan rumah dan daun ketela rambat dari tetangga.
“Run, sarapannya bapakmu jangan lupa dibawa lho.” Suara emak dari seberang jalan tetap terdengar nyaring.
“enggeh.” Yang di panggil tak mau kalah meneriakkan suaranya agar sampai di telinga emak yang ada di seberang jalan sana.
“Mak, Harun pamit,” Ia mengambil sepeda yang sudah ia siapkan. Di sana, di jok sepeda bagian belakang ada sekop sebagai alat perang, ada bekal untuk makan siang dan sarapannya bapak. Setelah mendapat jawaban dari wanita yang kini masih asyik ngerumpi di belakang rumah pemilik daun ketela rambat yang tadi di minta, Harun mulai mendorong dan mengayuh sepedanya. Dengan sejuta doa dan harapan, ia menuju tempat dimana akan membanting tulang. Sekeras mungkin ia banting tulangnya agar segera memenuhi keinginan calon emak mertua, Mak Ram. Menjadi orang sukses supaya bisa membahagiakan Asih, sang kekasih. Namun, jika teringat pekerjaannya sekarang, begitu menciut harapan Harun untuk meminang sang gadis pujaan. Penolakan hari lalu masih teringat jelas di kepalanya. Seolah baru saja ia terima. Masih teramat jelas bagaimana ucapan Mak Ram disertai sorotan matanya yang melotot tajam.
Suara berisik diesel bersaut-sautan. Tampak berjajar beberapa diesel di setiap petak tanah. Penambangan pasir illegal. Disanalah Harun akan mengais rupiah ketika tak ada kerjaan sebagai kuli bangunan. Di tepiskan tatapan mata yang memandangnya dari penumpang perahu yang hilir mudik menyeberangkan penumpang. Entah apa yang mereka pikirkan. Harun tak pernah memikirkan sekalipun. Tak peduli pikiran pujian ataukan hinaan tehadapnya. Yang ia pikirkan hanya satu, tetap bertahan hidup agar tidak membebani orang tua terus-menerus dan menabung untuk segera menghalalkan sang kekasih.
“Pak, sarapan dulu.” Ia mengacungkan sebungkus sarapan yang ia bawa dari rumah. Yang di panggil mendekat. Meninggalkan pekerjan untuk sementara. Di letakkan sekop di bawah pohon besar di tepi bengawan. Lalu duduk di sampingnya. Mengisi perut yang sedari tadi menyanyikan lagu keroncongan.
Harun melangkah meninggalkan bapaknya yang sedang menyantap makanan yang ia bawa. Ia mengambil alih pekerjaan bapaknya yang sempat tetunda. Suara diesel bersaut-sautan semakin jelas terdengar. Berisik. Begitulah kesannnya. Namun tidak bagi pemuda desa yang bertubuh tinggi dengan kulit hitam yang sudah terbiasa di setiap harinya.
***
Beberapa perempuan berparas ayu tampak sedang berbincang bersama temannya. Sesekali mereka tertawa bersama. Salah satu dari mereka tampak sering mencuri pandang pada pemuda yang tengah membanting tulang bersama bapaknya. Wajah tampan Harun memang tidak berkurang sedikitpun meski kulitnya hitam lebam.
Harun bersama bapaknya tengah sibuk menggali pasir. Menampakkan punggungnya yang hitam dan mengkilap karena keringat. Kepalanya di ikat oleh kaos yang ia lepaskan. Keringat membasahi dimana-mana.
Perempuan itu berkerudung merah. Sedang duduk-duduk menikmati sore di atas cadas bebatuan pinggiran bengawan Solo. Suara gemericik air menambah eloknya suasana. Namun bagi pemuda desa itu, tempat itu adalah ladang uangnya. Bukan tempat bersantai seperti mereka.
Semakin sore, langit semakin menampakkan kecantikannya. Merah jingga yang memanjakan setiap netra yang memandang, juga semilir angin yang berhembus menambah sejuknya suasana. Di sanalah Harun dan Asih pernah duduk bersama. Menikmati sore seperti mereka-mereka.
Di ujung sana, tampak segerombol pemuda sedang memandangi air yang menggenang dengan tenang. Air itu tampak begitu hitam. Sesekali riuh rendah menampilkan gelombang kecil. Air menarikan gelombang, tak jarang ikan-ikan kecil berlompatan. Umpan pancing mengelilingi. Sesekali pemuda menarik tali pancing yang terbuat dari belahan bambu. Cukup sederhana. Hanya bilahan bambu yang di ikat dengan tali dan diberi umpan. Yang lainnya bersorak turut bahagia. Si pemilik kail segera melepas ikan dan memasukkan ke dalam wadah yang telah ia persiapkan.
Hari berganti. Langit semakin gelap. Tempat yang semula ramai kini berangsur menjadi sepi. Harun pun ikut meninggalkan tempat yang biasa disebut Kracakan. Gemericik air semakin jelas. Menemani para pemancing menghabiskan malam. Niagara musiman ini tak pernah tidur. Selalu menemani bagi mereka yang siap bergadang menghabiskan malam.
Berbeda dengan Harun, meski ia harus menelan waktu yang di rasa begitu lama agar bisa menikmati suasana di Kracakan, di sanalah ia bisa mengenang hari dimana ia pernah duduk dan bercanda dengan Asih. Dan sejak hari itu, ketika Mak Ram mengatakan maksudnya, ia tak lagi bertemu Asih. Perasaan rindu yang membuncah bak hujan di bulan November, ditahannya.
Entah mengapa malam ini terasa begitu panjang. Tak seperti malam-malam biasanya. Harun melewati setiap malam dengan baik, tanpa beban. Di atas sana langit tampak bersih. Tak ada satupun bintang yang nampakan diri. Namun, angin masih semilir. Mencoba menghibur perasan Harun yang kacau. Di pandanginya sekeliling. Baik-baik saja. Tetapi, perasaan pemuda itu benar-benar tak tenang. Wajahnya sungguh menampakkan kegusaran. Meski raganya tampak berusaha menenangkan diri. Napas panjang pun telah ia buang beberapa kali. Masih tetap tak ada satupun jawaban. Pikiran dan perasaannya benar-benar berantakan.
Ia melangkah meninggalkan tempat dimana ia bersemedi. Di halaman rumah di bawah pohon mangga depan rumah. Lalu merebahkan diri di atas kasur yang kini tak lagi empuk. Sorot matanya menatap jauh ke awang-awang. Sunyi, sepi. Bahkan ia mampu mendengarkan deru napasnya yang tak stabil. Tiba-tiba saja wajah ayu Asih muncul disana. Bibir itu sedikit menyunggingkan senyuman khas gadis desa. Tak lama, hanya sebentar. Selama itu pulalah senyuman itu memudar. “Ada apa denganmu cah ayu?” Perlahan, ia menemukan titik kegusaran hatinya.
Pemuda desa itu terus berusaha memejam mata. Namun selama itu pula ia harus gagal. Bayangan demi bayangan datang silih berganti. Senyuman Asih yang lembut dengan kedua lesung pipit, rambut panjangnya yang hitam di ikat ke belakang, tutur katanya yang lembut dan manja, lentiknya bulu mata Asih, semua datang membayang. Namun, bayangan itu secepat kilat memudar ketika Asih menceritakan keinginan emaknya.
Bayangan Harun menerawang jauh. Di tangkapnya bayang-bayang ketika ia pertama kali bertemu Asih. Gadis itu malu-malu. Senyum indah dan kedipan matanya yang begitu lentik yang menyeret Harun mengajaknya kenalan.Ia mendekat perlahan. Gadis yang kini berjarak beberapa meter di depannya menampakkan pipinya yang merah merona. Jantung Harun berdetak di atas ambang normal. Namun ia juga bersiap ketika gadis manis itu justru menjauh meninggalkan dia, masih untung jika ia tak di damprat oleh gadis manis itu.“Nuwun sewu, Mbak, angsal nderek lungguh mriki?” suara berat itu bergetar, namun sebisa mungkin Harun menyembunyikan.Gadis berkaos merah muda dengan lengan panjang itu menoleh. Senyum manis tersungging di bibirnya. Tak ada jawaban, hanya anggukan yang mampu ia berikan sebagai jawaban. Degup jantungnya pun tak kalah dengan Harun. Berdetak lebih kencang dari biasanya.Harun duduk di sebalah kanan gadis manis yang kala itu menyebutkan naman
Emak tampak merenung. Di pandanginya padi yang ada di pelataran rumah. Harun paham betul apa yang ada di pikiran emaknya. Namun sepatah kata pun tak mampu di keluarkan. Ia pendam mentah-mentah semua yang ada di benaknya. Panen musim ini tak seperti biasanya. Berkurang lima karung lebih. Namun, meski begitu tetap bersyukur.Janji melamar Asih sewaktu panen membayang seketika. Wajahnya yang ayu, matanya yang teduh, dan senyum manis yang ditambah dengan lesung pipit menambah khas kekasihnya itu.“Run, udah makan?” Wanita dengan gelungan membuyarkan lamunannya. Harun menatap emaknya dengan seksama. Wanita yang ditatap mengerti perasaan dan apa yang di pikirkan anak laki-lakinya itu. Hanya anggukan dan jawaban enggih yang di berikan. Tanpa basa-basi, ia lalu beranjak dari duduknya dan meninggalkan emaknya. Punggung Harun semakin menjauh. Hal yang wajar, ikatan anak dan emak memanglah begitu kental. Meski senyum manis apapun yang Harun berikan,
Kamar berukuran tiga kali tiga meter itu terasa begitu pengap. Bayangan Asih dan janjinya terhadap Mak Ram serta kehidupannya waktu di desa benar-benar menyita waktunya. Emak yang selalu ia rindukan perihal nasehat-nasehatnya, jangan lupa makannya, jangan lupa ibadahnya, senyumnya yang begitu tulus hingga marahnya, seperti hari itu ketika ia pulang main bola menjelang maghrib, emak sudah mondar-mondar di depan pintu dengan sampu di tangan kanannya, sedang tangan kirinya masih nyincing Tapeh yang dari jarik lurik.“Ileng muleh barang kowe, Run?” Suara keras itu menyambutnya memasuki halaman rumah yang sederhana.“Tadi istirahat dulu, Mak?” Harun berusaha membela diri meski tak mampu ditatap wajah emaknya yang begitu tampak mengerikan.“Besok ulangi lagi kalau pengen tahu rasanya sapu ini.” Mata itu menatap tajam sembari mengacungkan sapu yang di pegangnya.“Mbo
Di pandangi makanan yang ada di depannya. Di aduk-aduk. Selera makannya seketika hilang. Di teguk es teh yang ada di sebelah kanan sikunya. Berharap selera makannya bisa pulih seperti sedia kala. Rasa rindu di hati benar-benar membuncah. Tak tertahankan. Ingin sekali ia mengunjungi keluarga dan juga Asih, kekasihnya.Di genggam surat dari emak yang ia terima kemarin. Pikirannya kacau. Ia ingat betul betapa sibuknya orang-orang di desa ketika acara seperti yang di ceritakan emak. Acara yang selalu ada di setiap tahun. Menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan atas apa yang telah diterima.Nyadran berasal dari bahasa Sansakerta, Sraddha yang artinya keyakinan. Masyarakat desa dimana Harun berasal mempercayai, bahwa semua nikmat yang telah ia terima adalah pemberian Tuhan melalui usaha dan kerja keras.Begitu juga dengan keluarga Harun. Mengikuti acara sakral itu dengan khidmat. Di bawanya makanan yang sudah di letakkan pada sebuah wadah yang cukup untuk menamp
Kereta lokal itu membawa Harun kembali ke parantauan. Suara saut-sautan orang bercengkrama dalam kereta begitu riuh. Pak kondektur menyibak lalu-lalang pedagang yang hilir mudik. Mengecek satu persatu tiket penumpang.Lidahnya masih kelu. Wajah emak dan sekar masih terlintas. Bayang-bayang Asih juga ikut menghantui. Diliriknya perempuan cantik yang kini duduk di sebelah. Ia tampak berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kesedihan. Air mata itu sesekali menetes. Secepat kilat tangan yang terlihat putih pucat itu meraih bulir-bulir bening yang mulai jatuh, agar tak ada orang yang tahu perihal dukanya. Di ulurkan sapu tangan yang sedari tadi bersembunyi di balik kantong tas kecil yang di cangklong Harun. Ragu, perempuan yang berambut bergelombang di sebelahnya menerima. Harun mengangguk mantab. Meyakinkan bahwa ia ikhlas memberikan. Di usapnya sapu tangan berwarna biru ke wajah gadis manis di sebalah. Adakala digunakan untuk menutupi wajahnya ketika wanit
“Asih, Renjanaku, apa kabar? Maafkan aku.” Sudah seminggu layang itu di kirimkan. Perasaannya kacau. Merusak konsentrasi kegiatan belajar. Semangatnya tak membara seperti dulu, ketika ingat janji untuk segera melamar kekasihnya. Namun kini, keadaan sudah berbalik. Alam tidak mendukung niatnya.Juga sekitar satu minggu, ia tidak bekerja. Dan hari ini adalah hari pertama setelah seminggu kerjaan berhenti. Bukan karena Harun sakit, tapi melainkan karena memang tidak ada proyek yang harus di kerjakan.Tapi, Harun berangkat tidak penuh semangat seperti biasa. Ternyata pedihnya perasaan juga berimbas pada semangat kerja. Dewa, teman bekerja sekaligus sahabatnya yang mengetahui segala dari Harun─ selain teman kerja dan teman kuliah Harun─ menghempaskan napas dengan kasar dan geleng-geleng kepala. Dewa paham betul lara hati yang di dera sahabatnya. Sungguh tidak mudah menjadi Harun. Bahkan, jika ia sendiri yang mengalami, ia tidak tahu harus menga
Suara gaungan ular besi terdengar jelas di telinga Asih. Beberapa penumpang segera mengangkat bokongnya dan beranjak meninggalkan stasiun. Asih masih tetap duduk di ruang tunggu sedari dua jam yang lalu.Para calon penumpang datang dan pergi. Entah sudah ganti berapa orang yang duduk di sekitarnya. Hanya ia yang masih tetap di sana. Dengan stastus menjemput tetapi tak jelas yang di tunggu.Waktu berputar terus. Hingga tak terasa Asih tetap melakukan ini meski sudah di terimanya surat dari Harun kala itu. Surat yang mengabarkan berakhirnya hubungan mereka.Gadis desa itu tampak sudah mulai lelah. Di keluarkan nafas berat berkali-kali. Meski ia harus menerima perasaan hancur seperti biasa. Pulang tanpa kabar angin pun dari kekasihnya yang telah mengakhiri hubungan secara sepihak.Wajah ayunya menyapa satu persatu petugas stasiun yang kebetulan berpapasan. Senyum dan sikap santun ia lemparkan. Beberapa ikut merasakan kepedihan yang di alami gadis ya
Asih, cah ayu, Renjanaku, maafkan aku. Mata Harun menatapnya begitu lekat. Ingin sekali di rengkuh gadis manis yang menitikkan bulir bening. Keadaan masih terasa begitu menegangkan. Aliran darah masih belum sepenuhnya kembal berdesir.Wajah Asih tampak lebih ayu. Dia juga tampak lebih dewasa. Meski masih seperti dulu, dengan wajah yang di biarkan natural. Juga dengan baju yang sopan.“Kang Harun?,” Di ejanya nama itu sekali lagi.Lidah Asih masih terasa kelu. Matanya tak lepas dari sosok yang sekarang berdiri di depannya. Tinggi Harun yang dulu hampir sama dengan dia, kini sudah menjulang tinggi. Tubuhnya lebih gagah. Kumis tipis tampak sebagai pemanis.Tak ada kata. Hanya senyuman yang membuat mata pemuda itu semakin sipit sembari bibirnya mengangkat seulas senyuman untuk gadis yang mematung. Di dekatinya Asih yang masih tergugu. Tangisan bahagia itu benar-benar tumpah ruah di ruang tunggu stasiun.Beberapa penumpang
Harun menjalani hari-harinya dengan perasaan yang aneh. Ia merasa ada yang kurang dari hidupnya. Perasaan bersalah tehadap Asih teru saja menghantuinya. Hingga suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Asih.“Ah, mungkin kamu merindukan dia, Run,” Dewa menanggapi dengan santai.“Bisa jadi, sih, Wa. Tapi keliatannya hari lalu aku nggak mikirin dia, deh, Wa,” Harun menyanggah pendapat Harun.“Atau mungkin dia minta di doain, Wa?” Dewa memberi jawaban yang mampu membuat Harun berpikir dengan serius kali ini.Harun mengangguk sebagai tanda setuju dengan jawaban Dewa, lalu menyeruput kopinya Dewa yang terletak tidak jauh dari Harun.“Kebiasaan, deh, Run,” Dewa melihat Harun yang terbiasa menyerobot kopinya. Harun hanya merenges lalu ia mengajak Dewa ke warung Mak Yem.“Ngapain ke Mak Yem?” Dewa melirik Harun dengan tatapan penuh curiga.“Kamu nggak laper apa?” sekarang gi
Setelah beberapa kali ia menerima surat dari Asih dan Mak Ram secara terus menerus, Harun akhirnya memutuskan untuk pindah rumah kontrakan, Dewa pun ikut serta bersama Harun.Harun baru saja menempelkan pantatnya pada kursi yang berada di teras rumah. Dewa lalu datang membawa surat berbungkus amplop cokelat. Harun melirik sekejap surat ituyang kemudian tersenyum, “Makasih ya, Wa.”Dewa mengangguk kemudian duduk di sebelahnya dan menyeruput kopi yang ada di tangan kanannya.“Jadi yang tahu alamat ini Cuma emak?” Dewa mulai percakapan.Harun hanya mengangguk, ia sedang sibuk mengeja setiap kata yang ada dalam tulisan surta itu. namun, tiba-tiba Harun mengertutkan keningnya, ekspresinya juga berubah tidak seceria beberapa menit yang lalu.“Kenapa?” tanya Dewa penasaran.Harun masih terdiam, pandangannya masih fokus pada surat yang ada di tangannya. Dewa memperhatikan perubahan ekspresi Harun sedari tadi. Sele
Perlahan matahari mulai turun, Harun menyusuri lorong stasiun dengan tatapan para penumpang. Tubuhnya telah lelah dan juga hatinya. Selepas ia memberikan laporan di kantor Harun segera meninggalkan keramaian tempat umum itu.Harun segera memesan becak yang tengah mangkal di tempat biasa badannya teramat lelah untuk berjalan dari stasiun sampai ke kostnya dengan berjalan kaki. Laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun yang tengah mengayuh becaknya terlihat sesekali mengusap keringat dengan handuk kecil yang melingkar di pundaknya.Selang sepuluh menit becak itu berhenti pada sebuah bangunan rumah yang bergaya modern. Di sanalah ia tengah mengontrak sebuah rumah bersama Dewa. Dewa sedang duduk santai di teras masih dengan baju kerjanya.Setelah mengcapkan salam Harun langsung masuk ke rumah dan menuju kamar yang tengah terbuka lebar. Dewa membiarkan Harun sendiri untuk sementara waktu. Iajuga butuh istirahat setelah terjadi insiden pekerjanya yang kecelakaa
Pagi-pagi sekali Harun telah bersiap lengkap dengan baju dinasnya. Asih memperhatikan Harun dari jauh. Betapa beruntungnya ia jika hubungannya akan baik-baik saja dengan Harun. Asih menepis semua bayang-bayang tentang Harun.Harun mengenakan jaketnya yang berwarna hijau lumut, jaket itu menutup seluruh bajunya yang putih. Ia lalu menyalami kedua orang tuanya, Sekar dan Asih. harun tidak mengatakan apapun untk Asih.Tetangganya yang berprofesi sebagai tukang ojek telah menunggunya di depan rumah. Setelah Harun siap ia kemudian menghilang dari pandangan bersama tukang ojek.Asih berdiri terdiam dan mematung di tempatnya. Ia tidak bisa menafsirkan prihal perasaannya. Emak merangkul pundaknya dan membimbingnya masuk ke dalam rumah.Sekar yang semula masih ngantuk memutuskan untuk kembali tidur. Asih dan Emak lanjut menuju dapur. Mereka harus menyiapkan sarapan sebelum bapak dan Sekar ke tempat tujuannya masing-masing.“Nduk, kamu n
Mak Ram datang dengan membawa beberapa tas besar yang terisi penuh. Wajahnya terlihat lelah, ia segera mencari Asih berniat untuk menghilangkan penatannya.Mak Ram mendapati Asih yang tersungkur dalam amben. Suara tangisan terdengar jelas dari sana. Mak Ram segera mendekat dan memeluk anaknya. Namun Asih dengan tegas menolak bahkan menjauhkan tubuhnya dari Mak Ram.“Ada apa, Nduk?” Mak Ram betanya kebingungan.“Harusnya Asih yang bertanya ke Emak, ada apa?” Asih menjawab dengan air mata yang tidak berhenti berlinang.Mak Ram semakin bingung, ia mencoba meraih angan Asih, tapi Asih menepis lagi.“Ada apa?” Mak Ram mencoba bertanya pada Asih sekali lagi.“Ini surat dari siapa, Mak?” Asih memperlihatkan surat yang diberikan Emaknya beberapa waktu yang lalu.Mak Ram bingung, sepertinya Asih telah mengetahui semuanya, pikirnya.“Itu kan jelas dari Harun, Nduk?” Mak Ram beru
Pagi-pagi sekali Harun telah sampai di pelataran rumah ketika orang-orang hendak berangkat ke sawah. Setelah ia membayar becak Harun langsung masuk ke rumah, rupanya keluarganya tengah sarapan nasi jagung goreng bersama-bersama.“Kang Harun,” Sekar berteriak kegirangan.Emak dan bapaknya yang semula fokus sama sepiring nasi kini mengalihkan perhatiannya. Senyumnya mengembang melihat Si Sulung. Harun segera mengulurkan tangan untuk mencium tangan bapak dan emaknya.“Kok tumben wes bali maneh?” Emak bertanya curiga.“Kangen rumah, Mak,” Harun menjawab dengan senyuman setelah emak mencium kening anaknya.Nasi jagung goreng adalah makanan kesukaan Harun, matanya tidak bisa lepas dari nasi goreng yang tengah terhidang di meja. Harun kemudian segera mengambil piring yang ada di dapur dan ikut sarapan bersama.Bapak telah usai makan terlebih dulu, ia bergegeas hendak pergi ke sawah. Itu terlihat dari baj
Harun memarkirkan sepedanya di halaman kontrakan, ia memasuki kontrkan bersamaan dengan Dewa. Harun langsung merebahkan tubuhnya pada kasur sudah melambaikan tangan. Sedangkan Dewa langsung membersihkan badan karena bajunya yang penuh dengan semen.Dewa menyeka keringat yang yang mengalir di pelipis dengan handuk kecil yang melingkar di pundak. Ia menatap Harun dengan tatapan penuh iri.“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Harun menyadari bahwa Dewa tengah menatapnya.“Aku tekadang iri denganmu, Run,” Dewa menempelkan pantatnya pada kursi di depan meja. Harun bangun dari tidurnya lalu memosisikan diri sebaik mungkin untu menatap Dewa.“Apa maksudmu?” Harun menatap Dewa dengan penuh selidik.“Kamu menatapku biasa aja bisa nggak?” Dewa mengalihkan pembicaraan karena merasa risih ditatap oleh Harun sedemikian rupa,“Kamu ganteng, pekerjaanmu bagus, banyak perempuan yang menyukaimu, kekasihmu
Asih berlari keluar kamar setelah mendengar bel sepeda petugas POS. Ia mulai hapal dengan suara itu. tepat sekali, Pak Pos sudah betengger di teras rumah menunggu Asih yang sedang lari-lari kecil.“Terima kasih,” Asih menerima surat itu dan Pak Pos pun berlalu.Asih gemetar menerima amplop yang tetera nama Harun di sampul depan. Ia merasa bungah sekaligus susah menerima surat itu. Ia teringat kedatangan pemuda beseta bapaknya yang tak ia kenal. Mak Ram dengan tanpa pikir panjang langsung mengiyakan lamaran pemuda itu dan berniat membatalkan lamaran Harun.Asih masuk kamar dan membuka amplop dengan perlahan. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk Harun.Assalamualaikum, Cah Ayu,Kakangmu juga sehat, Nduk. Cah Ayu, kamu tidak usah repot-repot membantu mengumpulkan biaya buat perkawinan kita. Itu sudah tanggung jawab kakangmu ini. Nduk, Cah Ayu, kakangmu cuma mau kamu hati-hati di sana, jaga diri juga j
Harun kembali ke Semarang setelah memperbaiki hubungannya dengan Asih. Emak dan bapak juga ikut bahagia karena anak sulungnya tidak lagi berpura-pura bahagia. Terlebih Sekar, jadi ia bisa punya teman bercerita.“Akhirnya kamu jadi nikah sama Asih?” Dewa bertanya dengan mulut yang penuh makanan.Harun mengangguk diiringi dengan senyuman yang mengembang. Wajahnya terlihat bahagia. Aura ketampanannya bersinar dengan sempurna.“Kamu jadi nikah sama Asih, sedangkan aku masih terbelenggu dengan perasaan Dewi,” Dewa menghentikan kunyahannya.“Cobalah untuk berdamai dengan perasaanmu sendiri,” Harun kemudian duduk di tepian ranjang, menghentikan aktifitasnya melipat dan memasukkan baju ke dalam lemari.“Maksudmu?” Dewa menghentikan makannya. Ia lebih tertarik dengan apa yang dikatakan Harun.“Aku pernah cerita kan tentang nasehat bapakku?”Dewa mengangguk pelan dibarengi dengan memas