Share

Texas

Penulis: Senja Maharani
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bayangan Harun menerawang jauh. Di tangkapnya bayang-bayang ketika ia pertama kali bertemu Asih. Gadis itu malu-malu. Senyum indah dan kedipan matanya yang begitu lentik yang menyeret Harun mengajaknya kenalan.

Ia mendekat perlahan. Gadis yang kini berjarak beberapa meter di depannya menampakkan pipinya yang merah merona. Jantung Harun berdetak di atas ambang normal. Namun ia juga bersiap ketika gadis manis itu justru menjauh meninggalkan dia, masih untung jika ia tak di damprat oleh gadis manis itu.

Nuwun sewu, Mbak, angsal nderek lungguh mriki?” suara berat itu bergetar, namun sebisa mungkin Harun menyembunyikan.

Gadis berkaos merah muda dengan lengan panjang itu menoleh. Senyum manis tersungging di bibirnya. Tak ada jawaban, hanya anggukan yang mampu ia berikan sebagai jawaban. Degup jantungnya pun tak kalah dengan Harun. Berdetak lebih kencang dari biasanya.

Harun duduk di sebalah kanan gadis manis yang kala itu menyebutkan namanya ketika Harun mempertanyakan. Di sebuah bangku yang terbuat dari bambu yang di rangkai berjajar mereka duduk di bawah pohon pinggir jalan.

Berbincang banyak hal. Hingga tak terasa waktu telah memakan begitu lama. Asih segera berpamitan, juga Harun, harus segera pulang. Hari minggu mereka berjanji untuk bertemu kembali di tempat yang sama dan di jam yang sama sebelum mereka berpisah.

Asih mengayuh sepedanya bersama teman-teman. Matanya beradu pandang dengan Harun. Di ikuti Harun dan gerombolan di belakangnya.  Begitu nampak bahagia di raut wajah Asih dan Harun. Mereka berpisah di persimpangan jalan. Harun masih lurus untuk menuju rumahnya yang lebih jauh dari rumah Asih. Sedang Asih harus berbelok ke timur menuju rumahnya.

Ya, ketika itu, ketika Asih masih menempati rumah di kecamatan tetangga di mana Harun tinggal, Padangan. Sehingga mereka tak perlu jauh-jauh ketika ingin bertemu, tak seperti saat ini. Perceraian kedua orang tua Asih lah yang memaksa mereka harus berjauhan. Asih harus ikut emak kembali ke daerah asalnya. Di sebuah kecamatan berjarak puluhan kilometer dari rumahnya. Rumah Harun teletak di ujung barat sedang daerah dimana mak Ram berasal berada di ujung timur kota Ledre. Namun perasaan mereka tidaklah berubah, bahkan semakin membuncah. Menahan rindu yang semakin menyesakkan dada. Seperti malam ini. Rindu yang memuncak namun tak mendapatkan ujung sesuai harap. Harun mendengus kasar. Napasnya ia keluarkan dengan kasar.  

***

Di tempat yang berbeda. Asih juga nampak cengar-cengir di kursi panjang depan rumah. Angin membelai dengan mesra. Sesekali menarikan anak rambut yang keluar dari ikatan. Matanya yang sedikit sipit memancarkan sinar kebahagian. Di lihatnya daun bambu yang berguguran. Sama sekali tak indah menurutnya. Namun yang ia tahu, daun itu sebenarnya juga tidak ingin gugur. Tapi bisa menerima keputusan sang Maha segala, itulah yang menjadikannya menjadi sesuatu yang berarti. Gugurnya tak sia-sia. Bahkan bisa bermanfaat untuk manusia. Menjadi pupuk kompos.

Asih kembali tersenyum. Ia begitu percaya, kesabarannya tidak akan sia-sia. Hubungannya dengan Harun akan di ridai oleh Tuhan. Ia bahkan tak pernah lelah mendoakan hubungan mereka. Siang dan malam.

Mak Ram menatapnya kasihan. Anak gadisnya menjadi suka melamun sejak di tinggal Harun keluar kota. Wajah ayunya tak seceria dulu. Meski ia menampakkan seolah baik-baik saja.

“Mak?” Asih kaget di buatnya. Mak Ram gelapan. Mak Ram segera melempar senyum untuk menutupi.

Wes adus, Nduk?” Mak Ram mengalihkan pembicaraan. Asih menggeleng sembari tersenyum yang di pasang semanis mungkin. Hari sudah mulai petang, namun ia justru melupakan mandi karena keasyikan melamun.

Apa kabar, Kang? Kau baik-baik saja?

Hatinya ternyata menolak berhenti mengingat Harun. Sembari berjalan, ia terus saja melamunkan Harun. Mudah-mudahan kita bisa segera bertemu lagi ya, Kang. Asih menghembuskan napasnya sebelum memasuki kamar mandi yang hanya terbuat dari terpal yang warnanya sudah mulai memudar dan ada yang sobek di beberapa bagian.

Mak Ram masih tak beranjak dari tempat semula. Kini, wanita empat puluh tahun itu duduk di tempat yang semula Asih duduki. Di kursi panjang yang ada di teras rumah. Maafkan makmu, Nak. Mak Ram mengiba dalam hati. Ingin sekali ia menjelaskan alasannya hari itu menolak Harun. Ingin sekali menjelaskan bahwa pernikahan terlalu dini sangatlah tidak baik. Rawan sekali perceraian. Mak hanya tidak ingin hidupmu seperti mak, Nak. Air mata itu meniti. Diraihnya sepeucuk jilbab yang menjuntai ke depan. Di lapnya air mata itu.

“Mak, kenapa?” Asih mendapati emak sesenggukan sembari mengelap air mata yang mulai berembun. Yang ditanya tak menjawab, hanya tersenyum. Mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja.

“Nduk, kalau memang Harun itu jodohmu besok pasti akan dipertemukan kmebali begitu juga sebaliknya.” Emak merengkuh anak gadisnya. Mengelus rambutnya yang hitam dan panjang. Asih bergelayutan manja di pangkuannya. Mak Ram mengeluarkan napasnya yang terasa berat.

“Si Genduk dulu ketemu Harun dimana?” Mak Ram memulai perbincangan. Asih tersenyum. Matanya berbinar, menunjukkan betapa bahagianya anak itu.

“Di Wonocolo, Mak. Waktu tasih teng ndalem Padangan.” Asih tak mampu menatap wajah emaknya. Wajahnya benar-benar memerah. Rona bahagia terpampang jelas disana.  Tangan yang mulai nampak banyak kerutan disana-sini masih mengelusnya manja. Wanita itu begitu mengerti perasaan anak gadisnya. Perasaan yang cukup dalam untuk pemuda desa yang bernama Harun. Tak salah memang, pemuda itu begitu sopan, dan baik. 

Mak Ram ingat bagaiamana kisah Prabu Arjunasasra demi bisa meminang Dewi Citrawati. Sumantri, patih Sang Prabu berperang beberapa hari demi mengalahkan Prabu Darmawasesa dari negeri Widarba. Ia juga mengabulkan permintaan Dewi Citrawati, menyediakan putri domas sebanyak 800 dan memindahkan taman Sriwedari dengan bantuan adiknya, Sukasrana.

Bayangan kerja keras Harun agar bisa segera meminang Asih tiba-tiba tebersit. Laki-laki itu mirip sekali dengan Arjunasasra, juga seperti Dasamuka, yang rela melakukan apa saja demi orang tercinta.

Bab terkait

  • LALI   Morat-Marit

    Emak tampak merenung. Di pandanginya padi yang ada di pelataran rumah. Harun paham betul apa yang ada di pikiran emaknya. Namun sepatah kata pun tak mampu di keluarkan. Ia pendam mentah-mentah semua yang ada di benaknya. Panen musim ini tak seperti biasanya. Berkurang lima karung lebih. Namun, meski begitu tetap bersyukur.Janji melamar Asih sewaktu panen membayang seketika. Wajahnya yang ayu, matanya yang teduh, dan senyum manis yang ditambah dengan lesung pipit menambah khas kekasihnya itu.“Run, udah makan?” Wanita dengan gelungan membuyarkan lamunannya. Harun menatap emaknya dengan seksama. Wanita yang ditatap mengerti perasaan dan apa yang di pikirkan anak laki-lakinya itu. Hanya anggukan dan jawaban enggih yang di berikan. Tanpa basa-basi, ia lalu beranjak dari duduknya dan meninggalkan emaknya. Punggung Harun semakin menjauh. Hal yang wajar, ikatan anak dan emak memanglah begitu kental. Meski senyum manis apapun yang Harun berikan,

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • LALI   Prabu Angling Dharma

    Kamar berukuran tiga kali tiga meter itu terasa begitu pengap. Bayangan Asih dan janjinya terhadap Mak Ram serta kehidupannya waktu di desa benar-benar menyita waktunya. Emak yang selalu ia rindukan perihal nasehat-nasehatnya, jangan lupa makannya, jangan lupa ibadahnya, senyumnya yang begitu tulus hingga marahnya, seperti hari itu ketika ia pulang main bola menjelang maghrib, emak sudah mondar-mondar di depan pintu dengan sampu di tangan kanannya, sedang tangan kirinya masih nyincing Tapeh yang dari jarik lurik.“Ileng muleh barang kowe, Run?” Suara keras itu menyambutnya memasuki halaman rumah yang sederhana.“Tadi istirahat dulu, Mak?” Harun berusaha membela diri meski tak mampu ditatap wajah emaknya yang begitu tampak mengerikan.“Besok ulangi lagi kalau pengen tahu rasanya sapu ini.” Mata itu menatap tajam sembari mengacungkan sapu yang di pegangnya.“Mbo

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • LALI   Nyadran

    Di pandangi makanan yang ada di depannya. Di aduk-aduk. Selera makannya seketika hilang. Di teguk es teh yang ada di sebelah kanan sikunya. Berharap selera makannya bisa pulih seperti sedia kala. Rasa rindu di hati benar-benar membuncah. Tak tertahankan. Ingin sekali ia mengunjungi keluarga dan juga Asih, kekasihnya.Di genggam surat dari emak yang ia terima kemarin. Pikirannya kacau. Ia ingat betul betapa sibuknya orang-orang di desa ketika acara seperti yang di ceritakan emak. Acara yang selalu ada di setiap tahun. Menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan atas apa yang telah diterima.Nyadran berasal dari bahasa Sansakerta, Sraddha yang artinya keyakinan. Masyarakat desa dimana Harun berasal mempercayai, bahwa semua nikmat yang telah ia terima adalah pemberian Tuhan melalui usaha dan kerja keras.Begitu juga dengan keluarga Harun. Mengikuti acara sakral itu dengan khidmat. Di bawanya makanan yang sudah di letakkan pada sebuah wadah yang cukup untuk menamp

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • LALI   Surat Terakhir

    Kereta lokal itu membawa Harun kembali ke parantauan. Suara saut-sautan orang bercengkrama dalam kereta begitu riuh. Pak kondektur menyibak lalu-lalang pedagang yang hilir mudik. Mengecek satu persatu tiket penumpang.Lidahnya masih kelu. Wajah emak dan sekar masih terlintas. Bayang-bayang Asih juga ikut menghantui. Diliriknya perempuan cantik yang kini duduk di sebelah. Ia tampak berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kesedihan. Air mata itu sesekali menetes. Secepat kilat tangan yang terlihat putih pucat itu meraih bulir-bulir bening yang mulai jatuh, agar tak ada orang yang tahu perihal dukanya. Di ulurkan sapu tangan yang sedari tadi bersembunyi di balik kantong tas kecil yang di cangklong Harun. Ragu, perempuan yang berambut bergelombang di sebelahnya menerima. Harun mengangguk mantab. Meyakinkan bahwa ia ikhlas memberikan. Di usapnya sapu tangan berwarna biru ke wajah gadis manis di sebalah. Adakala digunakan untuk menutupi wajahnya ketika wanit

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • LALI   Surat Balasan

    “Asih, Renjanaku, apa kabar? Maafkan aku.” Sudah seminggu layang itu di kirimkan. Perasaannya kacau. Merusak konsentrasi kegiatan belajar. Semangatnya tak membara seperti dulu, ketika ingat janji untuk segera melamar kekasihnya. Namun kini, keadaan sudah berbalik. Alam tidak mendukung niatnya.Juga sekitar satu minggu, ia tidak bekerja. Dan hari ini adalah hari pertama setelah seminggu kerjaan berhenti. Bukan karena Harun sakit, tapi melainkan karena memang tidak ada proyek yang harus di kerjakan.Tapi, Harun berangkat tidak penuh semangat seperti biasa. Ternyata pedihnya perasaan juga berimbas pada semangat kerja. Dewa, teman bekerja sekaligus sahabatnya yang mengetahui segala dari Harun─ selain teman kerja dan teman kuliah Harun─ menghempaskan napas dengan kasar dan geleng-geleng kepala. Dewa paham betul lara hati yang di dera sahabatnya. Sungguh tidak mudah menjadi Harun. Bahkan, jika ia sendiri yang mengalami, ia tidak tahu harus menga

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • LALI   Kesetiaan

    Suara gaungan ular besi terdengar jelas di telinga Asih. Beberapa penumpang segera mengangkat bokongnya dan beranjak meninggalkan stasiun. Asih masih tetap duduk di ruang tunggu sedari dua jam yang lalu.Para calon penumpang datang dan pergi. Entah sudah ganti berapa orang yang duduk di sekitarnya. Hanya ia yang masih tetap di sana. Dengan stastus menjemput tetapi tak jelas yang di tunggu.Waktu berputar terus. Hingga tak terasa Asih tetap melakukan ini meski sudah di terimanya surat dari Harun kala itu. Surat yang mengabarkan berakhirnya hubungan mereka.Gadis desa itu tampak sudah mulai lelah. Di keluarkan nafas berat berkali-kali. Meski ia harus menerima perasaan hancur seperti biasa. Pulang tanpa kabar angin pun dari kekasihnya yang telah mengakhiri hubungan secara sepihak.Wajah ayunya menyapa satu persatu petugas stasiun yang kebetulan berpapasan. Senyum dan sikap santun ia lemparkan. Beberapa ikut merasakan kepedihan yang di alami gadis ya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • LALI   Pengakuan

    Asih, cah ayu, Renjanaku, maafkan aku. Mata Harun menatapnya begitu lekat. Ingin sekali di rengkuh gadis manis yang menitikkan bulir bening. Keadaan masih terasa begitu menegangkan. Aliran darah masih belum sepenuhnya kembal berdesir.Wajah Asih tampak lebih ayu. Dia juga tampak lebih dewasa. Meski masih seperti dulu, dengan wajah yang di biarkan natural. Juga dengan baju yang sopan.“Kang Harun?,” Di ejanya nama itu sekali lagi.Lidah Asih masih terasa kelu. Matanya tak lepas dari sosok yang sekarang berdiri di depannya. Tinggi Harun yang dulu hampir sama dengan dia, kini sudah menjulang tinggi. Tubuhnya lebih gagah. Kumis tipis tampak sebagai pemanis.Tak ada kata. Hanya senyuman yang membuat mata pemuda itu semakin sipit sembari bibirnya mengangkat seulas senyuman untuk gadis yang mematung. Di dekatinya Asih yang masih tergugu. Tangisan bahagia itu benar-benar tumpah ruah di ruang tunggu stasiun.Beberapa penumpang

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • LALI   Janur Kuning

    Hari ini, suasana rumah Asih begitu ramai. Hilir mudik emak-emak dengan segala kesibukan. Ada yang membawa rantang, ada yang membawa makanan, juga ada yang sibuk menata meja depan.Asih masih mengurung diri di kamar. Pikiran dan hatinya kacau. Bagaimana bisa penantian panjangnya selama ini sia-sia. Mengapa kamu tega sekali padaku, Kang? Asih masih belum sepenuhnya menerima keputusan yang di berikan Harun.Suara canda tawa anak-anak kecil terdengar begitu nyaring. Di luar sana orang-orang tengah bahagia. Mereka kira, Asih menerima keputusan ini dengan lapang dada. Kang, hari ini aku harus lamaran dengan laki-laki selain kamu. Apakah kamu siap dan baik-baik saja dengan keputusanmu?Suara ketukan pintu kamarnya membuyarkan segala lamunan. Juga air mata yang semalam telah membasahi bantal putih miliknya. Di sapu air mata kepedihan itu. Perlahan ia bangkit dan membuka pintu.“Mbak, kulo tukang rias sing di pesen ibu.” Seo

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • LALI   Sepeninggal Asih

    Harun menjalani hari-harinya dengan perasaan yang aneh. Ia merasa ada yang kurang dari hidupnya. Perasaan bersalah tehadap Asih teru saja menghantuinya. Hingga suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Asih.“Ah, mungkin kamu merindukan dia, Run,” Dewa menanggapi dengan santai.“Bisa jadi, sih, Wa. Tapi keliatannya hari lalu aku nggak mikirin dia, deh, Wa,” Harun menyanggah pendapat Harun.“Atau mungkin dia minta di doain, Wa?” Dewa memberi jawaban yang mampu membuat Harun berpikir dengan serius kali ini.Harun mengangguk sebagai tanda setuju dengan jawaban Dewa, lalu menyeruput kopinya Dewa yang terletak tidak jauh dari Harun.“Kebiasaan, deh, Run,” Dewa melihat Harun yang terbiasa menyerobot kopinya. Harun hanya merenges lalu ia mengajak Dewa ke warung Mak Yem.“Ngapain ke Mak Yem?” Dewa melirik Harun dengan tatapan penuh curiga.“Kamu nggak laper apa?” sekarang gi

  • LALI   Kabar Dari Rumah

    Setelah beberapa kali ia menerima surat dari Asih dan Mak Ram secara terus menerus, Harun akhirnya memutuskan untuk pindah rumah kontrakan, Dewa pun ikut serta bersama Harun.Harun baru saja menempelkan pantatnya pada kursi yang berada di teras rumah. Dewa lalu datang membawa surat berbungkus amplop cokelat. Harun melirik sekejap surat ituyang kemudian tersenyum, “Makasih ya, Wa.”Dewa mengangguk kemudian duduk di sebelahnya dan menyeruput kopi yang ada di tangan kanannya.“Jadi yang tahu alamat ini Cuma emak?” Dewa mulai percakapan.Harun hanya mengangguk, ia sedang sibuk mengeja setiap kata yang ada dalam tulisan surta itu. namun, tiba-tiba Harun mengertutkan keningnya, ekspresinya juga berubah tidak seceria beberapa menit yang lalu.“Kenapa?” tanya Dewa penasaran.Harun masih terdiam, pandangannya masih fokus pada surat yang ada di tangannya. Dewa memperhatikan perubahan ekspresi Harun sedari tadi. Sele

  • LALI   Bara Dalam Hati

    Perlahan matahari mulai turun, Harun menyusuri lorong stasiun dengan tatapan para penumpang. Tubuhnya telah lelah dan juga hatinya. Selepas ia memberikan laporan di kantor Harun segera meninggalkan keramaian tempat umum itu.Harun segera memesan becak yang tengah mangkal di tempat biasa badannya teramat lelah untuk berjalan dari stasiun sampai ke kostnya dengan berjalan kaki. Laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun yang tengah mengayuh becaknya terlihat sesekali mengusap keringat dengan handuk kecil yang melingkar di pundaknya.Selang sepuluh menit becak itu berhenti pada sebuah bangunan rumah yang bergaya modern. Di sanalah ia tengah mengontrak sebuah rumah bersama Dewa. Dewa sedang duduk santai di teras masih dengan baju kerjanya.Setelah mengcapkan salam Harun langsung masuk ke rumah dan menuju kamar yang tengah terbuka lebar. Dewa membiarkan Harun sendiri untuk sementara waktu. Iajuga butuh istirahat setelah terjadi insiden pekerjanya yang kecelakaa

  • LALI   Cerita Mak Ram

    Pagi-pagi sekali Harun telah bersiap lengkap dengan baju dinasnya. Asih memperhatikan Harun dari jauh. Betapa beruntungnya ia jika hubungannya akan baik-baik saja dengan Harun. Asih menepis semua bayang-bayang tentang Harun.Harun mengenakan jaketnya yang berwarna hijau lumut, jaket itu menutup seluruh bajunya yang putih. Ia lalu menyalami kedua orang tuanya, Sekar dan Asih. harun tidak mengatakan apapun untk Asih.Tetangganya yang berprofesi sebagai tukang ojek telah menunggunya di depan rumah. Setelah Harun siap ia kemudian menghilang dari pandangan bersama tukang ojek.Asih berdiri terdiam dan mematung di tempatnya. Ia tidak bisa menafsirkan prihal perasaannya. Emak merangkul pundaknya dan membimbingnya masuk ke dalam rumah.Sekar yang semula masih ngantuk memutuskan untuk kembali tidur. Asih dan Emak lanjut menuju dapur. Mereka harus menyiapkan sarapan sebelum bapak dan Sekar ke tempat tujuannya masing-masing.“Nduk, kamu n

  • LALI   Awan HItam

    Mak Ram datang dengan membawa beberapa tas besar yang terisi penuh. Wajahnya terlihat lelah, ia segera mencari Asih berniat untuk menghilangkan penatannya.Mak Ram mendapati Asih yang tersungkur dalam amben. Suara tangisan terdengar jelas dari sana. Mak Ram segera mendekat dan memeluk anaknya. Namun Asih dengan tegas menolak bahkan menjauhkan tubuhnya dari Mak Ram.“Ada apa, Nduk?” Mak Ram betanya kebingungan.“Harusnya Asih yang bertanya ke Emak, ada apa?” Asih menjawab dengan air mata yang tidak berhenti berlinang.Mak Ram semakin bingung, ia mencoba meraih angan Asih, tapi Asih menepis lagi.“Ada apa?” Mak Ram mencoba bertanya pada Asih sekali lagi.“Ini surat dari siapa, Mak?” Asih memperlihatkan surat yang diberikan Emaknya beberapa waktu yang lalu.Mak Ram bingung, sepertinya Asih telah mengetahui semuanya, pikirnya.“Itu kan jelas dari Harun, Nduk?” Mak Ram beru

  • LALI   Keputusan Harun

    Pagi-pagi sekali Harun telah sampai di pelataran rumah ketika orang-orang hendak berangkat ke sawah. Setelah ia membayar becak Harun langsung masuk ke rumah, rupanya keluarganya tengah sarapan nasi jagung goreng bersama-bersama.“Kang Harun,” Sekar berteriak kegirangan.Emak dan bapaknya yang semula fokus sama sepiring nasi kini mengalihkan perhatiannya. Senyumnya mengembang melihat Si Sulung. Harun segera mengulurkan tangan untuk mencium tangan bapak dan emaknya.“Kok tumben wes bali maneh?” Emak bertanya curiga.“Kangen rumah, Mak,” Harun menjawab dengan senyuman setelah emak mencium kening anaknya.Nasi jagung goreng adalah makanan kesukaan Harun, matanya tidak bisa lepas dari nasi goreng yang tengah terhidang di meja. Harun kemudian segera mengambil piring yang ada di dapur dan ikut sarapan bersama.Bapak telah usai makan terlebih dulu, ia bergegeas hendak pergi ke sawah. Itu terlihat dari baj

  • LALI   Surat Dari Desa

    Harun memarkirkan sepedanya di halaman kontrakan, ia memasuki kontrkan bersamaan dengan Dewa. Harun langsung merebahkan tubuhnya pada kasur sudah melambaikan tangan. Sedangkan Dewa langsung membersihkan badan karena bajunya yang penuh dengan semen.Dewa menyeka keringat yang yang mengalir di pelipis dengan handuk kecil yang melingkar di pundak. Ia menatap Harun dengan tatapan penuh iri.“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Harun menyadari bahwa Dewa tengah menatapnya.“Aku tekadang iri denganmu, Run,” Dewa menempelkan pantatnya pada kursi di depan meja. Harun bangun dari tidurnya lalu memosisikan diri sebaik mungkin untu menatap Dewa.“Apa maksudmu?” Harun menatap Dewa dengan penuh selidik.“Kamu menatapku biasa aja bisa nggak?” Dewa mengalihkan pembicaraan karena merasa risih ditatap oleh Harun sedemikian rupa,“Kamu ganteng, pekerjaanmu bagus, banyak perempuan yang menyukaimu, kekasihmu

  • LALI   Rencana Mak Ram 2

    Asih berlari keluar kamar setelah mendengar bel sepeda petugas POS. Ia mulai hapal dengan suara itu. tepat sekali, Pak Pos sudah betengger di teras rumah menunggu Asih yang sedang lari-lari kecil.“Terima kasih,” Asih menerima surat itu dan Pak Pos pun berlalu.Asih gemetar menerima amplop yang tetera nama Harun di sampul depan. Ia merasa bungah sekaligus susah menerima surat itu. Ia teringat kedatangan pemuda beseta bapaknya yang tak ia kenal. Mak Ram dengan tanpa pikir panjang langsung mengiyakan lamaran pemuda itu dan berniat membatalkan lamaran Harun.Asih masuk kamar dan membuka amplop dengan perlahan. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk Harun.Assalamualaikum, Cah Ayu,Kakangmu juga sehat, Nduk. Cah Ayu, kamu tidak usah repot-repot membantu mengumpulkan biaya buat perkawinan kita. Itu sudah tanggung jawab kakangmu ini. Nduk, Cah Ayu, kakangmu cuma mau kamu hati-hati di sana, jaga diri juga j

  • LALI   Arti Bahagia

    Harun kembali ke Semarang setelah memperbaiki hubungannya dengan Asih. Emak dan bapak juga ikut bahagia karena anak sulungnya tidak lagi berpura-pura bahagia. Terlebih Sekar, jadi ia bisa punya teman bercerita.“Akhirnya kamu jadi nikah sama Asih?” Dewa bertanya dengan mulut yang penuh makanan.Harun mengangguk diiringi dengan senyuman yang mengembang. Wajahnya terlihat bahagia. Aura ketampanannya bersinar dengan sempurna.“Kamu jadi nikah sama Asih, sedangkan aku masih terbelenggu dengan perasaan Dewi,” Dewa menghentikan kunyahannya.“Cobalah untuk berdamai dengan perasaanmu sendiri,” Harun kemudian duduk di tepian ranjang, menghentikan aktifitasnya melipat dan memasukkan baju ke dalam lemari.“Maksudmu?” Dewa menghentikan makannya. Ia lebih tertarik dengan apa yang dikatakan Harun.“Aku pernah cerita kan tentang nasehat bapakku?”Dewa mengangguk pelan dibarengi dengan memas

DMCA.com Protection Status