Asih, gadis desa "Wisata Jeglongan Sewu" itu masih saja setiap hari mendatangi stasiun tengah kota. Dari kejauhan yang selalu menjadi tempat langganannya, ia memandang sayu tempat bagi orang-orang yang melepas atau mengikat tali rindu di leher, seperti dia dan dengan sejuta harap, pemuda yang dicintai selama ini tiba-tiba datang dari kota setelah sekian lama menuntut penghidupan yang layak. Apa kamu tak ingat aku sekalipun, Kang? Pertanyaan yang selalu sama dan selalu sama pula, tak ada jawaban untuknya. Seperti hari-hari berat yang selama ini ia lalui, pulang dengan tangan kosong setelah puas memandangi stasiun tua tengah kota yang suhunya kian memanas setiap hari. Berbekal sepeda biru kesayangan, selalu setia menemani kemanapun langkahnya.
Langkah kian langkah membawa gadis desa itu semakin menjauh dari tempat langganan. Namun bukan Asih namanya jika ia patah semangat. Setatus perawan tua yang kini diberikan oleh tetangganya diterima dengan baik. Ia begitu percaya, Harun, kekasih hati yang selama ini terpatri dalam hati akan memenuhi janjinya. Menjemput dan melepaskan gelar perawan tua berubah menjadi wanita yang teramat setia dan berhak bahagia atas buah kesabaran yang ia tanam. Mimpi-mimpi indah itu menemaninya mengayuh sepeda yang melewati jalan berdebu dan berlubang. Mimpi-mimpi itu pulalah yang selalu memberi semangat agar ia tetap sabar dan setia pada Harun. Tak peduli apa kata tetangga, saudara, tentang gelar yang ia terima.
Bupatiku ayu, camatku ganteng, tapi dalanku elek. Kalimat itu sudah dibacanya entah keberapa kali. Kalimat itu juga yang membuat Asih lupa akan kata tanya Kapan kamu pulang, Kang? Atau sekedar Kang, aku rindu yang selalu saja menghantui hari-hari Asih.
Ia melewati jeglongan demi jeglongan. Sepeda ontelnya masih dikayuh. Matanya menatap tajam jalanan yang penuh lubang. Sekali saja dia lengah, sudah pasti teperosok. Seperti beberapa orang yang bergorombol di depan sana. Tampak ada seseorang bersandar di bawah pohon dengan beberapa luka di wajah. Orang-orang bergerombol. Berkasak-kusuk mempertanyakan kejadian yang di alami laki-laki berbaju putih, seperti seorang pegawai kantor yang sering di kunjungi Asih. Wajah laki-laki itu pasrah. Darah mengalir dari pelipis. Tidak banyak, namun cukup membuat ngilu bagi yang melihat.
“Masnya ini tadi kejeglong di sana lho,” Ibu-ibu yang tampaknya sebagai saksi mata mencoba menjawab kasak-kusuk orang bergerombol sembari menunjuk ke arah jeglongan yang tak sebegitu besar namun dalam hingga mampu menjatuhkan bagi yang melintas. Ada yang sibuk menanyakan identitas diri, ada yang sibuk mengelap darah di pelipis, ada yang mendorong sepeda mesinnya ke pinggir jalan, dan ada juga yang hanya sekedar menengok untuk berempati. Asih adalah salah satu dari orang-orag yang hanya sekedar berempati. Mendengarkan bisik-bisik orang berkerumun. Laki-laki yang di kerumuni bak sarang tawon itu menangkap tatapan gadis desa yang menatapnya sayu. Laki-laki itu menatap tajam. Seoalah mengenali gadis manis yang mengerumuninya. Asih beringsut perlahan. Meninggalkan kerumunan.
Sepeda pancal warna biru itu kembali di kayuhnya. Tak peduli seberapa banyak debu yang menempel atau mencoba masuk ke lubang hidung yang mungil milik gadis desa itu. Ketika musim hujan tiba lobang-lobang jalan itu menjadi lumpur bercampur air yang siap membatik baju si pemilik yang melintas, tak pandang hawa atau adam, kaya atau pun miskin seperti Harun kala itu. Hampir setiap hari Asih melintasi jalan ini dan membuat orang-orang di sekeliling menjadi hapal dari mana pergiannya.
"Kamu dari mana, Nduk?" Wanita paruh baya itu bertanya dengan logat khas Jawa Timur paling barat. Tak ada jawaban. Hanya pandangan mata yang seperti biasa sebagai jawaban atas pertanyaan yang hampir setiap hari diberikan.
"Lupakan dia. Nyatanya dia tak kunjung datang memenuhi janjinya bukan?" Suara itu kian meninggi. Terdengar begitu kesal dan marah terhadap apa yang dilakukan anak kesayangannya. Percuma jika Asih menjawab karena yang ada hanyalah berujung pertengkaran. Dan Asih akan tetap salah di mata wanita yang dipanggil Emak.
Kamar berdindingkan kayu itu masih begitu jelas untuk sekedar mendengarkan omelan emak. Cinta itu terkadang memang memuakkan. Waktu begitu lama menyita rasa. Tak jarang rasa lelah dan bosan menghinggapi. Sekuat apapun kita mengusir rasa itu, rasa hebat titipan sang illahi itu tetaplah ada. Asih membenamkan wajah pada bantal bersarung motif bunga. Membawa segala kegundahan dalam tidur. Biarlah mimpi indah yang merubah. Hingga mimpi itu tidak hanya mimpi, namun menjadi kenyataan yang akan datang.Tak mendengar sautan apapun, emak membuka penutup pintu kamar Asih yang hanya terbuat dari kelambu. “Maafkan emak, Nduk,” perempuan yang tinggal satu atap dengan Asih itu mengelus rambut anak gadisnya dengan penuh cinta. Asih masih saja berpura-pura tidur. Tak sanggup jika harus membuka mata. Air matanya sudah berusaha mendobrak dinding yang berusaha sekuat tenaga ditutup. Emak pergi meninggalkan kamar.
Kang, apa kamu benar-benar sudah melupakanku?
Kelopak mata itu tak mampu membendung air mata Asih. Air mata itu kini membanjiri bantal yang berwarna putih bermotifkan bunga. Ingatan ketika ia mengantarkan Harun di stasiun tua tengah kota kembali terngiang di kepala.
Hari itu, dia menyusul Harun ke stasiun. Dengan sekuat tenaga ia menggenjot sepeda ontelnya agar segera sampai ke stasiun lebih awal. Agar tak tertinggal kereta yang akan membawa Harun pergi. Peluh bercucuran. Debu bertebaran di mana-mana. Rambut yang tadi telah di kepang dengan rapi kini mulai berantakan, keluar dari ikatan satu persatu. Namun, tak mengurangi keayuannya sebagai gadis desa. Dua puluh menit, ia tiba di stasiun. Terbilang lumayan cepat dari hari biasanya.
“Kang, kamu benar-benar mau pergi?” Napasnya yang ngos-ngosan karena buru-buru mengejar Harun di stasiun bisa berkompromi dengan baik. Wajah penuh tanya dan penuh harapan “kata tidak pergi” dari pemuda yang kini di hadapannya dengan tas besar yang di gendongan.
“Asih, suatu hari kamu akan mengerti mengapa aku harus pergi. Bersabarlah, dan doakan agar semua baik-baik saja ...”
“Agar aku bisa segera pulang dan datang ke rumahmu lagi.” Suara itu tersendak di tenggorokan. Begitu sakit untuk di tahan dan di keluarkan. Wajah ayu itu masih terlihat datar. Begitu jelas tampak kesedihan disana. Kesedihan yang tak bisa ia keluarkan atau dijelaskan.
Di stasiun yang penuh orang berlalu-lalang, ia mematung. Tak tampak orang-orang di sekitar. Yang di lihat hanya Harun pergi meninggalkannya. Hendak ia mengejar Harun, namun petugas kereta menghalangi. Mereka di tempat yang sama, namun dipisahkan dengan dinding gerbong kereta. Terdengar suara merdu petugas kereta mengumumkan akan keberangkatan kereta. Ingin sekali ia masuk ke gerbong itu, mengejar kekasihnya namun apalah dia yang hanya perempuan ringkih. Suara gaungan kereta menambah luka di hati. Suara peluit panjang dengan semboyan 41 yang di berikan kondektor dan di balas dengan semboyan 35 yang di berikan oleh masinis. Suara gaungan kereta itu menandakan akan berangkatnya kereta penumpang. Orang-orang di sekeliling berhamburan. Ada yang yang berlari mengejar ular besi berjalan. Ada yang melambaikan tangan. Ada yang meraung-raung menangisi kepergian seseorang. Juga ada yang hanya mamtung menerima kepergian seseorang. Di tempat itulah, sebuah kehidupan baru akan di mulai. Baik bagi orang-orang atau pun bagi Asih.
***
Beberapa orang memasuki kawasan stasiun bareng dengannya. Namun, diantara mereka, hanya dia yang tak mempunyai tujuan. Mengantar atau menjemput. Meski jauh di lubuk hati, ingin sekali ia menjawab pertanyan orang-orang yang duduk di sebalahnya, “menjemput kekasih saya” namun apalah daya. Selama ini tak ada yang datang menghampiri.
Petugas hilir mudik di depannya. Mulai dari satpam, yang sesekali tampak sibuk membantu para pendatang yang membutuhkan beberapa informasi atau sekedar ngobrol dengan petugas yang lain sembari berjaga. Lalu, petugas dengan baju kemeja putih berlengan pendek dengan topi khas di kepala dan menggendong tas besar, menunjukkan identitasnya sebagai seorang masinis. Atau petugas kebersihan yang membersihkan beberapa sampah yang baik di sengaja atau tidak ditinggal oleh penumpang atau ketika musim hujan mengepel lantai yang selalu kotor dengan bercak-bercak kaki.
Asih duduk di kursi tunggu layaknya seseorang yang akan pergi atau menjemput. Dikatakan orang yang mau pergi, ia tak membawa apa-apa atau tas-tas besar seperti para calon penumpang lain. Jika menjemput seseorang, sudah tiga kali lagu khas Pinarak Bojonegoro di putar sebagai pertanda datangnya kereta penumpang telah memasuki kawasan stasiun tapi ia tetap saja duduk disana.
Stasiun yang beroperasi pada tanggal 1 Maret 1902 semakin siang semakin ramai dengan pengunjung. Dengan jumlah tujuh jalur, para penumpang naik turun. Dari jarak terpendek hingga jarak terjauh. Tampak kereta penumpang memasuki jalur tiga di barengi dengan lagu khas Bojonegoro, jalur yang dikhusukan untuk arah kota Atlas. Sama seperti kekasihnya waktu itu, Harun menaiki kereta asap pada jalur tiga. Ingin sekali ia berlari menuju gerbong yang berjubel antara penumpang dan pedagang. Ingin sekali ia terobos orang-orang bergerombol yang menghalanginya. Namun ia hanyalah gadis desa yang tak memiliki dan mengetahui apa-apa. Yang ia tahu hanya menunggu dengan setia kepulangan kekasih hatinya.
Sudah hampir tiga jam dia duduk di ruang tunggu bersama penumpang yang selalu berganti. Sesekali ia berdiri ketika lagu khas itu di putar untuk kesekian kali. Namun, kesekian kali pula ia harus kembali duduk. Sebulan sekali ia memasuki wilayah stasiun. Tepat di tanggal ketika Harun pergi. Seperti hari ini.
Beberapa petugas yang setiap bulan melihat pemandnagan tersebut merasa iba karenanya. Siapa pemuda yang beruntung itu. Mendapatkan kecantikan dan kesetiaaan yang teramat ia jaga. Asih berniat pergi meninggalkan tempat itu. Tempat dimana orang-orang melepas dan mengikat tali rindu di leher. Namun, justru ia berbalik. Lagu khas itu sudah di putar untuk ke enam kali. Namun tetap saja ia tak menemukan Harun diantara gerombolan para penumpang yang turun.
Hari sudah beranjak. Asih harus segera pulang. Emaknya bisa marah jika ia berlama-lama di sini. Di ambil sepeda ontel tuanya. Memberikan salam dan ucapan terimakasih pada petugas parkir. Yang menerima hanya mengangguk dan tersenyum. Tidak tahu harus mengatakan apa untuk perempuan yang selalu menjadi langganan parkir di tempat itu.
Dikayuhnya sepeda tua itu menyusuri jalanan kota. Asih sudah kebal dengan perasaan yang setiap hari ia terima. Kecewa. Namun, dia gadis yang tak mengenal kata lelah. Ia tetap yakin dan percaya, suatu hari, Harun akan kembali untuknya. Karena Harun sudah berjanji, jika pulang nanti akan turun di stasiun tua tengah kota ini.
Debu jalanan dan asap kendaraan adalah teman kesehariannya. Tetap dengan semangat dan senyum yang selalu mengembang di bibir manisnya, ia melewati hari demi hari di jalanan yang penuh dengan jeglongan. Jarak antara rumah dan stasiun cukuplah jauh, sekitar dua puluh kilometer. Ia mengayuh sepeda selama dua jam untuk menempuh pulang pergi, namun hasil yang ia terima selama ini hanyalah kekosongan dan kehampaan semata. Harun, sang kekasih hati tak jua kembali. Namun, masih ada hari esok. Begitulah kegigihan gadis desa itu
Gadis itu layaknya Drupadi, yang harus menjalani hukum buang di sebuah hutan selama 12 tahun bersama Pandawa dan dalam hidup penderitaan. Namun, ia tetap setia mendampingi kekasihnya, Yudistira.
Hari demi hari dilalui Asih seperti biasa. Setiap pagi, ia selalu menyempatkan waktu untuk mendatangi stasiun. Masih dengan penuh harap, Harun kembali untuknya. Orang-orang di sekeliling mulai mengatakan, ia mulai tak waras. Namun, hanya karena mengharapkan kehadiran seseorang yang telah lama pergi padahal ia berjanji akan kembali di katakan tak waras? Rasanya sungguh aneh. Pikirnya. Gadis itu mengabaikan kasak-kusuk tetangga dan saudaranya. Mengapa ia tak kunjung menikah? Apa yang ia tunggu? Harun yang jelas-jelas tak kunjung pulang atau bahkan sudah mengingkari janjinya. Tapi dengan kesungguhan hati ia percaya bahwa Harun akan menepati janji. Meski entah kapan waktu itu tiba.“Nduk, ambilkan pisang Raja di rumah Bu Carik, ya?” Suara emak membuyarkan lamunan. Ia mengangguk lalu beranjak dari duduk. Tak banyak bicara. Namun masih bersikap wajar. Diambil se
Angin semilir menarikan rambut panjang anak gadis Mak Ram. Sesekali mengganggu lamunan. Ia menyibakkan rambut yang terlepas dari ikatan dan mencoba bergelayutan manja di wajahnya. Ia duduk di teras rumah. Menikmati suasana sore yang indah. Di depan rumah yang terbuat dari anyaman bambu milik Mak Ram terdapat taman bambu yang menyejukkan suasana. Suara kemeratak dari bambu yang saling bergesekan karena angin menarikan batangnya menambah syahdu suasana. Setiap sore, gadis itu menikmati pemberian Tuhan. Sesekali gadis itu tersenyum. Mata indah milik Asih menerawang jauh ke awang-awang. Kakinya menari, maju mundur di angkul-angkul kursi panjang. Tangannya meremas-remas rok panjang yang ia kenakan. “Nduk, sudah selesai ngepack ledrenya?” Suara emak membuyarkan lamunan. Asih sedikit kece
Suasana perkampungan itu begitu terasa. Di sana emak-emak hilir mudik mencari sayuran. Bukan dari warung atau dari pasar. Tetapi meminta dari tetangga. Begitulah kehidupan di desa, tempat tinggal Harun. Saling membantu. Tak terkecuali dalam urusan dapur. Pengen masak sayur apa yang di miliki tetangga, boleh diminta. Tinggal metik setelah dapat ijin dari si pemilik.“Run, bapakmu udah berangkat to?” logat bahasa jawa timuran paling barat melekat pada perempuan dengan rambut panjangnya yang di gelung kecil di kepala seperti khas gelungan di era Majapahit menanyakan perihal suami pada anak sulungnya.“Sudah mungkin, Mak.” Yang di tanya menjawab dengan santai sambil menyiapkan perkakas perangnya. Sekop yang sudah ia pastikan bersih dan tajam, serta baju kerja andalan. Di tatapnya perempuan yang ia panggil emak dari kejauhan. Wanita itu menggunakan rok dari kain batik yang di lilit, tanpa di jahit. Tampak tengah ngobrol dengan lawan bicara sambil mem
Bayangan Harun menerawang jauh. Di tangkapnya bayang-bayang ketika ia pertama kali bertemu Asih. Gadis itu malu-malu. Senyum indah dan kedipan matanya yang begitu lentik yang menyeret Harun mengajaknya kenalan.Ia mendekat perlahan. Gadis yang kini berjarak beberapa meter di depannya menampakkan pipinya yang merah merona. Jantung Harun berdetak di atas ambang normal. Namun ia juga bersiap ketika gadis manis itu justru menjauh meninggalkan dia, masih untung jika ia tak di damprat oleh gadis manis itu.“Nuwun sewu, Mbak, angsal nderek lungguh mriki?” suara berat itu bergetar, namun sebisa mungkin Harun menyembunyikan.Gadis berkaos merah muda dengan lengan panjang itu menoleh. Senyum manis tersungging di bibirnya. Tak ada jawaban, hanya anggukan yang mampu ia berikan sebagai jawaban. Degup jantungnya pun tak kalah dengan Harun. Berdetak lebih kencang dari biasanya.Harun duduk di sebalah kanan gadis manis yang kala itu menyebutkan naman
Emak tampak merenung. Di pandanginya padi yang ada di pelataran rumah. Harun paham betul apa yang ada di pikiran emaknya. Namun sepatah kata pun tak mampu di keluarkan. Ia pendam mentah-mentah semua yang ada di benaknya. Panen musim ini tak seperti biasanya. Berkurang lima karung lebih. Namun, meski begitu tetap bersyukur.Janji melamar Asih sewaktu panen membayang seketika. Wajahnya yang ayu, matanya yang teduh, dan senyum manis yang ditambah dengan lesung pipit menambah khas kekasihnya itu.“Run, udah makan?” Wanita dengan gelungan membuyarkan lamunannya. Harun menatap emaknya dengan seksama. Wanita yang ditatap mengerti perasaan dan apa yang di pikirkan anak laki-lakinya itu. Hanya anggukan dan jawaban enggih yang di berikan. Tanpa basa-basi, ia lalu beranjak dari duduknya dan meninggalkan emaknya. Punggung Harun semakin menjauh. Hal yang wajar, ikatan anak dan emak memanglah begitu kental. Meski senyum manis apapun yang Harun berikan,
Kamar berukuran tiga kali tiga meter itu terasa begitu pengap. Bayangan Asih dan janjinya terhadap Mak Ram serta kehidupannya waktu di desa benar-benar menyita waktunya. Emak yang selalu ia rindukan perihal nasehat-nasehatnya, jangan lupa makannya, jangan lupa ibadahnya, senyumnya yang begitu tulus hingga marahnya, seperti hari itu ketika ia pulang main bola menjelang maghrib, emak sudah mondar-mondar di depan pintu dengan sampu di tangan kanannya, sedang tangan kirinya masih nyincing Tapeh yang dari jarik lurik.“Ileng muleh barang kowe, Run?” Suara keras itu menyambutnya memasuki halaman rumah yang sederhana.“Tadi istirahat dulu, Mak?” Harun berusaha membela diri meski tak mampu ditatap wajah emaknya yang begitu tampak mengerikan.“Besok ulangi lagi kalau pengen tahu rasanya sapu ini.” Mata itu menatap tajam sembari mengacungkan sapu yang di pegangnya.“Mbo
Di pandangi makanan yang ada di depannya. Di aduk-aduk. Selera makannya seketika hilang. Di teguk es teh yang ada di sebelah kanan sikunya. Berharap selera makannya bisa pulih seperti sedia kala. Rasa rindu di hati benar-benar membuncah. Tak tertahankan. Ingin sekali ia mengunjungi keluarga dan juga Asih, kekasihnya.Di genggam surat dari emak yang ia terima kemarin. Pikirannya kacau. Ia ingat betul betapa sibuknya orang-orang di desa ketika acara seperti yang di ceritakan emak. Acara yang selalu ada di setiap tahun. Menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan atas apa yang telah diterima.Nyadran berasal dari bahasa Sansakerta, Sraddha yang artinya keyakinan. Masyarakat desa dimana Harun berasal mempercayai, bahwa semua nikmat yang telah ia terima adalah pemberian Tuhan melalui usaha dan kerja keras.Begitu juga dengan keluarga Harun. Mengikuti acara sakral itu dengan khidmat. Di bawanya makanan yang sudah di letakkan pada sebuah wadah yang cukup untuk menamp
Kereta lokal itu membawa Harun kembali ke parantauan. Suara saut-sautan orang bercengkrama dalam kereta begitu riuh. Pak kondektur menyibak lalu-lalang pedagang yang hilir mudik. Mengecek satu persatu tiket penumpang.Lidahnya masih kelu. Wajah emak dan sekar masih terlintas. Bayang-bayang Asih juga ikut menghantui. Diliriknya perempuan cantik yang kini duduk di sebelah. Ia tampak berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kesedihan. Air mata itu sesekali menetes. Secepat kilat tangan yang terlihat putih pucat itu meraih bulir-bulir bening yang mulai jatuh, agar tak ada orang yang tahu perihal dukanya. Di ulurkan sapu tangan yang sedari tadi bersembunyi di balik kantong tas kecil yang di cangklong Harun. Ragu, perempuan yang berambut bergelombang di sebelahnya menerima. Harun mengangguk mantab. Meyakinkan bahwa ia ikhlas memberikan. Di usapnya sapu tangan berwarna biru ke wajah gadis manis di sebalah. Adakala digunakan untuk menutupi wajahnya ketika wanit
Harun menjalani hari-harinya dengan perasaan yang aneh. Ia merasa ada yang kurang dari hidupnya. Perasaan bersalah tehadap Asih teru saja menghantuinya. Hingga suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Asih.“Ah, mungkin kamu merindukan dia, Run,” Dewa menanggapi dengan santai.“Bisa jadi, sih, Wa. Tapi keliatannya hari lalu aku nggak mikirin dia, deh, Wa,” Harun menyanggah pendapat Harun.“Atau mungkin dia minta di doain, Wa?” Dewa memberi jawaban yang mampu membuat Harun berpikir dengan serius kali ini.Harun mengangguk sebagai tanda setuju dengan jawaban Dewa, lalu menyeruput kopinya Dewa yang terletak tidak jauh dari Harun.“Kebiasaan, deh, Run,” Dewa melihat Harun yang terbiasa menyerobot kopinya. Harun hanya merenges lalu ia mengajak Dewa ke warung Mak Yem.“Ngapain ke Mak Yem?” Dewa melirik Harun dengan tatapan penuh curiga.“Kamu nggak laper apa?” sekarang gi
Setelah beberapa kali ia menerima surat dari Asih dan Mak Ram secara terus menerus, Harun akhirnya memutuskan untuk pindah rumah kontrakan, Dewa pun ikut serta bersama Harun.Harun baru saja menempelkan pantatnya pada kursi yang berada di teras rumah. Dewa lalu datang membawa surat berbungkus amplop cokelat. Harun melirik sekejap surat ituyang kemudian tersenyum, “Makasih ya, Wa.”Dewa mengangguk kemudian duduk di sebelahnya dan menyeruput kopi yang ada di tangan kanannya.“Jadi yang tahu alamat ini Cuma emak?” Dewa mulai percakapan.Harun hanya mengangguk, ia sedang sibuk mengeja setiap kata yang ada dalam tulisan surta itu. namun, tiba-tiba Harun mengertutkan keningnya, ekspresinya juga berubah tidak seceria beberapa menit yang lalu.“Kenapa?” tanya Dewa penasaran.Harun masih terdiam, pandangannya masih fokus pada surat yang ada di tangannya. Dewa memperhatikan perubahan ekspresi Harun sedari tadi. Sele
Perlahan matahari mulai turun, Harun menyusuri lorong stasiun dengan tatapan para penumpang. Tubuhnya telah lelah dan juga hatinya. Selepas ia memberikan laporan di kantor Harun segera meninggalkan keramaian tempat umum itu.Harun segera memesan becak yang tengah mangkal di tempat biasa badannya teramat lelah untuk berjalan dari stasiun sampai ke kostnya dengan berjalan kaki. Laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun yang tengah mengayuh becaknya terlihat sesekali mengusap keringat dengan handuk kecil yang melingkar di pundaknya.Selang sepuluh menit becak itu berhenti pada sebuah bangunan rumah yang bergaya modern. Di sanalah ia tengah mengontrak sebuah rumah bersama Dewa. Dewa sedang duduk santai di teras masih dengan baju kerjanya.Setelah mengcapkan salam Harun langsung masuk ke rumah dan menuju kamar yang tengah terbuka lebar. Dewa membiarkan Harun sendiri untuk sementara waktu. Iajuga butuh istirahat setelah terjadi insiden pekerjanya yang kecelakaa
Pagi-pagi sekali Harun telah bersiap lengkap dengan baju dinasnya. Asih memperhatikan Harun dari jauh. Betapa beruntungnya ia jika hubungannya akan baik-baik saja dengan Harun. Asih menepis semua bayang-bayang tentang Harun.Harun mengenakan jaketnya yang berwarna hijau lumut, jaket itu menutup seluruh bajunya yang putih. Ia lalu menyalami kedua orang tuanya, Sekar dan Asih. harun tidak mengatakan apapun untk Asih.Tetangganya yang berprofesi sebagai tukang ojek telah menunggunya di depan rumah. Setelah Harun siap ia kemudian menghilang dari pandangan bersama tukang ojek.Asih berdiri terdiam dan mematung di tempatnya. Ia tidak bisa menafsirkan prihal perasaannya. Emak merangkul pundaknya dan membimbingnya masuk ke dalam rumah.Sekar yang semula masih ngantuk memutuskan untuk kembali tidur. Asih dan Emak lanjut menuju dapur. Mereka harus menyiapkan sarapan sebelum bapak dan Sekar ke tempat tujuannya masing-masing.“Nduk, kamu n
Mak Ram datang dengan membawa beberapa tas besar yang terisi penuh. Wajahnya terlihat lelah, ia segera mencari Asih berniat untuk menghilangkan penatannya.Mak Ram mendapati Asih yang tersungkur dalam amben. Suara tangisan terdengar jelas dari sana. Mak Ram segera mendekat dan memeluk anaknya. Namun Asih dengan tegas menolak bahkan menjauhkan tubuhnya dari Mak Ram.“Ada apa, Nduk?” Mak Ram betanya kebingungan.“Harusnya Asih yang bertanya ke Emak, ada apa?” Asih menjawab dengan air mata yang tidak berhenti berlinang.Mak Ram semakin bingung, ia mencoba meraih angan Asih, tapi Asih menepis lagi.“Ada apa?” Mak Ram mencoba bertanya pada Asih sekali lagi.“Ini surat dari siapa, Mak?” Asih memperlihatkan surat yang diberikan Emaknya beberapa waktu yang lalu.Mak Ram bingung, sepertinya Asih telah mengetahui semuanya, pikirnya.“Itu kan jelas dari Harun, Nduk?” Mak Ram beru
Pagi-pagi sekali Harun telah sampai di pelataran rumah ketika orang-orang hendak berangkat ke sawah. Setelah ia membayar becak Harun langsung masuk ke rumah, rupanya keluarganya tengah sarapan nasi jagung goreng bersama-bersama.“Kang Harun,” Sekar berteriak kegirangan.Emak dan bapaknya yang semula fokus sama sepiring nasi kini mengalihkan perhatiannya. Senyumnya mengembang melihat Si Sulung. Harun segera mengulurkan tangan untuk mencium tangan bapak dan emaknya.“Kok tumben wes bali maneh?” Emak bertanya curiga.“Kangen rumah, Mak,” Harun menjawab dengan senyuman setelah emak mencium kening anaknya.Nasi jagung goreng adalah makanan kesukaan Harun, matanya tidak bisa lepas dari nasi goreng yang tengah terhidang di meja. Harun kemudian segera mengambil piring yang ada di dapur dan ikut sarapan bersama.Bapak telah usai makan terlebih dulu, ia bergegeas hendak pergi ke sawah. Itu terlihat dari baj
Harun memarkirkan sepedanya di halaman kontrakan, ia memasuki kontrkan bersamaan dengan Dewa. Harun langsung merebahkan tubuhnya pada kasur sudah melambaikan tangan. Sedangkan Dewa langsung membersihkan badan karena bajunya yang penuh dengan semen.Dewa menyeka keringat yang yang mengalir di pelipis dengan handuk kecil yang melingkar di pundak. Ia menatap Harun dengan tatapan penuh iri.“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Harun menyadari bahwa Dewa tengah menatapnya.“Aku tekadang iri denganmu, Run,” Dewa menempelkan pantatnya pada kursi di depan meja. Harun bangun dari tidurnya lalu memosisikan diri sebaik mungkin untu menatap Dewa.“Apa maksudmu?” Harun menatap Dewa dengan penuh selidik.“Kamu menatapku biasa aja bisa nggak?” Dewa mengalihkan pembicaraan karena merasa risih ditatap oleh Harun sedemikian rupa,“Kamu ganteng, pekerjaanmu bagus, banyak perempuan yang menyukaimu, kekasihmu
Asih berlari keluar kamar setelah mendengar bel sepeda petugas POS. Ia mulai hapal dengan suara itu. tepat sekali, Pak Pos sudah betengger di teras rumah menunggu Asih yang sedang lari-lari kecil.“Terima kasih,” Asih menerima surat itu dan Pak Pos pun berlalu.Asih gemetar menerima amplop yang tetera nama Harun di sampul depan. Ia merasa bungah sekaligus susah menerima surat itu. Ia teringat kedatangan pemuda beseta bapaknya yang tak ia kenal. Mak Ram dengan tanpa pikir panjang langsung mengiyakan lamaran pemuda itu dan berniat membatalkan lamaran Harun.Asih masuk kamar dan membuka amplop dengan perlahan. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk Harun.Assalamualaikum, Cah Ayu,Kakangmu juga sehat, Nduk. Cah Ayu, kamu tidak usah repot-repot membantu mengumpulkan biaya buat perkawinan kita. Itu sudah tanggung jawab kakangmu ini. Nduk, Cah Ayu, kakangmu cuma mau kamu hati-hati di sana, jaga diri juga j
Harun kembali ke Semarang setelah memperbaiki hubungannya dengan Asih. Emak dan bapak juga ikut bahagia karena anak sulungnya tidak lagi berpura-pura bahagia. Terlebih Sekar, jadi ia bisa punya teman bercerita.“Akhirnya kamu jadi nikah sama Asih?” Dewa bertanya dengan mulut yang penuh makanan.Harun mengangguk diiringi dengan senyuman yang mengembang. Wajahnya terlihat bahagia. Aura ketampanannya bersinar dengan sempurna.“Kamu jadi nikah sama Asih, sedangkan aku masih terbelenggu dengan perasaan Dewi,” Dewa menghentikan kunyahannya.“Cobalah untuk berdamai dengan perasaanmu sendiri,” Harun kemudian duduk di tepian ranjang, menghentikan aktifitasnya melipat dan memasukkan baju ke dalam lemari.“Maksudmu?” Dewa menghentikan makannya. Ia lebih tertarik dengan apa yang dikatakan Harun.“Aku pernah cerita kan tentang nasehat bapakku?”Dewa mengangguk pelan dibarengi dengan memas