Kukencangkan sabuk mantelku sebelum melangkah keluar dari bandara Zaventem-Brussels, Belgia. Angin musim dingin di sini sungguh gila! Yah, ini memang bukan yang pertama kali aku menginjakkan kakiku di Negara ini. Ayahku, lelaki yang sama sekali tak kukenal, yang memiliki andil atas keberadaanku di dunia ini, dia yang mengatakannya padaku lewat telepon seminggu yang lalu tentang hal itu. Tapi entahlah, aku hanya tidak bisa menangkap kilasan memori saat aku berada di negara ini. Oh ya, dia tinggal di sini. Beliau adalah abdi kerajaan yang taat. Saking taatnya, beliau rela meninggalkan anaknya, oh bukan, anak haramnya, dengan seorang mahasiswa lugu dari Negeri Timur yang sedang magang di konsulat Istana.
“Mademoiselle Mireille?“ aku mengernyit mendengar nama itu di sebut. “Sebelah sini, s’il vous plaît. Silakan.“
Mademoiselle adalah panggilan kehormatan pagi wanita Prancis yang belum menikah. Madam, digunakan untuk memanggil mereka yang sudah menikah atau memiliki kedudukan tinggi dalam hierarki sosial, sedangkan monsieur merupakan panggilan formal untuk para pria.
Aku mengikutinya masuk ke dalam sebuah mobil mewah yang bahkan tak kutahu namanya dalam diam. Well, here we go. Meet Daddy, batinku kecut saat mobil bersiap meninggalkan bandara.
***
“Mademoiselle Mireille, ini kamar anda. Kamar Ayah anda ada di seberang lorong. Saya ada di dapur dan di ruang belakang jika sewaktu - waktu anda membutuhkan saya.“ Brigitte, seorang wanita tua yang mengingatkanku pada sosok Oma, mengantarku berkeliling rumah dengan ramah. Tapi tentu saja aku tak terkesan. Tidak ada yang akan membuatmu terkesan jika hatimu terpaksa melakukan sesuatu. Sayang sebenarnya, rumah semegah ini, hanya ditinggali oleh seorang pria tua paruh baya dengan anak gadisnya, dua pengurus rumah tangga, satu sopir dan satu tukang kebun. Ironis.
“Mademoiselle Mire…“
“Mira, please“
“Ah, excusez-moi. Mademoiselle Mi...“ Dia buru - buru meminta maaf, tapi kembali kusela.
“Jangan gunakan embel - embel Mademoiselle. Aku bukan seorang francophonique. Mira. Panggil aku Mira“
Francophonic adalah sebutan untuk warga negara yang menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa nasional mereka.
“Aa… d’accord. Mira pasti capek setelah seharian di pesawat terbang, mari saya siapkan kamar mandi untuk anda membersihkan diri dan segera setelahnya saya akan buatkan makan malam untuk anda“
“Well, oke. Apakah Monsieur Goureille akan makan bersamaku nanti? “ tanyaku secara tidak langsung menanyakan dimana keberadaannya. Ayahku.
“Ah, Mira, Monsieur menitipkan maaf untuk anda karena tidak bisa menemani anda di rumah selama seminggu ini… Ah!“ Brigitte memekik kaget saat aku meletakkan tas selempangku dengan kasar di atas meja rias. Saat tidak ada respon lanjutan dariku, dia meneruskan, “Beliau sedang ada tugas kerajaan ke Perancis menemani perdana menteri. Anda sebaiknya beristirahat setelah makan, besok Richard akan menemani anda ke sekolah baru anda“
S*alan! Tua Bangka itu! Beraninya dia menyuruhku datang ke negaranya, tinggal di rumahnya dan sekarang dia pergi tanpa ada kata selamat datang atau apapun! Dan… apa tadi? Sekolah baru? Berani sekali dia mengatur hidupku disini seperti aku hanya boneka baginya!! Memang apa hak dia?!
Kau membuat masalah dengan seseorang yang belum kau ketahui kekuatannya, Pak Tua….
-To be Continue-
Aku bosan. Benar - benar bosan. Aku ingin menikmati hariku di sini. Di negeri asing dan antah berantah di mana aku sama sekali tak mengenal seorangpun. Bukannya malah harus terjebak bersama orang ini, orang yang langsung mendapatkan poin minus sejak pertama kali aku melihatnya, untuk mengunjungi sekolah baruku. Huft! Nggak penting! Kita liat saja bagaimana selera Pak Tua itu. Aku sih yakin, sekolahku nantinya akan sangat - sangat old - fashioned dan datar. Mungkin hukum. Atau mungkin business management. Huh, membosankan. Mana Pak Tua itu tahu kalau aku, yang menurut pengakuannya ini adalah putrinya, ternyata sangat menggilai Van Gogh dan Monet? Yah, aku senang melukis, dan aku tetap ingin serius menjadi pelukis.Dan semakin membosankan karena sedari tadi kami saling mengacuhkan keberadaan satu sama lain. Ya, hal - hal yang berhubungan dengan si Tua Goureille akan senantiasa membuatku jijik dan ingin menja
“Mademoiselle, mobil kita ada di sebelah sini.” Pria yang mengaku ‘Pengawal Khusus Istana yang Seharusnya Mengawal Putri’ tersebut berseru memanggil. “Anda bisa membeku kalau terus keras kepala seperti ini“Well, atur urusanmu sendiri, Monsieur. Aku sudah tidak berminat bermain tebak apa dan siapa dengan anda. Oke, kejutan tentang ARBA memang tak ada duanya. Tapi jangan kira aku goyah karena sogokan tersebut. Aku bahkan benci mengakui aku menyukai pikiran bahwa minggu depan semester baruku di ARBA akan segera dimulai.“Mademoiselle…““Get lost!“ Seruku murka saat dia mencoba menghentikanku dengan mencekal tanganku. “Laisse-moi tranquille! Tinggalkan aku sendiri!“ tambahku bahkan tanpa menoleh ke belakang.Sumpah! Aku hanya ingin sendiri sekarang. Setelah semua campur tangan orang - orang di sekitarku sela
“Mademoiselle Mira, anda sudah bangun“ Suara Brigitte yang serak dan khawatir menyambutku saat aku membuaka mata. Hari sudah nyaris gelap. Pasti aku pingsan cukup lama. “Anda tidur selama 4 jam, Mira. Richard terlihat panik saat membawa anda pulang.”Aku berusaha bangun, namun rasa sakit di belakang kepalaku menghentikanku. Bau amis darah juga masih terasa kental di hidungku.“Anda harus minum obat, Mira. Dokter Giusseph sudah memberikan resep dan sudah ditebus Richard tadi siang. Saya akan menyiapkan bubur untuk mengisi perut anda.” Pamitnya sebelum menghilang di balik pintu.Sepeninggal Brigitte, aku beranjak tertatih - tatih menuju koper besar di sudut ruangan yang belum kubongkar sejak aku datang. Hanya sebanyak itu barang yang bisa kubawa dari rumah saat berangkat ke Belgia. Sambil menahan nyeri yang semakin lama terasa menusuk di belakang kepalaku, aku membongkar kotak kecil di sudut koper. Aku hanya perlu memin
Ada yang aneh dengan kamar dan lemari bajuku. Aku sama sekali belum membongkar isi koperku. Tapi nyaris tak ada tempat untuk menaruh dan menata barang - barangku. Kamar ini terisi penuh! Yah, oleh barang - barang perempuan. Mulai dari baju, make - up hingga aksesoris dan tas - tas. Aku tidak yakin kalau untuk kedatanganku, Daddy rela memborong isi butik untuk dipindahkan ke kamar ini.Tidak, tidak mungkin. Itu pikiran konyol. Ada yang aneh di sini. Kalau memang ini untukku, seharusnya Daddy tahu dari pengawal yang mengawasiku selama ini bahwa aku nyaris tidak pernah memakai rok. Dan aku jelas tidak bisa menggunakan hak tinggi apalagi menggambar wajahku dengan make up. Aku hanya mahir menggambar di atas kertas sketsa dan kanvas. And look, yang ada di lemari dan rak sepatu itu, nyaris semuanya adalah gaun, rok dan higheels.Aku menutup pintu lemari keras - keras. Aku bingung harus memulai memikirkan ini dari mana. Biasanya otakku cukup cerdas menganalisa sesua
Aku mendesah kecewa sambil memandangi peta di tanganku. Tempat yang paling ingin kutuju, tapi tak terjangkau walau sudah di depan mata. Place du Jardin aux Fleurs Bloemenhofplein, aku pernah memimpikannya. Mama punya foto taman bunga indah dan memberitahuku namanya adalah Place du Jardin aux Fleurs Bloemienhofplein. Tempat favoritnya, yang entah bagaimana sepertinya menjadi obsesiku juga tempat yang paling ingin kukunjungi suatu hari nanti. Taman indah dengan bunga bermekaran di tengah kota. Aku juga bermimpi melukis pemandangannya di tengah musim panas. Pasti cantik sekali. Sayang, tempat ini sekarang tertutup salju tebal. Bodohnya aku yang tidak mempertimbangkan hal ini. Tentu saja, ini musim salju!Mungkin memang sudah saatnya pulang, batinku. Berat rasanya kaki ini harus melangkah menuju suatu tempat yang disebut rumah, tapi sama sekali tidak mirip rumah. Hanya tempat beberapa orang asing berkumpul, tapi tak pernah bertegursapa. It’s cold. I do r
Jadi, apa yang membuat pagi ini terasa janggal, hening dan canggung daripada sebelumnya saat bersama Richard? Yeah, insiden kaburku kemarin. Aku mengharapkan reaksi yang menggebu - gebu dan heboh dari dia, jujur saja. Tapi yang kudapat pagi ini adalah sebaliknya. Dia mengetuk pintu kamarku dengan sopan, menungguku sarapan dalam diam, dan masih diam hingga sekarang. Aneh? Tentu saja untuk seorang Richard yang tidak pernah melewatkan sedikit kesempatan untuk merecokiku. Mungkin semalam dia berbicara banyak dengan Daddy?Richard menghentikan mobilnya di gerbang masuk ARBA. Karena terlalu canggung, aku hanya diam dan melepas seatbelt - ku, bersiap untuk turun, saat tiba - tiba dia mencengkeram pergelangan tanganku erat.“Hng?”“Anda tidak akan kabur lagi Mademoiselle. Aku pastikan itu.”Ha? Hanya itu? “Well…”“Aku tidak akan menganggap remeh anda lagi.”Sepercik kebahagiaan karena t
Cuaca di Belgia kian hari semakin tidak bersahabat. February sudah hampir lewat. Itu tandanya, aku sudah 6 minggu berada di sini. Tapi musim semi belum menampakkan cirinya.Tunggu! 6 minggu? Sudah selama itu kah? Dan aku masih hidup? Itu suatu keajaiban yang patut dirayakan! Pertanyaannya, dengan siapa aku merayakannya?Daddy? Aku nyaris tidak melihatnya di rumah ini sejak 2 minggu yang lalu. Kangen? Yang benar saja. Aku hanya tidak melihatnya, bukan berarti aku mencari - carinya di sekeliling rumah. Tapi Brigitte selalu rutin menyampaikan pesan Dadyy padaku. Dia bilang, Daddy sedang di Prancis menemani ratu melakukan kunjungan resmi Negara. Jangan capek - capek, jangan berada di luar terlalu lama, harus makan tepat waktu. Seriously, aku bukan balita. I’m good at taking care of myself!Tante Millgueta? Tentu saja sibuk dengan urusan istana. Pergi pagi dan pulang malam nyaris seperti bukan manusia. Maksudku, apa dia tidak capek
Malam ini Granny Louisa berkunjung menggantikan absennya Daddy dan Tante Millgueta yang masih dinas di luar negeri untuk merayakan ulang tahun Corrine. Ya, Richard juga di sana karena Corrine ingin semuanya hadir merayakan hari jadinya. Malam itu, untuk pertama kalinya meja makan yang muat hingg 20 kursi itu penuh tanpa terkecuali. Bukan perayaan besar memang, tapi Corrine mengundang teman dekat dan seluruh pekerja mansion untuk libur dan merayakan ulang tahunnya di sana.Corrine duduk di kursi utama. Di sebelah kanannya Granny Louisa dan aku di sebelah kirinya. Aku nyaris menarik Brigitte duduk di sebelahku saat tersisa hanya dua kursi kosong dan Richard baru saja masuk membawa wine.“Mira, anda tidak boleh seperti itu.” Brigitte menasehati dengan geli karena tahu alasanku ingin dia duduk di sampingku.