“Mademoiselle, mobil kita ada di sebelah sini.” Pria yang mengaku ‘Pengawal Khusus Istana yang Seharusnya Mengawal Putri’ tersebut berseru memanggil. “Anda bisa membeku kalau terus keras kepala seperti ini“
Well, atur urusanmu sendiri, Monsieur. Aku sudah tidak berminat bermain tebak apa dan siapa dengan anda. Oke, kejutan tentang ARBA memang tak ada duanya. Tapi jangan kira aku goyah karena sogokan tersebut. Aku bahkan benci mengakui aku menyukai pikiran bahwa minggu depan semester baruku di ARBA akan segera dimulai.
“Mademoiselle… “
“Get lost!“ Seruku murka saat dia mencoba menghentikanku dengan mencekal tanganku. “Laisse-moi tranquille! Tinggalkan aku sendiri!“ tambahku bahkan tanpa menoleh ke belakang.
Sumpah! Aku hanya ingin sendiri sekarang. Setelah semua campur tangan orang - orang di sekitarku selama sembilan belas tahun ini, tidak bisakah mereka memberiku waktu sejenak untuk berpikir tentang diriku sendiri? Lalu memutuskan apa yang menurutku baik untuk diriku sendiri?
“Anda bisa tersesat di sini. Dan percayalah, jika itu terjadi, bukan hanya anda saja yang akan mendapat kesulitan. Kukira, untuk seseorang yang sudah masuk kategori dewasa, cara berpikir anda masih sangat kekanak - kanakan“
Apa? kekanak - kanakan? Kuhentikan langkahku, kemudian berbalik Menghadapnya. “Anda bilang aku kekanak - kanakan? Ya! Aku memang kekanak - kanakan!“ ulangku nyaris tertawa.
“Saya kira itu istilah yang tepat untuk menggambarkan sikap anda yang egois dan impulsif. Anda juga memiliki kecenderungan anak - anak untuk tidak membiarkan orang lain menasehati anda.”
Sanggahan sudah siap keluar dari mulutku saat tiba - tiba sebuah sepeda melintas di depanku dan nyaris melindas kakiku. Dengan sigap Tuan Pengawal Istana langsung menarikku menepi dan tanpa menyia - nyiakan waktunya, membawaku yang masih syok masuk ke dalam mobil.
“Terbukti sudah, bahkan untuk melindungi diri sendiri saja anda masih membutuhkan orang lain.” Ejeknya saat mobil mulai berjalan.
Entahlah, tapi perkataannya tiba - tiba membuat dadaku sakit. Atau mungkin karena hawa dingin dari luar? Tapi memang kalimatnya agak menyinggungku. Aku diam, bukan mengalah, tapi tidak mau mengalah dan membiarkan dia tahu aku sudah terluka dan nyaris meneteskan air mata karena kata - katanya.
“Setelah ini, kita akan menemui Madame Louisa, Ibu angkat Ayah anda.“
***
Louisa Charlotte, nama yang bagus. Dengan paras cantik, gerak - gerik anggun, suara merdu, nasib yang bagus serta gelar yang terhormat. Sempurna. Ya, aku bahkan bisa mengerem kata - kata pedas yang biasanya selalu gatal ingin kulontarkan pada siapa saja di negara ini, selama nyaris dua jam. Dua jam dengan hanya duduk memegang cangkir berisi lemon tea yang senantiasa dia tuangkan saat melihat cangkirku setengah terisi.
Duduk seperti ini dan mendengarkan orang lain, yang harus kau panggil Granny, menceritakan betapa hebat dan luar biasanya sosok yang bahkan belum pernah kau lihat wujud nyatanya sebagai seorang ayah benar-benar memuakkan dan menyesakkan. Memiliki gelar kehormatan yang dihadiahkan dari kerajaan dan diwarisi secara turun temurun membuat sosok ayah ini menjadi amat terhormat.
Menggambarkan pernikahannya dengan salah seorang putri konsulat bagaikan sebuah perjuangan dalam mencapai misi perdamaian, dan banyak lainnya. Sementara di kepalamu, masih teringat dengan jelas hari - hari kelabu saat harus terlunta - lunta di jalanan setelah diusir pemilik rumah karena tidak sanggup membayar sewa. Saat tawarnya rasa ubi yang dibumbui garam masih melekat di lidahmu, saat dinginnya air hujan masih bisa kau rasakan menembus atap gubukmu. Quel contraire! Bagaikan langit dan bumi.
Cerita Granny Louisa terus berlanjut hingga seorang pelayan memberanikan diri mengetuk pintu untuk mengabarkan kedatangan seseorang yang mungkin penting. Hal ini tentu saja tidak kusia - siakan, aku ikut beranjak seraya menenteng tasku dan berpamitan, tentu saja setelah menjanjikan akan sering - sering berkunjung jika ada waktu.
Richard, itu namanya. Nama Tuan Pengawal Khusus Kerajaan itu, berjalan diam di sampingku saat menuju mobil. Walaupun dia ingin melontarkan komentar, dia bersikap bijaksana kali ini dan memilih untuk diam.
“Ada tempat lain yang ingin anda kunjungi Mademoiselle?”
Aku menggeleng pelan, menikmati rasa nyaman saat kepalaku menemukan tumpuannya di punggung jok mobil, berharap, kali ini aku tidak lupa membawa obat daruratku yang harus kuminum di saat - saat seperti ini. Berharap tangan Mama mengelusku saat rasa sakit mulai menyeretku ke sudut gelap dan menghilangkan kesadaranku perlahan.
Mama, i miss you….
***
Richard’s
Setelah perlawanan sengitnya di ARBA, aku membawanya ke tempat Madame Louisa. Mira, begitu rupanya nama paggilannya, sudah lebih tenang. Tapi wajahnya jadi agak pucat, dan nafasnya masih terdengar satu - satu. Apa dia masih marah?
Ya, tadi dia berteriak lumayan kencang. Benar kata Brigitte, dia bisa mengeluarkan kata - kata setajam peluru saat marah. Tapi aku juga melihat hewan yang kesakitan di matanya. Penuh ketidakyakinan. Mungkin karena dia masih beranjak dewasa, sedang mulai mencari jati dirinya.
Kami sudah sampai di tempat Madame Louisa. Seharusnya Countesse Guireille, tapi beliau melarangku memanggilnya dengan embel - embel, jadilah hanya Madame Louisa.
Dia menurut tanpa perlawanan saat kubukakan pintu. Mukanya masih pucat, malah menurutku jadi semakin pucat. Untuk ukuran orang yang hidup di Negara tropis, warna kulitnya agak pucat. Kuning langsat cerah. Mungkin terpengaruh keturunan dari Ayahnya. Saat musim panas, para wanita pasti menggilai warna kulit seperti itu dan rela menghabiskan waktu berjam - jam berjemur atau mendekam di dalam mesin tanning untuk mendapatkannya.
Kami masuk, dan disambut oleh Felippe, Kepala Pelayan Madame Louisa. Dia tinggal disini bersama istrinya, Juliette yang menjadi koki kebanggan Madame Louisa. Dan dia tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menyombongkannya.
“Oh Richard! Lama sekali kau tidak mengunjungi perempuan tua ini.” Dan dia sangat extra dalam mengekspresikan sesuatu. Dia menutup mulutnya kaget saat melihatnya di belakangku. “Dia… Diakah…”
“Oui, C’est vrai, Madame." Kataku membenarkan. "Mira Guireille, ini nenek anda, Madame Louisa Guireille.” Aku mengambil alih bagian perkenalan.
Mira hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Tak yakin harus melakukan apa, dan Neneknya masih sibuk mengembalikan akal sehatnya karena keterkejutan. Dan ya, ada rindu disana. Yang kudengar, Mama Mira dekat dengan Madame Louisa. Bahkan dia sempat merawatnya beberapa waktu saat dia sakit setelah suaminya meninggal.
Sebelum aku sempat membuka mulut lagi untuk mengajak keduanya ke dalam, Madame Louisa setengah berlari menyongsong cucunya dan memeluknya erat sambil terisak.
“Cucuku, Granny rindu sekali.”
Mereka berpelukan sesaat, membuat Mira membeku di tempatnya, sebelum Felippe menyela meminta kami masuk agar tidak kedinginan. Tentu saja, salju sudah mulai turun perlahan.
Mereka mengobrol banyak hal di dalam. Lebih tepatnya Madame Louisa yang bercerita tentang banyak hal, Mira hanya diam mendengarkan sambil sesekali menjawab. Kuperhatikan wajahnya tenang. Sesekali dia menjawab. Di tangannya, mug honey tea yang tadi disuguhkan Juliette masih tergenggam, tangannya mencengkeram mug erat, seakan dia yang nanti hancur berkeping - keping jika mugnya dilepaskan.
Felippe masuk, menyela, mengabarkan seseorang dari kerajaan datang untuk bertemu Madame Louisa. Mira ikut bangkit dan berpamitan. Berjanji akan datang lagi lain kali. Banyak hal ganjil di sini, tapi tidak pada tempatnya aku bertanya pada Mira.
“Ada tempat lain yang ingin anda kunjungi Mademoiselle?” akhirnya itu yang kutanyakan sesaat setelah mobil menggalkan halaman rumah Madame Louisa.
Dia hanya menggeleng sebagai response nya. Lalu menutup matanya seperti tidur, tapi ada yang aneh. Nafasnya yang sedari tadi terdengar satu - satu, kali ini terdengar berat dan ganjil. Aku menepikan mobil dan berusaha membenarkan posisi tidurnya. Tidak berhasil, dadanya naik turun dengan cepat, seolah - olah kesusahan bernafas.
Shit! Bodohnya aku, dia pingsan! Bukan tertidur!
Kuraih ponselku untuk menghubungi Cedric dan dokter Giussep, kuturunkan sandaran kursinya hingga separuh tidur, lalu kupacu mobil hingga sedikit diatas batas menuju Mansion.
“Mademoiselle Mira, anda sudah bangun“ Suara Brigitte yang serak dan khawatir menyambutku saat aku membuaka mata. Hari sudah nyaris gelap. Pasti aku pingsan cukup lama. “Anda tidur selama 4 jam, Mira. Richard terlihat panik saat membawa anda pulang.”Aku berusaha bangun, namun rasa sakit di belakang kepalaku menghentikanku. Bau amis darah juga masih terasa kental di hidungku.“Anda harus minum obat, Mira. Dokter Giusseph sudah memberikan resep dan sudah ditebus Richard tadi siang. Saya akan menyiapkan bubur untuk mengisi perut anda.” Pamitnya sebelum menghilang di balik pintu.Sepeninggal Brigitte, aku beranjak tertatih - tatih menuju koper besar di sudut ruangan yang belum kubongkar sejak aku datang. Hanya sebanyak itu barang yang bisa kubawa dari rumah saat berangkat ke Belgia. Sambil menahan nyeri yang semakin lama terasa menusuk di belakang kepalaku, aku membongkar kotak kecil di sudut koper. Aku hanya perlu memin
Ada yang aneh dengan kamar dan lemari bajuku. Aku sama sekali belum membongkar isi koperku. Tapi nyaris tak ada tempat untuk menaruh dan menata barang - barangku. Kamar ini terisi penuh! Yah, oleh barang - barang perempuan. Mulai dari baju, make - up hingga aksesoris dan tas - tas. Aku tidak yakin kalau untuk kedatanganku, Daddy rela memborong isi butik untuk dipindahkan ke kamar ini.Tidak, tidak mungkin. Itu pikiran konyol. Ada yang aneh di sini. Kalau memang ini untukku, seharusnya Daddy tahu dari pengawal yang mengawasiku selama ini bahwa aku nyaris tidak pernah memakai rok. Dan aku jelas tidak bisa menggunakan hak tinggi apalagi menggambar wajahku dengan make up. Aku hanya mahir menggambar di atas kertas sketsa dan kanvas. And look, yang ada di lemari dan rak sepatu itu, nyaris semuanya adalah gaun, rok dan higheels.Aku menutup pintu lemari keras - keras. Aku bingung harus memulai memikirkan ini dari mana. Biasanya otakku cukup cerdas menganalisa sesua
Aku mendesah kecewa sambil memandangi peta di tanganku. Tempat yang paling ingin kutuju, tapi tak terjangkau walau sudah di depan mata. Place du Jardin aux Fleurs Bloemenhofplein, aku pernah memimpikannya. Mama punya foto taman bunga indah dan memberitahuku namanya adalah Place du Jardin aux Fleurs Bloemienhofplein. Tempat favoritnya, yang entah bagaimana sepertinya menjadi obsesiku juga tempat yang paling ingin kukunjungi suatu hari nanti. Taman indah dengan bunga bermekaran di tengah kota. Aku juga bermimpi melukis pemandangannya di tengah musim panas. Pasti cantik sekali. Sayang, tempat ini sekarang tertutup salju tebal. Bodohnya aku yang tidak mempertimbangkan hal ini. Tentu saja, ini musim salju!Mungkin memang sudah saatnya pulang, batinku. Berat rasanya kaki ini harus melangkah menuju suatu tempat yang disebut rumah, tapi sama sekali tidak mirip rumah. Hanya tempat beberapa orang asing berkumpul, tapi tak pernah bertegursapa. It’s cold. I do r
Jadi, apa yang membuat pagi ini terasa janggal, hening dan canggung daripada sebelumnya saat bersama Richard? Yeah, insiden kaburku kemarin. Aku mengharapkan reaksi yang menggebu - gebu dan heboh dari dia, jujur saja. Tapi yang kudapat pagi ini adalah sebaliknya. Dia mengetuk pintu kamarku dengan sopan, menungguku sarapan dalam diam, dan masih diam hingga sekarang. Aneh? Tentu saja untuk seorang Richard yang tidak pernah melewatkan sedikit kesempatan untuk merecokiku. Mungkin semalam dia berbicara banyak dengan Daddy?Richard menghentikan mobilnya di gerbang masuk ARBA. Karena terlalu canggung, aku hanya diam dan melepas seatbelt - ku, bersiap untuk turun, saat tiba - tiba dia mencengkeram pergelangan tanganku erat.“Hng?”“Anda tidak akan kabur lagi Mademoiselle. Aku pastikan itu.”Ha? Hanya itu? “Well…”“Aku tidak akan menganggap remeh anda lagi.”Sepercik kebahagiaan karena t
Cuaca di Belgia kian hari semakin tidak bersahabat. February sudah hampir lewat. Itu tandanya, aku sudah 6 minggu berada di sini. Tapi musim semi belum menampakkan cirinya.Tunggu! 6 minggu? Sudah selama itu kah? Dan aku masih hidup? Itu suatu keajaiban yang patut dirayakan! Pertanyaannya, dengan siapa aku merayakannya?Daddy? Aku nyaris tidak melihatnya di rumah ini sejak 2 minggu yang lalu. Kangen? Yang benar saja. Aku hanya tidak melihatnya, bukan berarti aku mencari - carinya di sekeliling rumah. Tapi Brigitte selalu rutin menyampaikan pesan Dadyy padaku. Dia bilang, Daddy sedang di Prancis menemani ratu melakukan kunjungan resmi Negara. Jangan capek - capek, jangan berada di luar terlalu lama, harus makan tepat waktu. Seriously, aku bukan balita. I’m good at taking care of myself!Tante Millgueta? Tentu saja sibuk dengan urusan istana. Pergi pagi dan pulang malam nyaris seperti bukan manusia. Maksudku, apa dia tidak capek
Malam ini Granny Louisa berkunjung menggantikan absennya Daddy dan Tante Millgueta yang masih dinas di luar negeri untuk merayakan ulang tahun Corrine. Ya, Richard juga di sana karena Corrine ingin semuanya hadir merayakan hari jadinya. Malam itu, untuk pertama kalinya meja makan yang muat hingg 20 kursi itu penuh tanpa terkecuali. Bukan perayaan besar memang, tapi Corrine mengundang teman dekat dan seluruh pekerja mansion untuk libur dan merayakan ulang tahunnya di sana.Corrine duduk di kursi utama. Di sebelah kanannya Granny Louisa dan aku di sebelah kirinya. Aku nyaris menarik Brigitte duduk di sebelahku saat tersisa hanya dua kursi kosong dan Richard baru saja masuk membawa wine.“Mira, anda tidak boleh seperti itu.” Brigitte menasehati dengan geli karena tahu alasanku ingin dia duduk di sampingku.
Back to Normal POV – Mira POV-“Karena kecelakaan itu?” Aku gatal ingin menyela dari tadi. Well, dia memang meninggal dalam kecelakaan pesawat itu setahuku.“Non, jauh sebelum itu. Saat akhirnya dia bertunangan dengan Duke of Luxemburg, Abraham Villich.” Jawabnya pelan.Arlaine sudah bertunangan? Wah, aku tidak bisa membayangkan betapa hancur hati Richard mendengar kabar pertunangannya.Well, sepertinya kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi melihat wajahnya yang mengeras menahan guratan pedih itu, aku hanya terdiam untuk menghormatinya.“Ng… Richard?” Dia menggumam, masih memandangi lidah api yang membakar habis balok kayu di sekelilingnya. “Kenapa kau berceri
Richard’sShe surely has a big apetite! Dia makan seolah - olah ini adalah makanan pertamanya sejak dia datang ke sini! Jika tidak melihat sendiri, aku pasti tak akan percaya dia mampu menghabiskan tiga piring moules dalam sekejap.Corrine bahkan belum menyentuh isi piringnya. Kulihat dia juga sama amaze nya denganku pada makhluk di depan kami.Aku belum pulang dari Maison saat Corinne menemukanku merokok di patio depan rumah. Dia bercerita beberapa kekhawatirannya tentang Mira, tentang dia yang ingin sekali menceritakan semuanya tapi dia tidak bisa. Bukan dia orang yang tepat untuk menceritakannya, dan dia takut tidak bisa menghadapi reaksi Mira.Yah, aku juga tidak lebih baik, harus kuakui. Dia mengira aku benar - benar meninggalkannya kemarin dan tidak menjemputnya
Kali ke dua aku naik pesawat. Aku gugup, dan terus menerus ke toilet sejak tadi. Ada satu penjaga yang mengawalku sampai aku boarding nanti. Namun aku menolak untuk terus diikuti sampai Indonesia.Di sini aku memang keluarga kerajaan, tapi di sana aku bukan siapa-siapa. Untunglah Daddy mau mengerti hal ini. Aku sedang menunggu panggilan untuk boarding. Dan lagi-lagi, aku teringat akan alasanku pergi."Stop, Mira. Terima saja. Cinta pertamamu tak berjalan lancar. Kau harus melupakannya."Aku menarik satu kali nafas panjang tepat saat panggilan pertama pesawat yang akan membawaku ke Indonesia terdengar. Aku dan beberapa penumpang pesawat lainnya mengantri untuk verifikasi terakhir sebelum masuk pesawat dan masuk dengan tertib.Tak seperti penerbanganku sebelumn
Granny melarangku untuk berpikir pergi dari sini adalah yang terbaik. Bahkan setelah dua hari berlalu. Dia ingin aku kuat, dan dia meyakinkan bahwa semua yang ada di sini keluargaku. Bahwa aku tak sendirian di sini."Kita bisa mengganti pengawalmu jika kau tak ingin bertemu dengan Richard. Tapi aku tak setuju jika kau pergi meninggalkan kami. Semua keributan ini akhirnya berakhir, dan kita bisa hidup dengan tenang bersama, kenapa kau malah memikirkan untuk pergi?"Dari situ aku sadar, Granny benar. Bagi semua orang, ini adalah kemenangan. Hanya aku yang merasa kalah dalam hal ini, dan itu karena Richard. Aku merasa buruk setelah mendengar hal itu."Maaf, aku jadi egois."Granny Louisa menggeleng. "Kau memang tak bisa kembali ke sana, tapi kau bisa berkunjung sebent
Richard'sAku menonton berita di televisi dengan tatapan puas. Phillip, ibunya, JJ, Cedric dan anak buahnya yang terbukti membelot sudah diringkus. Pengadilan kasus mereka memang belum ditetapkan kapan, namun, mereka tak akan lepas dari sanksi sosial kali ini. Dulu, Pak Tua terlalu baik hati untuk mengumumkan perbuatan mereka pada media. Namun sekarang tidak lagi."Makanlah dulu. Kau memang sudah tampak sehat, tapi kau masih perlu banyak waktu dan asupan bagus untuk memulihkan tenagamu."Aku mendongak menatap gadis yang beberapa hari terakhir menemaniku di sini. Dia gesit dan telaten mengurusku. Itu hal yang bagus, bukan? Saat terbaring tak berdaya, ada seseorang yang tulus mengurusmu.Betapa beruntungnya diriku?"Lyn.."
Aku meninggalkan Corrine berdua dengan Abe Villich di balkon rumah sakit agar mereka saling berbicara. Semoga saja keputusanku tak salah. Aku sedikit khawatir karena Corrine terlihat amat pucat dan kaget saat melihat Abe ada di sana. Pria itu pasti mengikuti kami tadi saat keluar untuk berbicara.Aku masih berada di balik pintu balkon selama beberapa saat, hanya untuk memastikan bahwa Corrine baik-baik saja. Sungguh. Aku tak berniat menguping. Aku masih ingat apa yang dilakukan Abe pada Corrine dulu hingga membuat Corrine yang biasanya ceria menjadi amat pendiam dan tertekan."Katakan, Corry. Apa yang mereka katakan tentangmu sehingga kau ikut tanpa perlawanan seperti itu." Suara Abe dingin dan tegas. Bahkan aku yang bukan lawan bicaranya saja berjengit, apalagi Corrine.Aku bisa mendengar suara tangis saat ak
“Tak bisakah kita sedikit lebih cepat?” Aku memajukan tubuhku untuk berbicara pada supir dengan nada tak sabar.“Cherie…”Kurasakan tangan Daddy menggengam tanganku dan meremasnya pelan. Mungkin menegur, atau mungkin juga sekedar menguatkanku karena kejadian-kejadian yang terjadi hari ini. Aku hanya menatapnya dengan tatapan putus asa. Namun aku kembali ke kursiku dan duduk dengan rapi. Mencoba untuk tenang meskipun rasanya sudah tak karuan lagi di dalam diriku.Tiga jam lalu kami dihubungi oleh Corrine yang berbicara dengan sangat cepat dan nyaris tak jelas tentang jangan pulang ke istana dan pergi ke tempat lain karena istana tak aman. Dia tak menjelaskan lebih jauh dan hanya terus mengulang kalimat itu. Kami baru saja sampai di istana, namun kami tak masuk dan langsung melanjutkan k
Richard’sPolisi dan pasukan tambahan datang tepat waktu untuk menyelamatkan kami. Seperti dugaanku, ada beberapa orang dari pasukan Cedric yang membelot dan berkhianat dengan pria itu. Hal itu membuat pasukan yang kubawa menjadi kalang kabut dan kami sempat terpukul mundur karena bingung siapa lawan dan kawan di sini.Untungnya, polisi ada yang membawa senapan paintball sehingga kami bisa menandai siapa saja yang berkhianat dengan peluru cat merah di punggungnya. Ini membantu kami mengidentifikasi siapa yang berada di tim kami dan tim lawan.Corrine sempat di bawa ke ruangan lain oleh Phillip, tapi aku berhasil mengejarnya setelah menumbangkan Cedric dengan mematahkan bahunya.“Sorry, Pal, tapi kau pantas mendapatkannya. Ibi bahkan tak setimpal dengan
Aku terbelalak tak mempercayai mataku. Di depan kami, muncul dua orang yang sama sekali tak kuduga akan kutemui di sini. Mereka yang menjadi dalang penculikan Corrine? Kenapa?!“Cedric? JJ?” Aku mengucap dengan nada tak percaya. “Why?! Kenapa kalian melakukan ini?”“Apakah itu belum jelas, mademoiselle?”JJ menjawab sembari berjalan melenggang mendekat pada Putra Mahkota… bukan. Richard memanggilnya Phillip, karena dia sudah bukan lagi Putra Mahkota. JJ mendekat pada Phillip dan mereka mulai menempelkan tubuh mereka satu sama lain. Pemandangan yang langsung membuatku mual! Rupanya JJ adalah partner sesama jenis Phillip?! Bukankah…“Oh, maafkan, kami terlalu larut dalam dunia kami yang penuh cinta. JJ. Kekasih
Richard’s“Akhirnya kalian datang juga. Aku terkesan.”“Kau…”“Apa maksudnya ini?!”Pertanyaan Mira dan pak Tua saling bersahutan saat melihat pemilik rumah yang dan sandera yang mereka cari sedang duduk sambil bermain catur di ruang baca. Aku menggertakkan gigi dan mengepalkan tinjuku erat. Mencoba menahan amarahku yang meperti mengancam ingin menelanku bulat-bulat.Aku sudah memiliki kecurigaan sejak menemukan lokasi di mana Corrine berada. Tak banyak yang tahu bahwa rumah ini bukan lagi milik Abe Villich. Namun aku dan Cedric adalah sedikit di antara orang-orang yang tahu bahwa sejak Arlaine meninggal. Rumah ini dibeli oleh Abe Villich sebagai hadiah pernikahan untuk Arlaine
Granny Louisa menangis tersedu mendengar cerita tentang Corrine dariku.Pada akhirnya, aku tak punya pilihan untuk tidak mengatakannya. Lagi pula, mengenai hal ini, aku juga butuh berdiskusi tentang beberapa hal. Tentang apa peranku di sini. Aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan jika penjahatnya benar-benar tertangkap. Atau bagaimana caranya agar penjahatnya tertangkap dan Corrine kembali pada kami dengan selamat.Betul kata Daddy. Aku tak tahu apa yang seharusnya kulakukan di saat seperti ini. Betul kata Madame Villich, aku hanya boneka di sini yang tak akan bisa menggantikan posisi siapa pun. Aku muncul hanya karena panggung terlalu sepi."Richard sedang mencarinya, Granny. Aku yakin dia pasti akan berusaha dengan seksama dan membawa Corrine pulang dengan selamat."