Cuaca di Belgia kian hari semakin tidak bersahabat. February sudah hampir lewat. Itu tandanya, aku sudah 6 minggu berada di sini. Tapi musim semi belum menampakkan cirinya.
Tunggu! 6 minggu? Sudah selama itu kah? Dan aku masih hidup? Itu suatu keajaiban yang patut dirayakan! Pertanyaannya, dengan siapa aku merayakannya?
Daddy? Aku nyaris tidak melihatnya di rumah ini sejak 2 minggu yang lalu. Kangen? Yang benar saja. Aku hanya tidak melihatnya, bukan berarti aku mencari - carinya di sekeliling rumah. Tapi Brigitte selalu rutin menyampaikan pesan Dadyy padaku. Dia bilang, Daddy sedang di Prancis menemani ratu melakukan kunjungan resmi Negara. Jangan capek - capek, jangan berada di luar terlalu lama, harus makan tepat waktu. Seriously, aku bukan balita. I’m good at taking care of myself!
Tante Millgueta? Tentu saja sibuk dengan urusan istana. Pergi pagi dan pulang malam nyaris seperti bukan manusia. Maksudku, apa dia tidak capek bekerja seperti itu 14 jam sehari 7 hari seminggu? Ehm, aku bukannya bersimpati padanya! Toh dia terlihat selalu bersemangat saat berangkat, walaupun saat pulang ada saja yang dikeluhkannya.
Corrine? Kukira, Miss Universe atau Miss World saja masih kalah sibuk dengan dia. Sebagai duta kerajaan yang sedang mempromosikan potensi daerah terpencil di Belgia, dia harus rutin melakukan perjalanan ke luar negeri. Dan itu membuatnya benar - benar nyaris menghilang dari ingatanku. Bahwa aku masih memiliki saudara sepupu di sini.
Brigitte? Nice listener. But I feel sorry to her everytime I disturb her. Dia kerja kan di sini. Bukan baby sitterku. Jadi aku hanya bisa berbincang dengannya di sore hari, saat dia sudah selesai melakukan pekerjaannya. Berbincang dengan Brigitte membuatku terdengar manusiawi di sini. Yah, bagaimanapun, aku tetap seorang gadis remaja yang beranjak dewasa, yang memiliki masalah khas mereka, kan?
Dan, Richard. Hei, masih banyak orang lain yang harus dibahas di sini, kenapa kita harus membahas ‘dia’? oh, well. Aku lupa, hanya Richard orang yang terdeskripsi di sini. Well, dia… aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan selain mengantar-jemput aku, jadi mari kita akhiri pembahasan tentang Richard hanya sampai di sini.
Oke, mungkin satu hal lagi yang membuat aku dan Richard tidak saling bunuh adalah, kami berdua, oh well, lebih tepatnya aku, sedang menghindarinya sebisa mungkin. Bukan karena aku takut atau tidak punya nyali. Aku hanya sedang sibuk menjelang praktik tengah semesterku, dan I really have no idea how to revenge him. That’s all. Got it?
“Mademoiselle?” Aku tersentak kaget. “Anda baik-baik saja? Anda dari tadi memukul - mukul daun meja sambil menggeram?” Sedetik kemudian, wajahku kurasakan memerah karena malu dan marah.
“Ce n’est pas ton problem.” Sergahku sebelum pergi. Kepo, deh!
Pergi? Ya, saat ini lebih baik menghindar dan tetap hidup untuk menyusun rencana selanjutnya daripada menghadapinya tanpa pemikiran matang. Ya, orang tersebut adalah Richard.
***
Karena ini akhir minggu, dan cuaca sedang lumayan hangat, Brigitte mengajakku ke pasar tradisional di tepi pantai untuk berbelanja ikan dan daging. Matahari memang bersinar lumayan terik, tapi seterik apapun sinarnya, cuaca di sini toh masih kurang dari 15 derajat. Yang berarti bagiku masih sangat dingin. Yah, di Indonesia, suhu 20 derajat sudah masuk kategori membeku. Tapi sudah lumayan daripada hari-hari sebelumnya yang nyaris selalu ada badai salju, hari ini cuaca tenang dan cerah. Langit bahkan terlihat sangat biru karena tidak ada awan yang menggumpal di permukaannya. Rasanya ingin mengabadikannya di atas kanvas. tapi ajakan Brigitte terdengar lebih menggiurkan, jadi lain kali saja melukis langitnya.
Kami pergi berdua saja. Tanpa Richard dan tanpa pengawal lainnya. Aku yang mengusulkan untuk pergi berdua, saat Richard tidak berada di rumah untuk mengawasiku. Dari rumah, kami menaiki taksi sampai dermaga. And you know what? Ternyata pasar tradisional itu dimanapun sama bentuknya. Ramai, penuh, sesak dan berisik. Aku dan Brigitte mendekati salah satu penjual seafood yang sedang membersihkan mejanya usai melayani pembeli.
“Wow, ada kepiting!” seruku girang. Aku suka sekali kepiting. Bukannya lobster yang selalu di sajikan Brigitte untuk makan malam bersama Daddy dan keluarga lainnya. Bukan karena masakan Brigitte kurang enak, atau rasa lobster yang aneh. Aku hanya lebih suka kepiting daripada lobster.
“Anda suka kepiting, Mira?”
“Suka sekali!” aku nyaris menjerit menjawabnya, membuat Brigitte terkekeh.
“Tolong, 10 porsi premium untuk nona ini.” Pesannya tanpa tanggung-tanggung.
“Banyak sekali! Untuk apa?”
“Hari ini Mademoiselle Corrine ulang tahun. Tidakkah anda pikir, ini sebanding sebagai perayaan untuknya karena Ayah anda dan Ibunya tidak berada di rumah?”
“Ulang tahun? Kenapa tidak ada satupun yang memberitahuku? Aku bahkan tidak membelikan kado untuknya.” Aku merajuk sambil bersungut-sungut. Hal ini sudah biasa kulakukan pada Brigitte. Aku lebih sering menunjukkan sisi diriku yang manja dan kesepian saat bersamanya. I told you that she just like my Granny, right?“Anda bisa membelinya di sini, Mira.”“Benarkah?” aku kembali antusias.“Tentu saja.”Dan aku kembali bersemangat menemani Brigitte berbelanja di sisa hari itu.“Uh-Oh, ternyata banyak sekali.” aku cengengesan melihat hasil jarahanku di pasar seharian ini bersama Brigitte. Nyaris 5 paper bag besar berserakan di sekelilingku. Belum lagi tas jinjing berisi kadoku untuk Corrine.Brigitte tersenyum, lalu beranjak menuju bilik telepon umum di sebelah halte tempak aku mengistirahatkan kakiku. Beberapa saat kemudian dia sudah kembali dan duduk di sampingku. Brigitte masih menggunakan telepon rumah dan telepon umum untuk berkomunikasi. Dia luar biasa. Dia bisa mengingat nomor Daddy, Richard, Cedric, Tante Milguetta dan bahkan Granny. Untung saja fasilitas telepon umum di sini masih belum punah seperti di Indonesia. Untuk hal itu, aku iri padanya. seandainya aku bisa mengingat nomor Shita dengan baik, aku pasti bisa menghubunginya. Mereka menahan ponselku. Ponsel jadul yang dibeli Mama sebagai hadiah kelulusan SMP ku. Memang bukan smartphone, tapi cukup untuk berkomunikasi sekedar telpon atau sms.“Anda kedinginan?” tanyanya saat melihatku menggosok kedua telapak tanganku untuk mendapatkan secercah rasa hangat. Aku hanya tersenyum. “Sebentar lagi Richard akan sampai menjemput kita.Apa? Hah, apa tidak bisa kita, maksudku hanya aku saja, melewati satu hari tanpa ada Richard? Tepat setelah pertanyaan itu terlintas di benakku, mobil Richard berhenti di depan kami. Well, mungkin jawabannya memang tidak.“Sepertinya anda bersenang - senang seharian, Mademoiselle?”“Tidak lagi!”***Aku diam nyaris sepanjang perjalanan pulang. Aku malas bergabung dengan Brigitte dan Richard yang sedang membicarakan topic politik dan kerajaan dari tadi. Karena lelah, dan jarak dari dermaga menuju rumah lumayan jauh, tanpa sadar aku jatuh tertidur, melewatkan beberapa pemandangan indah yang tadi kunikmati dalam diam, dan obrolan seru Richard dan Brigitte yang seperti tak ada habisnya.
Aku terbangun kembali saat tubuhku menyentuh bidang empuk. Perlahan aku mengerjap menyesuaikan pencahayaan sekitar. Di kamar rupanya. Dan digendong Richard. Hmh, bukan hal baru, jadi mari tidak membahas itu. Tapi kenapa dia masih berdiri di samping ranjangku dan menatapku tajam?
“Kenapa?” aku bertanya malas. Risih rasanya harus berada satu ruangan bersamanya seperti ini. Apalagi ruangan seintim kamar tidur.
“Anda berusaha terlalu keras untuk menghindari saya Mademoiselle.”
Aku terbelalak kaget.“Maksudmu?”
“Anda terlalu mudah untuk dibaca Mademoiselle,” aku mengerutkan dahi bingung sambil beranjak duduk. “Anda nyaris tidak berbicara kepada saya selama dua minggu berturut - turut.” Jelasnya.
“Lantas? Apa ada sesuatu yang harus kita bicarakan? Apakah ada urusanku yang harus kubahas denganmu ataupun sebaliknya?” dia diam. Masih memandangku dalam diam. “so? Ada yang harus kita bahas lagi? Aku ingin beristirahat.” Aku mengusirnya.
Dia terdiam agak lama, membuat suasana canggung berubah menjadi tegang sebelum akhirnya membungkuk dan pergi keluar dari kamarku.
Siapa yang dulu bersikap kekanak - kanakan dengan membalas dendam dan tidak memperlakukanku secara manusiawi? Dan sekarang siapa yang merajuk karena merasa didiamkan? Quel étrange! Aneh sekali, kan?
Senang sekali, sih membuatku merasa bersalah!
Malam ini Granny Louisa berkunjung menggantikan absennya Daddy dan Tante Millgueta yang masih dinas di luar negeri untuk merayakan ulang tahun Corrine. Ya, Richard juga di sana karena Corrine ingin semuanya hadir merayakan hari jadinya. Malam itu, untuk pertama kalinya meja makan yang muat hingg 20 kursi itu penuh tanpa terkecuali. Bukan perayaan besar memang, tapi Corrine mengundang teman dekat dan seluruh pekerja mansion untuk libur dan merayakan ulang tahunnya di sana.Corrine duduk di kursi utama. Di sebelah kanannya Granny Louisa dan aku di sebelah kirinya. Aku nyaris menarik Brigitte duduk di sebelahku saat tersisa hanya dua kursi kosong dan Richard baru saja masuk membawa wine.“Mira, anda tidak boleh seperti itu.” Brigitte menasehati dengan geli karena tahu alasanku ingin dia duduk di sampingku.
Back to Normal POV – Mira POV-“Karena kecelakaan itu?” Aku gatal ingin menyela dari tadi. Well, dia memang meninggal dalam kecelakaan pesawat itu setahuku.“Non, jauh sebelum itu. Saat akhirnya dia bertunangan dengan Duke of Luxemburg, Abraham Villich.” Jawabnya pelan.Arlaine sudah bertunangan? Wah, aku tidak bisa membayangkan betapa hancur hati Richard mendengar kabar pertunangannya.Well, sepertinya kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi melihat wajahnya yang mengeras menahan guratan pedih itu, aku hanya terdiam untuk menghormatinya.“Ng… Richard?” Dia menggumam, masih memandangi lidah api yang membakar habis balok kayu di sekelilingnya. “Kenapa kau berceri
Richard’sShe surely has a big apetite! Dia makan seolah - olah ini adalah makanan pertamanya sejak dia datang ke sini! Jika tidak melihat sendiri, aku pasti tak akan percaya dia mampu menghabiskan tiga piring moules dalam sekejap.Corrine bahkan belum menyentuh isi piringnya. Kulihat dia juga sama amaze nya denganku pada makhluk di depan kami.Aku belum pulang dari Maison saat Corinne menemukanku merokok di patio depan rumah. Dia bercerita beberapa kekhawatirannya tentang Mira, tentang dia yang ingin sekali menceritakan semuanya tapi dia tidak bisa. Bukan dia orang yang tepat untuk menceritakannya, dan dia takut tidak bisa menghadapi reaksi Mira.Yah, aku juga tidak lebih baik, harus kuakui. Dia mengira aku benar - benar meninggalkannya kemarin dan tidak menjemputnya
Enam bulan berlalu sejak kedatangan ku ke Negara ini. Cuaca sudah mulai hangat, musim Semi pun sudah mencapai puncaknya. Hampir segala hal, anehnya berjalan dengan baik dan damai kalau tidak ingin kubilang terlalu dijaga, di sekitarku. Aku mulai diberikan ruang untuk diriku sendiri di rumah, dan Corrine, Brigitte, Granny Louisa dan juga Richard (saat dia tidak sedang menyebalkan, karena mood swingnya lebih parah dari cewek PMS) bergantian menemaniku mengusir sepi. Nampaknya aku mulai agak betah disini, walaupun aku agak berat mengakuinya.Tapi tidak semua hal baik berlangsung semester ini di kampus. Oh, aku masih menyukai kampusku seperti saat pertama kali melihatnya. Masih bersemangat mengerjakan semua essay dan tugas dan juga sepenuh hati mengikuti kelasku semester ini. Tapi bukan itu. Bukan tentang kegiatan kampus, tapi tentang kehidupan kampusku. Satu semester nyaris berlalu begitu saja dan aku masih m
Richard’s“Kau tidak mengenalku, dan kau mengenal Arlaine sepanjang hidupmu. Kau tidak menyukaiku tapi kau menyayangi Arlaine sepanjang hidupmu. Kau memujanya dan kau memandang rendah diriku. Pikirkan sendiri apakah itu adil, bagiku? Dan pantaskah jika aku disebut egois dan picik disini?”Kalimatnya yang panjang sebelum berlari masuk ke rumah membuatku terdiam di mobil. Seharusnya aku datang dengannya untuk menyapa keluarga yang mungkin sedang menikmati teh di salah satu ruangan.Setitik rasa bersalah menghinggapiku. Tapi dia juga keterlaluan. Dia sudah disini selama enam bulan, dan selama itu pula dia selalu menghindari acara - acara keluarga jika memungkinkan. Membuatku benar - benar geregetan. Dia tentu saja tidak akan mengenal siapa - siapa jika tidak membuka diri, dan sebagai akibatnya dia tidak diterima d
Semua orang menoleh ke arahku saat aku tiba - tiba berdiri dengan kasar. Nenek sihir sialan! Mati - matian aku menahan diri hanya untuk dihina? Bahkan Mama juga?! Bahkan Ratu sekalipun tidap berhak menghina Mama!! Aku meradang marah, tanganku terkepal erat siap melempar apapun yang berada dalam jangkauanku. Rentetan kata - kata pedas saling bertabrakan memaksa untuk keluar dari mulutku. Semuanya kuhentikan dengan paksa saat kulihat wajah Madame Villich yang mendongak pongah dan puas. Ah, jadi ini hanya pancingan.“Permisi.” Pamitku nyaris berlari keluar.Mataku masih memerah buram karena amarah sehingga tidak kuperhatikan kemana aku melangkah.Brugh!Aku terhuyung mundur dengan sepasang lengan menahanku.
Semalam aku bermimpi. Tentang Mama, yang pergi menjauh meninggalkanku, yang tak menghiraukan tagis dan teriakanku agar tidak pergi meninggalkanku. Tentang Oma yang menolakku di sisinya dan memintaku pergi untuk menemui Daddy, tak perduli seberapa keras aku memohon, dia tetap bergeming di balik pintu rumah yang tertutup rapat untukku. Tentang kecaman Violeta Villich yang terus menggaung setelahnya, bahwa aku tidak pantas berada di sini dan Daddy tidak seharusnya membawaku kembali. Almarhumah Arlaine juga mampir di sana, bertanya dengan wajah muram apakah aku kembali untuk menggantikan posisinya, merebut semua yang dia miliki selama ini, sebelum wajahnya perlahan - lahan berubah menjadi mengerikan seiring tawa horor yang menggelegar. Kalimat terakhirnya adalah, ‘tidak akan kubiarkan kau hidup nyaman di rumahku! Memakai pakaianku! Menikmati perhatian keluarga dan teman - temanku! menikmati hidup dengan statusku dan sedangkan aku perlahan dilupakan!
Ada jeda sebentar sebelum suara langkah kaki akhirnya terdengar menjauh dari ranjangku dan diikuti suara pintu ditutup.Tangis yang sedari tadi kutahan akhirnya pecah. Tangis kesakitan, tangis kesepian, tangis kemarahan, tangis penolakan, semua berbaur menjadi satu menyesakkan dadaku. Tersengal - sengal, aku meraih bel emergency dengan tangan kiriku, lalu memencetnya. Sakitnya sudah tak tertahankan, aku butuh ditidurkan. Aku tidak ingin merasakan apapun lagi untuk saat ini. Cukup. Tolong.***Richard’sLagi - lagi kalimat yang tidak ingin kuucapkan tercetus begitu saja.Aku keluar dari kamar rawat Mira dan duduk di bangku panjang di lorong rumah sakit. Kusaksikan dokter dan perawat yang berbondong - bondong masuk ke kamar Mira