Enam bulan berlalu sejak kedatangan ku ke Negara ini. Cuaca sudah mulai hangat, musim Semi pun sudah mencapai puncaknya. Hampir segala hal, anehnya berjalan dengan baik dan damai kalau tidak ingin kubilang terlalu dijaga, di sekitarku. Aku mulai diberikan ruang untuk diriku sendiri di rumah, dan Corrine, Brigitte, Granny Louisa dan juga Richard (saat dia tidak sedang menyebalkan, karena mood swingnya lebih parah dari cewek PMS) bergantian menemaniku mengusir sepi. Nampaknya aku mulai agak betah disini, walaupun aku agak berat mengakuinya.
Tapi tidak semua hal baik berlangsung semester ini di kampus. Oh, aku masih menyukai kampusku seperti saat pertama kali melihatnya. Masih bersemangat mengerjakan semua essay dan tugas dan juga sepenuh hati mengikuti kelasku semester ini. Tapi bukan itu. Bukan tentang kegiatan kampus, tapi tentang kehidupan kampusku. Satu semester nyaris berlalu begitu saja dan aku masih menjadi penyendiri di kampus. Iya, aku tidak punya teman. Hal itu tidak berubah sejak dari Indonesia. Kemampuan bersosialisasiku tetap nol besar.
Kebanyakan waktuku kuhabiskan dengan menggambar, membaca dan bermain desain menggunakan Ipad Pen yang baru - baru ini kuperoleh. Daddy yang memberikanku. Aku bisa menggunakannya untuk membuka social media dan juga berkirim pesan. Lumayan. Setelah memiliki alat komunikasi, keinginan untuk menghubungi Sita, sahabatku di Indonesia. Tapi keberanianku selalu pupus tak bersisa sehingga berkali - kali pula kuurungkan niat itu.
Hari ini, sambil menunggu Richard, aku duduk di salah satu gazebo dan sibuk menggambar dengan Ipad Penku. Beberapa anak lalu lalang acuh di depan ku sibuk dengan urusan mereka masing – masing. Akupun juga acuh, walaupun ada beberapa anak yang aku tau mengambil course* yang sama denganku. Saat itulah seseorang duduk di sebelahku. Aku mencoba mengabaikannya karena mungkin dia hanya ikut duduk disana karena toh ini tempat umum. Tapi kurasakan dia menatapku intens.
“Ya?” Tanyaku sambil mengangkat alis
Dia tersenyum ramah, rambut ikalnya sebahu diurai dan ditahan dengan bandana kawat merah, sesuai dengan sweater tipis merah dan jeans biru ketatnya. “Kulihat kau selalu sendiri, aku jadi penasaran.”
“Ah…” Ya, aku harus menjawab apa?”
“Kau tidak tertarik berteman?” Tanyanya setelah beberapa saat
“Tidak juga. Lebih tepatnya tidak ada yang tertarik berteman denganku”. Jawabku masih sibuk dengan gambarku
“Kamu jurusan seni design?” Aku menggumam mengiyakan. “Kalau aku Textile.” Katanya riang. Aku menatapnya heran. ”Ah, kenalkan, aku Sonia.” Dia mengangsurkan lengannya padaku. “Kamu Mireille kan?”
“Mira. Panggil Mira saja”. Jawabku saat dia terheran. “Aku duluan, sudah di jemput.” Pamitku saat melihat mobil Richard memasuki gerbang.
Dia melambaikan tangan masih sambil tersenyum riang.
Apakah tandanya aku sudah berteman? Belum? Hm… Kenapa rasanya ada yang tidak pas ya?
***
“Dapat teman baru?” Sapa Richard begitu aku memasuki mobil.
Aku hanya mengedikkan bahu pelan. Entahlah, bisa iya, bisa tidak. Pikiranku masih di seputar Sita. Apa yang sebaiknya kukatakan padanya saat aku berhasil menghubunginya?
“Hari ini kita kedatangan tamu. Hanya mengingatkan agar anda tidak rebut saat memasuki rumah nanti, Mademoiselle.”
“Richard, please.” Kusandarkan kepalaku di jok mobil sambil memandang keluar jendela. “Harus berapa kali aku mengingatkan? Jangan membantahku, aku sedang tidak mood untuk berdebat denganmu.”
“Kompak sekali kita hari ini, aku juga tidak mood untuk bertengkar, Mira.”
“C’est mieux. Bagus sekali! Siapa?”
“Hmm?”
Hubungan kami akhir - akhir ini lebih seperti gencatan senjata. Saat dia kesal padaku, dia akan diam, dan saat aku sebal padanya, aku memilih pergi. Itu lebih efektif dan tidak menguras tenaga bagi kami berdua. Well, bagiku terutama. Karena akhir - akhir ini kurasakan kondisi tubuhku kembali menurun, jadi lebih baik aku menggunakan tenagaku yang tak seberapa ini untuk mengurusi hal - hal yang benar - benar berharga. Dan tidak seorang pun tau, ngomong - ngomong, tentang kondisiku ini.
“Tamunya, Richard. Tamu di rumah.”
“Duke Villich dan Ibunya,” Jeda. “Dua hari lagi peringatan kematian Arlaine dan Madame Goureille.”
Aku tercenung mendengarnya. Peringatan kematian. Dua hari lagi. Dan tidak ada yang ‘sempat’ memberitahuku akan hal itu. Kekecewaan merambat naik menggenggam hatiku. Yah, aku toh outsider disini. Mungkin aku memang tidak diundang. Baiklah. Batinku mencoba bijak.
“Mira?” Aku menggumam menjawab panggilannya. “Semua oke?”
“Ya. Jam berapa besok acaranya dimulai? Akan kupastikan aku tenang di dalam kamar dan tidak mengganggu.” Ucapku sedikit agak defensive dari yang kumaksudkan.
“Hei, kau adiknya. Kau harus datang tentu saja.” Richard mencoba mencairkan suasana.
“Tidak. Aku tidak diundang. Akan canggung bagi semua orang jika aku berada disana. Anak yang lain, dari istri yang lain, hadir pada acara peringatan kematian keluarga inti. Lagipula aku tidak mengenal mereka, tidak akan ada bedanya ada aku ataupun tidak.”
“Sampai kapan kau akan membenci mereka?”
“Aku tidak mem….”
“Ya. Jelas sekali terlihat. Kau bahkan tidak ingin mencoba sedikitpun memahami situasi mereka. Kau tidak hanya keras kepala, tapi juga picik dan egois!” Desisnya marah.
Kalimatnya mau tak mau memancing emosiku. “Aku egois? Tidak memahami siutuasi mereka? Aku berkompromi sejak aku setuju untuk datang kesini. Selalu aku yang mengalah dan mengikuti alur disini!! Aku bahkan tidak tau kenapa harus ada disini, menjalani semua kehidupan ini! Aku tidak memintanya! Tapi adakah yang mengerti? Adakah yang repot - repot menjelaskannya untukku? Tidak! Dan disinilah kau, mengoceh tentang picik dan egois!”
Sempat kulihat buku jarinya memutih mencengkeram erat roda kemudi. Kami terdiam melanjutkan perjalanan ke rumah. Aku sibuk menata emosiku yang sempat terburai karena pancingannya. Dia pikir dia siapa? Dia tidak tau ceritaku, tidak tau perjuanganku, tidak tau apa yang harus kulalui! Dan tiba - tiba saja dia bilang aku picik dan egois! Hah!
Sesaat sebelum mobil berhenti, aku melanjutkan, “Kau tidak mengenalku, dan kau mengenal Arlaine sepanjang hidupmu. Kau tidak menyukaiku tapi kau menyayangi Arlaine sepanjang hidupmu. Kau memujanya dan kau memandang rendah diriku. Pikirkan sendiri apakah itu adil, bagiku? Dan pantaskah jika aku disebut egois dan picik disini?”
Aku membanting pintu mobil dan berderap menuju pintu utama. Amarah masih berkobar dalam diriku. Rasanya ingin berlari dan cepat-cepat mendekam di kamar. Di tempat amanku selama disini. Aku tertawa ironis saat menyadari, bahkan kamar yang kuanggap aman itu pun, bekas kamar seseorang. Ayahku dulunya adalah ayah seseorang, menghilang lama sebelum akhirnya mau mengakui ku kembali sebagai darah dagingnya. Mama pergi meninggalkanku, Eyang tidak menginginkanku lagi. Keluarga disini adalah keluarga bekas seseorang. Semuanya adalah bekas seseorang.
Aku berhenti untuk mengatur nafas sebelum membuka pintu depan, karena kurasakan sesak di dada semakin tak tertahan. Setelah beberapa kali menghela nafas, aku mendorong pintu hingga terbuka dan memasuki ruangan. Di selasar, samar-samar kudengar suara Daddy sedang berbincang dengan beberapa orang. Pintunya terbuka, sehingga mau tak mau aku harus berhenti untu melongok dan menyapa. Bukan untuk menuruti Richard agar tidak membuat ulah, karena aku ingin membuktikan aku bukan orang udik yang tidak punya tata krama.
“Daddy,”
“Cherie,” Daddy berdiri dan memelukku. Dua orang disana, Duke Villich dan seorang wanita yang kuasumsikan sebagai ibunya terdiam mengamati kami. “Ini Mira, anakku.” Daddy mengumumkan sambil masih merangkulku.
Aku menunduk untuk menyapa. Tak sedikitpun mereka bergeming menerima sapaanku. “Aku akan beristirahat di kamar. Silakan lanjutkan obrolannya. Permisi, Dad.”
“Kenapa kau merawatnya? Kau sudah setuju untuk tidak berhubungan lagi dengan perempuan itu.” Suara dingin menusuk itu membuatku mempercepat langkah. Apapun jawaban Daddy, bagus atau jelek, aku tidak ingin mendengarnya. Belum. Belum….
Richard’s“Kau tidak mengenalku, dan kau mengenal Arlaine sepanjang hidupmu. Kau tidak menyukaiku tapi kau menyayangi Arlaine sepanjang hidupmu. Kau memujanya dan kau memandang rendah diriku. Pikirkan sendiri apakah itu adil, bagiku? Dan pantaskah jika aku disebut egois dan picik disini?”Kalimatnya yang panjang sebelum berlari masuk ke rumah membuatku terdiam di mobil. Seharusnya aku datang dengannya untuk menyapa keluarga yang mungkin sedang menikmati teh di salah satu ruangan.Setitik rasa bersalah menghinggapiku. Tapi dia juga keterlaluan. Dia sudah disini selama enam bulan, dan selama itu pula dia selalu menghindari acara - acara keluarga jika memungkinkan. Membuatku benar - benar geregetan. Dia tentu saja tidak akan mengenal siapa - siapa jika tidak membuka diri, dan sebagai akibatnya dia tidak diterima d
Semua orang menoleh ke arahku saat aku tiba - tiba berdiri dengan kasar. Nenek sihir sialan! Mati - matian aku menahan diri hanya untuk dihina? Bahkan Mama juga?! Bahkan Ratu sekalipun tidap berhak menghina Mama!! Aku meradang marah, tanganku terkepal erat siap melempar apapun yang berada dalam jangkauanku. Rentetan kata - kata pedas saling bertabrakan memaksa untuk keluar dari mulutku. Semuanya kuhentikan dengan paksa saat kulihat wajah Madame Villich yang mendongak pongah dan puas. Ah, jadi ini hanya pancingan.“Permisi.” Pamitku nyaris berlari keluar.Mataku masih memerah buram karena amarah sehingga tidak kuperhatikan kemana aku melangkah.Brugh!Aku terhuyung mundur dengan sepasang lengan menahanku.
Semalam aku bermimpi. Tentang Mama, yang pergi menjauh meninggalkanku, yang tak menghiraukan tagis dan teriakanku agar tidak pergi meninggalkanku. Tentang Oma yang menolakku di sisinya dan memintaku pergi untuk menemui Daddy, tak perduli seberapa keras aku memohon, dia tetap bergeming di balik pintu rumah yang tertutup rapat untukku. Tentang kecaman Violeta Villich yang terus menggaung setelahnya, bahwa aku tidak pantas berada di sini dan Daddy tidak seharusnya membawaku kembali. Almarhumah Arlaine juga mampir di sana, bertanya dengan wajah muram apakah aku kembali untuk menggantikan posisinya, merebut semua yang dia miliki selama ini, sebelum wajahnya perlahan - lahan berubah menjadi mengerikan seiring tawa horor yang menggelegar. Kalimat terakhirnya adalah, ‘tidak akan kubiarkan kau hidup nyaman di rumahku! Memakai pakaianku! Menikmati perhatian keluarga dan teman - temanku! menikmati hidup dengan statusku dan sedangkan aku perlahan dilupakan!
Ada jeda sebentar sebelum suara langkah kaki akhirnya terdengar menjauh dari ranjangku dan diikuti suara pintu ditutup.Tangis yang sedari tadi kutahan akhirnya pecah. Tangis kesakitan, tangis kesepian, tangis kemarahan, tangis penolakan, semua berbaur menjadi satu menyesakkan dadaku. Tersengal - sengal, aku meraih bel emergency dengan tangan kiriku, lalu memencetnya. Sakitnya sudah tak tertahankan, aku butuh ditidurkan. Aku tidak ingin merasakan apapun lagi untuk saat ini. Cukup. Tolong.***Richard’sLagi - lagi kalimat yang tidak ingin kuucapkan tercetus begitu saja.Aku keluar dari kamar rawat Mira dan duduk di bangku panjang di lorong rumah sakit. Kusaksikan dokter dan perawat yang berbondong - bondong masuk ke kamar Mira
Setelah hampir dua minggu dirawat, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Finalement!! Aku kangen kasurku, aku kangen Brigitte, aku kangen Ipad Penku, dan alat - alat gambarku. Aku benci dengan semua selang - selang yang menempel di tubuhku ini!Luka - lukaku sudah mengering, masih ada beberapa yang masih tertutup plester. Tapi sudah tidak separah sebelumnya, hanya perlu memakai pakaian lengan panjang untuk menyembunyikannya selama beberapa waktu sampai bekasnya menghilang. Hampir semua fungsi tubuhku bekerja dengan normal. Karena diet ketat dan latihan rutin yang kulakukan di rumah sakit. Itu juga nantinya menjadi PR ku setelah pulang.Tapi ada yang aneh. Kebahagiaanku terganjal oleh sesuatu. Aku menghilang selama dua minggu dan tidak ada yang curiga? Menanyakan keberadaanku mungkin, karena tidak terlihat di sudut manapun di rumah ini? Serius?
“Mira?!”Kami menoleh kaget pada suara yang memanggilku. Anak itu, yang mengajakku ngobrol di Gazebo dekat gerbang keluar ARBA tempo hari, aku lupa namanya. Duh siapa ya? Aku berusaha mengingat namanya sementara dia berjalan mendekat bersama seorang balita perempuan.Ah! Sonia!“Hi Sonia.” Aku tersenyum membalas sapaannya.“Its rare to see you outside your maison.” Katanya sesampainya di depanku. “Oh, ini Nagita, adikku. Dit salut, Gita.” Sonia memperkenalkan kami ramah. Nagita yang masih malu - malu bersembunyi di belakang kakinya.“Kau juga tinggal di daerah sini?” Tanyaku kaget.“Oui!,
“Richard, mind if Sonia comes with us?” Richard hanya mengacungkan jempolnya ke cabin belakang. Aku dan Sonia bergegas naik sebelum dia berubah pikiran. Beberapa hari terakhir, aku dan Sonia menjadi lumayan dekat. Kami banyak melakukan hal bersama di kampus. Sonia sering menungguku di Gazebo saat kelasnya lebih dulu berakhir. Ditemani Sonia, ada bagusnya sih, jadi tidak sepi karena Sonia suka sekali bercerita. Tapi di sisi lain, hidupku jadi terlalu berisik karena dia terlalu banyak bicara. Yah, i guess it’s the consequence i need to take. Tapi dengan adanya Sonia di dekatku, aku jadi lebih sering mendengar bisikan - bisikan yang diarahkan padaku. Aku baru tau jika kehadiranku di sini mengusik beberapa orang. Selama itu tidak mengganggu aktifitasku di kampus dan tidak dilakukan secara terang - terangan, akan kuabaikan. Bagiku, hidup dengan desas - desus seperti itu sudah biasa. Itu yang akan mengikutimu kemanapun saat kau tumbuh tanpa seorang Ayah, dan status
Libur musim panas datang lebih cepat rasanya. Seperti kemarin Daddy bilang ingin mengajakku ke Ardennes dan besok kami sudah harus berangkat. Brigitte dan Cedric berpamitan malam ini untuk memulai cutinya. Besok pagi, ibu dan anak itu akan pulang ke desa dan berlibur dengan keluarga mereka. Brigitte, meskipun sedih meninggalkanku, kegembiraannya akan bertemu cucu - cucunya tidak dapat disembunyikan. Aku turut senang untuknya. Richard menginap malam ini, karena dia harus membantu Daddy dengan sesuatu paginya, sebelum kita berangkat menjelang tengah hari.Aku kembali ke kamar setelah makan malam. Richard, Daddy dan Cedric melanjutkan obrolannya di ruang duduk. Sepertinya bukan obrolan, lebih ke apa yang harus dilakukan jika ini terjadi atau apa yang harus diantisipasi selama Daddy absen dan lain - lain. Kudengar tadi, Richard juga harus mengirim email ke beberapa orang sebelum tengah malam untuk menjel
Kali ke dua aku naik pesawat. Aku gugup, dan terus menerus ke toilet sejak tadi. Ada satu penjaga yang mengawalku sampai aku boarding nanti. Namun aku menolak untuk terus diikuti sampai Indonesia.Di sini aku memang keluarga kerajaan, tapi di sana aku bukan siapa-siapa. Untunglah Daddy mau mengerti hal ini. Aku sedang menunggu panggilan untuk boarding. Dan lagi-lagi, aku teringat akan alasanku pergi."Stop, Mira. Terima saja. Cinta pertamamu tak berjalan lancar. Kau harus melupakannya."Aku menarik satu kali nafas panjang tepat saat panggilan pertama pesawat yang akan membawaku ke Indonesia terdengar. Aku dan beberapa penumpang pesawat lainnya mengantri untuk verifikasi terakhir sebelum masuk pesawat dan masuk dengan tertib.Tak seperti penerbanganku sebelumn
Granny melarangku untuk berpikir pergi dari sini adalah yang terbaik. Bahkan setelah dua hari berlalu. Dia ingin aku kuat, dan dia meyakinkan bahwa semua yang ada di sini keluargaku. Bahwa aku tak sendirian di sini."Kita bisa mengganti pengawalmu jika kau tak ingin bertemu dengan Richard. Tapi aku tak setuju jika kau pergi meninggalkan kami. Semua keributan ini akhirnya berakhir, dan kita bisa hidup dengan tenang bersama, kenapa kau malah memikirkan untuk pergi?"Dari situ aku sadar, Granny benar. Bagi semua orang, ini adalah kemenangan. Hanya aku yang merasa kalah dalam hal ini, dan itu karena Richard. Aku merasa buruk setelah mendengar hal itu."Maaf, aku jadi egois."Granny Louisa menggeleng. "Kau memang tak bisa kembali ke sana, tapi kau bisa berkunjung sebent
Richard'sAku menonton berita di televisi dengan tatapan puas. Phillip, ibunya, JJ, Cedric dan anak buahnya yang terbukti membelot sudah diringkus. Pengadilan kasus mereka memang belum ditetapkan kapan, namun, mereka tak akan lepas dari sanksi sosial kali ini. Dulu, Pak Tua terlalu baik hati untuk mengumumkan perbuatan mereka pada media. Namun sekarang tidak lagi."Makanlah dulu. Kau memang sudah tampak sehat, tapi kau masih perlu banyak waktu dan asupan bagus untuk memulihkan tenagamu."Aku mendongak menatap gadis yang beberapa hari terakhir menemaniku di sini. Dia gesit dan telaten mengurusku. Itu hal yang bagus, bukan? Saat terbaring tak berdaya, ada seseorang yang tulus mengurusmu.Betapa beruntungnya diriku?"Lyn.."
Aku meninggalkan Corrine berdua dengan Abe Villich di balkon rumah sakit agar mereka saling berbicara. Semoga saja keputusanku tak salah. Aku sedikit khawatir karena Corrine terlihat amat pucat dan kaget saat melihat Abe ada di sana. Pria itu pasti mengikuti kami tadi saat keluar untuk berbicara.Aku masih berada di balik pintu balkon selama beberapa saat, hanya untuk memastikan bahwa Corrine baik-baik saja. Sungguh. Aku tak berniat menguping. Aku masih ingat apa yang dilakukan Abe pada Corrine dulu hingga membuat Corrine yang biasanya ceria menjadi amat pendiam dan tertekan."Katakan, Corry. Apa yang mereka katakan tentangmu sehingga kau ikut tanpa perlawanan seperti itu." Suara Abe dingin dan tegas. Bahkan aku yang bukan lawan bicaranya saja berjengit, apalagi Corrine.Aku bisa mendengar suara tangis saat ak
“Tak bisakah kita sedikit lebih cepat?” Aku memajukan tubuhku untuk berbicara pada supir dengan nada tak sabar.“Cherie…”Kurasakan tangan Daddy menggengam tanganku dan meremasnya pelan. Mungkin menegur, atau mungkin juga sekedar menguatkanku karena kejadian-kejadian yang terjadi hari ini. Aku hanya menatapnya dengan tatapan putus asa. Namun aku kembali ke kursiku dan duduk dengan rapi. Mencoba untuk tenang meskipun rasanya sudah tak karuan lagi di dalam diriku.Tiga jam lalu kami dihubungi oleh Corrine yang berbicara dengan sangat cepat dan nyaris tak jelas tentang jangan pulang ke istana dan pergi ke tempat lain karena istana tak aman. Dia tak menjelaskan lebih jauh dan hanya terus mengulang kalimat itu. Kami baru saja sampai di istana, namun kami tak masuk dan langsung melanjutkan k
Richard’sPolisi dan pasukan tambahan datang tepat waktu untuk menyelamatkan kami. Seperti dugaanku, ada beberapa orang dari pasukan Cedric yang membelot dan berkhianat dengan pria itu. Hal itu membuat pasukan yang kubawa menjadi kalang kabut dan kami sempat terpukul mundur karena bingung siapa lawan dan kawan di sini.Untungnya, polisi ada yang membawa senapan paintball sehingga kami bisa menandai siapa saja yang berkhianat dengan peluru cat merah di punggungnya. Ini membantu kami mengidentifikasi siapa yang berada di tim kami dan tim lawan.Corrine sempat di bawa ke ruangan lain oleh Phillip, tapi aku berhasil mengejarnya setelah menumbangkan Cedric dengan mematahkan bahunya.“Sorry, Pal, tapi kau pantas mendapatkannya. Ibi bahkan tak setimpal dengan
Aku terbelalak tak mempercayai mataku. Di depan kami, muncul dua orang yang sama sekali tak kuduga akan kutemui di sini. Mereka yang menjadi dalang penculikan Corrine? Kenapa?!“Cedric? JJ?” Aku mengucap dengan nada tak percaya. “Why?! Kenapa kalian melakukan ini?”“Apakah itu belum jelas, mademoiselle?”JJ menjawab sembari berjalan melenggang mendekat pada Putra Mahkota… bukan. Richard memanggilnya Phillip, karena dia sudah bukan lagi Putra Mahkota. JJ mendekat pada Phillip dan mereka mulai menempelkan tubuh mereka satu sama lain. Pemandangan yang langsung membuatku mual! Rupanya JJ adalah partner sesama jenis Phillip?! Bukankah…“Oh, maafkan, kami terlalu larut dalam dunia kami yang penuh cinta. JJ. Kekasih
Richard’s“Akhirnya kalian datang juga. Aku terkesan.”“Kau…”“Apa maksudnya ini?!”Pertanyaan Mira dan pak Tua saling bersahutan saat melihat pemilik rumah yang dan sandera yang mereka cari sedang duduk sambil bermain catur di ruang baca. Aku menggertakkan gigi dan mengepalkan tinjuku erat. Mencoba menahan amarahku yang meperti mengancam ingin menelanku bulat-bulat.Aku sudah memiliki kecurigaan sejak menemukan lokasi di mana Corrine berada. Tak banyak yang tahu bahwa rumah ini bukan lagi milik Abe Villich. Namun aku dan Cedric adalah sedikit di antara orang-orang yang tahu bahwa sejak Arlaine meninggal. Rumah ini dibeli oleh Abe Villich sebagai hadiah pernikahan untuk Arlaine
Granny Louisa menangis tersedu mendengar cerita tentang Corrine dariku.Pada akhirnya, aku tak punya pilihan untuk tidak mengatakannya. Lagi pula, mengenai hal ini, aku juga butuh berdiskusi tentang beberapa hal. Tentang apa peranku di sini. Aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan jika penjahatnya benar-benar tertangkap. Atau bagaimana caranya agar penjahatnya tertangkap dan Corrine kembali pada kami dengan selamat.Betul kata Daddy. Aku tak tahu apa yang seharusnya kulakukan di saat seperti ini. Betul kata Madame Villich, aku hanya boneka di sini yang tak akan bisa menggantikan posisi siapa pun. Aku muncul hanya karena panggung terlalu sepi."Richard sedang mencarinya, Granny. Aku yakin dia pasti akan berusaha dengan seksama dan membawa Corrine pulang dengan selamat."