Back to Normal POV – Mira POV-
“Karena kecelakaan itu?” Aku gatal ingin menyela dari tadi. Well, dia memang meninggal dalam kecelakaan pesawat itu setahuku.
“Non, jauh sebelum itu. Saat akhirnya dia bertunangan dengan Duke of Luxemburg, Abraham Villich.” Jawabnya pelan.
Arlaine sudah bertunangan? Wah, aku tidak bisa membayangkan betapa hancur hati Richard mendengar kabar pertunangannya.
Well, sepertinya kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi melihat wajahnya yang mengeras menahan guratan pedih itu, aku hanya terdiam untuk menghormatinya.
“Ng… Richard?” Dia menggumam, masih memandangi lidah api yang membakar habis balok kayu di sekelilingnya. “Kenapa kau bercerita kepadaku?”
“Bukankah kau tadi bertanya?”
Iya sih. Tapi… “Aku tidak mengharapkan cerita detail seperti ini juga.” Aku menggumam pelan. Tidak tahu harus merasa sebal, bersimpati atau yah, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana.
“Well, Mademoiselle. Sudah saatnya anda tidur. Saya akan menemani anda ke kamar.” Nadanya kembali kaku dan tegas seperti biasanya. Tanpa peringatan sebelumnya, dia langsung menarikku bangun, mengembalikan album foto lawas tersebut ke tempatnya dan menyeretku, ya dia memang menyeretku, ke kamar.
“Hei wait! Richard you hurt me!” Protesku karena beberapa kali aku tersandung karpet saat mengikuti langkah kakinya yang panjang.
“Akan lebih baik kalau anda melupakan percakapan kita barusan, Mademoiselle.” Tandasnya sebelum menutup pintu kamarku dengan keras.
What? Aku menggeram sebal. Yah, kali ini aku benar - benar sebal! Siapa juga yang menyuruhnya bercerita sedetail itu tentang mereka berdua? Aku ingin cerita tentang Arlaine! Bukan tentang kisah cintanya yang kandas di tengah jalan. Kenapa dia jadi menyebalkan lagi? Padahal tadi sikapnya sudah lebih manusiawi. Dasar Manusia gunung tanpa hati!
***
Setelah malam itu, hari - hari kulalui dengan Richard seperti biasanya. Yang artinya, dia mengetuk pintu kamarku di pagi hari, menungguiku sarapan, mengantar dan menjemputku ke ARBA tanpa SEPATAH KATA pun. Ya, semuanya dia lakukan dalam diam. Dan aku? Hell, demi langit bumi dan seisinya, kalau dia tidak ingin berbicara kepadaku, maka aku juga tidak akan berbicara padanya.
Aku melihat Corrine yang bersantai di ruang tengah sambil menonton film lawas saat pulang tadi. Maka setelah membersihkan diri dan berganti baju, aku memutuskan untuk bergabung dengannya sebelum makan malam.
“Hai.” Sapaku. Dia menoleh dan tersenyum sambil menepuk tempat kosong di sebelahnya. “Tidak kemana – mana hari ini?”
“Oh, ini hari libur pertamaku sejak tiga bulan yang lalu. Aku bersantai dan beristirahat di rumah.”
“Bukannya faire de course, massage dan party?” Dia tertawa sambil menatapku bingung. “Itu yang biasanya ditulis di novel atau diceritakan di film-film. Para gadis selalu melakukan hal itu di saat santai mereka.” Aku membela diri sementara Corrine tertawa.
“Well, kau terlalu banyak menonton telenovela dan novel picisan.” Yah, dia benar. “Shopping, massage, mempercantik diri adalah pekerjaanku sehari - hari. Pekerjaan kami para ambassador. Jadi kenapa waktu luang seperti ini harus digunakan untuk bekerja juga?” Aku mengangguk – angguk mendengar penjelasannya. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah lebih baik?”
“Eh?”
“Apakah kau sudah mulai betah di sini? Atau semakin merindukan kehidupan lamamu?”
Aku terdiam. Selama ini, tidak ada yang bertanya padaku mengenai perasaanku. Apa yang kuinginkan, apa yang ingin kucapai, apa yang paling kusesalkan saat berada di sini. Hanya memikirkannya saja, membuat dadaku sesak karena terlalu banyak yang ingin aku ungkapkan, tetapi aku tak tahu pada siapa. Ada begitu banyak perasaan terbaur di dadaku, hingga tak ada kata yang bisa mewakilinya.
“Kenapa kau bertanya?”
Corrine meraih tanganku dan meremasnya pelan. “Aku memperhatikanmu. Saat pertama kali melihatmu, kau nampak kesepian. Sikapmu yang defensive terhadap kami semua. Ya, aku tahu. Kau sengaja melindungi dirimu karena kau takut disakiti. Tapi percayalah, tak ada yang akan menyakitimu di sini.”
Aku tersenyum meremehkan. “Bagaimana kau tahu?”
“Karena kami semua sebenarnya sudah lama mengharapkan kehadiranmu.” Aku menggeleng tak mengerti. “Apakah selama ini ibumu pernah menceritakan tentang Uncle?”
“Not a word.”
“Tentang kenapa dia tidak mencari ayah untukmu?”
“Not really. She used to told me before that no one can’t replace Daddy’s. Tapi aku berhenti bertanya karena Mama selalu menangis saat topic tersebut keluar.”
“Hah, Tante Eva! Same as always!”
“Kau kenal Mamaku?” Yah, aku tahu dia tahu tentang Mama. Tapi kenal dan tahu itu berbeda kan?
“From heart to heart. Karena bukan seperti yang kau kira selama ini, kau adalah anak sah Ayah dan Ibumu. Bukan anak haram seperti yang selama ini kau pikirkan.”
Oke, I don’t get it. Mungkin aku terlalu bodoh untuk mengerti. Tapi setahuku, itu adalah sebutan negatif untuk anak yang belum jelas status hukumnya apabila dia terlahir dari hubungan seorang laki-laki dan perempuan yang belum menikah. N’est-ce pas? Iya, kan?
“Ayah dan Ibumu menikah. Hanya saja mereka tidak boleh mengakuinya di depan public. Hingga baru – baru ini.”
Shoot me now!
***
Semacam kebiasaan, kurasa. Mereka membuka diri, memberitahuku satu hal yang membuatku tertarik, kemudian melupakannya seperti tidak pernah berkata apa - apa. Aku? Tentu saja masih penasaran setengah mati! Bertanya? Yang benar saja! Setiap kali mendekat ke topik tersebut, selalu saja langsung dialihkan. Pertama Richard dengan kisah kasih tak sampainya dengan Arly, lalu Corrine yang sambil lalu menceritakan status Mama dan Daddy. Keduanya bukan orang yang mudah dibujuk. Walaupun kuakui, aku juga tidak terlalu pandai membujuk. track record ku berinteraksi dengan sesama manusia amat buruk.
Malam ini, tiba - tiba Corrine mengajakku makan di luar. Mencari suasana baru katanya. Setelah pamit dan berpesan agar Brigitte tidak usah menyiapkan makan malam untuk kami, segera saja kami berangkat dengan Richard. Oh, aku sama sekali tidak menaruh curiga. Jujur saja, capek selalu berprasangka pada semua yang ada di sekitarmu. Jadi malam ini aku memutuskan libur dulu.
“Kau ingin makan apa?” Tanya Corrine.
“You really ask me that question?” tanyaku. Corrine menoleh dan mengangguk tanpa tahu apa yang menunggunya. “Makanan Indonesia; nasi, sambal, rendang… may i?”
Corrine menepuk dahinya pelan sementara Richard mendengus pelan di depan. Hei, tu m'as posé une bonne question, alors je te donne une bonne réponse. Aku selalu memberikan jawaban bagus saat ditanya tentang makanan. Dan aku selalu jujur tentang itu. Sejak disini, aku harus menyesuaikan diri dengan masakan Brigitte (baca: masakan Belgia) yang menurutku agak hambar dan rasanya kurang kuat. Karbohidrat yang kuperoleh hanya dari kentang, yang mana di negaraku tercinta itu hanya sayuran, dan roti yang di negaraku juga hanya dianggap sebagai camilan. Literary, I’m deathly starve!
“Bagaimana dengan pasta?” Richard menawarkan saat melewati restaurant Italia. “Ada risotto dan macaroni juga.”
“Ah, itu hanya mie instan bagiku. Tidak adakah makanan sungguhan?”
“Kenapa anda cerewet sekali hari ini, Mademoiselle?”
“Hei, Corry yang menawariku! Kenapa kau protes?” Aku menyahut garang membuat Corrine terbahak.
“Sudahlah. Berhenti kalian Tom and Jerry!” What?? “Richard, Berhenti di Bld Lemonnier 165. Mira harus mencoba Moules dan Pate.”
Dahiku mengernyit mencoba mengingat - ingat dan mencocokkan nama makanan dengan memoriku. Moules adalah makanan tradisional Belgia. Biasanya masakan ini disajikan mulai September hingga Februari. Makanan ini dibuat dari kerang yang disajikan dengan kentang goreng. Moules disajikan dengan berbagai cara, mulai dari cara alami, menggunakan bawang putih, anggur putih, bawang merah, atau dengan peterseli serta mentega. Sedangkan Pate adalah pasta yang dibuat dari daging giling dan lemak. Daging yang sering digunakan untuk Pate adalah daging bebek dan babi. Biasanya masakan ini akan disajikan dengan roti panggang atau dimasak dalam adonan seperti pai.
“Hei, aku tidak makan Babi dan tidak mengkonsumsi alkohol.”
“We know it.” Richard dan Corrine menyahut segera. Lalu tergelak bersama.
Aku heran, apa yang membuat mereka begitu kompak dan ceria malam ini? Dan Makanan yang mereka tawarkan? Aku ragu aku bisa memakannya.
“Tenang saja, Le Nil hanya satu di antara banyak restoran halal di Brussels.” Corrine menjelaskan. Hembusan nafas penuh kelegaan yang sedari tadi kutahan akhirnya keluar juga. Selama disini, tentu saja aku tidak pernah makan di luar. Kantin Arba hanya kudatangi saat haus dan hanya membeli air mineral saja. Yap, aku tidak menggunakan kupon makanku. sepertinya Daddy tau itu karena memang aku tidak pernah diberikan kupon makan seperti yang lain disini
Saat kami turun, aku terheran dengan bangunan ala mesir dengan dentuman musik timur tengahnya, yang kalau di Indonesia orang menyebutnya nasyid. Di sebelahku, Richard menjelaskan bahwa Le Nil adalah restaurant Mesir yang juga menyediakan makanan khas Belgia versi halal.
“And the happy thing is, you can find rice.” Wajahku bebinar seketika seperti telah menemukan surga dunia.
“Serius?”
“Aku yang traktir.” Corrine menimpali perkataan Richard dengan senyum lebarnya.
Waaah, makan besar!!!!
Richard’sShe surely has a big apetite! Dia makan seolah - olah ini adalah makanan pertamanya sejak dia datang ke sini! Jika tidak melihat sendiri, aku pasti tak akan percaya dia mampu menghabiskan tiga piring moules dalam sekejap.Corrine bahkan belum menyentuh isi piringnya. Kulihat dia juga sama amaze nya denganku pada makhluk di depan kami.Aku belum pulang dari Maison saat Corinne menemukanku merokok di patio depan rumah. Dia bercerita beberapa kekhawatirannya tentang Mira, tentang dia yang ingin sekali menceritakan semuanya tapi dia tidak bisa. Bukan dia orang yang tepat untuk menceritakannya, dan dia takut tidak bisa menghadapi reaksi Mira.Yah, aku juga tidak lebih baik, harus kuakui. Dia mengira aku benar - benar meninggalkannya kemarin dan tidak menjemputnya
Enam bulan berlalu sejak kedatangan ku ke Negara ini. Cuaca sudah mulai hangat, musim Semi pun sudah mencapai puncaknya. Hampir segala hal, anehnya berjalan dengan baik dan damai kalau tidak ingin kubilang terlalu dijaga, di sekitarku. Aku mulai diberikan ruang untuk diriku sendiri di rumah, dan Corrine, Brigitte, Granny Louisa dan juga Richard (saat dia tidak sedang menyebalkan, karena mood swingnya lebih parah dari cewek PMS) bergantian menemaniku mengusir sepi. Nampaknya aku mulai agak betah disini, walaupun aku agak berat mengakuinya.Tapi tidak semua hal baik berlangsung semester ini di kampus. Oh, aku masih menyukai kampusku seperti saat pertama kali melihatnya. Masih bersemangat mengerjakan semua essay dan tugas dan juga sepenuh hati mengikuti kelasku semester ini. Tapi bukan itu. Bukan tentang kegiatan kampus, tapi tentang kehidupan kampusku. Satu semester nyaris berlalu begitu saja dan aku masih m
Richard’s“Kau tidak mengenalku, dan kau mengenal Arlaine sepanjang hidupmu. Kau tidak menyukaiku tapi kau menyayangi Arlaine sepanjang hidupmu. Kau memujanya dan kau memandang rendah diriku. Pikirkan sendiri apakah itu adil, bagiku? Dan pantaskah jika aku disebut egois dan picik disini?”Kalimatnya yang panjang sebelum berlari masuk ke rumah membuatku terdiam di mobil. Seharusnya aku datang dengannya untuk menyapa keluarga yang mungkin sedang menikmati teh di salah satu ruangan.Setitik rasa bersalah menghinggapiku. Tapi dia juga keterlaluan. Dia sudah disini selama enam bulan, dan selama itu pula dia selalu menghindari acara - acara keluarga jika memungkinkan. Membuatku benar - benar geregetan. Dia tentu saja tidak akan mengenal siapa - siapa jika tidak membuka diri, dan sebagai akibatnya dia tidak diterima d
Semua orang menoleh ke arahku saat aku tiba - tiba berdiri dengan kasar. Nenek sihir sialan! Mati - matian aku menahan diri hanya untuk dihina? Bahkan Mama juga?! Bahkan Ratu sekalipun tidap berhak menghina Mama!! Aku meradang marah, tanganku terkepal erat siap melempar apapun yang berada dalam jangkauanku. Rentetan kata - kata pedas saling bertabrakan memaksa untuk keluar dari mulutku. Semuanya kuhentikan dengan paksa saat kulihat wajah Madame Villich yang mendongak pongah dan puas. Ah, jadi ini hanya pancingan.“Permisi.” Pamitku nyaris berlari keluar.Mataku masih memerah buram karena amarah sehingga tidak kuperhatikan kemana aku melangkah.Brugh!Aku terhuyung mundur dengan sepasang lengan menahanku.
Semalam aku bermimpi. Tentang Mama, yang pergi menjauh meninggalkanku, yang tak menghiraukan tagis dan teriakanku agar tidak pergi meninggalkanku. Tentang Oma yang menolakku di sisinya dan memintaku pergi untuk menemui Daddy, tak perduli seberapa keras aku memohon, dia tetap bergeming di balik pintu rumah yang tertutup rapat untukku. Tentang kecaman Violeta Villich yang terus menggaung setelahnya, bahwa aku tidak pantas berada di sini dan Daddy tidak seharusnya membawaku kembali. Almarhumah Arlaine juga mampir di sana, bertanya dengan wajah muram apakah aku kembali untuk menggantikan posisinya, merebut semua yang dia miliki selama ini, sebelum wajahnya perlahan - lahan berubah menjadi mengerikan seiring tawa horor yang menggelegar. Kalimat terakhirnya adalah, ‘tidak akan kubiarkan kau hidup nyaman di rumahku! Memakai pakaianku! Menikmati perhatian keluarga dan teman - temanku! menikmati hidup dengan statusku dan sedangkan aku perlahan dilupakan!
Ada jeda sebentar sebelum suara langkah kaki akhirnya terdengar menjauh dari ranjangku dan diikuti suara pintu ditutup.Tangis yang sedari tadi kutahan akhirnya pecah. Tangis kesakitan, tangis kesepian, tangis kemarahan, tangis penolakan, semua berbaur menjadi satu menyesakkan dadaku. Tersengal - sengal, aku meraih bel emergency dengan tangan kiriku, lalu memencetnya. Sakitnya sudah tak tertahankan, aku butuh ditidurkan. Aku tidak ingin merasakan apapun lagi untuk saat ini. Cukup. Tolong.***Richard’sLagi - lagi kalimat yang tidak ingin kuucapkan tercetus begitu saja.Aku keluar dari kamar rawat Mira dan duduk di bangku panjang di lorong rumah sakit. Kusaksikan dokter dan perawat yang berbondong - bondong masuk ke kamar Mira
Setelah hampir dua minggu dirawat, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Finalement!! Aku kangen kasurku, aku kangen Brigitte, aku kangen Ipad Penku, dan alat - alat gambarku. Aku benci dengan semua selang - selang yang menempel di tubuhku ini!Luka - lukaku sudah mengering, masih ada beberapa yang masih tertutup plester. Tapi sudah tidak separah sebelumnya, hanya perlu memakai pakaian lengan panjang untuk menyembunyikannya selama beberapa waktu sampai bekasnya menghilang. Hampir semua fungsi tubuhku bekerja dengan normal. Karena diet ketat dan latihan rutin yang kulakukan di rumah sakit. Itu juga nantinya menjadi PR ku setelah pulang.Tapi ada yang aneh. Kebahagiaanku terganjal oleh sesuatu. Aku menghilang selama dua minggu dan tidak ada yang curiga? Menanyakan keberadaanku mungkin, karena tidak terlihat di sudut manapun di rumah ini? Serius?
“Mira?!”Kami menoleh kaget pada suara yang memanggilku. Anak itu, yang mengajakku ngobrol di Gazebo dekat gerbang keluar ARBA tempo hari, aku lupa namanya. Duh siapa ya? Aku berusaha mengingat namanya sementara dia berjalan mendekat bersama seorang balita perempuan.Ah! Sonia!“Hi Sonia.” Aku tersenyum membalas sapaannya.“Its rare to see you outside your maison.” Katanya sesampainya di depanku. “Oh, ini Nagita, adikku. Dit salut, Gita.” Sonia memperkenalkan kami ramah. Nagita yang masih malu - malu bersembunyi di belakang kakinya.“Kau juga tinggal di daerah sini?” Tanyaku kaget.“Oui!,
Kali ke dua aku naik pesawat. Aku gugup, dan terus menerus ke toilet sejak tadi. Ada satu penjaga yang mengawalku sampai aku boarding nanti. Namun aku menolak untuk terus diikuti sampai Indonesia.Di sini aku memang keluarga kerajaan, tapi di sana aku bukan siapa-siapa. Untunglah Daddy mau mengerti hal ini. Aku sedang menunggu panggilan untuk boarding. Dan lagi-lagi, aku teringat akan alasanku pergi."Stop, Mira. Terima saja. Cinta pertamamu tak berjalan lancar. Kau harus melupakannya."Aku menarik satu kali nafas panjang tepat saat panggilan pertama pesawat yang akan membawaku ke Indonesia terdengar. Aku dan beberapa penumpang pesawat lainnya mengantri untuk verifikasi terakhir sebelum masuk pesawat dan masuk dengan tertib.Tak seperti penerbanganku sebelumn
Granny melarangku untuk berpikir pergi dari sini adalah yang terbaik. Bahkan setelah dua hari berlalu. Dia ingin aku kuat, dan dia meyakinkan bahwa semua yang ada di sini keluargaku. Bahwa aku tak sendirian di sini."Kita bisa mengganti pengawalmu jika kau tak ingin bertemu dengan Richard. Tapi aku tak setuju jika kau pergi meninggalkan kami. Semua keributan ini akhirnya berakhir, dan kita bisa hidup dengan tenang bersama, kenapa kau malah memikirkan untuk pergi?"Dari situ aku sadar, Granny benar. Bagi semua orang, ini adalah kemenangan. Hanya aku yang merasa kalah dalam hal ini, dan itu karena Richard. Aku merasa buruk setelah mendengar hal itu."Maaf, aku jadi egois."Granny Louisa menggeleng. "Kau memang tak bisa kembali ke sana, tapi kau bisa berkunjung sebent
Richard'sAku menonton berita di televisi dengan tatapan puas. Phillip, ibunya, JJ, Cedric dan anak buahnya yang terbukti membelot sudah diringkus. Pengadilan kasus mereka memang belum ditetapkan kapan, namun, mereka tak akan lepas dari sanksi sosial kali ini. Dulu, Pak Tua terlalu baik hati untuk mengumumkan perbuatan mereka pada media. Namun sekarang tidak lagi."Makanlah dulu. Kau memang sudah tampak sehat, tapi kau masih perlu banyak waktu dan asupan bagus untuk memulihkan tenagamu."Aku mendongak menatap gadis yang beberapa hari terakhir menemaniku di sini. Dia gesit dan telaten mengurusku. Itu hal yang bagus, bukan? Saat terbaring tak berdaya, ada seseorang yang tulus mengurusmu.Betapa beruntungnya diriku?"Lyn.."
Aku meninggalkan Corrine berdua dengan Abe Villich di balkon rumah sakit agar mereka saling berbicara. Semoga saja keputusanku tak salah. Aku sedikit khawatir karena Corrine terlihat amat pucat dan kaget saat melihat Abe ada di sana. Pria itu pasti mengikuti kami tadi saat keluar untuk berbicara.Aku masih berada di balik pintu balkon selama beberapa saat, hanya untuk memastikan bahwa Corrine baik-baik saja. Sungguh. Aku tak berniat menguping. Aku masih ingat apa yang dilakukan Abe pada Corrine dulu hingga membuat Corrine yang biasanya ceria menjadi amat pendiam dan tertekan."Katakan, Corry. Apa yang mereka katakan tentangmu sehingga kau ikut tanpa perlawanan seperti itu." Suara Abe dingin dan tegas. Bahkan aku yang bukan lawan bicaranya saja berjengit, apalagi Corrine.Aku bisa mendengar suara tangis saat ak
“Tak bisakah kita sedikit lebih cepat?” Aku memajukan tubuhku untuk berbicara pada supir dengan nada tak sabar.“Cherie…”Kurasakan tangan Daddy menggengam tanganku dan meremasnya pelan. Mungkin menegur, atau mungkin juga sekedar menguatkanku karena kejadian-kejadian yang terjadi hari ini. Aku hanya menatapnya dengan tatapan putus asa. Namun aku kembali ke kursiku dan duduk dengan rapi. Mencoba untuk tenang meskipun rasanya sudah tak karuan lagi di dalam diriku.Tiga jam lalu kami dihubungi oleh Corrine yang berbicara dengan sangat cepat dan nyaris tak jelas tentang jangan pulang ke istana dan pergi ke tempat lain karena istana tak aman. Dia tak menjelaskan lebih jauh dan hanya terus mengulang kalimat itu. Kami baru saja sampai di istana, namun kami tak masuk dan langsung melanjutkan k
Richard’sPolisi dan pasukan tambahan datang tepat waktu untuk menyelamatkan kami. Seperti dugaanku, ada beberapa orang dari pasukan Cedric yang membelot dan berkhianat dengan pria itu. Hal itu membuat pasukan yang kubawa menjadi kalang kabut dan kami sempat terpukul mundur karena bingung siapa lawan dan kawan di sini.Untungnya, polisi ada yang membawa senapan paintball sehingga kami bisa menandai siapa saja yang berkhianat dengan peluru cat merah di punggungnya. Ini membantu kami mengidentifikasi siapa yang berada di tim kami dan tim lawan.Corrine sempat di bawa ke ruangan lain oleh Phillip, tapi aku berhasil mengejarnya setelah menumbangkan Cedric dengan mematahkan bahunya.“Sorry, Pal, tapi kau pantas mendapatkannya. Ibi bahkan tak setimpal dengan
Aku terbelalak tak mempercayai mataku. Di depan kami, muncul dua orang yang sama sekali tak kuduga akan kutemui di sini. Mereka yang menjadi dalang penculikan Corrine? Kenapa?!“Cedric? JJ?” Aku mengucap dengan nada tak percaya. “Why?! Kenapa kalian melakukan ini?”“Apakah itu belum jelas, mademoiselle?”JJ menjawab sembari berjalan melenggang mendekat pada Putra Mahkota… bukan. Richard memanggilnya Phillip, karena dia sudah bukan lagi Putra Mahkota. JJ mendekat pada Phillip dan mereka mulai menempelkan tubuh mereka satu sama lain. Pemandangan yang langsung membuatku mual! Rupanya JJ adalah partner sesama jenis Phillip?! Bukankah…“Oh, maafkan, kami terlalu larut dalam dunia kami yang penuh cinta. JJ. Kekasih
Richard’s“Akhirnya kalian datang juga. Aku terkesan.”“Kau…”“Apa maksudnya ini?!”Pertanyaan Mira dan pak Tua saling bersahutan saat melihat pemilik rumah yang dan sandera yang mereka cari sedang duduk sambil bermain catur di ruang baca. Aku menggertakkan gigi dan mengepalkan tinjuku erat. Mencoba menahan amarahku yang meperti mengancam ingin menelanku bulat-bulat.Aku sudah memiliki kecurigaan sejak menemukan lokasi di mana Corrine berada. Tak banyak yang tahu bahwa rumah ini bukan lagi milik Abe Villich. Namun aku dan Cedric adalah sedikit di antara orang-orang yang tahu bahwa sejak Arlaine meninggal. Rumah ini dibeli oleh Abe Villich sebagai hadiah pernikahan untuk Arlaine
Granny Louisa menangis tersedu mendengar cerita tentang Corrine dariku.Pada akhirnya, aku tak punya pilihan untuk tidak mengatakannya. Lagi pula, mengenai hal ini, aku juga butuh berdiskusi tentang beberapa hal. Tentang apa peranku di sini. Aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan jika penjahatnya benar-benar tertangkap. Atau bagaimana caranya agar penjahatnya tertangkap dan Corrine kembali pada kami dengan selamat.Betul kata Daddy. Aku tak tahu apa yang seharusnya kulakukan di saat seperti ini. Betul kata Madame Villich, aku hanya boneka di sini yang tak akan bisa menggantikan posisi siapa pun. Aku muncul hanya karena panggung terlalu sepi."Richard sedang mencarinya, Granny. Aku yakin dia pasti akan berusaha dengan seksama dan membawa Corrine pulang dengan selamat."