Ada yang aneh dengan kamar dan lemari bajuku. Aku sama sekali belum membongkar isi koperku. Tapi nyaris tak ada tempat untuk menaruh dan menata barang - barangku. Kamar ini terisi penuh! Yah, oleh barang - barang perempuan. Mulai dari baju, make - up hingga aksesoris dan tas - tas. Aku tidak yakin kalau untuk kedatanganku, Daddy rela memborong isi butik untuk dipindahkan ke kamar ini.
Tidak, tidak mungkin. Itu pikiran konyol. Ada yang aneh di sini. Kalau memang ini untukku, seharusnya Daddy tahu dari pengawal yang mengawasiku selama ini bahwa aku nyaris tidak pernah memakai rok. Dan aku jelas tidak bisa menggunakan hak tinggi apalagi menggambar wajahku dengan make up. Aku hanya mahir menggambar di atas kertas sketsa dan kanvas. And look, yang ada di lemari dan rak sepatu itu, nyaris semuanya adalah gaun, rok dan higheels. Aku menutup pintu lemari keras - keras. Aku bingung harus memulai memikirkan ini dari mana. Biasanya otakku cukup cerdas menganalisa sesuatu, tapi entahlah, mungkin ini karena efek jetlag.Sambil mengangkat bahu tak peduli, aku keluar menyusul Brigitte di dapur. Rumah ini sungguh - sungguh sepi. Berbeda dengan kontrakan kecil kami yang selalu ramai dengan celotehan anak - anak kecil yang memang sengaja dititipkan untuk dijaga Oma. Belum lagi remaja - remaja tanggung yang selalu main bola di lapangan samping rumah tiap sore. Jangankan suara manusia, suara langkah kaki atau gerak - gerik yang menunjukkan adanya aktivitas kehidupan di sini saja nihil.Aku bergegas mengayunkan langkahku mencari dapur untuk menemukan Brigitte. Beberapa kali aku tersasar karena terlalu banyak ruangan yang memiliki pintu dengan ornamen yang sama. Karena ter-mindset bahwa dapur selalu berada di belakang, maka aku mencoba berjalan terus ke arah belakang hingga berakhir di gudang. Saat menuruni tangga ke bawah tanah, yang kutemukan adalah gudang penyimpanan anggur, lalu berakhir di ruang cuci hingga akhirnya aku mencium bau masakan dan memutuskan untuk mengikutinya.
Oh, my! Aku menyeka keringat saat menemukan dapur. Namun tertegun sejenak saat melihat foto keluarga terdiri dari tiga orang yang Nampak terbuang dan tidak terawat di tembok sudut dapur.“Brigitte.”***“Anda pasti kesepian, Mira.” Komentar Brigitte mendengar ceritaku yang penuh perjuangan untuk menemukan dapur. “Seharusnya Richard menemani anda sampai Mademoiselle Cory datang.”
“Tidak apa. Dia kan harus menyelesaikan pekerjaannya. Aku malah lega tidak ada dia.” Tambahku pelan.
“Richard memang agak indifèrant, tetapi setalah mengenal sifat dan kepribadiannya, sebenarnya dia adalah orang yang hangat.”
“Hangat apanya!” seruku tidak terima. Masih teringat jelas kata - katanya yang merendahkanku mengenai ARBA, belum lagi sifat sok bosy dan sok benar sendiri. Hei, aku tahu definisi hangat, dan sifat - sifat yang ditunjukkan si manusia es itu sama sekali tidak masuk dan tidak sesuai dengan definisi hangat. Aku bingung, sebenarnya siapa majikan siapa pengawal di sini.
Di luar dugaan, Brigitte malah tersenyum. “Anda ternyata lebih hangat dari yang saya bayangkan“
Aku terdiam mendengarnya. Rasa marahku pada Daddy dan kekecewaanku pada Oma membuatku larut dalam kesinisan, dan kekeraskepalaan. Tapi melukis hanya mengalihkan sedikit pikiranku dari jejalan - jejalan yang mengganggu ini. Aku butuh teman untuk bicara, seperti yang Mama lakukan selalu setiap malam sepulang kerja. Karena tidak banyak waktu yang bisa beliau habiskan untuk mengontrol anaknya, maka tiap malam selalu dia sempatkan waktunya untuk mendengarkan curhatanku yang tak berarti. Membantuku memecahkan masalah dan menemukan beberapa ide brillian.
Karena tidak mungkin memulai pembicaraan dengan Richard, maka satu - satunya yang bisa terfikirkan adalah Brigitte. Sosoknya yang keibuan mengingatkanku pada Oma. Terlepas dari sikapnya yang mengusirku agar pergi ke Belgia, beliau tetap Oma yang menyayangiku. Setidaknya dulu, aku pernah merasakan kasih sayangnya. Hanya kenangan - kenangan itu yang membuatku bisa bertahan melewati semua ini.
“Maaf, aku mengganggumu di dapur. Kalau begitu aku kembali saja“
Tapi tiba - tiba Brigitte menahanku saat hendak berdiri. “Maafkan saya membuat anda tidak nyaman. Saya tahu anda kesepian dan asing dengan keadaan disini. Tawaran saya ini mungkin agak kurang pantas, tapi kalau anda merasa nyaman disini dan tidak keberatan berbincang dengan saya, silakan tinggal. Saya akan menyiapkan camilan untuk anda“ Tawarnya sambil tersenyum.
“Merci. Tapi aku tidak mau mengganggumu“
“Sama sekali tidak“
Dan, well, begitulah hari itu berlalu. Aku menemani Brigitte di dapur yang dengan semangat bercerita tentang folklor dan tradisi yang dianut oleh warga kerajaan.
***
Tok !Tok !Tok !
“Mademoiselle? Anda sudah siap? “
Arrgghhh!! Tidak bisakah dia sabar sebentar? Hari ini cuacanya -1 derajat! Dan aku sama sekali tidak memiliki pakaian yang cocok dikenakan dalam cuaca ekstrim seperti itu. Well, salahkan iklim Indonesia yang hanya punya musim panas dan musim hujan!
“Une Minutte! Tunggu sebentar!“teriakku kesal.
Ini benar - benar masalah besar! Bukan, bukan karena tidak ada baju hangat yang bisa kupakai, ehm, ralat; ada banyak baju hangat yang bisa kupakai. Tapi tak satupun dari mereka cocok dengan selera fashionku. Aku mencari sesuatu yang netral dan tidak terlalu girly dan tidak mencolok yang bisa kupakai untuk….
Ceklek!
“Mademoiselle, anda bisa terlambat“
Aku balas menatapnya datar. “Jadi “
Richard menghela nafas dalam sebelum beranjak menghampiriku di depan lemari. “Jadi mari ambil salah satu mantel ini,“ dia mengambil salah satu mantel berwarna hitam yang terlihat berat dan ribet dari lemari. “Pakai seperti ini agar anda tidak kedinginan, “ well, tentu saja dia langsung memakaikannya padaku tanpa permisi, “Dan mari kita berangkat“
Tanpa permisi dia langsung menarikku keluar dari kamar dan langsung masuk ke mobil. Dongkol? Sudah tak tertahankan lagi rasanya. Lantas kenapa aku diam? Bukan tanpa alasan aku diam. Pertama, aku terlalu kaget untuk bereaksi. Kedua, hawa dingin yang tiba - tiba menekan di rongga dadaku saat kami berada di luar membuatku harus berkonsentrasi untuk mengatur nafas agar tidak berakhir pingsan seperti tempo hari. Dan yang terakhir, aku tahu tidak akan membawa perbedaan untukku karena dia lebih keras kepala dariku.
Kami berkendara dalam diam. Heater mobil, walaupun sudah dipasah pada suhu maksimal, tetap tidak mampu menghangatkan keadaanku. Keadaan tersebut terus berlanjut hingga kami tiba di depan gerbang sekolah. Salju yang menumpuk dan lalu-lalang siswa ARBA memberi keuntungan tersendiri untukku, karena tiba-tiba sesuatu melintas di otakku dan menuntut untuk segera direalisasikan.
“Well, Richard.“ Sapaku datar. “Terimakasih karena tidak menanyakan pendapatku terlebih dahulu tentang mantel ini. Au revoir.“
“Madamoiselle! “ tak kuhiraukan seruannya dan langsung berlari melesat bersama puluhan siswa ARBA lainnya memasuki gerbang sekolah. Aku baru berhenti setelah sampai dua kali belokan koridor.
Ah, capeknya…. Dan masih harus berjuang sendiri sepanjang hari di sini ditengah cuaca yang seperti ini adalah perjuanganku selanjutnya. Ah, aku lupa bilang, semewah dan seindah papun mantel hitam yang dipilihkan oleh Richard, dingin yang kurasakan nyaris sama saat berjalan di atas salju tanpa alas kaki! Hell!
***
Richard’s
Aku terlalu banyak bergaul bersama Mira. Perempuan itu sungguh menguras emosi dan kesabaranku, sehingga membuat aku benar - benar jadi penggerutu.
Aku benar-benar merasa bersalah setelah insiden pingsannya itu. Alergi dingin, katanya. Pasti menyiksa sekali karena di sini sedang musim dingin saat ini. Meskipun salju tidak turun sebanyak tahun lalu, tapi cuaca menjadi lumayan dingin. Pantas saja dia selalu tersengal saat berada di luar ruangan.
“Minumlah, Richard. Kau datang terlalu pagi, atau kau ada urusan dengan Monsieur Guireille?” Brigitte, ibu Cedric, yang juga koki maison meletakkan kopi di depanku. Dia sudah seperti ibuku disini. Mengkhawatirkanku dan Cedric saat kami bertugas dan mengurusi kami semua.
“Sedang agak capek. Jadi aku memutuskan untuk datang lebih awal, takut tertidur. Kau berangkat jam berapa, Ced?” Cedric yang sedang sarapan di sampingku
Pria yang lebih tua beberapa tahun itu menjawab sembari melihat jam tangan di pergelangan kirinya. “Lima belas menit lagi. Tapi tidak akan lama sepertinya. Pak Tua itu ingin makan malam dengan putrinya. Pastikan kau memberitahunya hal ini.”
Ya, di antara kami, kami sering memanggil Monsieur Guireille sebagai ‘Pak Tua’. Bukan Pak Tua pemeran antagonis di dongeng anak - anak. Tapi lebih ke Pak Tua seperti santa claus. Brigitte sering sekali protes dengan panggilan itu, tapi kami berdua tetap bandel dan tidak mengindahkannya.
“Okay.” Aku mengiyakan permintaan Cedric. Berharap mood Mira dan moodku hari ini berjalan selaras beriringan.
Cedric berpamitan dengan ibunya dan menepuk bahuku pelan sebelum keluar dari dapur. Brigitte masih memaksaku memakan sesuatu, dan akhirnya kucomot satu croissant buatannya. Beberapa saat kemudian, aku sudah siap di samping mobil di halaman rumah, menunggu Nona Kecil kita keluar dan aku akan mengantarnya ke Akademi.
Cuaca lumayan dingin hari ini. Semalam hujan salju lebat, membuat beberapa pucuk pohon yang kemarin masih berjuang untuk terlihat hijau, kini memutih sempurna. Aku merapatkan mantelku dan memeriksa jam tangan. Sudah hampir waktunya, tapi Mira belum juga keluar. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, kuputuskan untuk menyusulnya di kamar. Mungkin dia butuh diseret.
Aku mengetuk pintunya tiga kali. “Mademoiselle? Anda sudah siap? “
“Une Minutte!” Suaranya terdengar kesal Ah, pagi - pagi dan moodnya sudah jelek. Lucu sekali, bagaimana bisa mood seorang remaja tanggung ini bisa mempengaruhi moodku juga.
Karena tidak ada jawaban, aku membuka pintu kamarnya. Dia sedang berdiri di depan walk in closetnya. Memilih mantel sepertinya, yang tidak sesuai dengan ukuran dan seleranya. Karena mantel - mantel itu memang bukan untuknya. Ini kamar Arlaine, dan semua barang Arlaine masih tetap disini.
“Mademoiselle, anda bisa terlambat“
“Jadi?“
Aku mendekat padanya, meraih satu mantel hitam yang cukup tebal di sebelah kirinya dan membalik badannya menghadapku.
“Jadi mari ambil salah satu mantel ini, Pakai seperti ini agar anda tidak kedinginan,“ matanya memicing marah melihatku. “Dan mari kita berangkat“
***
“Merci.” Kataku pada Monsieur Arnold penjaga sekolahku, yang telah meminjamiku peta kota Brussells.
“Ah, Mademoiselle!” panggilnya saat aku hendak beranjak pergi. “Kalau nanti Monsieur Richard datang….”
“Jangan bilang apapun padanya, s’il vous plait.” Pintaku memelas. “Please.” Tambahku saat dia hendak membantah keberatan.
“Je le sais, Madmoiselle.” Katanya menyetujuinya
“Merci beaucoup.”
Aku bergegas pergi sebelum Richard datang menjemputku. Ya, hari ini aku tidak ingin bertemu dengannya. Well, teknisnya dia sama sekali tidak salah. Tapi dia tetap bersalah karena aku tidak suka dengan sikap kasar dan sinisnya. Terlebih padaku. Aku memang keterlaluan, kuakui itu, karena telah melimpahkan kekesalanku terhadap Daddy padanya. Tapi toh dia tidak membantu untuk menolong dirinya sendiri.
“Mon Dieu!” Nyaris saja! Aku baru saja melewati gerbang utama saat mobil Richard memasuki pekarangan ARBA. Segera saja aku berlari menjauh untuk menghindar. “Taxi!” seruku saat taxi pertama yang kulihat melintas di depanku. Aku baru bisa bernafas lega setelah beberapa blok terlewati di belakangku.
“Où allez-vous, Mademoiselle?” tanya supir taksi kemana tujuanku setelah agak lama berkendara.
“Oh? Ngg….” Aku sibuk melihat peta di pangkuanku. Well, aku memang buta arah di sini. Tapi bukan berarti aku tidak bisa membaca peta dan menemukan sesuatu yang menarik, kan? Aha! “À Notre-Dame de Bon Secours, s’ill vous plait.”
Meskipun dingin menyiksa kaki, tapi waktu yang berharga seperti ini tentu saja tidak boleh disia-siakan. Mari kita bermain, wahai tuan pengawal.
Aku mendesah kecewa sambil memandangi peta di tanganku. Tempat yang paling ingin kutuju, tapi tak terjangkau walau sudah di depan mata. Place du Jardin aux Fleurs Bloemenhofplein, aku pernah memimpikannya. Mama punya foto taman bunga indah dan memberitahuku namanya adalah Place du Jardin aux Fleurs Bloemienhofplein. Tempat favoritnya, yang entah bagaimana sepertinya menjadi obsesiku juga tempat yang paling ingin kukunjungi suatu hari nanti. Taman indah dengan bunga bermekaran di tengah kota. Aku juga bermimpi melukis pemandangannya di tengah musim panas. Pasti cantik sekali. Sayang, tempat ini sekarang tertutup salju tebal. Bodohnya aku yang tidak mempertimbangkan hal ini. Tentu saja, ini musim salju!Mungkin memang sudah saatnya pulang, batinku. Berat rasanya kaki ini harus melangkah menuju suatu tempat yang disebut rumah, tapi sama sekali tidak mirip rumah. Hanya tempat beberapa orang asing berkumpul, tapi tak pernah bertegursapa. It’s cold. I do r
Jadi, apa yang membuat pagi ini terasa janggal, hening dan canggung daripada sebelumnya saat bersama Richard? Yeah, insiden kaburku kemarin. Aku mengharapkan reaksi yang menggebu - gebu dan heboh dari dia, jujur saja. Tapi yang kudapat pagi ini adalah sebaliknya. Dia mengetuk pintu kamarku dengan sopan, menungguku sarapan dalam diam, dan masih diam hingga sekarang. Aneh? Tentu saja untuk seorang Richard yang tidak pernah melewatkan sedikit kesempatan untuk merecokiku. Mungkin semalam dia berbicara banyak dengan Daddy?Richard menghentikan mobilnya di gerbang masuk ARBA. Karena terlalu canggung, aku hanya diam dan melepas seatbelt - ku, bersiap untuk turun, saat tiba - tiba dia mencengkeram pergelangan tanganku erat.“Hng?”“Anda tidak akan kabur lagi Mademoiselle. Aku pastikan itu.”Ha? Hanya itu? “Well…”“Aku tidak akan menganggap remeh anda lagi.”Sepercik kebahagiaan karena t
Cuaca di Belgia kian hari semakin tidak bersahabat. February sudah hampir lewat. Itu tandanya, aku sudah 6 minggu berada di sini. Tapi musim semi belum menampakkan cirinya.Tunggu! 6 minggu? Sudah selama itu kah? Dan aku masih hidup? Itu suatu keajaiban yang patut dirayakan! Pertanyaannya, dengan siapa aku merayakannya?Daddy? Aku nyaris tidak melihatnya di rumah ini sejak 2 minggu yang lalu. Kangen? Yang benar saja. Aku hanya tidak melihatnya, bukan berarti aku mencari - carinya di sekeliling rumah. Tapi Brigitte selalu rutin menyampaikan pesan Dadyy padaku. Dia bilang, Daddy sedang di Prancis menemani ratu melakukan kunjungan resmi Negara. Jangan capek - capek, jangan berada di luar terlalu lama, harus makan tepat waktu. Seriously, aku bukan balita. I’m good at taking care of myself!Tante Millgueta? Tentu saja sibuk dengan urusan istana. Pergi pagi dan pulang malam nyaris seperti bukan manusia. Maksudku, apa dia tidak capek
Malam ini Granny Louisa berkunjung menggantikan absennya Daddy dan Tante Millgueta yang masih dinas di luar negeri untuk merayakan ulang tahun Corrine. Ya, Richard juga di sana karena Corrine ingin semuanya hadir merayakan hari jadinya. Malam itu, untuk pertama kalinya meja makan yang muat hingg 20 kursi itu penuh tanpa terkecuali. Bukan perayaan besar memang, tapi Corrine mengundang teman dekat dan seluruh pekerja mansion untuk libur dan merayakan ulang tahunnya di sana.Corrine duduk di kursi utama. Di sebelah kanannya Granny Louisa dan aku di sebelah kirinya. Aku nyaris menarik Brigitte duduk di sebelahku saat tersisa hanya dua kursi kosong dan Richard baru saja masuk membawa wine.“Mira, anda tidak boleh seperti itu.” Brigitte menasehati dengan geli karena tahu alasanku ingin dia duduk di sampingku.
Back to Normal POV – Mira POV-“Karena kecelakaan itu?” Aku gatal ingin menyela dari tadi. Well, dia memang meninggal dalam kecelakaan pesawat itu setahuku.“Non, jauh sebelum itu. Saat akhirnya dia bertunangan dengan Duke of Luxemburg, Abraham Villich.” Jawabnya pelan.Arlaine sudah bertunangan? Wah, aku tidak bisa membayangkan betapa hancur hati Richard mendengar kabar pertunangannya.Well, sepertinya kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi melihat wajahnya yang mengeras menahan guratan pedih itu, aku hanya terdiam untuk menghormatinya.“Ng… Richard?” Dia menggumam, masih memandangi lidah api yang membakar habis balok kayu di sekelilingnya. “Kenapa kau berceri
Richard’sShe surely has a big apetite! Dia makan seolah - olah ini adalah makanan pertamanya sejak dia datang ke sini! Jika tidak melihat sendiri, aku pasti tak akan percaya dia mampu menghabiskan tiga piring moules dalam sekejap.Corrine bahkan belum menyentuh isi piringnya. Kulihat dia juga sama amaze nya denganku pada makhluk di depan kami.Aku belum pulang dari Maison saat Corinne menemukanku merokok di patio depan rumah. Dia bercerita beberapa kekhawatirannya tentang Mira, tentang dia yang ingin sekali menceritakan semuanya tapi dia tidak bisa. Bukan dia orang yang tepat untuk menceritakannya, dan dia takut tidak bisa menghadapi reaksi Mira.Yah, aku juga tidak lebih baik, harus kuakui. Dia mengira aku benar - benar meninggalkannya kemarin dan tidak menjemputnya
Enam bulan berlalu sejak kedatangan ku ke Negara ini. Cuaca sudah mulai hangat, musim Semi pun sudah mencapai puncaknya. Hampir segala hal, anehnya berjalan dengan baik dan damai kalau tidak ingin kubilang terlalu dijaga, di sekitarku. Aku mulai diberikan ruang untuk diriku sendiri di rumah, dan Corrine, Brigitte, Granny Louisa dan juga Richard (saat dia tidak sedang menyebalkan, karena mood swingnya lebih parah dari cewek PMS) bergantian menemaniku mengusir sepi. Nampaknya aku mulai agak betah disini, walaupun aku agak berat mengakuinya.Tapi tidak semua hal baik berlangsung semester ini di kampus. Oh, aku masih menyukai kampusku seperti saat pertama kali melihatnya. Masih bersemangat mengerjakan semua essay dan tugas dan juga sepenuh hati mengikuti kelasku semester ini. Tapi bukan itu. Bukan tentang kegiatan kampus, tapi tentang kehidupan kampusku. Satu semester nyaris berlalu begitu saja dan aku masih m
Richard’s“Kau tidak mengenalku, dan kau mengenal Arlaine sepanjang hidupmu. Kau tidak menyukaiku tapi kau menyayangi Arlaine sepanjang hidupmu. Kau memujanya dan kau memandang rendah diriku. Pikirkan sendiri apakah itu adil, bagiku? Dan pantaskah jika aku disebut egois dan picik disini?”Kalimatnya yang panjang sebelum berlari masuk ke rumah membuatku terdiam di mobil. Seharusnya aku datang dengannya untuk menyapa keluarga yang mungkin sedang menikmati teh di salah satu ruangan.Setitik rasa bersalah menghinggapiku. Tapi dia juga keterlaluan. Dia sudah disini selama enam bulan, dan selama itu pula dia selalu menghindari acara - acara keluarga jika memungkinkan. Membuatku benar - benar geregetan. Dia tentu saja tidak akan mengenal siapa - siapa jika tidak membuka diri, dan sebagai akibatnya dia tidak diterima d
Kali ke dua aku naik pesawat. Aku gugup, dan terus menerus ke toilet sejak tadi. Ada satu penjaga yang mengawalku sampai aku boarding nanti. Namun aku menolak untuk terus diikuti sampai Indonesia.Di sini aku memang keluarga kerajaan, tapi di sana aku bukan siapa-siapa. Untunglah Daddy mau mengerti hal ini. Aku sedang menunggu panggilan untuk boarding. Dan lagi-lagi, aku teringat akan alasanku pergi."Stop, Mira. Terima saja. Cinta pertamamu tak berjalan lancar. Kau harus melupakannya."Aku menarik satu kali nafas panjang tepat saat panggilan pertama pesawat yang akan membawaku ke Indonesia terdengar. Aku dan beberapa penumpang pesawat lainnya mengantri untuk verifikasi terakhir sebelum masuk pesawat dan masuk dengan tertib.Tak seperti penerbanganku sebelumn
Granny melarangku untuk berpikir pergi dari sini adalah yang terbaik. Bahkan setelah dua hari berlalu. Dia ingin aku kuat, dan dia meyakinkan bahwa semua yang ada di sini keluargaku. Bahwa aku tak sendirian di sini."Kita bisa mengganti pengawalmu jika kau tak ingin bertemu dengan Richard. Tapi aku tak setuju jika kau pergi meninggalkan kami. Semua keributan ini akhirnya berakhir, dan kita bisa hidup dengan tenang bersama, kenapa kau malah memikirkan untuk pergi?"Dari situ aku sadar, Granny benar. Bagi semua orang, ini adalah kemenangan. Hanya aku yang merasa kalah dalam hal ini, dan itu karena Richard. Aku merasa buruk setelah mendengar hal itu."Maaf, aku jadi egois."Granny Louisa menggeleng. "Kau memang tak bisa kembali ke sana, tapi kau bisa berkunjung sebent
Richard'sAku menonton berita di televisi dengan tatapan puas. Phillip, ibunya, JJ, Cedric dan anak buahnya yang terbukti membelot sudah diringkus. Pengadilan kasus mereka memang belum ditetapkan kapan, namun, mereka tak akan lepas dari sanksi sosial kali ini. Dulu, Pak Tua terlalu baik hati untuk mengumumkan perbuatan mereka pada media. Namun sekarang tidak lagi."Makanlah dulu. Kau memang sudah tampak sehat, tapi kau masih perlu banyak waktu dan asupan bagus untuk memulihkan tenagamu."Aku mendongak menatap gadis yang beberapa hari terakhir menemaniku di sini. Dia gesit dan telaten mengurusku. Itu hal yang bagus, bukan? Saat terbaring tak berdaya, ada seseorang yang tulus mengurusmu.Betapa beruntungnya diriku?"Lyn.."
Aku meninggalkan Corrine berdua dengan Abe Villich di balkon rumah sakit agar mereka saling berbicara. Semoga saja keputusanku tak salah. Aku sedikit khawatir karena Corrine terlihat amat pucat dan kaget saat melihat Abe ada di sana. Pria itu pasti mengikuti kami tadi saat keluar untuk berbicara.Aku masih berada di balik pintu balkon selama beberapa saat, hanya untuk memastikan bahwa Corrine baik-baik saja. Sungguh. Aku tak berniat menguping. Aku masih ingat apa yang dilakukan Abe pada Corrine dulu hingga membuat Corrine yang biasanya ceria menjadi amat pendiam dan tertekan."Katakan, Corry. Apa yang mereka katakan tentangmu sehingga kau ikut tanpa perlawanan seperti itu." Suara Abe dingin dan tegas. Bahkan aku yang bukan lawan bicaranya saja berjengit, apalagi Corrine.Aku bisa mendengar suara tangis saat ak
“Tak bisakah kita sedikit lebih cepat?” Aku memajukan tubuhku untuk berbicara pada supir dengan nada tak sabar.“Cherie…”Kurasakan tangan Daddy menggengam tanganku dan meremasnya pelan. Mungkin menegur, atau mungkin juga sekedar menguatkanku karena kejadian-kejadian yang terjadi hari ini. Aku hanya menatapnya dengan tatapan putus asa. Namun aku kembali ke kursiku dan duduk dengan rapi. Mencoba untuk tenang meskipun rasanya sudah tak karuan lagi di dalam diriku.Tiga jam lalu kami dihubungi oleh Corrine yang berbicara dengan sangat cepat dan nyaris tak jelas tentang jangan pulang ke istana dan pergi ke tempat lain karena istana tak aman. Dia tak menjelaskan lebih jauh dan hanya terus mengulang kalimat itu. Kami baru saja sampai di istana, namun kami tak masuk dan langsung melanjutkan k
Richard’sPolisi dan pasukan tambahan datang tepat waktu untuk menyelamatkan kami. Seperti dugaanku, ada beberapa orang dari pasukan Cedric yang membelot dan berkhianat dengan pria itu. Hal itu membuat pasukan yang kubawa menjadi kalang kabut dan kami sempat terpukul mundur karena bingung siapa lawan dan kawan di sini.Untungnya, polisi ada yang membawa senapan paintball sehingga kami bisa menandai siapa saja yang berkhianat dengan peluru cat merah di punggungnya. Ini membantu kami mengidentifikasi siapa yang berada di tim kami dan tim lawan.Corrine sempat di bawa ke ruangan lain oleh Phillip, tapi aku berhasil mengejarnya setelah menumbangkan Cedric dengan mematahkan bahunya.“Sorry, Pal, tapi kau pantas mendapatkannya. Ibi bahkan tak setimpal dengan
Aku terbelalak tak mempercayai mataku. Di depan kami, muncul dua orang yang sama sekali tak kuduga akan kutemui di sini. Mereka yang menjadi dalang penculikan Corrine? Kenapa?!“Cedric? JJ?” Aku mengucap dengan nada tak percaya. “Why?! Kenapa kalian melakukan ini?”“Apakah itu belum jelas, mademoiselle?”JJ menjawab sembari berjalan melenggang mendekat pada Putra Mahkota… bukan. Richard memanggilnya Phillip, karena dia sudah bukan lagi Putra Mahkota. JJ mendekat pada Phillip dan mereka mulai menempelkan tubuh mereka satu sama lain. Pemandangan yang langsung membuatku mual! Rupanya JJ adalah partner sesama jenis Phillip?! Bukankah…“Oh, maafkan, kami terlalu larut dalam dunia kami yang penuh cinta. JJ. Kekasih
Richard’s“Akhirnya kalian datang juga. Aku terkesan.”“Kau…”“Apa maksudnya ini?!”Pertanyaan Mira dan pak Tua saling bersahutan saat melihat pemilik rumah yang dan sandera yang mereka cari sedang duduk sambil bermain catur di ruang baca. Aku menggertakkan gigi dan mengepalkan tinjuku erat. Mencoba menahan amarahku yang meperti mengancam ingin menelanku bulat-bulat.Aku sudah memiliki kecurigaan sejak menemukan lokasi di mana Corrine berada. Tak banyak yang tahu bahwa rumah ini bukan lagi milik Abe Villich. Namun aku dan Cedric adalah sedikit di antara orang-orang yang tahu bahwa sejak Arlaine meninggal. Rumah ini dibeli oleh Abe Villich sebagai hadiah pernikahan untuk Arlaine
Granny Louisa menangis tersedu mendengar cerita tentang Corrine dariku.Pada akhirnya, aku tak punya pilihan untuk tidak mengatakannya. Lagi pula, mengenai hal ini, aku juga butuh berdiskusi tentang beberapa hal. Tentang apa peranku di sini. Aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan jika penjahatnya benar-benar tertangkap. Atau bagaimana caranya agar penjahatnya tertangkap dan Corrine kembali pada kami dengan selamat.Betul kata Daddy. Aku tak tahu apa yang seharusnya kulakukan di saat seperti ini. Betul kata Madame Villich, aku hanya boneka di sini yang tak akan bisa menggantikan posisi siapa pun. Aku muncul hanya karena panggung terlalu sepi."Richard sedang mencarinya, Granny. Aku yakin dia pasti akan berusaha dengan seksama dan membawa Corrine pulang dengan selamat."