Pagi itu, kedatangan Narendra disambut Alya dengan wajah yang masih penuh keresahan. Tanpa membuang waktu, ia langsung mengajak sahabatnya itu duduk di ruang tamu. Beruntung tak ada orang di rumah ini, semua pergi bekerja.
“Naren, aku nggak tahu lagi apa yang terjadi di rumah ini,” bisik Alya pelan sambil sesekali melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada siapa pun di dekat mereka. “Suara-suara aneh itu ... dan bayangan yang muncul di kamarku ... semuanya terlalu nyata.” Narendra mengangguk, menatap Alya dengan penuh perhatian. “Alya, aku tahu kamu sedang mengalami masa yang berat. Coba tarik napas dulu, tenangin diri. Ini nggak baik kalau kamu terus merasa tertekan begini." Alya menarik napas dalam-dalam, meskipun masih terlihat gemetar. “Naren ... aku bahkan merasa kayak mau gila. Semalam aku dengar suara minta tolong dari arah halaman belakang, terus ada bayangan putih yang muncul di kamarku. Ini bukan cuma sekali dua kali aku ngalamin yang kayak gitu.” “Dengar, Alya. Ada banyak penjelasan logis yang mungkin bisa kita pertimbangkan dulu. Kadang, stres dan kelelahan bisa bikin kita halusinasi, apalagi kalau suasana di sini memang cukup menyeramkan.” Alya hanya menggelengkan kepala, matanya berkaca-kaca. “Tapi ... Naren, rasanya terlalu nyata. Aku bahkan bisa merasakan hawa dingin dan bau anyir itu seakan masih tertinggal di kamar Kakek.” Narendra terdiam sesaat, berusaha menyusun kata-kata agar tidak membuat Alya semakin takut. “Baiklah, kalau kamu merasa ini lebih dari sekadar halusinasi, aku akan coba bantu. Tapi, kamu harus tetap tenang, ya. Ingat, manusia dan jin memang hidup berdampingan. Mungkin ada yang sekadar lewat atau memang sudah lama tinggal di sini.” Wajah Alya semakin pucat mendengar kata-kata Narendra, tetapi ia mengangguk pelan, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan. “Jadi ... kamu yakin kalau ini bukan sekadar khayalanku? Ada yang benar-benar di sini, ya?” Narendra menarik napas, lalu menghela pelan. “Aku nggak bilang ini pasti, tapi dari yang aku rasakan ... ada beberapa energi yang memang menetap di sini, Alya. Tapi mereka nggak selalu mengganggu, kok. Kadang, kita yang terlalu cemas, dan itu malah memancing mereka untuk muncul.” “Astaga, Naren. Jadi, bayangan yang aku lihat di kamar itu benar-benar penunggu rumah ini?!” bisik Alya, suaranya mulai bergetar. Narendra tersenyum tipis, mencoba menenangkan. “Mungkin iya, tapi mungkin juga hanya sisa energi. Makanya, kamu harus tenang. Kalau kamu panik, itu malah bikin suasana makin mencekam. Mereka ini nggak bisa diganggu, Alya. Cobalah belajar untuk menerima kehadiran mereka dengan tenang.” Alya menggigit bibir, masih bingung dan ketakutan. “Tapi kenapa mereka sampai muncul kayak gitu? Bukannya biasanya mereka nggak ganggu kalau nggak diganggu?” “Benar. Tapi bisa jadi, ada sesuatu di sini yang memancing mereka untuk hadir. Ada energi yang mungkin mengundang, atau mungkin kamu sendiri sedang dalam kondisi yang rentan, sehingga lebih mudah menyadari kehadiran mereka. Atau bisa juga ... ada pesan yang ingin mereka sampaikan.” Alya menghela napas panjang. “Naren, terus terang, aku udah nggak kuat. Aku beneran takut. Semalam, suara tangisan dan bisikan itu ... aku nggak bisa lupain.” Narendra mengangguk lagi, dan kali ini ia menatap sekeliling, mencoba merasakan energi di rumah tersebut. “Aku akan coba bicara sama mereka, Alya. Sekadar memastikan, apakah mereka hanya menumpang atau ada hal lain.” “Bicara?!” Alya terkejut, matanya membelalak. "Gimana caranya?” “Bukan bicara langsung, lebih ke ... merasakan. Ini bukan seperti yang kamu bayangkan, kok.” Alya menggigit bibir, tak tahu harus berkata apa. “Kalau memang ada sesuatu di sini, kenapa mereka minta tolong sama aku, ya, Naren? Aku, kan, nggak tahu apa-apa.” Narendra terdiam sejenak, seolah menimbang jawabannya. “Kadang, mereka yang tinggal di antara dunia kita dan dunia mereka memiliki kisah yang belum selesai. Ada yang mungkin tersesat, ada yang masih menyimpan beban.” Alya menunduk, teringat akan segala hal janggal yang terjadi di rumah itu, terutama setelah kematian kakeknya. “Jadi, kamu pikir mereka ini ... terjebak?” “Mungkin. Kita nggak pernah tahu pasti, Alya. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha memahami dan menghormati keberadaan mereka. Jangan terlalu terpancing dengan ketakutan, karena itu hanya akan membuat mereka semakin mendekat,” ujar Narendra sambil menepuk bahu Alya dengan lembut. Alya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri meski hatinya masih diliputi ketakutan. Namun, kehadiran Narendra membuatnya merasa sedikit lebih kuat, seolah ada secercah harapan yang mulai muncul di tengah segala keanehan yang menghantui. Obrolan mereka mendadak terhenti ketika seorang asisten rumah tangga datang membawa nampan berisi air minum dan camilan. Alya mempersilakan Narendra untuk menikmati hidangan itu, dan ia sendiri hanya mengambil sepotong kue, sementara Narendra memilih air mineral. Namun, baru saja Narendra menyesap seteguk, ekspresinya tiba-tiba berubah. Ia berhenti, menatap botol itu dengan raut tak enak, matanya memicing seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata. “Ada apa, Naren?” Alya bertanya, bingung melihat reaksi sahabatnya yang tampak tak biasa. Narendra menelan ludah dengan berat, lalu menatap Alya, kali ini dengan sorot yang lebih serius. Ia berbisik, “Alya ... rasanya ini bukan air biasa. Rasanya seperti ... darah. Kental, anyir, dan ada aroma busuk.” Alya tersentak, merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. Ia menatap gelas di tangan Narendra, tetapi yang ia lihat hanyalah air jernih seperti biasa. “Darah? Naren, jangan bercanda! Ini ... ini cuma air mineral biasa.” Narendra mendekatkan wajahnya ke gelas, mencium aroma yang tak tercium oleh hidung Alya. “Dalam penglihatanku, Alya, air ini memang bukan sekadar air. Ini ... darah. Darah yang digunakan sebagai pengikat.” “Pengikat?” Alya berbisik ketakutan, merasakan desiran angin dingin di sekelilingnya, seolah hawa ruangan itu mendadak berubah. “Naren, maksudmu apa? Pengikat untuk apa?” Narendra menatapnya lekat-lekat, ekspresi wajahnya semakin serius. “Perjanjian, Alya. Keluarga ini terikat dalam perjanjian yang melibatkan darah. Entah darah siapa, tapi ini adalah tanda bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Sesuatu yang gelap dan tak kasat mata.” Alya menelan ludah, pikirannya kacau. Ia mencoba memahami kata-kata Narendra, tetapi yang muncul dalam benaknya adalah secarik kertas lusuh yang pernah ia temukan di kamar mendiang kakeknya. Wasiat yang ditulis dengan tinta pudar, penuh dengan kalimat yang sulit dipahami. “Perjanjian ... darah?” gumamnya, seakan bertanya pada dirinya sendiri. Matanya membesar, penuh kekhawatiran. “Apakah ini ... ada hubungannya dengan wasiat itu? Aku ... aku pernah menemukan surat wasiat milik Kakek. Tapi aku tak paham isinya, hanya beberapa kalimat yang terasa seperti peringatan. Kamu pikir, perjanjian itu terkait dengan kertas itu?” Narendra mengangguk pelan, sorot matanya tetap tajam mengawasi setiap gerak-gerik Alya. “Mungkin saja. Darah sering kali digunakan sebagai lambang persembahan atau tumbal. Ia bukan sekadar ikatan, Alya, tapi juga penanda. Bisa jadi, perjanjian yang kakekmu buat melibatkan persembahan ini. Darah yang mengikat generasi ke generasi, menuntut sesuatu sebagai balasannya.” Alya menggigit bibirnya, rasa ngeri menjalari tubuhnya hingga membuatnya gemetar. Seketika, ia merasakan ketakutan yang lebih dalam, seakan ada bayang-bayang gelap yang mengintainya dari sudut-sudut rumah ini. “Tapi ... kenapa aku? Kenapa semua ini terjadi padaku?” Narendra menyentuh bahunya, berusaha menenangkannya meskipun ia sendiri merasakan kehadiran sesuatu yang tak wajar. “Alya, kamu bagian dari keluarga ini, dan ikatan darah itu mungkin memilihmu sebagai penerus. Tumbal yang diminta mungkin bukan sekadar nyawa, tapi jiwa dan ketenangan keluargamu.” “Tumbal?” Alya bergidik, bulu kuduknya berdiri mendengar kata itu. Narendra menarik napas panjang. “Alya, setiap perjanjian yang melibatkan kekuatan gelap memiliki harga yang harus dibayar. Kakekmu mungkin menginginkan sesuatu hal untuk keluarga ini, tapi sebagai gantinya, ada tumbal yang harus dipersembahkan. Darah itu mungkin adalah lambang dari setiap nyawa yang telah atau akan dikorbankan.” Alya merasakan pandangannya kabur, kepalanya pening memikirkan semua ini. “Ini ... ini terlalu mengerikan. Aku nggak pernah berpikir kalau keluarga ini terlibat dalam hal semacam ini.” Narendra mengangguk, menatap Alya dengan tatapan penuh simpati. “Aku tahu ini berat, Alya. Tapi kamu harus siap, karena ada kemungkinan bahwa kamu telah menjadi bagian dari perjanjian itu tanpa kamu sadari.”Alya memeluk tubuhnya erat, mencoba meredam gemetar yang makin menjadi-jadi. Ruang tamu terasa semakin dingin, meski matahari pagi masih terlihat di luar jendela. Rasanya seakan ada sesuatu yang mengintai dari balik bayangan. “Kamu harus kuat. Semakin dalam kamu terlibat, semakin besar pula risiko yang mungkin datang. Tapi jika kamu benar-benar ingin mengetahui segalanya, aku bisa membantumu. Namun, akan ada banyak hal yang harus kamu korbankan.” Alya menatap Narendra, kebingungan dan ketakutan bercampur dalam benaknya. “Apa maksudmu? Apa yang harus aku korbankan?” Narendra diam sejenak, memandang ke arah dinding ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak terlihat oleh mata Alya. “Terkadang, untuk memahami kebenaran, kita harus siap kehilangan sesuatu. Bisa jadi ketenangan, kenyamanan, atau bahkan ... dirimu sendiri.” Alya terdiam. Kengerian kata-kata Narendra mengakar dalam pikirannya, membuat bulu kuduknya meremang. Ia ingin berhenti, ingin kembali pada hidup normal tanpa ha
Narendra segera mengakhiri ritual yang ia lakukan di depan kamar kakek Suroto. Dengan penuh kepanikan, ia mendobrak pintu yang terbuat dari kayu tua, suara berdecit menambah suasana mencekam di dalam rumah. Seketika matanya terfokus pada tubuh mungil Alya yang tergeletak pingsan di lantai kayu, kulitnya terasa dingin seolah dihantam embun malam yang menusuk. Jantungnya berdegup kencang, menyadari betapa seriusnya situasi ini.“Ya Tuhan, Alya!” Suara Narendra bergetar, panik melanda saat ia berlari menghampiri tubuh gadis itu. Dengan cepat, ia mengangkat kepala Alya dan melihat wajahnya yang pucat, seolah nyawa gadis itu terenggut dari tubuhnya.Tepat saat itu, orang tua Alya masuk dengan tergopoh-gopoh, mata mereka dipenuhi kecemasan. “Narendra! Apa yang terjadi di sini? Ngapain kalian ada di kamar kakek?! ” tanya Bowo, suaranya nyaring dengan nada marah. Tina langsung berlari menghampiri putrinya, menangis tersedu-sedu sambil memeluk tubuh Alya yang lemas.“Naren, kamu harus men
Narendra tak mau mempedulikan sosok itu, ia segera kembali ke depan ruang gawat darurat. Baru beberapa meter tiba di pintu, langkahnya sontak terhenti saat melihat orang tua Alya tengah berbincang dengan dokter.“Maafkan saya, tapi Alya dalam keadaan koma,” ungkap dokter itu, wajahnya mencerminkan keprihatinan yang mendalam.Dunia seolah runtuh di sekeliling Narendra. Ia menganga, tak percaya bahwa efek ritualnya bisa seburuk ini. Seakan disambar petir, ia terdiam, mengingat kembali langkah-langkah yang diambilnya dalam pelaksanaan ritual tadi."Memang ada yang kurang, tapi keburu Alya pingsan," batinnya.Bowo, yang berdiri tak jauh dari situ, langsung mengarahkan telunjuknya kepada Narendra, amarahnya membara. “Kau! Ini semua karena kebodohanmu!” teriak Bowo, suaranya menggema di lorong rumah sakit yang sunyi. “Bagaimana bisa kau membawa putriku ke dalam situasi berbahaya seperti ini?!”Narendra menunduk, merasa tertekan di bawah tatapan marah Bowo. “Paman, saya ... saya tidak berma
Di dunia lain, mungkin orang menyebutnya alam jin, Alya berjalan tanpa arah. Kakinya menginjak tanah yang terasa aneh, bukan seperti tanah di dunia tempatnya tinggal. Getaran dingin merambat dari ujung kaki hingga tengkuknya, mengingatkannya bahwa ia berada di tempat yang asing dan berbahaya. Pandangannya menyapu ke sekeliling, matanya terbelalak melihat pemandangan di depannya.Bangunan-bangunan megah menjulang tinggi, berkilau dalam cahaya keemasan yang tak pernah ia saksikan sebelumnya. Pilar-pilar raksasa terbuat dari emas murni berdiri dengan kokoh, memancarkan kilauan indah. Di kejauhan, kolam berisi susu putih mengalir tenang, memantulkan bayangan burung-burung indah dengan bulu berwarna-warni yang belum pernah dilihat Alya di dunia manusia. Taman-taman dipenuhi bunga beraroma manis, tetapi aroma itu membawa sesuatu yang membuat hatinya berdebar tak nyaman.“Di mana aku?”Tubuhnya bergetar, bukan karena udara dingin, tetapi karena rasa takut yang mengintai di balik setiap kei
Narendra membuka matanya perlahan, napasnya terasa berat dan dadanya sesak, seolah ada beban tak kasat mata yang menekan jiwanya. Di hadapannya, benda-benda ritual yang tadi ia susun berjejer, ada bunga melati yang mulai layu, mangkuk air suci, serta sepasang lilin khusus yang kini telah padam. Cahaya lilin yang tadi menjadi jembatan bagi Alya untuk pulang kini telah berakhir.Narendra menatap sisa-sisa asap dari sumbu lilin yang memudar.“Jiwanya pasti sudah kembali … Alya sudah selamat,” gumamnya pelan, tetapi tetap bergetar oleh perasaan tak tenang. Malam tadi, ia nekat pulang dari rumah sakit, menyelinap tanpa sepengetahuan kedua orang tua Alya, dan diam-diam melakukan ritual di kamarnya. Ia tahu risikonya, tahu bahwa ini tindakan berbahaya, tetapi hatinya tak bisa tenang membiarkan Alya tersesat di dunia lain.•Pagi menjelang, sinar matahari tipis menelusup masuk melalui celah jendela, suasana kamarnya masih terasa berat dan menyeramkan. Narendra merasakan hawa dingin yang m
"Eugh ...." Lenguhan tipis lolos dari bibir pria tampan itu, tetapi kelopak matanya masih berat sekali untuk terbuka, rasa pening membuatnya kalah.Narendra mencoba kembali memejamkan mata, tapi pikirannya tak tenang. Samar, suara tawa melengking mengusik ketenangan kamar rawat inapnya. Tawa itu terdengar lirih, tetapi semakin lama semakin jelas, seperti seseorang yang tertawa di sudut ruangan.Narendra membuka mata, pandangannya menyapu sekeliling kamar yang sunyi dan gelap. Tak ada siapa-siapa selain dirinya, tetapi hawa dingin menyusup perlahan. Ia bergidik, merasakan bulu kuduknya berdiri."Siapa di sana ...?” bisiknya, suaranya bergetar. Hanya keheningan yang menjawab, diselingi suara mesin detak jantung. Namun, tiba-tiba lampu kamar berkerlip pelan, seolah ada energi lain yang mengusik aliran listriknya. Ruangan menjadi semakin suram, dan bayangan-bayangan di dinding tampak bergerak, membentuk siluet yang mengerikan.“Cukup kali ini, jo, Le. Jangan lancang lagi ... atau jiwamu
Saat hening menyelimuti ruangan, Alya hanya bisa terbaring kaku, jantungnya berdetak liar. Ia berusaha bergerak, tapi tubuhnya terasa beku, tak ada satu pun otot yang menurut. Mulutnya kelu, seperti terkunci oleh kekuatan yang tak terlihat. Hanya hatinya yang mampu berteriak dalam diam, memohon perlindungan, bibirnya mencoba menggumamkan doa-doa tanpa suara. Di sampingnya, sosok suster berbaju merah itu berdiri terpaku. Wajahnya tanpa ekspresi, pandangannya kosong mengarah ke tubuh Alya seolah mengawasi setiap helaan napasnya. Semakin lama, hawa dingin kian menyelimuti, menusuk hingga ke tulang. Aroma bau busuk semakin menyengat, membuat Alya ingin mual, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Suster itu terus menunduk, menatap Alya dengan pandangan kosong, hingga perlahan, matanya terbuka lebar, melotot dengan sorot merah yang menyeramkan. Alya hanya bisa menatap balik, napasnya tercekat, tak ada satu kata pun yang mampu keluar dari bibirnya. Tiba-tiba, sosok suster itu mengalihkan
Narendra melangkah keluar dari ruang rawatnya dan menuju ruang rawat Alya dengan langkah tergesa, perasaan tak tenang menggelayuti hatinya sejak mendapat izin pulang dari dokter. Namun, perasaan itu berubah menjadi kegelisahan yang mencekam saat perawat yang bertugas memberitahunya bahwa Alya kembali kritis dan sekarang berada di ICU. Seakan tak percaya, Narendra merasa tubuhnya dingin seketika."Alya di ICU?" gumamnya, nyaris tak percaya, napasnya tertahan sesaat.Perawat itu mengangguk, tatapan iba di matanya tak bisa ia sembunyikan. "Benar, Pak. Kondisinya tiba-tiba memburuk, kami harus segera menanganinya. Beliau sedang ditangani di ruang intensif."Narendra menelan ludah, berusaha menahan gejolak emosi yang mulai memuncak. Ia mengucapkan terima kasih kepada perawat itu sebelum melangkah cepat menuju ruang ICU, berharap bisa bertemu dengan Alya meskipun ia sadar situasinya takkan semudah itu. Namun, tak disangka, tepat di depan pintu ruang ICU, ia berpapasan dengan Bowo.Bowo,
Narendra menggenggam ponselnya erat, pandangan masih terpaku ke halaman belakang. Kali ini, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keanehan. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," gumamnya pelan, lalu tanpa ragu ia mengambil jaket yang tergantung di kursi. Langkah kakinya mantap saat menyusuri lorong menuju pintu belakang, tapi tetap penuh kewaspadaan. Ia tahu ada kemungkinan besar orang yang ia lihat adalah Paman Suhadi seperti yang Alya katakan, tapi nalurinya tidak bisa mengabaikan keganjilan situasi ini. Saat Narendra sampai di pintu belakang, ia mendapati pintu itu tidak terkunci, sangat mustahil rumah sebesar ini pintunya dibiarkan tidak terkunci rapat. Hal ini membuat darahnya berdesir. Dengan gerakan perlahan, ia membuka pintu dan melangkah keluar. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, seperti membawa peringatan tersendiri. Namun, suara langkah di belakangnya membuatnya langsu
Langkah kaki yang misterius itu membuat ruangan terasa membeku seketika. Alya menggenggam lengan Narendra dengan erat, napasnya tertahan. Narendra menoleh ke belakang dengan cepat, tetapi tak ada apa-apa di sana. Hanya kesunyian yang menyelimuti mereka, seolah langkah tadi adalah ilusi belaka. “Kita nggak bisa terus begini,” ujar Narendra sambil menarik napas panjang. “Aku nggak akan biarin kamu sendirian di rumah ini malam ini. Aku nginep aja di kamar tamu, biar kalau ada apa-apa, aku bisa langsung bantu.” Alya mengerutkan kening, menimbang tawaran itu. Di satu sisi, ia merasa ragu membiarkan Narendra menginap, takut memancing gosip dan membuat ayahnya kembali marah. Namun, di sisi lain, ketakutan yang mencekam sejak tadi lebih dominan. Ia tahu ia tak akan bisa tidur nyenyak tanpa merasa ada orang lain di dekatnya. Apalagi orang tuanya juga entah pulang jam berapa. “Kamar tamu ada di lantai satu, kan?” Nare
Alya menatap layar ponselnya dengan mata yang mulai memerah. Gambar halaman dari buku tua itu terpampang jelas, aksara Jawa kuno yang sebagian sudah tak terbaca, tapi sisanya terlihat seperti mantra atau petunjuk ritual. Ia membaca baris-baris itu dengan seksama, mencoba menguraikan maknanya, meskipun pikirannya masih diselimuti rasa takut. “Ritual inti,” gumamnya pelan. Kata-kata itu menggema di benaknya, membawa perasaannya berkecamuk. Jika ritual sebelumnya tidak berhasil, mungkin ini adalah jalannya. Namun, apakah ia siap untuk melangkah lebih jauh? Apakah ia berani menghadapi konsekuensi yang mungkin lebih buruk? Ia teringat Mbah Karso yang berulang kali mengingatkan bahwa tidak semua ritual bisa dilakukan sembarangan. “Jangan mencoba sendiri. Kuatkan imanmu, Nduk, bukan egomu.” begitu pesan terakhirnya. Namun, sekarang, ia merasa tak punya pilihan lain. Angin dari celah jendela kembali berembus, menyapu rambutnya dan membuat kertas-kertas di meja bergetar pelan. Seo
Malam itu, udara di dalam kamar Alya terasa berat. Meskipun lampu menyala, bayangan-bayangan di sudut ruangan seolah hidup, bergerak dengan irama yang tidak kasatmata. Alya mencoba memejamkan mata, tetapi suara samar dari arah jendela membuatnya tersentak.Tok ... tok ... tok ....Bunyi itu tidak terlalu keras, tetapi cukup untuk membuat jantung Alya berdetak kencang. Ia menggenggam kalung jimatnya lebih erat, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja."Itu paling cuma suara angin," gumamnya pelan, seolah berusaha menghibur dirinya sendiri.Namun, ketika suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, Alya langsung duduk tegak. Pandangannya terpaku pada jendela yang masih tertutup rapat.Ponsel di sampingnya bergetar, membuat tubuhnya tersentak. Nama Narendra muncul di layar, sekejap kemudian ia segera mengangkatnya.“Naren, tolong bilang aku cuma paranoid,” katanya, suaranya bergetar.“Ada apa lagi, Alya? Kenapa suaramu seperti itu?” tanya Narendra dengan panik.“Ada s
Mbah Karso tidak menjawab. Ia terus melantunkan doa, dan tak lama kemudian, Tina bergeser mundur dengan wajah tegang. “Astaga ... Mbah, itu ada di belakangmu!” seru Tina dengan suara bergetar, menunjuk ke arah sesuatu yang Alya tidak bisa lihat.“Apa? Ada apa, Bu?” tanya Alya, panik. Ia mencoba mencari tahu apa yang terjadi, tapi pandangannya hanya kosong. Tidak ada yang aneh di hadapannya.“Dia ada di sana ... dekat pintu!” bisik Tina sambil menutupi mulutnya. Matanya tidak lepas dari sosok tak kasatmata yang hanya bisa ia lihat. “Mbah, kenapa dia mendekat?”“Tenang, Tina,” ujar Mbah Karso tanpa menoleh. Suaranya tetap tenang, meski wajahnya mulai berkeringat. “Alya tidak bisa melihatnya, kan?”Alya menggeleng cepat. “Aku nggak lihat apa-apa, Mbah. Aku juga nggak dengar suara apa-apa.”Mbah Karso mengangguk dengan mantap. Ia membalikkan badan, menatap ke arah pintu yang kosong di mata Alya.“Kau sudah selesai di sini. Pergilah,” ucapnya pelan, penuh wibawa.Ruangan mendadak menjadi
Malam itu, udara begitu dingin, menusuk sampai ke tulang. Bau kembang tujuh rupa memenuhi ruangan kecil tempat Alya duduk dengan tubuh gemetar. Di sudut ruangan, Mbah Karso tengah berjongkok, memegang kendi berisi air kembang. Wajahnya serius, matanya tertuju pada nyala lampu minyak yang redup, sementara Tina berdiri di belakang Alya, menggenggam erat bahu anaknya.“Alya, jangan takut, ya, Nduk,” bisik Tina, meski suaranya bergetar. “Ini semua untuk kebaikanmu.”Alya hanya mengangguk kecil. Tubuhnya masih lemah setelah kejadian mengerikan sebelumnya, tapi tatapan penuh kasih ibunya memberinya sedikit keberanian.Mbah Karso berdiri perlahan, membawa kendi itu ke hadapan Alya. “Nduk, air ini sudah Mbah doakan. Mulai sekarang, semuanya tergantung pada keberanianmu sendiri. Kamu harus yakin dan percaya. Mengerti?”“Mbah, apa benar ini akan berhasil? Aku nggak mau lagi lihat mereka. Aku nggak kuat.” Alya berbisik pelan, suaranya hampir tak te
Alya berusaha mengumpulkan sisa keberanian di tengah gemetar tubuhnya. Mata merah yang menyala itu kini seperti menembus langsung ke jiwanya. Bayangan hitam itu mendekat perlahan, setiap langkahnya membuat lantai kayu berderak seperti direnggut oleh kekuatan yang tidak kasat mata.“Pergi dari sini! Ini bukan tempatmu!” seru Mbah Karso, menghentakkan tongkatnya ke lantai. Getarannya terasa sampai ke telapak kaki, tetapi bayangan itu hanya tertawa pelan, suaranya seperti dengungan ribuan lebah yang menggema di ruangan.Tina semakin erat memeluk Alya, tangannya bergetar hebat. "Mbah, dia makin dekat! Apa yang harus kita lakukan?""Alya!" suara Mbah Karso menggema dengan tegas. "Tatap aku! Jangan lihat dia!"Namun, Alya seperti terpaku. Matanya tak bisa lepas dari sosok itu. Ada daya tarik aneh yang memaksanya untuk terus menatap. Bayangan itu mengulurkan tangan panjang, dengan kuku-kuku hitam melengkung tajam. Jari-jari itu bergerak pelan, seolah-olah ingin meraih Alya."Mbah, aku ... a
Dalam gelap, suara langkah kaki menggema, lambat dan semakin mendekat. Alya merasakan hawa dingin menyentuh lehernya, seperti napas seseorang yang tidak terlihat. "Bu, dia ada di sini," bisik Alya dengan suara hampir tak terdengar. Tina tidak menjawab, hanya memeluk putrinya lebih erat. Namun, dari pelukannya, Alya tahu ibunya juga ketakutan. Tubuh Tina terasa kaku, seperti menahan sesuatu yang sangat berat. "Kalian tidak boleh gentar," kata Mbah Karso dengan suara tegas. "Dia hanya bisa masuk jika kalian mengizinkannya." "Aaargh ...!" Alya memekik hebat, merasakan sesuatu menyentuh bahunya, seperti kuku-kuku panjang yang tajam. Mbah Karso menyalakan lampu minyak dengan cepat. Cahaya kembali menerangi ruangan, tapi hanya sebentar. Sosok itu terlihat melayang di sudut, lebih besar dan lebih menyeramkan dari sebelumnya. "Gadis itu milik kami ...." Suara mahluk itu menggema, berat dan serak seperti bisikan kematian. "Tidak, dia bukan milikmu!" Mbah Karso menghentakkan tongka
Alya menatap pintu rumah tua itu dengan ragu. Papan-papan kayunya sudah lapuk, ditumbuhi lumut di beberapa bagian. Di atas pintu, tergantung sebuah hiasan anyaman daun kelapa yang mulai cokelat. Udara sekitar terasa berat, dingin yang menusuk tulang meski tidak ada angin berembus.Tina menggenggam tangan Alya erat, seolah memberikan kekuatan. “Ayo, Nak. Jangan takut,” katanya pelan.Alya menelan ludah, menahan diri agar tidak mundur. “Bu, tempat ini kenapa rasanya seperti ... aneh?” tanyanya ragu.Tina melirik putrinya, wajahnya tegang. “Ini bukan tempat aneh, Nduk. Ini tempat orang pintar yang bisa bantu kita. Sudah, nurut saja. Jangan banyak tanya.”Sebelum Alya bisa membalas, pintu rumah itu tiba-tiba terbuka. Engselnya berderit nyaring, seperti suara seseorang yang menjerit tertahan. Di balik pintu, berdiri seorang pria tua dengan tubuh tegap dan sorot mata tajam. Rambut putihnya tertutup blangkon, dan tubuh ringkih itu dibalut kain batik yang warnanya mulai pudar.“Kalian sudah