Setelah acara selamatan Kakek selesai, malam itu Alya langsung naik ke kamarnya, tubuhnya terasa lelah dan pikirannya masih penuh dengan berbagai kegelisahan yang menghantui sejak siang.
Ia mengunci pintu, mencoba menenangkan diri dari segala keanehan yang terus berputar di benaknya. Sepanjang hari, Alya berusaha menghindari Paman Suhadi, wajah dinginnya yang tampak tenang justru membuat jantungnya berdegup lebih kencang. "Ya Tuhan ... aku percaya tidak ada yang lebih besar dariMu. Tolong lindungi hambaMu ini, Ya Tuhan," mohonnya. Alya mencoba mengalihkan pikirannya, meraih ponsel yang tergeletak di meja, berniat menghibur diri dengan berselancar di media sosial. Namun, belum sempat ia menggulir layar, telinganya menangkap suara bisikan yang sayup-sayup terdengar, begitu lemah beriringan desau angin malam. “Tolong ....” Suara itu begitu lirih, terbungkus dalam isak tangis yang menyayat hati, seolah datang dari seseorang tengah dilanda rasa sakit. Ia menajamkan pendengarannya, memastikan apakah suara itu hanya halusinasinya atau memang nyata. Bisikan itu kembali terdengar, kali ini sedikit lebih jelas, memohon dengan nada memelas. “Tolong ... a-aku ....” Alya menelan ludah, merasakan desiran dingin merayap dari punggungnya. Sumber suara itu tampaknya berasal dari luar jendela kamarnya, yang langsung menghadap ke halaman belakang. Hatinya bergetar, pikiran tentang bungkusan putih tadi siang berkelebat kembali, menghantui dirinya. Seolah-olah, ada sesuatu di sana, entah siapa atau apa, yang mencoba menarik perhatiannya, meminta untuk didengar. Dengan langkah pelan dan hati-hati, Alya mendekati jendela, napasnya terengah dan tangannya gemetar saat meraih tirai. Ia menyingkap sedikit, matanya mengintip ke arah halaman belakang yang diselimuti kegelapan. Tak ada apapun di sana selain bayangan pohon mangga tua yang tampak mencekam di bawah sinar bulan yang redup. Namun, bisikan itu masih terus terdengar, kini bercampur dengan suara tangisan yang semakin keras, memenuhi malam sunyi di sekitar rumah. Alya terpaku, jantungnya seakan berhenti berdetak. Ia merasakan hawa dingin menguar dari luar, membuat tubuhnya merinding dan jemarinya gemetar di atas bingkai jendela. Ketakutan mulai mencengkram hatinya, tetapi rasa penasaran yang lebih kuat membuatnya tak bisa berpaling begitu saja. Siapa yang menangis? Mengapa suara itu terdengar begitu dekat, seolah-olah berasal dari balik tanah halaman belakang? Pikir Alya. Rasa ngeri semakin mencengkeram saat ia membayangkan apa yang mungkin tersembunyi di bawah sana, dikubur dalam gelap dan kini memohon belas kasihannya. Dengan suara yang gemetar, Alya bergumam pada dirinya sendiri, “ini ... ini pasti hanya imajinasiku saja. Itu mungkin suara angin atau binatang malam.” Namun, suara bisikan dan tangisan itu tak kunjung hilang, malah semakin lama semakin jelas dan merasuk ke dalam pendengarannya, seolah ingin mengusik jiwanya yang penuh ketakutan. Alya beringsut menjauh dari jendela, tak lagi berani mendekat. Rasa takutnya kini menyatu dengan firasat buruk yang semakin kuat, membuatnya berpikir, apakah ada sesuatu, atau seseorang, yang sebenarnya meminta pertolongan darinya? "Tidak, tidak! Aku harus melupakan semua ini. Ya Tuhan ...!" pekiknya dengan suara tertahan. Sekelebat bayangan putih tiba-tiba melintas di belakangnya. Alya terpaku, tubuhnya mendadak kaku seperti dibekukan ketakutan. Darahnya berdesir hebat, napasnya terhenti. Rasa dingin menjalar dari punggungnya, membangkitkan bulu kuduknya hingga ke ujung kepala. Bayangan itu muncul sekelebat, lalu menghilang di balik tirai, meninggalkan aura mengerikan yang membuat Alya hampir tak sanggup bernapas. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya seakan tercekik di kerongkongan. Alya menggigit bibirnya, menahan tangis yang semakin tak terbendung. Tanpa sadar, air matanya sudah jatuh membasahi pipi, menggambarkan rasa takut dan kelelahan yang ia pendam beberapa hari terakhir ini. Ia menunduk, memejamkan mata, tubuhnya menggigil. “Tolong … hentikan! Aku sudah lelah ...,” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Kali ini, ia benar-benar merasa tak sanggup menghadapi semua ini seorang diri. Ia menyerah, dan dalam isak yang tertahan, Alya melafalkan doa dalam hati, berharap suara-suara aneh dan bayangan itu segera lenyap. Seolah menjawab doanya, perlahan suara minta tolong itu memudar, berganti kesunyian yang menyelimuti kamarnya. Bayangan putih itu pun perlahan menghilang, tak lagi tampak di balik tirai jendela. Alya membuka matanya, menatap sekeliling dengan waspada, memastikan dirinya benar-benar sendirian. Namun, ketakutannya belum sepenuhnya hilang. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas ranjang. Tengah malam yang mencekam, Alya akhirnya memberanikan diri menghubungi seseorang yang ia percayai. Ia menekan nomor rekannya, Narendra, seorang psikiater yang cukup dekat dengannya. Tak lama, terdengar suara Narendra dari seberang. “Halo? Alya?” suara Narendra terdengar khawatir saat mendengar isakan Alya di telepon. “Naren ... aku ... a-aku nggak kuat lagi ....” Alya berbicara terbata-bata di sela tangisnya yang semakin deras. “Aku takut. Aku … mungkin aku sudah gila!” Narendra terdiam sejenak, lalu dengan suara lembut ia mencoba menenangkan Alya. “Hei, tenang, Alya. Kamu sedang ketakutan, tapi yakinlah di hatimu pasti ada keberanian yang lebih besar. Ceritakan padaku, apa yang terjadi? Tarik napas dulu, ya.” Alya berusaha mengatur napasnya, walau tubuhnya masih gemetar hebat. Perlahan ia menceritakan semua kejadian yang ia alami. Suara minta tolong yang muncul dari halaman belakang, bayangan putih yang melintas di kamarnya, hingga tangisan menyayat yang terdengar jelas. Ah, bukan hanya itu saja. Bahkan kejadian janggal yang ia rasakan kemarin, juga turut ia terangkan. “Aku nggak tahu lagi, Naren, semua ini terlalu nyata. Aku nggak bisa bedain, ini halusinasi atau … atau beneran nyata.” Narendra mendengarkan dengan seksama, berusaha mencerna semua yang diungkapkan Alya. “Alya, aku tahu kamu lelah dan ketakutan, tapi kamu nggak sendirian. Aku akan bantu semampuku, ya?” Alya mengangguk pelan, walau Narendra tak bisa melihatnya. “Kamu ... kamu percaya sama aku? Apa semua ini bukan cuma halusinasi?” Narendra menghela napas panjang. “Alya, kamu tahu, kan, selain psikiater aku juga punya ... kemampuan lebih. Mungkin ini bukan halusinasi, tapi ada yang mengganggu kamu di sana. Bagaimana kalau besok aku ke rumah kakekmu? Kita bisa bicara lebih lanjut, dan aku bisa bantu memastikan apakah ini benar-benar gangguan dari sesuatu yang tak terlihat atau tidak.” Alya terdiam, merasa sedikit tenang mendengar tawaran Narendra. Ada secercah harapan dalam dirinya bahwa Narendra mungkin bisa memberikan jawaban atas semua pertanyaannya. “Besok kamu yakin bisa datang?” tanyanya dengan suara bergetar. “Iya, Alya. Aku akan datang. Kamu kuat, ya? Jangan pikirkan macam-macam lagi. Ini sudah larut malam, cobalah untuk tidur.” Alya menarik napas dalam-dalam, menghapus air mata yang masih mengalir di pipinya. “Terima kasih, Naren. Aku akan coba tidur, semoga bisa.” “Bagus. Kalau kamu merasa ada yang aneh lagi, hubungi aku, oke?” Narendra menenangkan dengan suara lembutnya. Setelah percakapan itu berakhir, Alya merasa sedikit lebih tenang, meskipun bayangan-bayangan mengerikan tadi masih terngiang dalam pikirannya. Namun, kehadiran Narendra besok setidaknya memberinya sedikit kekuatan untuk bertahan. Dalam diam, ia memeluk tubuhnya sendiri erat-erat, berharap malam segera berlalu. "Semoga besok ada jawaban tentang semua keanehan ini."Pagi itu, kedatangan Narendra disambut Alya dengan wajah yang masih penuh keresahan. Tanpa membuang waktu, ia langsung mengajak sahabatnya itu duduk di ruang tamu. Beruntung tak ada orang di rumah ini, semua pergi bekerja.“Naren, aku nggak tahu lagi apa yang terjadi di rumah ini,” bisik Alya pelan sambil sesekali melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada siapa pun di dekat mereka. “Suara-suara aneh itu ... dan bayangan yang muncul di kamarku ... semuanya terlalu nyata.”Narendra mengangguk, menatap Alya dengan penuh perhatian. “Alya, aku tahu kamu sedang mengalami masa yang berat. Coba tarik napas dulu, tenangin diri. Ini nggak baik kalau kamu terus merasa tertekan begini."Alya menarik napas dalam-dalam, meskipun masih terlihat gemetar. “Naren ... aku bahkan merasa kayak mau gila. Semalam aku dengar suara minta tolong dari arah halaman belakang, terus ada bayangan putih yang muncul di kamarku. Ini bukan cuma sekali dua kali aku ngalamin yang kayak gitu.” “Dengar, Alya. Ada banyak
Alya memeluk tubuhnya erat, mencoba meredam gemetar yang makin menjadi-jadi. Ruang tamu terasa semakin dingin, meski matahari pagi masih terlihat di luar jendela. Rasanya seakan ada sesuatu yang mengintai dari balik bayangan. “Kamu harus kuat. Semakin dalam kamu terlibat, semakin besar pula risiko yang mungkin datang. Tapi jika kamu benar-benar ingin mengetahui segalanya, aku bisa membantumu. Namun, akan ada banyak hal yang harus kamu korbankan.” Alya menatap Narendra, kebingungan dan ketakutan bercampur dalam benaknya. “Apa maksudmu? Apa yang harus aku korbankan?” Narendra diam sejenak, memandang ke arah dinding ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak terlihat oleh mata Alya. “Terkadang, untuk memahami kebenaran, kita harus siap kehilangan sesuatu. Bisa jadi ketenangan, kenyamanan, atau bahkan ... dirimu sendiri.” Alya terdiam. Kengerian kata-kata Narendra mengakar dalam pikirannya, membuat bulu kuduknya meremang. Ia ingin berhenti, ingin kembali pada hidup normal tanpa ha
Narendra segera mengakhiri ritual yang ia lakukan di depan kamar kakek Suroto. Dengan penuh kepanikan, ia mendobrak pintu yang terbuat dari kayu tua, suara berdecit menambah suasana mencekam di dalam rumah. Seketika matanya terfokus pada tubuh mungil Alya yang tergeletak pingsan di lantai kayu, kulitnya terasa dingin seolah dihantam embun malam yang menusuk. Jantungnya berdegup kencang, menyadari betapa seriusnya situasi ini.“Ya Tuhan, Alya!” Suara Narendra bergetar, panik melanda saat ia berlari menghampiri tubuh gadis itu. Dengan cepat, ia mengangkat kepala Alya dan melihat wajahnya yang pucat, seolah nyawa gadis itu terenggut dari tubuhnya.Tepat saat itu, orang tua Alya masuk dengan tergopoh-gopoh, mata mereka dipenuhi kecemasan. “Narendra! Apa yang terjadi di sini? Ngapain kalian ada di kamar kakek?! ” tanya Bowo, suaranya nyaring dengan nada marah. Tina langsung berlari menghampiri putrinya, menangis tersedu-sedu sambil memeluk tubuh Alya yang lemas.“Naren, kamu harus men
Narendra tak mau mempedulikan sosok itu, ia segera kembali ke depan ruang gawat darurat. Baru beberapa meter tiba di pintu, langkahnya sontak terhenti saat melihat orang tua Alya tengah berbincang dengan dokter.“Maafkan saya, tapi Alya dalam keadaan koma,” ungkap dokter itu, wajahnya mencerminkan keprihatinan yang mendalam.Dunia seolah runtuh di sekeliling Narendra. Ia menganga, tak percaya bahwa efek ritualnya bisa seburuk ini. Seakan disambar petir, ia terdiam, mengingat kembali langkah-langkah yang diambilnya dalam pelaksanaan ritual tadi."Memang ada yang kurang, tapi keburu Alya pingsan," batinnya.Bowo, yang berdiri tak jauh dari situ, langsung mengarahkan telunjuknya kepada Narendra, amarahnya membara. “Kau! Ini semua karena kebodohanmu!” teriak Bowo, suaranya menggema di lorong rumah sakit yang sunyi. “Bagaimana bisa kau membawa putriku ke dalam situasi berbahaya seperti ini?!”Narendra menunduk, merasa tertekan di bawah tatapan marah Bowo. “Paman, saya ... saya tidak berma
Di dunia lain, mungkin orang menyebutnya alam jin, Alya berjalan tanpa arah. Kakinya menginjak tanah yang terasa aneh, bukan seperti tanah di dunia tempatnya tinggal. Getaran dingin merambat dari ujung kaki hingga tengkuknya, mengingatkannya bahwa ia berada di tempat yang asing dan berbahaya. Pandangannya menyapu ke sekeliling, matanya terbelalak melihat pemandangan di depannya.Bangunan-bangunan megah menjulang tinggi, berkilau dalam cahaya keemasan yang tak pernah ia saksikan sebelumnya. Pilar-pilar raksasa terbuat dari emas murni berdiri dengan kokoh, memancarkan kilauan indah. Di kejauhan, kolam berisi susu putih mengalir tenang, memantulkan bayangan burung-burung indah dengan bulu berwarna-warni yang belum pernah dilihat Alya di dunia manusia. Taman-taman dipenuhi bunga beraroma manis, tetapi aroma itu membawa sesuatu yang membuat hatinya berdebar tak nyaman.“Di mana aku?”Tubuhnya bergetar, bukan karena udara dingin, tetapi karena rasa takut yang mengintai di balik setiap kei
Narendra membuka matanya perlahan, napasnya terasa berat dan dadanya sesak, seolah ada beban tak kasat mata yang menekan jiwanya. Di hadapannya, benda-benda ritual yang tadi ia susun berjejer, ada bunga melati yang mulai layu, mangkuk air suci, serta sepasang lilin khusus yang kini telah padam. Cahaya lilin yang tadi menjadi jembatan bagi Alya untuk pulang kini telah berakhir.Narendra menatap sisa-sisa asap dari sumbu lilin yang memudar.“Jiwanya pasti sudah kembali … Alya sudah selamat,” gumamnya pelan, tetapi tetap bergetar oleh perasaan tak tenang. Malam tadi, ia nekat pulang dari rumah sakit, menyelinap tanpa sepengetahuan kedua orang tua Alya, dan diam-diam melakukan ritual di kamarnya. Ia tahu risikonya, tahu bahwa ini tindakan berbahaya, tetapi hatinya tak bisa tenang membiarkan Alya tersesat di dunia lain.•Pagi menjelang, sinar matahari tipis menelusup masuk melalui celah jendela, suasana kamarnya masih terasa berat dan menyeramkan. Narendra merasakan hawa dingin yang m
"Eugh ...." Lenguhan tipis lolos dari bibir pria tampan itu, tetapi kelopak matanya masih berat sekali untuk terbuka, rasa pening membuatnya kalah.Narendra mencoba kembali memejamkan mata, tapi pikirannya tak tenang. Samar, suara tawa melengking mengusik ketenangan kamar rawat inapnya. Tawa itu terdengar lirih, tetapi semakin lama semakin jelas, seperti seseorang yang tertawa di sudut ruangan.Narendra membuka mata, pandangannya menyapu sekeliling kamar yang sunyi dan gelap. Tak ada siapa-siapa selain dirinya, tetapi hawa dingin menyusup perlahan. Ia bergidik, merasakan bulu kuduknya berdiri."Siapa di sana ...?” bisiknya, suaranya bergetar. Hanya keheningan yang menjawab, diselingi suara mesin detak jantung. Namun, tiba-tiba lampu kamar berkerlip pelan, seolah ada energi lain yang mengusik aliran listriknya. Ruangan menjadi semakin suram, dan bayangan-bayangan di dinding tampak bergerak, membentuk siluet yang mengerikan.“Cukup kali ini, jo, Le. Jangan lancang lagi ... atau jiwamu
Saat hening menyelimuti ruangan, Alya hanya bisa terbaring kaku, jantungnya berdetak liar. Ia berusaha bergerak, tapi tubuhnya terasa beku, tak ada satu pun otot yang menurut. Mulutnya kelu, seperti terkunci oleh kekuatan yang tak terlihat. Hanya hatinya yang mampu berteriak dalam diam, memohon perlindungan, bibirnya mencoba menggumamkan doa-doa tanpa suara. Di sampingnya, sosok suster berbaju merah itu berdiri terpaku. Wajahnya tanpa ekspresi, pandangannya kosong mengarah ke tubuh Alya seolah mengawasi setiap helaan napasnya. Semakin lama, hawa dingin kian menyelimuti, menusuk hingga ke tulang. Aroma bau busuk semakin menyengat, membuat Alya ingin mual, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Suster itu terus menunduk, menatap Alya dengan pandangan kosong, hingga perlahan, matanya terbuka lebar, melotot dengan sorot merah yang menyeramkan. Alya hanya bisa menatap balik, napasnya tercekat, tak ada satu kata pun yang mampu keluar dari bibirnya. Tiba-tiba, sosok suster itu mengalihkan
Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari rumah besar itu dengan hangat. Namun, suasana lantai dua terasa tegang. Tina, yang tengah merapikan barang-barangnya untuk pergi ke kos-kosan Alya, tiba-tiba merasa ada yang janggal.“Kenapa Nayu belum turun juga, ya?” gumamnya sambil melirik jam dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka sembilan. Biasanya, Nayu selalu muncul lebih pagi, entah untuk menyiapkan sarapan atau sekadar berkeliling.Tina menghentikan kegiatannya. Pikirannya terusik. Ia mencoba menepis kekhawatiran itu, tetapi firasatnya kian menguat. Akhirnya, dengan langkah pelan tapi pasti, ia memutuskan untuk naik ke lantai tiga.Tangga yang berderit di bawah pijakannya semakin menambah rasa was-was. Lantai tiga, yang biasanya jarang ia kunjungi, terasa begitu sunyi. Setibanya di depan kamar Nayu, Tina mengetuk pintu dengan hati-hati.“Nayu? Kamu di dalam?” panggilnya, berusaha terdengar tenang.Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. “Nayu! Ban
Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri kokoh di tengah pekarangan yang sunyi. Malam telah larut, namun keheningan di lantai tiga terasa tidak biasa. Dinding-dinding tua berlapis cat yang mulai pudar memantulkan bayangan samar dari cahaya lilin yang berkerlip tak menentu. Udara di sana begitu pekat, seolah ada sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayangan gelap untuk menerkam.Di salah satu kamar di lantai itu, Nayu duduk bersila di lantai. Ruangan itu dipenuhi dengan benda-benda ritual, lilin hitam berjajar rapi di atas meja, sebuah cawan perak yang penuh cairan berbau menyengat, dan segumpal rambut kusut yang ia letakkan di atas kain merah. Matanya yang tajam menatap lekat rambut itu, tangannya mulai bergerak dengan pelan dan penuh tekad. Ia mulai merapal mantra, suaranya lirih, tapi penuh intensitas, seperti berbisik kepada kekuatan yang tidak kasat mata.“Aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu rencanaku,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Namun, malam itu berbeda.
Pagi ini, ia dan Narendra kembali ke rumah Pak Ustaz Harun—pamannya Narendra, seorang tokoh agama yang menjadi tumpuan mereka dalam melawan kutukan keluarga.Di perjalanan, Narendra mengemudikan mobil dengan tenang. Sementara itu, Alya duduk diam di kursi penumpang, menggenggam gelang perak yang terasa berat, seolah ada energi gelap yang mengalir darinya. Di pangkuannya, ada kotak kayu kuno berukir motif Jawa yang ia temukan di kamar mendiang kakeknya. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Narendra, memecah keheningan.Alya mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku merasa lega, tapi sekaligus takut. Kalau ini nggak berhasil—”“Jangan berpikir begitu. Kita sudah sejauh ini. Aku yakin, Allah nggak akan membiarkan kita berjuang tanpa hasil.” Narendra mencoba menguatkan.Alya menatap kotak kayu di pangkuannya. “Kamu yakin semuanya akan selesai setelah ini?”Narendra mengangguk. “Itulah kenapa kita harus membakarnya. Semua benda yang jadi media kutukan harus dihancurkan total. Pak Ustaz juga
“Ya Allah .…” Tina berdoa sambil menangis. “Kalau memang ini jalan yang harus kuambil, aku mohon … aku mohon, jangan biarkan Alya tahu. Jangan biarkan dia merasa bersalah. Dia nggak salah, semua ini karena dosa kami, dosa keluarga ini. Jangan hukum Alya, hukum aku saja.”Ia terisak lagi, kali ini lebih keras. Tangan kanannya menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat.Tangannya perlahan beralih ke dada, merasakan detak jantungnya yang semakin tak beraturan. Ia tahu efek ritual itu mungkin akan mulai terasa dalam beberapa hari ke depan. Bisa jadi tubuhnya akan melemah, bisa jadi ia akan sakit parah, atau bahkan meninggal.Tina tak berani menyelesaikan pikirannya. Namun, ia sudah siap. Ia tidak punya pilihan lain.Mobil yang ia kendarai kembali melaju perlahan, memasuki jalanan yang semakin sepi. Di tengah tangisannya, ia teringat lagi saat Alya memeluknya beberapa hari lalu. “Aku tahu kamu nggak akan berhenti, Nayu. Kamu mungkin akan cari cara lain kalau kamu tahu aku sudah menukar ram
Malam hari.Tina memasuki rumah besar tiga lantai yang telah lama menjadi tempat tinggal keluarganya. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara angin berdesir di sela-sela pohon mangga di halaman, seolah-olah menyampaikan peringatan akan sesuatu yang kelam. Kini ia sudah berdiri di depan pintu rumah, menyapa pembantu rumah tangga yang tengah membereskan meja ruang tamu. "Nayu di mana?" tanyanya singkat, mencoba terdengar santai meski hatinya terus berdebar."Bu Nayu tadi bilang mau keluar sebentar, Bu. Katanya beli sesuatu," jawab pembantu itu sambil melipat kain lap.Mata Tina sedikit membelalak, tapi ia segera menenangkan diri. "Oh, ya sudah. Kalau begitu, saya mau naik ke lantai tiga sebentar. Ada yang ketinggalan."Pembantu itu hanya mengangguk, tak mencurigai apa-apa.Tina melangkah ke tangga, kali ini berhati-hati agar langkahnya tak menimbulkan suara berlebihan. Tangga kayu itu sesekali berderit pelan, membuatnya berhenti sejenak untuk memastikan tak ada orang yang me
Alya duduk dengan tubuh menggigil di atas karpet tipis yang membentang di ruang utama rumah sang ustadz. Pandangannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Tubuhnya masih terasa panas, meski hawa dingin malam telah menyusup dari celah-celah jendela. Narendra duduk di dekatnya, mengamati Alya dengan cemas. "Alya," suara ustadz itu lembut, memecah keheningan. "Sebelum kita mulai, kamu harus menyucikan dirimu terlebih dahulu. Wudhu dan salat taubat adalah langkah awal untuk membuka hatimu kepada Allah. Setelah itu, kita lanjutkan dengan ruqyah. Apakah kamu siap?" Alya mengangguk perlahan, meski tubuhnya tampak lemah. "Saya siap, Ustadz," suaranya terdengar parau. Narendra segera berdiri, bersiap membantu jika Alya tidak kuat berjalan. Ustadz itu menunjukkan arah kamar mandi. "Narendra, temani dia. Pastikan dia baik-baik saja." Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi, Narendra mengikutinya dengan penuh perhatian. Di dalam kamar mandi, ia memercikkan air wudhu ke wajah
Alya membaca tulisan itu berulang kali, mencoba memahami maksudnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seolah tulisan di atas kertas itu membawa beban yang tak kasat mata. Suara Narendra memecah keheningan."Jadi, gelang ini semacam kunci perjanjian, ya?" Narendra mengamati ukiran pada gelang perak itu. "Dan perjanjian itu jelas-jelas kutukan untuk keluargamu."Alya mengangguk pelan, bibirnya gemetar. "Iya, ini pasti ada hubungannya dengan ritual pesugihan. Tapi siapa yang menaruh gelang dan kertas ini di kotak ini? Kalau Kakek, kenapa nggak cerita ke anak-anaknya?"Narendra menggeleng. "Mungkin seseorang dari keluargamu. Tapi yang lebih penting sekarang, kita harus tahu bagaimana mengakhiri ini semua."Alya menunduk, menatap gelang itu dengan campuran rasa takut dan penasaran. "Ren, aku harus mengembalikan gelang ini ke tempat asalnya, kan? Kalau nggak, kutukan ini nggak akan pernah berhenti menghantui keluargaku."Narendra menaruh tangannya di bahu Alya, menenangkan. "Kita cari tahu dul
Keesokan HarinyaUdara dingin pagi itu terasa menusuk tulang ketika Alya dan Narendra tiba di depan rumah besar peninggalan Kakek Suroto. Bangunan itu menjulang angker dengan arsitektur kuno. Langit mendung menambah kesan mencekam pada suasana sekitar. Alya menarik napas panjang, mencoba mengusir keraguan yang menyelimuti hatinya.“Aku masih nggak yakin ini ide bagus, Ren,” bisiknya sambil melirik Narendra yang berdiri di sebelahnya dengan raut wajah serius.“Kita sudah sampai sejauh ini, Alya. Kalau kita nggak ambil kotak itu sekarang, entah apa yang akan terjadi padamu,” jawab Narendra. Ia menggenggam bahu Alya, mencoba memberinya keberanian. “Aku ada di sini, nggak perlu takut.”Alya mengangguk pelan. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu samping yang biasa digunakan pekerja rumah untuk masuk. Tiga pekerja yang tengah membersihkan dapur langsung menoleh kaget melihat kehadiran Alya. Namun sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu, Alya mengangkat tangannya, memberi isyarat aga
Tina tetap berdiri di depan celah pintu kamar Nayu. Pandangannya terpaku pada apa yang dilakukan adiknya di dalam ruangan. Nayu tampak serius, duduk bersila di lantai, dengan lilin-lilin hitam yang berkeliling mengelilinginya. Di tengah ritual itu, mata Tina tertumbuk pada sebuah benda yang membuat hatinya berdesir.Di atas kain merah dengan aksara kuno yang tampak asing, tergeletak segumpal rambut hitam pekat. Di sebelahnya, selembar foto Alya yang sudah kusam. Tangan Tina bergetar, dan ia menahan napas saat mendapati potongan rambut itu sangat mirip dengan milik putrinya."Astaga," Tina berbisik dalam hati. "Itu pasti rambutnya Alya?"Ia menggigit bibir, berusaha untuk tetap tenang. Kakinya terasa seperti tertancap ke lantai, sulit untuk digerakkan. Pandangannya bergantian antara Nayu yang tampak khusyuk melafalkan sesuatu dan benda-benda di depannya.Nayu tampak memejamkan mata, sesekali tangannya mengangkat mangkuk logam di hadapannya, kemudian meletakkannya kembali dengan gerakan