Share

Bertemu Kakek

Penulis: Els Arrow
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-04 23:45:30

Di dunia lain, mungkin orang menyebutnya alam jin, Alya berjalan tanpa arah. Kakinya menginjak tanah yang terasa aneh, bukan seperti tanah di dunia tempatnya tinggal.

Getaran dingin merambat dari ujung kaki hingga tengkuknya, mengingatkannya bahwa ia berada di tempat yang asing dan berbahaya. Pandangannya menyapu ke sekeliling, matanya terbelalak melihat pemandangan di depannya.

Bangunan-bangunan megah menjulang tinggi, berkilau dalam cahaya keemasan yang tak pernah ia saksikan sebelumnya. Pilar-pilar raksasa terbuat dari emas murni berdiri dengan kokoh, memancarkan kilauan indah.

Di kejauhan, kolam berisi susu putih mengalir tenang, memantulkan bayangan burung-burung indah dengan bulu berwarna-warni yang belum pernah dilihat Alya di dunia manusia. Taman-taman dipenuhi bunga beraroma manis, tetapi aroma itu membawa sesuatu yang membuat hatinya berdebar tak nyaman.

“Di mana aku?”

Tubuhnya bergetar, bukan karena udara dingin, tetapi karena rasa takut yang mengintai di balik setiap kei
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 13

    Narendra membuka matanya perlahan, napasnya terasa berat dan dadanya sesak, seolah ada beban tak kasat mata yang menekan jiwanya. Di hadapannya, benda-benda ritual yang tadi ia susun berjejer, ada bunga melati yang mulai layu, mangkuk air suci, serta sepasang lilin khusus yang kini telah padam. Cahaya lilin yang tadi menjadi jembatan bagi Alya untuk pulang kini telah berakhir.Narendra menatap sisa-sisa asap dari sumbu lilin yang memudar.“Jiwanya pasti sudah kembali … Alya sudah selamat,” gumamnya pelan, tetapi tetap bergetar oleh perasaan tak tenang. Malam tadi, ia nekat pulang dari rumah sakit, menyelinap tanpa sepengetahuan kedua orang tua Alya, dan diam-diam melakukan ritual di kamarnya. Ia tahu risikonya, tahu bahwa ini tindakan berbahaya, tetapi hatinya tak bisa tenang membiarkan Alya tersesat di dunia lain.•Pagi menjelang, sinar matahari tipis menelusup masuk melalui celah jendela, suasana kamarnya masih terasa berat dan menyeramkan. Narendra merasakan hawa dingin yang m

  • Kutukan Wasiat Kakek    Suster

    "Eugh ...." Lenguhan tipis lolos dari bibir pria tampan itu, tetapi kelopak matanya masih berat sekali untuk terbuka, rasa pening membuatnya kalah.Narendra mencoba kembali memejamkan mata, tapi pikirannya tak tenang. Samar, suara tawa melengking mengusik ketenangan kamar rawat inapnya. Tawa itu terdengar lirih, tetapi semakin lama semakin jelas, seperti seseorang yang tertawa di sudut ruangan.Narendra membuka mata, pandangannya menyapu sekeliling kamar yang sunyi dan gelap. Tak ada siapa-siapa selain dirinya, tetapi hawa dingin menyusup perlahan. Ia bergidik, merasakan bulu kuduknya berdiri."Siapa di sana ...?” bisiknya, suaranya bergetar. Hanya keheningan yang menjawab, diselingi suara mesin detak jantung. Namun, tiba-tiba lampu kamar berkerlip pelan, seolah ada energi lain yang mengusik aliran listriknya. Ruangan menjadi semakin suram, dan bayangan-bayangan di dinding tampak bergerak, membentuk siluet yang mengerikan.“Cukup kali ini, jo, Le. Jangan lancang lagi ... atau jiwamu

  • Kutukan Wasiat Kakek    Desakan Ritual

    Saat hening menyelimuti ruangan, Alya hanya bisa terbaring kaku, jantungnya berdetak liar. Ia berusaha bergerak, tapi tubuhnya terasa beku, tak ada satu pun otot yang menurut. Mulutnya kelu, seperti terkunci oleh kekuatan yang tak terlihat. Hanya hatinya yang mampu berteriak dalam diam, memohon perlindungan, bibirnya mencoba menggumamkan doa-doa tanpa suara. Di sampingnya, sosok suster berbaju merah itu berdiri terpaku. Wajahnya tanpa ekspresi, pandangannya kosong mengarah ke tubuh Alya seolah mengawasi setiap helaan napasnya. Semakin lama, hawa dingin kian menyelimuti, menusuk hingga ke tulang. Aroma bau busuk semakin menyengat, membuat Alya ingin mual, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Suster itu terus menunduk, menatap Alya dengan pandangan kosong, hingga perlahan, matanya terbuka lebar, melotot dengan sorot merah yang menyeramkan. Alya hanya bisa menatap balik, napasnya tercekat, tak ada satu kata pun yang mampu keluar dari bibirnya. Tiba-tiba, sosok suster itu mengalihkan

  • Kutukan Wasiat Kakek    BAB 16

    Narendra melangkah keluar dari ruang rawatnya dan menuju ruang rawat Alya dengan langkah tergesa, perasaan tak tenang menggelayuti hatinya sejak mendapat izin pulang dari dokter. Namun, perasaan itu berubah menjadi kegelisahan yang mencekam saat perawat yang bertugas memberitahunya bahwa Alya kembali kritis dan sekarang berada di ICU. Seakan tak percaya, Narendra merasa tubuhnya dingin seketika."Alya di ICU?" gumamnya, nyaris tak percaya, napasnya tertahan sesaat.Perawat itu mengangguk, tatapan iba di matanya tak bisa ia sembunyikan. "Benar, Pak. Kondisinya tiba-tiba memburuk, kami harus segera menanganinya. Beliau sedang ditangani di ruang intensif."Narendra menelan ludah, berusaha menahan gejolak emosi yang mulai memuncak. Ia mengucapkan terima kasih kepada perawat itu sebelum melangkah cepat menuju ruang ICU, berharap bisa bertemu dengan Alya meskipun ia sadar situasinya takkan semudah itu. Namun, tak disangka, tepat di depan pintu ruang ICU, ia berpapasan dengan Bowo.Bowo,

  • Kutukan Wasiat Kakek    Kembali Datang

    Pagi itu, ketika matahari masih mengintip malu-malu dari balik jendela rumah sakit, dokter akhirnya datang dengan membawa hasil laboratorium Alya. Tina dan Bowo menanti penuh harap dan cemas di ruang perawatan, tatapan mereka tertuju pada map tebal yang dipegang sang dokter, seakan semua jawaban akan terurai di sana. Dokter pun membuka percakapan, wajahnya serius, tetapi mencoba tetap tenang.“Pak Bowo, Bu Tina … setelah hasil laboratorium keluar, kami mendapati bahwa kondisi Alya disebabkan oleh infeksi tifus atau tipes," jelasnya sambil menyerahkan lembar hasil pemeriksaan pada Tina. “Infeksinya menyerang bagian usus halus dan lambung, dan saat ini kita mendapati tingkat leukosit yang rendah, artinya Alya mengalami penurunan daya tahan tubuh yang cukup signifikan. Ada bakteri Salmonella typhi yang masuk ke aliran darahnya, menyebabkan Alya lemah dan demam tinggi. Ini berbahaya jika tidak segera ditangani dengan tepat.”Tina mengangguk paham, meski rasa khawatir tak juga surut. “Ja

  • Kutukan Wasiat Kakek    BAB 18

    Alya terbangun dengan mata yang masih berat, samar-samar mendengar suara isak tangis ibunya di sampingnya. Tubuhnya terasa lemah, nyeri di seluruh sendi, seperti habis melewati perjalanan panjang yang menguras tenaga. Dia mencoba menggerakkan tangannya, menyentuh bahu Tina yang bergetar karena isakan."Ibu ...," bisiknya lemah, suaranya serak dan hampir tak terdengar.Tina mengangkat wajahnya dengan cepat, air mata masih mengalir di pipinya. "Alya ... Nak, kamu sudah sadar? Syukurlah, syukurlah ...." Tina menggenggam tangan Alya erat, seolah takut jika putrinya kenapa-kenapa.Alya menatap ibunya dengan bingung, berusaha mengingat apa yang terjadi. Namun, rasa dingin tiba-tiba menyergapnya-begitu menusuk dan mendadak, seperti angin yang datang dari celah pintu. Ia merasakan bulu kuduknya meremang tanpa sebab."Masih pusing, Nduk?" Tina masih mengusap wajah Alya dengan lembut, tetapi tiba-tiba Alya merasa seolah ada sesuatu yang lain di kamar itu, sesuatu yang mengawasi mereka dari su

  • Kutukan Wasiat Kakek    Meminta Perlindungan

    Tina memejamkan mata, meredakan napas yang masih tersengal setelah percakapan dengan kakaknya. Ruang ICU terasa semakin dingin, tetapi bukan dingin biasa, ada sensasi tajam yang menusuk, seperti hawa yang datang dari tempat asing.Rasa takutnya memuncak. Apa yang sebenarnya Nayu rencanakan? Kenapa ia sampai nekat membawa perlengkapan ritual, padahal semua sudah sepakat untuk tidak menyentuh hal-hal gaib itu lagi? Tiba-tiba, lampu ICU berkelip-kelip, cahayanya redup. Tina tertegun, perasaan aneh mencengkeram tenggorokannya. Ia mengusap tangan putrinya yang terasa semakin dingin. Wajah Tina mulai basah oleh keringat dingin, dadanya bergemuruh dengan ketakutan yang tak bisa ia jelaskan.Lalu, dalam keheningan yang begitu mencekam, terdengar suara langkah-langkah samar, seperti tapak yang basah dan berat. Tina terdiam, tubuhnya menegang. Ia memandangi pintu ICU, berharap suara itu hanya ilusi, tetapi suara itu semakin mendekat. Setiap langkah seakan menggema di telinganya.“Siapa siapa

  • Kutukan Wasiat Kakek    Jus Apel

    Malam hari. Narendra berdiri di seberang jalan, menatap kediaman megah yang kini terasa begitu sunyi. Matanya terpejam sesaat, mencoba menerawang apa yang tersembunyi di balik dinding-dinding besar itu. Meski pandangannya tertutup kabut tipis yang terasa pekat, ia bisa merasakan ada energi gelap yang menyelubungi tempat itu. Ia mengatur napas, mencoba merasakan setiap getaran halus yang merambat di udara. Hawa di sekitarnya terasa semakin dingin, menekan dadanya dengan kekuatan yang seolah berusaha mengusirnya pergi. Dari jauh, sebuah bayangan samar terlihat melintas di balik jendela lantai atas. Bayangan itu tampak melayang, seperti sosok tanpa tubuh yang bergerak perlahan, mengawasinya dari kejauhan. Narendra mengepalkan tangan, menyadari bahwa kehadiran makhluk-makhluk tak kasat mata di sana bukan sekadar ilusi. Ada kekuatan jahat yang bersarang, dan ia bisa merasakannya, seperti gelombang yang menghantam tubuhnya secara perlahan, tapi pasti. “Jangan ganggu Alya,” gum

Bab terbaru

  • Kutukan Wasiat Kakek    BAB 37

    "Alya. Kita nggak bisa membiarkan rasa takut ini menguasai. Apa pun yang terjadi di sini, harus kita pecahkan sekarang."Alya menatap Narendra, ragu-ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Tapi apa nggak bahaya kalau kita keluar lagi?"Narendra menghela napas, kemudian menggenggam tangan Alya. "Kita akan melakukannya dengan hati-hati." Mereka berjalan keluar, kali ini dengan langkah yang lebih waspada. Angin malam kembali berhembus, membawa suara-suara samar yang terdengar seperti bisikan. Alya merapatkan jaketnya, mencoba mengusir rasa dingin yang mulai menyusup hingga ke tulang.Saat mereka kembali ke pohon mangga, sebuah kejadian aneh terjadi. Abu yang sebelumnya mereka temukan kini sudah lenyap. Tidak ada jejak apa pun selain rumput basah."Mungkin ini bagian dari permainan mereka," ujar Narendra, menunduk untuk memeriksa lebih teliti. Ia menyentuh tanah itu, tetapi tidak menemukan apa-apa.Alya memejamkan mata, mencoba mengingat sesuatu. "Narendra, abu itu ada aksara jawanya, kan? A

  • Kutukan Wasiat Kakek    36 || Disesatkan

    Narendra menggenggam ponselnya erat, pandangan masih terpaku ke halaman belakang. Kali ini, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keanehan. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," gumamnya pelan, lalu tanpa ragu ia mengambil jaket yang tergantung di kursi. Langkah kakinya mantap saat menyusuri lorong menuju pintu belakang, tapi tetap penuh kewaspadaan. Ia tahu ada kemungkinan besar orang yang ia lihat adalah Paman Suhadi seperti yang Alya katakan, tapi nalurinya tidak bisa mengabaikan keganjilan situasi ini. Saat Narendra sampai di pintu belakang, ia mendapati pintu itu tidak terkunci, sangat mustahil rumah sebesar ini pintunya dibiarkan tidak terkunci rapat. Hal ini membuat darahnya berdesir. Dengan gerakan perlahan, ia membuka pintu dan melangkah keluar. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, seperti membawa peringatan tersendiri. Namun, suara langkah di belakangnya membuatnya langsu

  • Kutukan Wasiat Kakek    35 || Paman Suhadi Atau Bukan?

    Langkah kaki yang misterius itu membuat ruangan terasa membeku seketika. Alya menggenggam lengan Narendra dengan erat, napasnya tertahan. Narendra menoleh ke belakang dengan cepat, tetapi tak ada apa-apa di sana. Hanya kesunyian yang menyelimuti mereka, seolah langkah tadi adalah ilusi belaka. “Kita nggak bisa terus begini,” ujar Narendra sambil menarik napas panjang. “Aku nggak akan biarin kamu sendirian di rumah ini malam ini. Aku nginep aja di kamar tamu, biar kalau ada apa-apa, aku bisa langsung bantu.” Alya mengerutkan kening, menimbang tawaran itu. Di satu sisi, ia merasa ragu membiarkan Narendra menginap, takut memancing gosip dan membuat ayahnya kembali marah. Namun, di sisi lain, ketakutan yang mencekam sejak tadi lebih dominan. Ia tahu ia tak akan bisa tidur nyenyak tanpa merasa ada orang lain di dekatnya. Apalagi orang tuanya juga entah pulang jam berapa. “Kamar tamu ada di lantai satu, kan?” Nare

  • Kutukan Wasiat Kakek    34 || Memutuskan Untuk Melawan

    Alya menatap layar ponselnya dengan mata yang mulai memerah. Gambar halaman dari buku tua itu terpampang jelas, aksara Jawa kuno yang sebagian sudah tak terbaca, tapi sisanya terlihat seperti mantra atau petunjuk ritual. Ia membaca baris-baris itu dengan seksama, mencoba menguraikan maknanya, meskipun pikirannya masih diselimuti rasa takut. “Ritual inti,” gumamnya pelan. Kata-kata itu menggema di benaknya, membawa perasaannya berkecamuk. Jika ritual sebelumnya tidak berhasil, mungkin ini adalah jalannya. Namun, apakah ia siap untuk melangkah lebih jauh? Apakah ia berani menghadapi konsekuensi yang mungkin lebih buruk? Ia teringat Mbah Karso yang berulang kali mengingatkan bahwa tidak semua ritual bisa dilakukan sembarangan. “Jangan mencoba sendiri. Kuatkan imanmu, Nduk, bukan egomu.” begitu pesan terakhirnya. Namun, sekarang, ia merasa tak punya pilihan lain. Angin dari celah jendela kembali berembus, menyapu rambutnya dan membuat kertas-kertas di meja bergetar pelan. Seo

  • Kutukan Wasiat Kakek    33 || Kembali Diteror

    Malam itu, udara di dalam kamar Alya terasa berat. Meskipun lampu menyala, bayangan-bayangan di sudut ruangan seolah hidup, bergerak dengan irama yang tidak kasatmata. Alya mencoba memejamkan mata, tetapi suara samar dari arah jendela membuatnya tersentak.Tok ... tok ... tok ....Bunyi itu tidak terlalu keras, tetapi cukup untuk membuat jantung Alya berdetak kencang. Ia menggenggam kalung jimatnya lebih erat, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja."Itu paling cuma suara angin," gumamnya pelan, seolah berusaha menghibur dirinya sendiri.Namun, ketika suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, Alya langsung duduk tegak. Pandangannya terpaku pada jendela yang masih tertutup rapat.Ponsel di sampingnya bergetar, membuat tubuhnya tersentak. Nama Narendra muncul di layar, sekejap kemudian ia segera mengangkatnya.“Naren, tolong bilang aku cuma paranoid,” katanya, suaranya bergetar.“Ada apa lagi, Alya? Kenapa suaramu seperti itu?” tanya Narendra dengan panik.“Ada s

  • Kutukan Wasiat Kakek    32 || Pulang

    Mbah Karso tidak menjawab. Ia terus melantunkan doa, dan tak lama kemudian, Tina bergeser mundur dengan wajah tegang. “Astaga ... Mbah, itu ada di belakangmu!” seru Tina dengan suara bergetar, menunjuk ke arah sesuatu yang Alya tidak bisa lihat.“Apa? Ada apa, Bu?” tanya Alya, panik. Ia mencoba mencari tahu apa yang terjadi, tapi pandangannya hanya kosong. Tidak ada yang aneh di hadapannya.“Dia ada di sana ... dekat pintu!” bisik Tina sambil menutupi mulutnya. Matanya tidak lepas dari sosok tak kasatmata yang hanya bisa ia lihat. “Mbah, kenapa dia mendekat?”“Tenang, Tina,” ujar Mbah Karso tanpa menoleh. Suaranya tetap tenang, meski wajahnya mulai berkeringat. “Alya tidak bisa melihatnya, kan?”Alya menggeleng cepat. “Aku nggak lihat apa-apa, Mbah. Aku juga nggak dengar suara apa-apa.”Mbah Karso mengangguk dengan mantap. Ia membalikkan badan, menatap ke arah pintu yang kosong di mata Alya.“Kau sudah selesai di sini. Pergilah,” ucapnya pelan, penuh wibawa.Ruangan mendadak menjadi

  • Kutukan Wasiat Kakek    31 || Menutup Mata Batin

    Malam itu, udara begitu dingin, menusuk sampai ke tulang. Bau kembang tujuh rupa memenuhi ruangan kecil tempat Alya duduk dengan tubuh gemetar. Di sudut ruangan, Mbah Karso tengah berjongkok, memegang kendi berisi air kembang. Wajahnya serius, matanya tertuju pada nyala lampu minyak yang redup, sementara Tina berdiri di belakang Alya, menggenggam erat bahu anaknya.“Alya, jangan takut, ya, Nduk,” bisik Tina, meski suaranya bergetar. “Ini semua untuk kebaikanmu.”Alya hanya mengangguk kecil. Tubuhnya masih lemah setelah kejadian mengerikan sebelumnya, tapi tatapan penuh kasih ibunya memberinya sedikit keberanian.Mbah Karso berdiri perlahan, membawa kendi itu ke hadapan Alya. “Nduk, air ini sudah Mbah doakan. Mulai sekarang, semuanya tergantung pada keberanianmu sendiri. Kamu harus yakin dan percaya. Mengerti?”“Mbah, apa benar ini akan berhasil? Aku nggak mau lagi lihat mereka. Aku nggak kuat.” Alya berbisik pelan, suaranya hampir tak te

  • Kutukan Wasiat Kakek    30 || Perjanjian

    Alya berusaha mengumpulkan sisa keberanian di tengah gemetar tubuhnya. Mata merah yang menyala itu kini seperti menembus langsung ke jiwanya. Bayangan hitam itu mendekat perlahan, setiap langkahnya membuat lantai kayu berderak seperti direnggut oleh kekuatan yang tidak kasat mata.“Pergi dari sini! Ini bukan tempatmu!” seru Mbah Karso, menghentakkan tongkatnya ke lantai. Getarannya terasa sampai ke telapak kaki, tetapi bayangan itu hanya tertawa pelan, suaranya seperti dengungan ribuan lebah yang menggema di ruangan.Tina semakin erat memeluk Alya, tangannya bergetar hebat. "Mbah, dia makin dekat! Apa yang harus kita lakukan?""Alya!" suara Mbah Karso menggema dengan tegas. "Tatap aku! Jangan lihat dia!"Namun, Alya seperti terpaku. Matanya tak bisa lepas dari sosok itu. Ada daya tarik aneh yang memaksanya untuk terus menatap. Bayangan itu mengulurkan tangan panjang, dengan kuku-kuku hitam melengkung tajam. Jari-jari itu bergerak pelan, seolah-olah ingin meraih Alya."Mbah, aku ... a

  • Kutukan Wasiat Kakek    29 || Penagih

    Dalam gelap, suara langkah kaki menggema, lambat dan semakin mendekat. Alya merasakan hawa dingin menyentuh lehernya, seperti napas seseorang yang tidak terlihat. "Bu, dia ada di sini," bisik Alya dengan suara hampir tak terdengar. Tina tidak menjawab, hanya memeluk putrinya lebih erat. Namun, dari pelukannya, Alya tahu ibunya juga ketakutan. Tubuh Tina terasa kaku, seperti menahan sesuatu yang sangat berat. "Kalian tidak boleh gentar," kata Mbah Karso dengan suara tegas. "Dia hanya bisa masuk jika kalian mengizinkannya." "Aaargh ...!" Alya memekik hebat, merasakan sesuatu menyentuh bahunya, seperti kuku-kuku panjang yang tajam. Mbah Karso menyalakan lampu minyak dengan cepat. Cahaya kembali menerangi ruangan, tapi hanya sebentar. Sosok itu terlihat melayang di sudut, lebih besar dan lebih menyeramkan dari sebelumnya. "Gadis itu milik kami ...." Suara mahluk itu menggema, berat dan serak seperti bisikan kematian. "Tidak, dia bukan milikmu!" Mbah Karso menghentakkan tongka

DMCA.com Protection Status