Pagi itu, ketika matahari masih mengintip malu-malu dari balik jendela rumah sakit, dokter akhirnya datang dengan membawa hasil laboratorium Alya. Tina dan Bowo menanti penuh harap dan cemas di ruang perawatan, tatapan mereka tertuju pada map tebal yang dipegang sang dokter, seakan semua jawaban akan terurai di sana. Dokter pun membuka percakapan, wajahnya serius, tetapi mencoba tetap tenang.“Pak Bowo, Bu Tina … setelah hasil laboratorium keluar, kami mendapati bahwa kondisi Alya disebabkan oleh infeksi tifus atau tipes," jelasnya sambil menyerahkan lembar hasil pemeriksaan pada Tina. “Infeksinya menyerang bagian usus halus dan lambung, dan saat ini kita mendapati tingkat leukosit yang rendah, artinya Alya mengalami penurunan daya tahan tubuh yang cukup signifikan. Ada bakteri Salmonella typhi yang masuk ke aliran darahnya, menyebabkan Alya lemah dan demam tinggi. Ini berbahaya jika tidak segera ditangani dengan tepat.”Tina mengangguk paham, meski rasa khawatir tak juga surut. “Ja
Alya terbangun dengan mata yang masih berat, samar-samar mendengar suara isak tangis ibunya di sampingnya. Tubuhnya terasa lemah, nyeri di seluruh sendi, seperti habis melewati perjalanan panjang yang menguras tenaga. Dia mencoba menggerakkan tangannya, menyentuh bahu Tina yang bergetar karena isakan."Ibu ...," bisiknya lemah, suaranya serak dan hampir tak terdengar.Tina mengangkat wajahnya dengan cepat, air mata masih mengalir di pipinya. "Alya ... Nak, kamu sudah sadar? Syukurlah, syukurlah ...." Tina menggenggam tangan Alya erat, seolah takut jika putrinya kenapa-kenapa.Alya menatap ibunya dengan bingung, berusaha mengingat apa yang terjadi. Namun, rasa dingin tiba-tiba menyergapnya-begitu menusuk dan mendadak, seperti angin yang datang dari celah pintu. Ia merasakan bulu kuduknya meremang tanpa sebab."Masih pusing, Nduk?" Tina masih mengusap wajah Alya dengan lembut, tetapi tiba-tiba Alya merasa seolah ada sesuatu yang lain di kamar itu, sesuatu yang mengawasi mereka dari su
Tina memejamkan mata, meredakan napas yang masih tersengal setelah percakapan dengan kakaknya. Ruang ICU terasa semakin dingin, tetapi bukan dingin biasa, ada sensasi tajam yang menusuk, seperti hawa yang datang dari tempat asing.Rasa takutnya memuncak. Apa yang sebenarnya Nayu rencanakan? Kenapa ia sampai nekat membawa perlengkapan ritual, padahal semua sudah sepakat untuk tidak menyentuh hal-hal gaib itu lagi? Tiba-tiba, lampu ICU berkelip-kelip, cahayanya redup. Tina tertegun, perasaan aneh mencengkeram tenggorokannya. Ia mengusap tangan putrinya yang terasa semakin dingin. Wajah Tina mulai basah oleh keringat dingin, dadanya bergemuruh dengan ketakutan yang tak bisa ia jelaskan.Lalu, dalam keheningan yang begitu mencekam, terdengar suara langkah-langkah samar, seperti tapak yang basah dan berat. Tina terdiam, tubuhnya menegang. Ia memandangi pintu ICU, berharap suara itu hanya ilusi, tetapi suara itu semakin mendekat. Setiap langkah seakan menggema di telinganya.“Siapa siapa
Malam hari. Narendra berdiri di seberang jalan, menatap kediaman megah yang kini terasa begitu sunyi. Matanya terpejam sesaat, mencoba menerawang apa yang tersembunyi di balik dinding-dinding besar itu. Meski pandangannya tertutup kabut tipis yang terasa pekat, ia bisa merasakan ada energi gelap yang menyelubungi tempat itu. Ia mengatur napas, mencoba merasakan setiap getaran halus yang merambat di udara. Hawa di sekitarnya terasa semakin dingin, menekan dadanya dengan kekuatan yang seolah berusaha mengusirnya pergi. Dari jauh, sebuah bayangan samar terlihat melintas di balik jendela lantai atas. Bayangan itu tampak melayang, seperti sosok tanpa tubuh yang bergerak perlahan, mengawasinya dari kejauhan. Narendra mengepalkan tangan, menyadari bahwa kehadiran makhluk-makhluk tak kasat mata di sana bukan sekadar ilusi. Ada kekuatan jahat yang bersarang, dan ia bisa merasakannya, seperti gelombang yang menghantam tubuhnya secara perlahan, tapi pasti. “Jangan ganggu Alya,” gum
Keesokan Paginya Langit tampak mendung, tetapi tidak cukup gelap untuk menghalangi sinar matahari yang mencoba menembus awan. Alya terbangun dengan tubuh lelah, semalam hanya tidur beberapa jam. Sejak pertama kali terbangun, pikirannya terus terngiang-ngiang akan kejadian semalam, jus apel yang tiba-tiba berubah bau, dan makhluk-makhluk menjijikkan yang muncul di atasnya. Namun, ia berusaha menenangkan diri. Mungkin itu hanya halusinasi, pikirnya. Toh, dirinya sudah sering kali terjebak dalam bayang-bayang ketakutan yang menipu. Setelah mencuci muka, Alya berjalan keluar dari kamar, menuju ruang makan. Dari sana, ia melihat Nayu sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Alya memilih untuk diam-diam mengamati, hati dan pikirannya berputar. Ia tidak ingin menunjukan kecurigaannya. Jadi, hari ini, ia memilih untuk mengawasi, mengikuti setiap gerak-gerik bibinya. “Bibi, mau dibantuin apa?” tanya Alya setengah berteriak, seraya duduk di meja makan. Nayu menoleh, bibirnya tersenyum leb
Suara hujan rintik di luar jendela membuat malam terasa semakin sunyi dan dingin. Alya duduk di atas ranjang, menatap layar ponselnya. Kedua orang tuanya masih sibuk mengurus pekerjaan, dan sahabatnya, Narendra, sedang berjaga di rumah sakit. Hanya ada dirinya, Bibi Nayu, dan kelurga Paman Suhadi di rumah besar ini.Alya sering merasa kesepian akhir-akhir ini, meskipun ia tidak pernah menyampaikannya. Kadang, ia merasa kehadiran Paman Suhadi yang jarang berbicara dan lebih suka menyendiri membuat suasana rumah ini semakin hening. Namun, untunglah ada Bibi Nayu yang selalu bersikap hangat dan memperlakukannya seperti anak sendiri."Wajar, istrinya paman juga suka ngurung diri di kamar. Jarang keluar. Keluar-keluar kalau mau makan atau ada tamu yang nyariin saja. Kalau Bibi mungkin karena kangen anaknya, makanya nemenin aku terus. Sejak dulu memang Bibi yang paling dekat denganku dari semua saudara-saudara ibu," gumam gadis cantik itu.Dirinya beranjak ke tempat tidur, membawa perasaan
Malam itu, suara hujan yang semakin deras di luar terasa memenuhi rumah besar itu, menciptakan suasana ganjil di balik kehangatan yang muncul seiring kepulangan kedua orang tua Alya dari lembur. Saat ibunya melepas sepatu di depan pintu, Alya segera menghampirinya dengan raut wajah tegang."Bu, boleh ikut ke kamarku sebentar?" tanyanya lirih, tapi nadanya mendesak.Tina terdiam sejenak, heran melihat sikap putrinya yang tiba-tiba cemas. Namun, tanpa banyak bicara, ia mengikuti Alya menuju kamar. Begitu pintu kamar tertutup, Alya duduk di tepi ranjang, menggigit bibir sejenak."Ibu, aku mau cerita soal Paman Suhadi," katanya pelan.Tina memandang putrinya dengan sorot serius, mengangguk. "Ada apa, Nak? Kamu kelihatan resah sekali."Alya menghela napas, ragu-ragu. "Beberapa hari ini aku lihat Paman melakukan hal-hal yang aneh. Kemarin dia bawa dupa sama botol-botol kecil ke kamar yang biasanya nggak boleh dibuka itu. Dan tadi pagi, aku lihat dia kayak … melakukan sesuatu di halaman bel
Alya menempelkan tubuhnya ke dinding, mencoba mengatur napas yang terengah-engah, tetapi suara langkah kaki yang kian mendekat membuatnya semakin sulit untuk tetap tenang. Suara derit kayu lantai lorong terdengar pelan, setiap langkah seperti menggema di telinganya. Bayangan samar sosok Nayu perlahan muncul di ujung lorong, diterangi cahaya redup dari lampu yang menggantung di langit-langit.Tubuh Alya mulai gemetar. Dalam hati ia terus memohon, berharap bibinya tidak melihat ke arahnya. Tangannya mencengkeram erat tepian dinding, keringat dingin mengalir deras di pelipisnya. Suasana begitu mencekam, seakan-akan waktu berhenti sejenak, hanya suara langkah kaki dan detak jantungnya yang terdengar.Bayangan Nayu semakin jelas. Wanita itu kini hanya beberapa langkah dari tempat Alya bersembunyi. Sorot matanya tajam, seperti sedang mencari sesuatu. Sesekali ia berhenti, celingak-celinguk, seolah mencium ada yang tidak beres. Alya merasa udara di sekitarnya begitu dingin, seperti diseli
"Alya. Kita nggak bisa membiarkan rasa takut ini menguasai. Apa pun yang terjadi di sini, harus kita pecahkan sekarang."Alya menatap Narendra, ragu-ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Tapi apa nggak bahaya kalau kita keluar lagi?"Narendra menghela napas, kemudian menggenggam tangan Alya. "Kita akan melakukannya dengan hati-hati." Mereka berjalan keluar, kali ini dengan langkah yang lebih waspada. Angin malam kembali berhembus, membawa suara-suara samar yang terdengar seperti bisikan. Alya merapatkan jaketnya, mencoba mengusir rasa dingin yang mulai menyusup hingga ke tulang.Saat mereka kembali ke pohon mangga, sebuah kejadian aneh terjadi. Abu yang sebelumnya mereka temukan kini sudah lenyap. Tidak ada jejak apa pun selain rumput basah."Mungkin ini bagian dari permainan mereka," ujar Narendra, menunduk untuk memeriksa lebih teliti. Ia menyentuh tanah itu, tetapi tidak menemukan apa-apa.Alya memejamkan mata, mencoba mengingat sesuatu. "Narendra, abu itu ada aksara jawanya, kan? A
Narendra menggenggam ponselnya erat, pandangan masih terpaku ke halaman belakang. Kali ini, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keanehan. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," gumamnya pelan, lalu tanpa ragu ia mengambil jaket yang tergantung di kursi. Langkah kakinya mantap saat menyusuri lorong menuju pintu belakang, tapi tetap penuh kewaspadaan. Ia tahu ada kemungkinan besar orang yang ia lihat adalah Paman Suhadi seperti yang Alya katakan, tapi nalurinya tidak bisa mengabaikan keganjilan situasi ini. Saat Narendra sampai di pintu belakang, ia mendapati pintu itu tidak terkunci, sangat mustahil rumah sebesar ini pintunya dibiarkan tidak terkunci rapat. Hal ini membuat darahnya berdesir. Dengan gerakan perlahan, ia membuka pintu dan melangkah keluar. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, seperti membawa peringatan tersendiri. Namun, suara langkah di belakangnya membuatnya langsu
Langkah kaki yang misterius itu membuat ruangan terasa membeku seketika. Alya menggenggam lengan Narendra dengan erat, napasnya tertahan. Narendra menoleh ke belakang dengan cepat, tetapi tak ada apa-apa di sana. Hanya kesunyian yang menyelimuti mereka, seolah langkah tadi adalah ilusi belaka. “Kita nggak bisa terus begini,” ujar Narendra sambil menarik napas panjang. “Aku nggak akan biarin kamu sendirian di rumah ini malam ini. Aku nginep aja di kamar tamu, biar kalau ada apa-apa, aku bisa langsung bantu.” Alya mengerutkan kening, menimbang tawaran itu. Di satu sisi, ia merasa ragu membiarkan Narendra menginap, takut memancing gosip dan membuat ayahnya kembali marah. Namun, di sisi lain, ketakutan yang mencekam sejak tadi lebih dominan. Ia tahu ia tak akan bisa tidur nyenyak tanpa merasa ada orang lain di dekatnya. Apalagi orang tuanya juga entah pulang jam berapa. “Kamar tamu ada di lantai satu, kan?” Nare
Alya menatap layar ponselnya dengan mata yang mulai memerah. Gambar halaman dari buku tua itu terpampang jelas, aksara Jawa kuno yang sebagian sudah tak terbaca, tapi sisanya terlihat seperti mantra atau petunjuk ritual. Ia membaca baris-baris itu dengan seksama, mencoba menguraikan maknanya, meskipun pikirannya masih diselimuti rasa takut. “Ritual inti,” gumamnya pelan. Kata-kata itu menggema di benaknya, membawa perasaannya berkecamuk. Jika ritual sebelumnya tidak berhasil, mungkin ini adalah jalannya. Namun, apakah ia siap untuk melangkah lebih jauh? Apakah ia berani menghadapi konsekuensi yang mungkin lebih buruk? Ia teringat Mbah Karso yang berulang kali mengingatkan bahwa tidak semua ritual bisa dilakukan sembarangan. “Jangan mencoba sendiri. Kuatkan imanmu, Nduk, bukan egomu.” begitu pesan terakhirnya. Namun, sekarang, ia merasa tak punya pilihan lain. Angin dari celah jendela kembali berembus, menyapu rambutnya dan membuat kertas-kertas di meja bergetar pelan. Seo
Malam itu, udara di dalam kamar Alya terasa berat. Meskipun lampu menyala, bayangan-bayangan di sudut ruangan seolah hidup, bergerak dengan irama yang tidak kasatmata. Alya mencoba memejamkan mata, tetapi suara samar dari arah jendela membuatnya tersentak.Tok ... tok ... tok ....Bunyi itu tidak terlalu keras, tetapi cukup untuk membuat jantung Alya berdetak kencang. Ia menggenggam kalung jimatnya lebih erat, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja."Itu paling cuma suara angin," gumamnya pelan, seolah berusaha menghibur dirinya sendiri.Namun, ketika suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, Alya langsung duduk tegak. Pandangannya terpaku pada jendela yang masih tertutup rapat.Ponsel di sampingnya bergetar, membuat tubuhnya tersentak. Nama Narendra muncul di layar, sekejap kemudian ia segera mengangkatnya.“Naren, tolong bilang aku cuma paranoid,” katanya, suaranya bergetar.“Ada apa lagi, Alya? Kenapa suaramu seperti itu?” tanya Narendra dengan panik.“Ada s
Mbah Karso tidak menjawab. Ia terus melantunkan doa, dan tak lama kemudian, Tina bergeser mundur dengan wajah tegang. “Astaga ... Mbah, itu ada di belakangmu!” seru Tina dengan suara bergetar, menunjuk ke arah sesuatu yang Alya tidak bisa lihat.“Apa? Ada apa, Bu?” tanya Alya, panik. Ia mencoba mencari tahu apa yang terjadi, tapi pandangannya hanya kosong. Tidak ada yang aneh di hadapannya.“Dia ada di sana ... dekat pintu!” bisik Tina sambil menutupi mulutnya. Matanya tidak lepas dari sosok tak kasatmata yang hanya bisa ia lihat. “Mbah, kenapa dia mendekat?”“Tenang, Tina,” ujar Mbah Karso tanpa menoleh. Suaranya tetap tenang, meski wajahnya mulai berkeringat. “Alya tidak bisa melihatnya, kan?”Alya menggeleng cepat. “Aku nggak lihat apa-apa, Mbah. Aku juga nggak dengar suara apa-apa.”Mbah Karso mengangguk dengan mantap. Ia membalikkan badan, menatap ke arah pintu yang kosong di mata Alya.“Kau sudah selesai di sini. Pergilah,” ucapnya pelan, penuh wibawa.Ruangan mendadak menjadi
Malam itu, udara begitu dingin, menusuk sampai ke tulang. Bau kembang tujuh rupa memenuhi ruangan kecil tempat Alya duduk dengan tubuh gemetar. Di sudut ruangan, Mbah Karso tengah berjongkok, memegang kendi berisi air kembang. Wajahnya serius, matanya tertuju pada nyala lampu minyak yang redup, sementara Tina berdiri di belakang Alya, menggenggam erat bahu anaknya.“Alya, jangan takut, ya, Nduk,” bisik Tina, meski suaranya bergetar. “Ini semua untuk kebaikanmu.”Alya hanya mengangguk kecil. Tubuhnya masih lemah setelah kejadian mengerikan sebelumnya, tapi tatapan penuh kasih ibunya memberinya sedikit keberanian.Mbah Karso berdiri perlahan, membawa kendi itu ke hadapan Alya. “Nduk, air ini sudah Mbah doakan. Mulai sekarang, semuanya tergantung pada keberanianmu sendiri. Kamu harus yakin dan percaya. Mengerti?”“Mbah, apa benar ini akan berhasil? Aku nggak mau lagi lihat mereka. Aku nggak kuat.” Alya berbisik pelan, suaranya hampir tak te
Alya berusaha mengumpulkan sisa keberanian di tengah gemetar tubuhnya. Mata merah yang menyala itu kini seperti menembus langsung ke jiwanya. Bayangan hitam itu mendekat perlahan, setiap langkahnya membuat lantai kayu berderak seperti direnggut oleh kekuatan yang tidak kasat mata.“Pergi dari sini! Ini bukan tempatmu!” seru Mbah Karso, menghentakkan tongkatnya ke lantai. Getarannya terasa sampai ke telapak kaki, tetapi bayangan itu hanya tertawa pelan, suaranya seperti dengungan ribuan lebah yang menggema di ruangan.Tina semakin erat memeluk Alya, tangannya bergetar hebat. "Mbah, dia makin dekat! Apa yang harus kita lakukan?""Alya!" suara Mbah Karso menggema dengan tegas. "Tatap aku! Jangan lihat dia!"Namun, Alya seperti terpaku. Matanya tak bisa lepas dari sosok itu. Ada daya tarik aneh yang memaksanya untuk terus menatap. Bayangan itu mengulurkan tangan panjang, dengan kuku-kuku hitam melengkung tajam. Jari-jari itu bergerak pelan, seolah-olah ingin meraih Alya."Mbah, aku ... a
Dalam gelap, suara langkah kaki menggema, lambat dan semakin mendekat. Alya merasakan hawa dingin menyentuh lehernya, seperti napas seseorang yang tidak terlihat. "Bu, dia ada di sini," bisik Alya dengan suara hampir tak terdengar. Tina tidak menjawab, hanya memeluk putrinya lebih erat. Namun, dari pelukannya, Alya tahu ibunya juga ketakutan. Tubuh Tina terasa kaku, seperti menahan sesuatu yang sangat berat. "Kalian tidak boleh gentar," kata Mbah Karso dengan suara tegas. "Dia hanya bisa masuk jika kalian mengizinkannya." "Aaargh ...!" Alya memekik hebat, merasakan sesuatu menyentuh bahunya, seperti kuku-kuku panjang yang tajam. Mbah Karso menyalakan lampu minyak dengan cepat. Cahaya kembali menerangi ruangan, tapi hanya sebentar. Sosok itu terlihat melayang di sudut, lebih besar dan lebih menyeramkan dari sebelumnya. "Gadis itu milik kami ...." Suara mahluk itu menggema, berat dan serak seperti bisikan kematian. "Tidak, dia bukan milikmu!" Mbah Karso menghentakkan tongka