Suara hujan rintik di luar jendela membuat malam terasa semakin sunyi dan dingin. Alya duduk di atas ranjang, menatap layar ponselnya. Kedua orang tuanya masih sibuk mengurus pekerjaan, dan sahabatnya, Narendra, sedang berjaga di rumah sakit. Hanya ada dirinya, Bibi Nayu, dan kelurga Paman Suhadi di rumah besar ini.Alya sering merasa kesepian akhir-akhir ini, meskipun ia tidak pernah menyampaikannya. Kadang, ia merasa kehadiran Paman Suhadi yang jarang berbicara dan lebih suka menyendiri membuat suasana rumah ini semakin hening. Namun, untunglah ada Bibi Nayu yang selalu bersikap hangat dan memperlakukannya seperti anak sendiri."Wajar, istrinya paman juga suka ngurung diri di kamar. Jarang keluar. Keluar-keluar kalau mau makan atau ada tamu yang nyariin saja. Kalau Bibi mungkin karena kangen anaknya, makanya nemenin aku terus. Sejak dulu memang Bibi yang paling dekat denganku dari semua saudara-saudara ibu," gumam gadis cantik itu.Dirinya beranjak ke tempat tidur, membawa perasaan
Malam itu, suara hujan yang semakin deras di luar terasa memenuhi rumah besar itu, menciptakan suasana ganjil di balik kehangatan yang muncul seiring kepulangan kedua orang tua Alya dari lembur. Saat ibunya melepas sepatu di depan pintu, Alya segera menghampirinya dengan raut wajah tegang."Bu, boleh ikut ke kamarku sebentar?" tanyanya lirih, tapi nadanya mendesak.Tina terdiam sejenak, heran melihat sikap putrinya yang tiba-tiba cemas. Namun, tanpa banyak bicara, ia mengikuti Alya menuju kamar. Begitu pintu kamar tertutup, Alya duduk di tepi ranjang, menggigit bibir sejenak."Ibu, aku mau cerita soal Paman Suhadi," katanya pelan.Tina memandang putrinya dengan sorot serius, mengangguk. "Ada apa, Nak? Kamu kelihatan resah sekali."Alya menghela napas, ragu-ragu. "Beberapa hari ini aku lihat Paman melakukan hal-hal yang aneh. Kemarin dia bawa dupa sama botol-botol kecil ke kamar yang biasanya nggak boleh dibuka itu. Dan tadi pagi, aku lihat dia kayak … melakukan sesuatu di halaman bel
Alya menempelkan tubuhnya ke dinding, mencoba mengatur napas yang terengah-engah, tetapi suara langkah kaki yang kian mendekat membuatnya semakin sulit untuk tetap tenang. Suara derit kayu lantai lorong terdengar pelan, setiap langkah seperti menggema di telinganya. Bayangan samar sosok Nayu perlahan muncul di ujung lorong, diterangi cahaya redup dari lampu yang menggantung di langit-langit.Tubuh Alya mulai gemetar. Dalam hati ia terus memohon, berharap bibinya tidak melihat ke arahnya. Tangannya mencengkeram erat tepian dinding, keringat dingin mengalir deras di pelipisnya. Suasana begitu mencekam, seakan-akan waktu berhenti sejenak, hanya suara langkah kaki dan detak jantungnya yang terdengar.Bayangan Nayu semakin jelas. Wanita itu kini hanya beberapa langkah dari tempat Alya bersembunyi. Sorot matanya tajam, seperti sedang mencari sesuatu. Sesekali ia berhenti, celingak-celinguk, seolah mencium ada yang tidak beres. Alya merasa udara di sekitarnya begitu dingin, seperti diseli
Langit berwarna abu-abu pekat saat Alya kembali memasuki rumah tua itu. Angin dingin merayap masuk melalui celah-celah jendela, menambah kesan suram di dalam rumah. Suara detak jam dinding terdengar begitu nyaring, seolah menghitung waktu yang perlahan menyeretnya ke dalam jurang ketakutan. Langkah kakinya terasa berat saat menaiki anak tangga yang berderit setiap kali diinjak. Jantungnya berdetak keras, seperti genderang perang yang tak kunjung berhenti. Udara di lorong kamar bibinya terasa lebih dingin dari biasanya.Ketika tiba di depan pintu kamar bibi Nayu, ia berhenti. Napasnya terengah-engah, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Pintu kayu itu terlihat begitu menakutkan. Ia menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian.Dengan tangan gemetar, Alya meraih gagang pintu. Perlahan, ia memutarnya, berusaha tidak menimbulkan suara. Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan bayangan samar-samar di dalam kamar yang remang. Hanya cahaya matahari yang menyelinap melalui celah tirai,
Selesai membantu membuat kue, Alya buru-buru kembali ke kamarnya. Ia memastikan pintu terkunci rapat sebelum menarik buku itu dari balik bantal. "Duh, aku harus cepat keluar dari sini," gumamnya dengan napas terburu. "Aku harus cepet-cepet ketemu Naren, kayaknya cuma dia yang bisa bantu." Ia memasukkan buku itu ke dalam tas kecil yang ia bawa, lalu mengenakan jaket. Namun, sebelum ia sempat keluar, suara ketukan di pintu membuatnya terdiam. Alya segera membukanya, sekejap kemudian manik beningnya membola lebar mendapati bibi Nayu berdiri di hadapannya. "Alya, kamu mau ke mana?" suara Nayu terdengar lagi, kali ini lebih dingin. Alya memandang tasnya, lalu pintu di depannya. "Mau ke luar sebentar, Bi. Aku ada urusan," jawabnya, lirih. Keheningan terjadi beberapa detik, kesempatan itu dimanfaatkan Alya untuk langsung melenggang pergi dari hadapan Bibinya. Mengira sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan wanita paruh baya itu. Alya berlari menuju garasi dengan napas memburu. Hat
Alya menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu kamar bibinya. Suara engsel pintu berdecit, membuatnya merinding. Ia melangkah perlahan ke arah lemari kayu di pojok kamar. Kakinya gemetar, tetapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang. Buku kuno itu terasa berat di tangannya.Dengan hati-hati, ia membuka pintu lemari. Bau kayu tua bercampur aroma dupa langsung menyeruak. Ia meletakkan buku itu di tempat semula, mengatur posisinya agar tidak tampak pernah dipindahkan. Setelah memastikan semuanya tampak seperti sebelumnya, Alya segera menutup lemari itu.Namun, saat ia berbalik menuju pintu keluar, langkahnya terhenti.Sebuah suara samar terdengar, seperti bisikan, datang dari arah tempat tidur.“Alya .…”Ia membeku. Jantungnya berpacu. “Cuma halusinasiku. Ya, cuma halusinasiku,” ucapnya pelan.Ia mencoba mengabaikan suara itu dan mempercepat langkahnya. Tangannya sudah berada di gagang pintu ketika tiba-tiba pintu it
Alya menatap pintu rumah tua itu dengan ragu. Papan-papan kayunya sudah lapuk, ditumbuhi lumut di beberapa bagian. Di atas pintu, tergantung sebuah hiasan anyaman daun kelapa yang mulai cokelat. Udara sekitar terasa berat, dingin yang menusuk tulang meski tidak ada angin berembus.Tina menggenggam tangan Alya erat, seolah memberikan kekuatan. “Ayo, Nak. Jangan takut,” katanya pelan.Alya menelan ludah, menahan diri agar tidak mundur. “Bu, tempat ini kenapa rasanya seperti ... aneh?” tanyanya ragu.Tina melirik putrinya, wajahnya tegang. “Ini bukan tempat aneh, Nduk. Ini tempat orang pintar yang bisa bantu kita. Sudah, nurut saja. Jangan banyak tanya.”Sebelum Alya bisa membalas, pintu rumah itu tiba-tiba terbuka. Engselnya berderit nyaring, seperti suara seseorang yang menjerit tertahan. Di balik pintu, berdiri seorang pria tua dengan tubuh tegap dan sorot mata tajam. Rambut putihnya tertutup blangkon, dan tubuh ringkih itu dibalut kain batik yang warnanya mulai pudar.“Kalian sudah
Dalam gelap, suara langkah kaki menggema, lambat dan semakin mendekat. Alya merasakan hawa dingin menyentuh lehernya, seperti napas seseorang yang tidak terlihat. "Bu, dia ada di sini," bisik Alya dengan suara hampir tak terdengar. Tina tidak menjawab, hanya memeluk putrinya lebih erat. Namun, dari pelukannya, Alya tahu ibunya juga ketakutan. Tubuh Tina terasa kaku, seperti menahan sesuatu yang sangat berat. "Kalian tidak boleh gentar," kata Mbah Karso dengan suara tegas. "Dia hanya bisa masuk jika kalian mengizinkannya." "Aaargh ...!" Alya memekik hebat, merasakan sesuatu menyentuh bahunya, seperti kuku-kuku panjang yang tajam. Mbah Karso menyalakan lampu minyak dengan cepat. Cahaya kembali menerangi ruangan, tapi hanya sebentar. Sosok itu terlihat melayang di sudut, lebih besar dan lebih menyeramkan dari sebelumnya. "Gadis itu milik kami ...." Suara mahluk itu menggema, berat dan serak seperti bisikan kematian. "Tidak, dia bukan milikmu!" Mbah Karso menghentakkan tongka
Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari rumah besar itu dengan hangat. Namun, suasana lantai dua terasa tegang. Tina, yang tengah merapikan barang-barangnya untuk pergi ke kos-kosan Alya, tiba-tiba merasa ada yang janggal.“Kenapa Nayu belum turun juga, ya?” gumamnya sambil melirik jam dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka sembilan. Biasanya, Nayu selalu muncul lebih pagi, entah untuk menyiapkan sarapan atau sekadar berkeliling.Tina menghentikan kegiatannya. Pikirannya terusik. Ia mencoba menepis kekhawatiran itu, tetapi firasatnya kian menguat. Akhirnya, dengan langkah pelan tapi pasti, ia memutuskan untuk naik ke lantai tiga.Tangga yang berderit di bawah pijakannya semakin menambah rasa was-was. Lantai tiga, yang biasanya jarang ia kunjungi, terasa begitu sunyi. Setibanya di depan kamar Nayu, Tina mengetuk pintu dengan hati-hati.“Nayu? Kamu di dalam?” panggilnya, berusaha terdengar tenang.Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. “Nayu! Ban
Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri kokoh di tengah pekarangan yang sunyi. Malam telah larut, namun keheningan di lantai tiga terasa tidak biasa. Dinding-dinding tua berlapis cat yang mulai pudar memantulkan bayangan samar dari cahaya lilin yang berkerlip tak menentu. Udara di sana begitu pekat, seolah ada sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayangan gelap untuk menerkam.Di salah satu kamar di lantai itu, Nayu duduk bersila di lantai. Ruangan itu dipenuhi dengan benda-benda ritual, lilin hitam berjajar rapi di atas meja, sebuah cawan perak yang penuh cairan berbau menyengat, dan segumpal rambut kusut yang ia letakkan di atas kain merah. Matanya yang tajam menatap lekat rambut itu, tangannya mulai bergerak dengan pelan dan penuh tekad. Ia mulai merapal mantra, suaranya lirih, tapi penuh intensitas, seperti berbisik kepada kekuatan yang tidak kasat mata.“Aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu rencanaku,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Namun, malam itu berbeda.
Pagi ini, ia dan Narendra kembali ke rumah Pak Ustaz Harun—pamannya Narendra, seorang tokoh agama yang menjadi tumpuan mereka dalam melawan kutukan keluarga.Di perjalanan, Narendra mengemudikan mobil dengan tenang. Sementara itu, Alya duduk diam di kursi penumpang, menggenggam gelang perak yang terasa berat, seolah ada energi gelap yang mengalir darinya. Di pangkuannya, ada kotak kayu kuno berukir motif Jawa yang ia temukan di kamar mendiang kakeknya. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Narendra, memecah keheningan.Alya mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku merasa lega, tapi sekaligus takut. Kalau ini nggak berhasil—”“Jangan berpikir begitu. Kita sudah sejauh ini. Aku yakin, Allah nggak akan membiarkan kita berjuang tanpa hasil.” Narendra mencoba menguatkan.Alya menatap kotak kayu di pangkuannya. “Kamu yakin semuanya akan selesai setelah ini?”Narendra mengangguk. “Itulah kenapa kita harus membakarnya. Semua benda yang jadi media kutukan harus dihancurkan total. Pak Ustaz juga
“Ya Allah .…” Tina berdoa sambil menangis. “Kalau memang ini jalan yang harus kuambil, aku mohon … aku mohon, jangan biarkan Alya tahu. Jangan biarkan dia merasa bersalah. Dia nggak salah, semua ini karena dosa kami, dosa keluarga ini. Jangan hukum Alya, hukum aku saja.”Ia terisak lagi, kali ini lebih keras. Tangan kanannya menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat.Tangannya perlahan beralih ke dada, merasakan detak jantungnya yang semakin tak beraturan. Ia tahu efek ritual itu mungkin akan mulai terasa dalam beberapa hari ke depan. Bisa jadi tubuhnya akan melemah, bisa jadi ia akan sakit parah, atau bahkan meninggal.Tina tak berani menyelesaikan pikirannya. Namun, ia sudah siap. Ia tidak punya pilihan lain.Mobil yang ia kendarai kembali melaju perlahan, memasuki jalanan yang semakin sepi. Di tengah tangisannya, ia teringat lagi saat Alya memeluknya beberapa hari lalu. “Aku tahu kamu nggak akan berhenti, Nayu. Kamu mungkin akan cari cara lain kalau kamu tahu aku sudah menukar ram
Malam hari.Tina memasuki rumah besar tiga lantai yang telah lama menjadi tempat tinggal keluarganya. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara angin berdesir di sela-sela pohon mangga di halaman, seolah-olah menyampaikan peringatan akan sesuatu yang kelam. Kini ia sudah berdiri di depan pintu rumah, menyapa pembantu rumah tangga yang tengah membereskan meja ruang tamu. "Nayu di mana?" tanyanya singkat, mencoba terdengar santai meski hatinya terus berdebar."Bu Nayu tadi bilang mau keluar sebentar, Bu. Katanya beli sesuatu," jawab pembantu itu sambil melipat kain lap.Mata Tina sedikit membelalak, tapi ia segera menenangkan diri. "Oh, ya sudah. Kalau begitu, saya mau naik ke lantai tiga sebentar. Ada yang ketinggalan."Pembantu itu hanya mengangguk, tak mencurigai apa-apa.Tina melangkah ke tangga, kali ini berhati-hati agar langkahnya tak menimbulkan suara berlebihan. Tangga kayu itu sesekali berderit pelan, membuatnya berhenti sejenak untuk memastikan tak ada orang yang me
Alya duduk dengan tubuh menggigil di atas karpet tipis yang membentang di ruang utama rumah sang ustadz. Pandangannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Tubuhnya masih terasa panas, meski hawa dingin malam telah menyusup dari celah-celah jendela. Narendra duduk di dekatnya, mengamati Alya dengan cemas. "Alya," suara ustadz itu lembut, memecah keheningan. "Sebelum kita mulai, kamu harus menyucikan dirimu terlebih dahulu. Wudhu dan salat taubat adalah langkah awal untuk membuka hatimu kepada Allah. Setelah itu, kita lanjutkan dengan ruqyah. Apakah kamu siap?" Alya mengangguk perlahan, meski tubuhnya tampak lemah. "Saya siap, Ustadz," suaranya terdengar parau. Narendra segera berdiri, bersiap membantu jika Alya tidak kuat berjalan. Ustadz itu menunjukkan arah kamar mandi. "Narendra, temani dia. Pastikan dia baik-baik saja." Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi, Narendra mengikutinya dengan penuh perhatian. Di dalam kamar mandi, ia memercikkan air wudhu ke wajah
Alya membaca tulisan itu berulang kali, mencoba memahami maksudnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seolah tulisan di atas kertas itu membawa beban yang tak kasat mata. Suara Narendra memecah keheningan."Jadi, gelang ini semacam kunci perjanjian, ya?" Narendra mengamati ukiran pada gelang perak itu. "Dan perjanjian itu jelas-jelas kutukan untuk keluargamu."Alya mengangguk pelan, bibirnya gemetar. "Iya, ini pasti ada hubungannya dengan ritual pesugihan. Tapi siapa yang menaruh gelang dan kertas ini di kotak ini? Kalau Kakek, kenapa nggak cerita ke anak-anaknya?"Narendra menggeleng. "Mungkin seseorang dari keluargamu. Tapi yang lebih penting sekarang, kita harus tahu bagaimana mengakhiri ini semua."Alya menunduk, menatap gelang itu dengan campuran rasa takut dan penasaran. "Ren, aku harus mengembalikan gelang ini ke tempat asalnya, kan? Kalau nggak, kutukan ini nggak akan pernah berhenti menghantui keluargaku."Narendra menaruh tangannya di bahu Alya, menenangkan. "Kita cari tahu dul
Keesokan HarinyaUdara dingin pagi itu terasa menusuk tulang ketika Alya dan Narendra tiba di depan rumah besar peninggalan Kakek Suroto. Bangunan itu menjulang angker dengan arsitektur kuno. Langit mendung menambah kesan mencekam pada suasana sekitar. Alya menarik napas panjang, mencoba mengusir keraguan yang menyelimuti hatinya.“Aku masih nggak yakin ini ide bagus, Ren,” bisiknya sambil melirik Narendra yang berdiri di sebelahnya dengan raut wajah serius.“Kita sudah sampai sejauh ini, Alya. Kalau kita nggak ambil kotak itu sekarang, entah apa yang akan terjadi padamu,” jawab Narendra. Ia menggenggam bahu Alya, mencoba memberinya keberanian. “Aku ada di sini, nggak perlu takut.”Alya mengangguk pelan. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu samping yang biasa digunakan pekerja rumah untuk masuk. Tiga pekerja yang tengah membersihkan dapur langsung menoleh kaget melihat kehadiran Alya. Namun sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu, Alya mengangkat tangannya, memberi isyarat aga
Tina tetap berdiri di depan celah pintu kamar Nayu. Pandangannya terpaku pada apa yang dilakukan adiknya di dalam ruangan. Nayu tampak serius, duduk bersila di lantai, dengan lilin-lilin hitam yang berkeliling mengelilinginya. Di tengah ritual itu, mata Tina tertumbuk pada sebuah benda yang membuat hatinya berdesir.Di atas kain merah dengan aksara kuno yang tampak asing, tergeletak segumpal rambut hitam pekat. Di sebelahnya, selembar foto Alya yang sudah kusam. Tangan Tina bergetar, dan ia menahan napas saat mendapati potongan rambut itu sangat mirip dengan milik putrinya."Astaga," Tina berbisik dalam hati. "Itu pasti rambutnya Alya?"Ia menggigit bibir, berusaha untuk tetap tenang. Kakinya terasa seperti tertancap ke lantai, sulit untuk digerakkan. Pandangannya bergantian antara Nayu yang tampak khusyuk melafalkan sesuatu dan benda-benda di depannya.Nayu tampak memejamkan mata, sesekali tangannya mengangkat mangkuk logam di hadapannya, kemudian meletakkannya kembali dengan gerakan