Share

Kembali Datang

Penulis: Els Arrow
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-09 23:53:09

Pagi itu, ketika matahari masih mengintip malu-malu dari balik jendela rumah sakit, dokter akhirnya datang dengan membawa hasil laboratorium Alya.

Tina dan Bowo menanti penuh harap dan cemas di ruang perawatan, tatapan mereka tertuju pada map tebal yang dipegang sang dokter, seakan semua jawaban akan terurai di sana.

Dokter pun membuka percakapan, wajahnya serius, tetapi mencoba tetap tenang.

“Pak Bowo, Bu Tina … setelah hasil laboratorium keluar, kami mendapati bahwa kondisi Alya disebabkan oleh infeksi tifus atau tipes," jelasnya sambil menyerahkan lembar hasil pemeriksaan pada Tina. “Infeksinya menyerang bagian usus halus dan lambung, dan saat ini kita mendapati tingkat leukosit yang rendah, artinya Alya mengalami penurunan daya tahan tubuh yang cukup signifikan. Ada bakteri Salmonella typhi yang masuk ke aliran darahnya, menyebabkan Alya lemah dan demam tinggi. Ini berbahaya jika tidak segera ditangani dengan tepat.”

Tina mengangguk paham, meski rasa khawatir tak juga surut. “Ja
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kutukan Wasiat Kakek    BAB 18

    Alya terbangun dengan mata yang masih berat, samar-samar mendengar suara isak tangis ibunya di sampingnya. Tubuhnya terasa lemah, nyeri di seluruh sendi, seperti habis melewati perjalanan panjang yang menguras tenaga. Dia mencoba menggerakkan tangannya, menyentuh bahu Tina yang bergetar karena isakan."Ibu ...," bisiknya lemah, suaranya serak dan hampir tak terdengar.Tina mengangkat wajahnya dengan cepat, air mata masih mengalir di pipinya. "Alya ... Nak, kamu sudah sadar? Syukurlah, syukurlah ...." Tina menggenggam tangan Alya erat, seolah takut jika putrinya kenapa-kenapa.Alya menatap ibunya dengan bingung, berusaha mengingat apa yang terjadi. Namun, rasa dingin tiba-tiba menyergapnya-begitu menusuk dan mendadak, seperti angin yang datang dari celah pintu. Ia merasakan bulu kuduknya meremang tanpa sebab."Masih pusing, Nduk?" Tina masih mengusap wajah Alya dengan lembut, tetapi tiba-tiba Alya merasa seolah ada sesuatu yang lain di kamar itu, sesuatu yang mengawasi mereka dari su

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Kutukan Wasiat Kakek    Meminta Perlindungan

    Tina memejamkan mata, meredakan napas yang masih tersengal setelah percakapan dengan kakaknya. Ruang ICU terasa semakin dingin, tetapi bukan dingin biasa, ada sensasi tajam yang menusuk, seperti hawa yang datang dari tempat asing.Rasa takutnya memuncak. Apa yang sebenarnya Nayu rencanakan? Kenapa ia sampai nekat membawa perlengkapan ritual, padahal semua sudah sepakat untuk tidak menyentuh hal-hal gaib itu lagi? Tiba-tiba, lampu ICU berkelip-kelip, cahayanya redup. Tina tertegun, perasaan aneh mencengkeram tenggorokannya. Ia mengusap tangan putrinya yang terasa semakin dingin. Wajah Tina mulai basah oleh keringat dingin, dadanya bergemuruh dengan ketakutan yang tak bisa ia jelaskan.Lalu, dalam keheningan yang begitu mencekam, terdengar suara langkah-langkah samar, seperti tapak yang basah dan berat. Tina terdiam, tubuhnya menegang. Ia memandangi pintu ICU, berharap suara itu hanya ilusi, tetapi suara itu semakin mendekat. Setiap langkah seakan menggema di telinganya.“Siapa siapa

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • Kutukan Wasiat Kakek    Jus Apel

    Malam hari. Narendra berdiri di seberang jalan, menatap kediaman megah yang kini terasa begitu sunyi. Matanya terpejam sesaat, mencoba menerawang apa yang tersembunyi di balik dinding-dinding besar itu. Meski pandangannya tertutup kabut tipis yang terasa pekat, ia bisa merasakan ada energi gelap yang menyelubungi tempat itu. Ia mengatur napas, mencoba merasakan setiap getaran halus yang merambat di udara. Hawa di sekitarnya terasa semakin dingin, menekan dadanya dengan kekuatan yang seolah berusaha mengusirnya pergi. Dari jauh, sebuah bayangan samar terlihat melintas di balik jendela lantai atas. Bayangan itu tampak melayang, seperti sosok tanpa tubuh yang bergerak perlahan, mengawasinya dari kejauhan. Narendra mengepalkan tangan, menyadari bahwa kehadiran makhluk-makhluk tak kasat mata di sana bukan sekadar ilusi. Ada kekuatan jahat yang bersarang, dan ia bisa merasakannya, seperti gelombang yang menghantam tubuhnya secara perlahan, tapi pasti. “Jangan ganggu Alya,” gum

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Kutukan Wasiat Kakek    Tak Ada yang Bisa Dipercaya

    Keesokan Paginya Langit tampak mendung, tetapi tidak cukup gelap untuk menghalangi sinar matahari yang mencoba menembus awan. Alya terbangun dengan tubuh lelah, semalam hanya tidur beberapa jam. Sejak pertama kali terbangun, pikirannya terus terngiang-ngiang akan kejadian semalam, jus apel yang tiba-tiba berubah bau, dan makhluk-makhluk menjijikkan yang muncul di atasnya. Namun, ia berusaha menenangkan diri. Mungkin itu hanya halusinasi, pikirnya. Toh, dirinya sudah sering kali terjebak dalam bayang-bayang ketakutan yang menipu. Setelah mencuci muka, Alya berjalan keluar dari kamar, menuju ruang makan. Dari sana, ia melihat Nayu sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Alya memilih untuk diam-diam mengamati, hati dan pikirannya berputar. Ia tidak ingin menunjukan kecurigaannya. Jadi, hari ini, ia memilih untuk mengawasi, mengikuti setiap gerak-gerik bibinya. “Bibi, mau dibantuin apa?” tanya Alya setengah berteriak, seraya duduk di meja makan. Nayu menoleh, bibirnya tersenyum leb

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Kutukan Wasiat Kakek    BAB 22

    Suara hujan rintik di luar jendela membuat malam terasa semakin sunyi dan dingin. Alya duduk di atas ranjang, menatap layar ponselnya. Kedua orang tuanya masih sibuk mengurus pekerjaan, dan sahabatnya, Narendra, sedang berjaga di rumah sakit. Hanya ada dirinya, Bibi Nayu, dan kelurga Paman Suhadi di rumah besar ini.Alya sering merasa kesepian akhir-akhir ini, meskipun ia tidak pernah menyampaikannya. Kadang, ia merasa kehadiran Paman Suhadi yang jarang berbicara dan lebih suka menyendiri membuat suasana rumah ini semakin hening. Namun, untunglah ada Bibi Nayu yang selalu bersikap hangat dan memperlakukannya seperti anak sendiri."Wajar, istrinya paman juga suka ngurung diri di kamar. Jarang keluar. Keluar-keluar kalau mau makan atau ada tamu yang nyariin saja. Kalau Bibi mungkin karena kangen anaknya, makanya nemenin aku terus. Sejak dulu memang Bibi yang paling dekat denganku dari semua saudara-saudara ibu," gumam gadis cantik itu.Dirinya beranjak ke tempat tidur, membawa perasaan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Kutukan Wasiat Kakek    BAB 23

    Malam itu, suara hujan yang semakin deras di luar terasa memenuhi rumah besar itu, menciptakan suasana ganjil di balik kehangatan yang muncul seiring kepulangan kedua orang tua Alya dari lembur. Saat ibunya melepas sepatu di depan pintu, Alya segera menghampirinya dengan raut wajah tegang."Bu, boleh ikut ke kamarku sebentar?" tanyanya lirih, tapi nadanya mendesak.Tina terdiam sejenak, heran melihat sikap putrinya yang tiba-tiba cemas. Namun, tanpa banyak bicara, ia mengikuti Alya menuju kamar. Begitu pintu kamar tertutup, Alya duduk di tepi ranjang, menggigit bibir sejenak."Ibu, aku mau cerita soal Paman Suhadi," katanya pelan.Tina memandang putrinya dengan sorot serius, mengangguk. "Ada apa, Nak? Kamu kelihatan resah sekali."Alya menghela napas, ragu-ragu. "Beberapa hari ini aku lihat Paman melakukan hal-hal yang aneh. Kemarin dia bawa dupa sama botol-botol kecil ke kamar yang biasanya nggak boleh dibuka itu. Dan tadi pagi, aku lihat dia kayak … melakukan sesuatu di halaman bel

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Kutukan Wasiat Kakek    Chapter 24

    Alya menempelkan tubuhnya ke dinding, mencoba mengatur napas yang terengah-engah, tetapi suara langkah kaki yang kian mendekat membuatnya semakin sulit untuk tetap tenang. Suara derit kayu lantai lorong terdengar pelan, setiap langkah seperti menggema di telinganya. Bayangan samar sosok Nayu perlahan muncul di ujung lorong, diterangi cahaya redup dari lampu yang menggantung di langit-langit.Tubuh Alya mulai gemetar. Dalam hati ia terus memohon, berharap bibinya tidak melihat ke arahnya. Tangannya mencengkeram erat tepian dinding, keringat dingin mengalir deras di pelipisnya. Suasana begitu mencekam, seakan-akan waktu berhenti sejenak, hanya suara langkah kaki dan detak jantungnya yang terdengar.Bayangan Nayu semakin jelas. Wanita itu kini hanya beberapa langkah dari tempat Alya bersembunyi. Sorot matanya tajam, seperti sedang mencari sesuatu. Sesekali ia berhenti, celingak-celinguk, seolah mencium ada yang tidak beres. Alya merasa udara di sekitarnya begitu dingin, seperti diseli

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • Kutukan Wasiat Kakek    BAB 25

    Langit berwarna abu-abu pekat saat Alya kembali memasuki rumah tua itu. Angin dingin merayap masuk melalui celah-celah jendela, menambah kesan suram di dalam rumah. Suara detak jam dinding terdengar begitu nyaring, seolah menghitung waktu yang perlahan menyeretnya ke dalam jurang ketakutan. Langkah kakinya terasa berat saat menaiki anak tangga yang berderit setiap kali diinjak. Jantungnya berdetak keras, seperti genderang perang yang tak kunjung berhenti. Udara di lorong kamar bibinya terasa lebih dingin dari biasanya.Ketika tiba di depan pintu kamar bibi Nayu, ia berhenti. Napasnya terengah-engah, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Pintu kayu itu terlihat begitu menakutkan. Ia menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian.Dengan tangan gemetar, Alya meraih gagang pintu. Perlahan, ia memutarnya, berusaha tidak menimbulkan suara. Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan bayangan samar-samar di dalam kamar yang remang. Hanya cahaya matahari yang menyelinap melalui celah tirai,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17

Bab terbaru

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 74

    Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari rumah besar itu dengan hangat. Namun, suasana lantai dua terasa tegang. Tina, yang tengah merapikan barang-barangnya untuk pergi ke kos-kosan Alya, tiba-tiba merasa ada yang janggal.“Kenapa Nayu belum turun juga, ya?” gumamnya sambil melirik jam dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka sembilan. Biasanya, Nayu selalu muncul lebih pagi, entah untuk menyiapkan sarapan atau sekadar berkeliling.Tina menghentikan kegiatannya. Pikirannya terusik. Ia mencoba menepis kekhawatiran itu, tetapi firasatnya kian menguat. Akhirnya, dengan langkah pelan tapi pasti, ia memutuskan untuk naik ke lantai tiga.Tangga yang berderit di bawah pijakannya semakin menambah rasa was-was. Lantai tiga, yang biasanya jarang ia kunjungi, terasa begitu sunyi. Setibanya di depan kamar Nayu, Tina mengetuk pintu dengan hati-hati.“Nayu? Kamu di dalam?” panggilnya, berusaha terdengar tenang.Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. “Nayu! Ban

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 73

    Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri kokoh di tengah pekarangan yang sunyi. Malam telah larut, namun keheningan di lantai tiga terasa tidak biasa. Dinding-dinding tua berlapis cat yang mulai pudar memantulkan bayangan samar dari cahaya lilin yang berkerlip tak menentu. Udara di sana begitu pekat, seolah ada sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayangan gelap untuk menerkam.Di salah satu kamar di lantai itu, Nayu duduk bersila di lantai. Ruangan itu dipenuhi dengan benda-benda ritual, lilin hitam berjajar rapi di atas meja, sebuah cawan perak yang penuh cairan berbau menyengat, dan segumpal rambut kusut yang ia letakkan di atas kain merah. Matanya yang tajam menatap lekat rambut itu, tangannya mulai bergerak dengan pelan dan penuh tekad. Ia mulai merapal mantra, suaranya lirih, tapi penuh intensitas, seperti berbisik kepada kekuatan yang tidak kasat mata.“Aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu rencanaku,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Namun, malam itu berbeda.

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 72

    Pagi ini, ia dan Narendra kembali ke rumah Pak Ustaz Harun—pamannya Narendra, seorang tokoh agama yang menjadi tumpuan mereka dalam melawan kutukan keluarga.Di perjalanan, Narendra mengemudikan mobil dengan tenang. Sementara itu, Alya duduk diam di kursi penumpang, menggenggam gelang perak yang terasa berat, seolah ada energi gelap yang mengalir darinya. Di pangkuannya, ada kotak kayu kuno berukir motif Jawa yang ia temukan di kamar mendiang kakeknya. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Narendra, memecah keheningan.Alya mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku merasa lega, tapi sekaligus takut. Kalau ini nggak berhasil—”“Jangan berpikir begitu. Kita sudah sejauh ini. Aku yakin, Allah nggak akan membiarkan kita berjuang tanpa hasil.” Narendra mencoba menguatkan.Alya menatap kotak kayu di pangkuannya. “Kamu yakin semuanya akan selesai setelah ini?”Narendra mengangguk. “Itulah kenapa kita harus membakarnya. Semua benda yang jadi media kutukan harus dihancurkan total. Pak Ustaz juga

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 71

    “Ya Allah .…” Tina berdoa sambil menangis. “Kalau memang ini jalan yang harus kuambil, aku mohon … aku mohon, jangan biarkan Alya tahu. Jangan biarkan dia merasa bersalah. Dia nggak salah, semua ini karena dosa kami, dosa keluarga ini. Jangan hukum Alya, hukum aku saja.”Ia terisak lagi, kali ini lebih keras. Tangan kanannya menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat.Tangannya perlahan beralih ke dada, merasakan detak jantungnya yang semakin tak beraturan. Ia tahu efek ritual itu mungkin akan mulai terasa dalam beberapa hari ke depan. Bisa jadi tubuhnya akan melemah, bisa jadi ia akan sakit parah, atau bahkan meninggal.Tina tak berani menyelesaikan pikirannya. Namun, ia sudah siap. Ia tidak punya pilihan lain.Mobil yang ia kendarai kembali melaju perlahan, memasuki jalanan yang semakin sepi. Di tengah tangisannya, ia teringat lagi saat Alya memeluknya beberapa hari lalu. “Aku tahu kamu nggak akan berhenti, Nayu. Kamu mungkin akan cari cara lain kalau kamu tahu aku sudah menukar ram

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 70

    Malam hari.Tina memasuki rumah besar tiga lantai yang telah lama menjadi tempat tinggal keluarganya. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara angin berdesir di sela-sela pohon mangga di halaman, seolah-olah menyampaikan peringatan akan sesuatu yang kelam. Kini ia sudah berdiri di depan pintu rumah, menyapa pembantu rumah tangga yang tengah membereskan meja ruang tamu. "Nayu di mana?" tanyanya singkat, mencoba terdengar santai meski hatinya terus berdebar."Bu Nayu tadi bilang mau keluar sebentar, Bu. Katanya beli sesuatu," jawab pembantu itu sambil melipat kain lap.Mata Tina sedikit membelalak, tapi ia segera menenangkan diri. "Oh, ya sudah. Kalau begitu, saya mau naik ke lantai tiga sebentar. Ada yang ketinggalan."Pembantu itu hanya mengangguk, tak mencurigai apa-apa.Tina melangkah ke tangga, kali ini berhati-hati agar langkahnya tak menimbulkan suara berlebihan. Tangga kayu itu sesekali berderit pelan, membuatnya berhenti sejenak untuk memastikan tak ada orang yang me

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 69

    Alya duduk dengan tubuh menggigil di atas karpet tipis yang membentang di ruang utama rumah sang ustadz. Pandangannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Tubuhnya masih terasa panas, meski hawa dingin malam telah menyusup dari celah-celah jendela. Narendra duduk di dekatnya, mengamati Alya dengan cemas. "Alya," suara ustadz itu lembut, memecah keheningan. "Sebelum kita mulai, kamu harus menyucikan dirimu terlebih dahulu. Wudhu dan salat taubat adalah langkah awal untuk membuka hatimu kepada Allah. Setelah itu, kita lanjutkan dengan ruqyah. Apakah kamu siap?" Alya mengangguk perlahan, meski tubuhnya tampak lemah. "Saya siap, Ustadz," suaranya terdengar parau. Narendra segera berdiri, bersiap membantu jika Alya tidak kuat berjalan. Ustadz itu menunjukkan arah kamar mandi. "Narendra, temani dia. Pastikan dia baik-baik saja." Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi, Narendra mengikutinya dengan penuh perhatian. Di dalam kamar mandi, ia memercikkan air wudhu ke wajah

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 68

    Alya membaca tulisan itu berulang kali, mencoba memahami maksudnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seolah tulisan di atas kertas itu membawa beban yang tak kasat mata. Suara Narendra memecah keheningan."Jadi, gelang ini semacam kunci perjanjian, ya?" Narendra mengamati ukiran pada gelang perak itu. "Dan perjanjian itu jelas-jelas kutukan untuk keluargamu."Alya mengangguk pelan, bibirnya gemetar. "Iya, ini pasti ada hubungannya dengan ritual pesugihan. Tapi siapa yang menaruh gelang dan kertas ini di kotak ini? Kalau Kakek, kenapa nggak cerita ke anak-anaknya?"Narendra menggeleng. "Mungkin seseorang dari keluargamu. Tapi yang lebih penting sekarang, kita harus tahu bagaimana mengakhiri ini semua."Alya menunduk, menatap gelang itu dengan campuran rasa takut dan penasaran. "Ren, aku harus mengembalikan gelang ini ke tempat asalnya, kan? Kalau nggak, kutukan ini nggak akan pernah berhenti menghantui keluargaku."Narendra menaruh tangannya di bahu Alya, menenangkan. "Kita cari tahu dul

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 67

    Keesokan HarinyaUdara dingin pagi itu terasa menusuk tulang ketika Alya dan Narendra tiba di depan rumah besar peninggalan Kakek Suroto. Bangunan itu menjulang angker dengan arsitektur kuno. Langit mendung menambah kesan mencekam pada suasana sekitar. Alya menarik napas panjang, mencoba mengusir keraguan yang menyelimuti hatinya.“Aku masih nggak yakin ini ide bagus, Ren,” bisiknya sambil melirik Narendra yang berdiri di sebelahnya dengan raut wajah serius.“Kita sudah sampai sejauh ini, Alya. Kalau kita nggak ambil kotak itu sekarang, entah apa yang akan terjadi padamu,” jawab Narendra. Ia menggenggam bahu Alya, mencoba memberinya keberanian. “Aku ada di sini, nggak perlu takut.”Alya mengangguk pelan. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu samping yang biasa digunakan pekerja rumah untuk masuk. Tiga pekerja yang tengah membersihkan dapur langsung menoleh kaget melihat kehadiran Alya. Namun sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu, Alya mengangkat tangannya, memberi isyarat aga

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 66

    Tina tetap berdiri di depan celah pintu kamar Nayu. Pandangannya terpaku pada apa yang dilakukan adiknya di dalam ruangan. Nayu tampak serius, duduk bersila di lantai, dengan lilin-lilin hitam yang berkeliling mengelilinginya. Di tengah ritual itu, mata Tina tertumbuk pada sebuah benda yang membuat hatinya berdesir.Di atas kain merah dengan aksara kuno yang tampak asing, tergeletak segumpal rambut hitam pekat. Di sebelahnya, selembar foto Alya yang sudah kusam. Tangan Tina bergetar, dan ia menahan napas saat mendapati potongan rambut itu sangat mirip dengan milik putrinya."Astaga," Tina berbisik dalam hati. "Itu pasti rambutnya Alya?"Ia menggigit bibir, berusaha untuk tetap tenang. Kakinya terasa seperti tertancap ke lantai, sulit untuk digerakkan. Pandangannya bergantian antara Nayu yang tampak khusyuk melafalkan sesuatu dan benda-benda di depannya.Nayu tampak memejamkan mata, sesekali tangannya mengangkat mangkuk logam di hadapannya, kemudian meletakkannya kembali dengan gerakan

DMCA.com Protection Status