Di dunia lain, mungkin orang menyebutnya alam jin, Alya berjalan tanpa arah. Kakinya menginjak tanah yang terasa aneh, bukan seperti tanah di dunia tempatnya tinggal. Getaran dingin merambat dari ujung kaki hingga tengkuknya, mengingatkannya bahwa ia berada di tempat yang asing dan berbahaya. Pandangannya menyapu ke sekeliling, matanya terbelalak melihat pemandangan di depannya.Bangunan-bangunan megah menjulang tinggi, berkilau dalam cahaya keemasan yang tak pernah ia saksikan sebelumnya. Pilar-pilar raksasa terbuat dari emas murni berdiri dengan kokoh, memancarkan kilauan indah. Di kejauhan, kolam berisi susu putih mengalir tenang, memantulkan bayangan burung-burung indah dengan bulu berwarna-warni yang belum pernah dilihat Alya di dunia manusia. Taman-taman dipenuhi bunga beraroma manis, tetapi aroma itu membawa sesuatu yang membuat hatinya berdebar tak nyaman.“Di mana aku?”Tubuhnya bergetar, bukan karena udara dingin, tetapi karena rasa takut yang mengintai di balik setiap kei
Narendra membuka matanya perlahan, napasnya terasa berat dan dadanya sesak, seolah ada beban tak kasat mata yang menekan jiwanya. Di hadapannya, benda-benda ritual yang tadi ia susun berjejer, ada bunga melati yang mulai layu, mangkuk air suci, serta sepasang lilin khusus yang kini telah padam. Cahaya lilin yang tadi menjadi jembatan bagi Alya untuk pulang kini telah berakhir.Narendra menatap sisa-sisa asap dari sumbu lilin yang memudar.“Jiwanya pasti sudah kembali … Alya sudah selamat,” gumamnya pelan, tetapi tetap bergetar oleh perasaan tak tenang. Malam tadi, ia nekat pulang dari rumah sakit, menyelinap tanpa sepengetahuan kedua orang tua Alya, dan diam-diam melakukan ritual di kamarnya. Ia tahu risikonya, tahu bahwa ini tindakan berbahaya, tetapi hatinya tak bisa tenang membiarkan Alya tersesat di dunia lain.•Pagi menjelang, sinar matahari tipis menelusup masuk melalui celah jendela, suasana kamarnya masih terasa berat dan menyeramkan. Narendra merasakan hawa dingin yang m
"Eugh ...." Lenguhan tipis lolos dari bibir pria tampan itu, tetapi kelopak matanya masih berat sekali untuk terbuka, rasa pening membuatnya kalah.Narendra mencoba kembali memejamkan mata, tapi pikirannya tak tenang. Samar, suara tawa melengking mengusik ketenangan kamar rawat inapnya. Tawa itu terdengar lirih, tetapi semakin lama semakin jelas, seperti seseorang yang tertawa di sudut ruangan.Narendra membuka mata, pandangannya menyapu sekeliling kamar yang sunyi dan gelap. Tak ada siapa-siapa selain dirinya, tetapi hawa dingin menyusup perlahan. Ia bergidik, merasakan bulu kuduknya berdiri."Siapa di sana ...?” bisiknya, suaranya bergetar. Hanya keheningan yang menjawab, diselingi suara mesin detak jantung. Namun, tiba-tiba lampu kamar berkerlip pelan, seolah ada energi lain yang mengusik aliran listriknya. Ruangan menjadi semakin suram, dan bayangan-bayangan di dinding tampak bergerak, membentuk siluet yang mengerikan.“Cukup kali ini, jo, Le. Jangan lancang lagi ... atau jiwamu
Saat hening menyelimuti ruangan, Alya hanya bisa terbaring kaku, jantungnya berdetak liar. Ia berusaha bergerak, tapi tubuhnya terasa beku, tak ada satu pun otot yang menurut. Mulutnya kelu, seperti terkunci oleh kekuatan yang tak terlihat. Hanya hatinya yang mampu berteriak dalam diam, memohon perlindungan, bibirnya mencoba menggumamkan doa-doa tanpa suara. Di sampingnya, sosok suster berbaju merah itu berdiri terpaku. Wajahnya tanpa ekspresi, pandangannya kosong mengarah ke tubuh Alya seolah mengawasi setiap helaan napasnya. Semakin lama, hawa dingin kian menyelimuti, menusuk hingga ke tulang. Aroma bau busuk semakin menyengat, membuat Alya ingin mual, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Suster itu terus menunduk, menatap Alya dengan pandangan kosong, hingga perlahan, matanya terbuka lebar, melotot dengan sorot merah yang menyeramkan. Alya hanya bisa menatap balik, napasnya tercekat, tak ada satu kata pun yang mampu keluar dari bibirnya. Tiba-tiba, sosok suster itu mengalihkan
Narendra melangkah keluar dari ruang rawatnya dan menuju ruang rawat Alya dengan langkah tergesa, perasaan tak tenang menggelayuti hatinya sejak mendapat izin pulang dari dokter. Namun, perasaan itu berubah menjadi kegelisahan yang mencekam saat perawat yang bertugas memberitahunya bahwa Alya kembali kritis dan sekarang berada di ICU. Seakan tak percaya, Narendra merasa tubuhnya dingin seketika."Alya di ICU?" gumamnya, nyaris tak percaya, napasnya tertahan sesaat.Perawat itu mengangguk, tatapan iba di matanya tak bisa ia sembunyikan. "Benar, Pak. Kondisinya tiba-tiba memburuk, kami harus segera menanganinya. Beliau sedang ditangani di ruang intensif."Narendra menelan ludah, berusaha menahan gejolak emosi yang mulai memuncak. Ia mengucapkan terima kasih kepada perawat itu sebelum melangkah cepat menuju ruang ICU, berharap bisa bertemu dengan Alya meskipun ia sadar situasinya takkan semudah itu. Namun, tak disangka, tepat di depan pintu ruang ICU, ia berpapasan dengan Bowo.Bowo,
Pagi itu, ketika matahari masih mengintip malu-malu dari balik jendela rumah sakit, dokter akhirnya datang dengan membawa hasil laboratorium Alya. Tina dan Bowo menanti penuh harap dan cemas di ruang perawatan, tatapan mereka tertuju pada map tebal yang dipegang sang dokter, seakan semua jawaban akan terurai di sana. Dokter pun membuka percakapan, wajahnya serius, tetapi mencoba tetap tenang.“Pak Bowo, Bu Tina … setelah hasil laboratorium keluar, kami mendapati bahwa kondisi Alya disebabkan oleh infeksi tifus atau tipes," jelasnya sambil menyerahkan lembar hasil pemeriksaan pada Tina. “Infeksinya menyerang bagian usus halus dan lambung, dan saat ini kita mendapati tingkat leukosit yang rendah, artinya Alya mengalami penurunan daya tahan tubuh yang cukup signifikan. Ada bakteri Salmonella typhi yang masuk ke aliran darahnya, menyebabkan Alya lemah dan demam tinggi. Ini berbahaya jika tidak segera ditangani dengan tepat.”Tina mengangguk paham, meski rasa khawatir tak juga surut. “Ja
Alya terbangun dengan mata yang masih berat, samar-samar mendengar suara isak tangis ibunya di sampingnya. Tubuhnya terasa lemah, nyeri di seluruh sendi, seperti habis melewati perjalanan panjang yang menguras tenaga. Dia mencoba menggerakkan tangannya, menyentuh bahu Tina yang bergetar karena isakan."Ibu ...," bisiknya lemah, suaranya serak dan hampir tak terdengar.Tina mengangkat wajahnya dengan cepat, air mata masih mengalir di pipinya. "Alya ... Nak, kamu sudah sadar? Syukurlah, syukurlah ...." Tina menggenggam tangan Alya erat, seolah takut jika putrinya kenapa-kenapa.Alya menatap ibunya dengan bingung, berusaha mengingat apa yang terjadi. Namun, rasa dingin tiba-tiba menyergapnya-begitu menusuk dan mendadak, seperti angin yang datang dari celah pintu. Ia merasakan bulu kuduknya meremang tanpa sebab."Masih pusing, Nduk?" Tina masih mengusap wajah Alya dengan lembut, tetapi tiba-tiba Alya merasa seolah ada sesuatu yang lain di kamar itu, sesuatu yang mengawasi mereka dari su
Tina memejamkan mata, meredakan napas yang masih tersengal setelah percakapan dengan kakaknya. Ruang ICU terasa semakin dingin, tetapi bukan dingin biasa, ada sensasi tajam yang menusuk, seperti hawa yang datang dari tempat asing.Rasa takutnya memuncak. Apa yang sebenarnya Nayu rencanakan? Kenapa ia sampai nekat membawa perlengkapan ritual, padahal semua sudah sepakat untuk tidak menyentuh hal-hal gaib itu lagi? Tiba-tiba, lampu ICU berkelip-kelip, cahayanya redup. Tina tertegun, perasaan aneh mencengkeram tenggorokannya. Ia mengusap tangan putrinya yang terasa semakin dingin. Wajah Tina mulai basah oleh keringat dingin, dadanya bergemuruh dengan ketakutan yang tak bisa ia jelaskan.Lalu, dalam keheningan yang begitu mencekam, terdengar suara langkah-langkah samar, seperti tapak yang basah dan berat. Tina terdiam, tubuhnya menegang. Ia memandangi pintu ICU, berharap suara itu hanya ilusi, tetapi suara itu semakin mendekat. Setiap langkah seakan menggema di telinganya.“Siapa siapa
Setelah berhasil keluar dari gudang dengan perasaan campur aduk antara lega dan takut, Alya dan Narendra kembali ke dalam rumah. Matahari sudah naik, tetapi sinarnya yang hangat terasa sia-sia. Aura mencekam masih menyelimuti rumah itu, seolah kejadian di gudang tadi belum sepenuhnya berakhir.Alya menarik napas panjang, menguatkan dirinya. “Kamu pasti capek, Naren. Duduk dulu, aku ambilkan minum.”Narendra mengangguk, membiarkan tubuhnya tenggelam di sofa ruang tamu. “Iya, terima kasih, Alya. Tapi kita harus bicara tentang apa yang baru saja terjadi. Ini nggak bisa dianggap remeh.”Namun, sebelum Alya sempat melangkah ke dapur, suara langkah berat terdengar dari arah tangga. Pak Bowo muncul dengan sorot mata tajam, wajahnya menunjukkan ketidaksukaan begitu melihat Narendra.“Alya, kenapa dia masih di sini?” suara Pak Bowo terdengar datar, tetapi jelas penuh tekanan.“Om—” Narendra hendak menyapa sopan, tetapi Pak Bowo mengangkat tangannya, menghentikannya.“Pagi-pagi begini sudah no
Narendra menggenggam erat tangan Alya, menariknya ke sudut gudang yang tampak lebih gelap dari bagian lainnya. Mereka berdua berjongkok, mencoba menahan napas di tengah suasana yang terasa begitu mencekam.“Ya Tuhan, Naren ... apa yang barusan kita lihat itu?” bisik Alya dengan suara yang nyaris tak terdengar, matanya masih menatap ke arah sosok yang kini menghilang di balik kegelapan.Narendra menjawab dengan nada serak, “Aku nggak tahu, Alya. Tapi apa pun itu, kita harus keluar dari sini.”“Tapi gimana caranya? Pintu gudangnya ketutup. Dan ... dan tadi itu, astaga, apa itu manusia atau bukan?” Suara Alya mulai meninggi, menandakan panik yang semakin tak bisa ia kendalikan.Narendra segera menyentuh pundaknya, mencoba menenangkan meskipun ia sendiri merasa gemetar. “Hei, dengar, kita nggak boleh kehilangan akal sekarang. Aku akan cari cara keluar. Kalau kita terus di sini, aku nggak yakin kita akan selamat.”Alya menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang mulai menggenang. Ia me
"Kita jangan ngobrol di sini, deh. Takut ada yang denger nanti malah bikin salah paham," bisik Narendra.Alya dan Narendra melangkah pelan menuju pintu samping rumah, yang langsung mengarah ke kebun belakang. Udara pagi yang dingin menusuk kulit mereka, tapi ketegangan yang menyelimuti terasa lebih menggigit. Kedua sahabat itu masih terngiang dengan kejadian aneh semalam dan perubahan sikap Paman Suhadi serta Bibi Nayu.“Aku yakin, Naren, pasti ada sesuatu di rumah ini,” ujar Alya sambil melangkah hati-hati. “Semua ini nggak masuk akal, dari sosok yang kita lihat semalam sampai sikap Bibi Nayu yang kamu lihat berubah jadi nenek-nenek.”Narendra tak menjawab, netranya fokus menatap ke arah kebun, mengamati sekitar dengan saksama. “Kamu lihat itu, Alya?” Ia menunjuk jejak tanah berlumpur yang tampak segar, menuju semak-semak di ujung kebun. “Jejak kaki ini ... nggak mungkin berasal dari orang yang baru masuk dari depan.”Alya mendekat, berjongkok untuk memperhatikan jejak tersebut. “In
"Sudahlah ...." Ayah Alya ikut bergabung, memandang muda-mudi itu dengan kening berkerut. “Kalian salah lihat mungkin? Paman Suhadi ini baru saja keluar dari mobil bareng kami. Paman juga masih lelah, jadi jangan ditanya-tanya dulu.”Narendra menggeleng, suaranya lebih tegas. “Tapi ini seperti nggak masuk akal, Om. Tidak mungkin banget. Kami melihatnya dengan mata kepala sendiri. Ada sosok yang mirip dengan Paman Suhadi di rumah tadi malam, bahkan suara dan caranya bicara sangat mirip.”Wajah Tina mendadak berubah serius. “Nak, jangan bercanda soal begituan. Kamu tahu kan rumah ini—” Netranya melirik sekilas ke arah Narendra, urung membuka gamblang di hadapan orang lain.Alya merasa dadanya sesak, tapi ia tetap mencoba menjelaskan. “Bu, aku serius! Kalau itu bukan Paman Suhadi, lalu siapa yang ada di rumah tadi malam? Apa yang kami lihat?”Paman Suhadi akhirnya kembali angkat bicara. “Alya, Naren, mungkin kalian hanya salah paham. Mungkin juga ... ada yang ingin menunjukkan sesuatu pa
Narendra duduk bersila di dekat pintu kamar, tangannya memegang tasbih dari lehernya yang selalu digunakan sebagai kalung. Tangannya menarik satu per satu butir tasbih dengan khusyuk. Suaranya perlahan memenuhi ruangan, melantunkan doa-doa perlindungan yang dia hafal sejak kecil. Di sisi lain, Alya duduk bersandar pada tembok dengan wajah tegang, mencoba mengingat doa-doa yang diajar ibunya saat kecil."Ya Allah, lindungi kami dari kejahatan yang tidak terlihat ini," bisik Narendra pelan, penuh keyakinan.Alya menatapnya. "Narendra, ini benar-benar suara Paman Suhadi tadi, kan? Tapi kenapa ... kenapa terdengar begitu, ya? Kayak bukan manusia."Narendra menggeleng, pandangannya tetap lurus ke pintu. "Aku nggak yakin, Alya. Bisa saja itu Paman, tapi bisa juga itu bukan Paman. Kita nggak tahu apa yang sedang terjadi."Dari luar kamar, suara ketukan keras kembali terdengar, kali ini diiringi suara geraman berat seperti dari binatang buas. Alya langsung menggenggam erat selimut yang menut
"Alya. Kita nggak bisa membiarkan rasa takut ini menguasai. Apa pun yang terjadi di sini, harus kita pecahkan sekarang."Alya menatap Narendra, ragu-ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Tapi apa nggak bahaya kalau kita keluar lagi?"Narendra menghela napas, kemudian menggenggam tangan Alya. "Kita akan melakukannya dengan hati-hati." Mereka berjalan keluar, kali ini dengan langkah yang lebih waspada. Angin malam kembali berhembus, membawa suara-suara samar yang terdengar seperti bisikan. Alya merapatkan jaketnya, mencoba mengusir rasa dingin yang mulai menyusup hingga ke tulang.Saat mereka kembali ke pohon mangga, sebuah kejadian aneh terjadi. Abu yang sebelumnya mereka temukan kini sudah lenyap. Tidak ada jejak apa pun selain rumput basah."Mungkin ini bagian dari permainan mereka," ujar Narendra, menunduk untuk memeriksa lebih teliti. Ia menyentuh tanah itu, tetapi tidak menemukan apa-apa.Alya memejamkan mata, mencoba mengingat sesuatu. "Narendra, abu itu ada aksara jawanya, kan? A
Narendra menggenggam ponselnya erat, pandangan masih terpaku ke halaman belakang. Kali ini, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keanehan. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," gumamnya pelan, lalu tanpa ragu ia mengambil jaket yang tergantung di kursi. Langkah kakinya mantap saat menyusuri lorong menuju pintu belakang, tapi tetap penuh kewaspadaan. Ia tahu ada kemungkinan besar orang yang ia lihat adalah Paman Suhadi seperti yang Alya katakan, tapi nalurinya tidak bisa mengabaikan keganjilan situasi ini. Saat Narendra sampai di pintu belakang, ia mendapati pintu itu tidak terkunci, sangat mustahil rumah sebesar ini pintunya dibiarkan tidak terkunci rapat. Hal ini membuat darahnya berdesir. Dengan gerakan perlahan, ia membuka pintu dan melangkah keluar. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, seperti membawa peringatan tersendiri. Namun, suara langkah di belakangnya membuatnya langsu
Langkah kaki yang misterius itu membuat ruangan terasa membeku seketika. Alya menggenggam lengan Narendra dengan erat, napasnya tertahan. Narendra menoleh ke belakang dengan cepat, tetapi tak ada apa-apa di sana. Hanya kesunyian yang menyelimuti mereka, seolah langkah tadi adalah ilusi belaka. “Kita nggak bisa terus begini,” ujar Narendra sambil menarik napas panjang. “Aku nggak akan biarin kamu sendirian di rumah ini malam ini. Aku nginep aja di kamar tamu, biar kalau ada apa-apa, aku bisa langsung bantu.” Alya mengerutkan kening, menimbang tawaran itu. Di satu sisi, ia merasa ragu membiarkan Narendra menginap, takut memancing gosip dan membuat ayahnya kembali marah. Namun, di sisi lain, ketakutan yang mencekam sejak tadi lebih dominan. Ia tahu ia tak akan bisa tidur nyenyak tanpa merasa ada orang lain di dekatnya. Apalagi orang tuanya juga entah pulang jam berapa. “Kamar tamu ada di lantai satu, kan?” Nare
Alya menatap layar ponselnya dengan mata yang mulai memerah. Gambar halaman dari buku tua itu terpampang jelas, aksara Jawa kuno yang sebagian sudah tak terbaca, tapi sisanya terlihat seperti mantra atau petunjuk ritual. Ia membaca baris-baris itu dengan seksama, mencoba menguraikan maknanya, meskipun pikirannya masih diselimuti rasa takut. “Ritual inti,” gumamnya pelan. Kata-kata itu menggema di benaknya, membawa perasaannya berkecamuk. Jika ritual sebelumnya tidak berhasil, mungkin ini adalah jalannya. Namun, apakah ia siap untuk melangkah lebih jauh? Apakah ia berani menghadapi konsekuensi yang mungkin lebih buruk? Ia teringat Mbah Karso yang berulang kali mengingatkan bahwa tidak semua ritual bisa dilakukan sembarangan. “Jangan mencoba sendiri. Kuatkan imanmu, Nduk, bukan egomu.” begitu pesan terakhirnya. Namun, sekarang, ia merasa tak punya pilihan lain. Angin dari celah jendela kembali berembus, menyapu rambutnya dan membuat kertas-kertas di meja bergetar pelan. Seo