Beranda / Horor / Kutukan Wasiat Kakek / Halusinasi Atau Nyata?

Share

Halusinasi Atau Nyata?

Penulis: Els Arrow
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-31 23:25:40

Alya merasa tubuhnya terguncang keras. Napasnya terengah, tubuhnya terasa berat dan dingin. Tangan yang mengguncang tubuhnya semakin kuat, membuatnya tersentak bangun dengan napas yang masih tersengal.

Pandangannya kabur, dan perlahan, wajah ibunya yang penuh kecemasan terlihat di depannya.

“Alya! Kamu kenapa tidur di sini? Ini 'kan meja rias almarhumah nenekmu! Kenapa kamu sampai ketiduran di sini, Nak?” tanya Tina panjang lebar, keningnya mengerut heran.

Alya hanya duduk terdiam, mengumpulkan kesadarannya yang masih tersisa. Jantungnya masih berdebar kencang, dan perasaan dingin itu seakan masih menyelimuti tubuhnya.

Ia memandang wajah ibunya yang khawatir, tetapi pikirannya melayang-layang, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

Apakah semuanya tadi benar-benar nyata atau hanya permainan mimpi yang menghantuinya?

"Ya Tuhan ... jadi, tadi hanya mimpi? Kenapa rasanya nyata sekali?!" batinnya.

Dengan kening berkerut dan raut wajah penuh kebingungan, Alya melirik ke arah lemari tua di sudut kamar itu. Lemari itu tertutup rapat, tampak seperti biasa, tanpa tanda-tanda pernah terbuka atau mengeluarkan suara aneh seperti yang ia ingat.

Namun, keanehan dari mimpinya barusan masih terasa begitu nyata. Aroma anyir, suara bisikan, bahkan bayangan sosok menyeramkan yang nyaris menyentuhnya.

Ibunya menatapnya dengan heran. “Alya? Kamu dengar nggak apa yang Ibu tanya?”

Alya menelan ludah, hatinya bimbang. Ia tahu, jika menceritakan apa yang baru saja dialaminya, ibunya pasti akan khawatir. Ia pun memilih untuk tidak jujur, menyembunyikan semua hal mencekam yang baru saja terjadi.

“Eh, maaf, Bu. Aku cuma ngantuk habis mandi. Tadi niatnya mau dandan, tapi nggak sengaja ketiduran di sini,” jawabnya, ragu.

“Nak, jangan tidur di sini lagi, ya? Ini 'kan meja rias almarhumah nenek. Ibu khawatir kalau kamu mengalami sesuatu yang nggak baik,” katanya sambil mengusap kepala Alya lembut. “Kalau kamu merasa ada sesuatu yang aneh atau nggak nyaman, ceritakan sama Ibu.”

Alya hanya mengangguk, berusaha menunjukkan senyuman kecil untuk menenangkan ibunya.

Namun, batinnya tetap bergemuruh, dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab.

Ia kembali melirik ke arah lemari tua itu, lalu mengalihkan pandangan ke cermin di meja rias, yang sekarang memantulkan bayangan dirinya dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca.

“Sudah, yuk, kita sarapan. Mungkin kamu memang kelelahan, Nak. Jangan terlalu banyak pikiran, ya,” ujar ibunya seraya menarik tangan Alya dengan lembut, mencoba mengajaknya keluar dari kamar itu.

Namun, langkah Alya terhenti sejenak di ambang pintu.

Dalam bayangan cermin di meja rias, ia melihat sekilas seolah ada sosok lain yang berdiri di belakangnya, mengenakan pakaian serba putih dengan rambut yang tergerai.

Ia terdiam, menatap ke cermin itu dengan saksama, tapi bayangan tersebut hilang dalam sekejap, meninggalkan hanya dirinya yang terpantul dengan wajah ketakutan.

“Ada apa, Alya?” tanya Tina yang sudah lebih dulu berada di luar kamar, menyadari Alya tak ikut melangkah.

“Eh, nggak … nggak ada apa-apa, Bu,” jawab Alya terbata-bata.

Menarik napas panjang dan berusaha menenangkan dirinya, mencoba meyakinkan hatinya bahwa itu hanya halusinasi.

Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, Alya tahu ada sesuatu yang salah di dalam rumah ini. Sesuatu yang tersembunyi di antara kenangan masa lalu ataupun peninggalan sang kakek, yang terus berusaha berkomunikasi dengannya melalui mimpi dan bayangan-bayangan seram.

Waktu berlalu hingga matahari beranjak tinggi. Hari itu, Alya memutuskan keluar rumah, memilih menghirup udara segar di halaman belakang karena ia tak ada pekerjaan.

Suasana di halaman belakang terasa sunyi, hanya angin lembut yang sesekali berhembus, membawa aroma tanah yang lembab. Di sini banyak pepohonan rindang, Alya yakin bisa cukup menenangkan pikirannya.

Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok Paman Suhadi yang tengah membungkuk di salah satu sudut halaman. Tampak sibuk mengubur sesuatu di bawah pohon mangga tua yang sudah lama dianggap angker oleh keluarga.

"Hah, apa itu?!"

Bungkusan putih yang dilihatnya tampak besar dan mencurigakan, hampir seukuran tubuh anak kecil. Alya merasa darahnya berdesir, nalurinya berbisik bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Alya berusaha mendekat, tapi tubuhnya seperti tertahan oleh rasa takut. Hatinya berdebar kencang ketika melihat gerak-gerik Paman Suhadi yang tampak terburu-buru, seperti menyembunyikan sesuatu.

Bungkusan itu sudah setengah terkubur, hanya sedikit menyembul dari dalam tanah. Sesaat, Alya merasa seperti mencium bau bangkai yang samar tercium dari arah bungkusan itu, membuat tenggorokannya terasa kering dan perutnya mual.

"Astaga. Itu bangkai hewan atau apa, sih? Bentuknya kok, kayak ...."

Paman Suhadi menoleh tiba-tiba, seolah merasakan kehadiran keponakannya. Wajahnya tampak gelap, seperti ada sesuatu yang berat dan kelam yang disembunyikannya.

Mata mereka bertemu, dan Alya langsung mengalihkan pandangan, berusaha menahan napas, merasa ketakutan sekaligus bingung karena ketahuan.

“Lho, Alya … ngapain kamu di sini?” tanya Paman Suhadi dengan nada datar nan tajam, tatapannya menelisik penuh curiga.

“Oh, cuma jalan-jalan aja, Paman,” jawab Alya, mencoba bersikap biasa, meski suaranya sedikit bergetar.

Paman Suhadi hanya mengangguk, tetapi tatapannya tetap menusuk, membuat Alya merasa seakan-akan ia telah menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya.

Alya segera berbalik, melangkah pergi dari halaman belakang itu. Kakinya berlari pelan menuju dapur, jantungnya masih berdetak kencang, dan pikirannya dihantui rasa penasaran yang bercampur dengan kengerian.

Ia mengambil segelas air minum, meneguknya dengan harapan rasa gugup di dadanya akan sedikit mereda.

Namun, tepat saat meletakkan gelas di atas meja, matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu yang membuat tubuhnya membeku seketika.

"Ya Tuhan ...!" pekiknya dengan mata membelalak kaget.

Di atas meja dapur, tergeletak pisau pemotong daging yang masih berlumuran darah segar. Darah itu menetes jatuh ke lantai, meninggalkan jejak yang samar, tetapi juga cukup nyata.

Bau anyir yang pekat langsung menyergap indera penciumannya, membuatnya mual dan merinding dalam waktu bersamaan.

"Bu Rahma!" Alya berteriak memanggil Asisten Rumah Tangga yang sedang berada di luar dapur.

Tak lama kemudian, Bu Rahma muncul dengan ekspresi heran. "Iya, Non Alya? Ada apa?"

Alya menunjuk pisau itu, suaranya tercekat saat bertanya, "ini ... bekas apa, Bu? Kenapa bisa banyak sekali darahnya? Baunya sangat menyengat. Apa ini habis dipakai untuk memotong daging? Daging apa yang darahnya kental banget kayak gini? Kenapa nggak dibersihkan?"

ART itu terdiam sejenak, raut wajahnya tampak canggung, seolah menimbang apakah ia harus menjawab atau tidak.

Namun, akhirnya, ia membuka suara, "itu tadi dipakai Pak Suhadi, Non. Katanya jangan dibersihkan, biar nanti Pak Suhadi sendiri yang bersihkan."

Alya tersentak mendengar jawaban itu. Pikirannya langsung melayang pada apa yang dilihatnya tadi di halaman belakang.

Rasa takut kini semakin menggulung di dadanya, membuat napasnya memburu tak karuan. Apa yang sebenarnya dilakukan Pamannya? Dan darah ini ... apa mungkin ada hubungannya dengan yang dikubur tadi?

"Semuanya makin aneh dan nggak masuk akal. Aku bisa gila lama-lama!" batinnya berteriak.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ghea
buat Alya kuat dong thor
goodnovel comment avatar
Cahyanii98
ngeri bgt bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kutukan Wasiat Kakek    Tidak Tahan Lagi

    Setelah acara selamatan Kakek selesai, malam itu Alya langsung naik ke kamarnya, tubuhnya terasa lelah dan pikirannya masih penuh dengan berbagai kegelisahan yang menghantui sejak siang. Ia mengunci pintu, mencoba menenangkan diri dari segala keanehan yang terus berputar di benaknya. Sepanjang hari, Alya berusaha menghindari Paman Suhadi, wajah dinginnya yang tampak tenang justru membuat jantungnya berdegup lebih kencang. "Ya Tuhan ... aku percaya tidak ada yang lebih besar dariMu. Tolong lindungi hambaMu ini, Ya Tuhan," mohonnya.Alya mencoba mengalihkan pikirannya, meraih ponsel yang tergeletak di meja, berniat menghibur diri dengan berselancar di media sosial. Namun, belum sempat ia menggulir layar, telinganya menangkap suara bisikan yang sayup-sayup terdengar, begitu lemah beriringan desau angin malam.“Tolong ....”Suara itu begitu lirih, terbungkus dalam isak tangis yang menyayat hati, seolah datang dari seseorang tengah dilanda rasa sakit. Ia menajamkan pendengarannya, mem

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31
  • Kutukan Wasiat Kakek    Terbongkar

    Pagi itu, kedatangan Narendra disambut Alya dengan wajah yang masih penuh keresahan. Tanpa membuang waktu, ia langsung mengajak sahabatnya itu duduk di ruang tamu. Beruntung tak ada orang di rumah ini, semua pergi bekerja.“Naren, aku nggak tahu lagi apa yang terjadi di rumah ini,” bisik Alya pelan sambil sesekali melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada siapa pun di dekat mereka. “Suara-suara aneh itu ... dan bayangan yang muncul di kamarku ... semuanya terlalu nyata.”Narendra mengangguk, menatap Alya dengan penuh perhatian. “Alya, aku tahu kamu sedang mengalami masa yang berat. Coba tarik napas dulu, tenangin diri. Ini nggak baik kalau kamu terus merasa tertekan begini."Alya menarik napas dalam-dalam, meskipun masih terlihat gemetar. “Naren ... aku bahkan merasa kayak mau gila. Semalam aku dengar suara minta tolong dari arah halaman belakang, terus ada bayangan putih yang muncul di kamarku. Ini bukan cuma sekali dua kali aku ngalamin yang kayak gitu.” “Dengar, Alya. Ada banyak

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Kutukan Wasiat Kakek    Ritual

    Alya memeluk tubuhnya erat, mencoba meredam gemetar yang makin menjadi-jadi. Ruang tamu terasa semakin dingin, meski matahari pagi masih terlihat di luar jendela. Rasanya seakan ada sesuatu yang mengintai dari balik bayangan. “Kamu harus kuat. Semakin dalam kamu terlibat, semakin besar pula risiko yang mungkin datang. Tapi jika kamu benar-benar ingin mengetahui segalanya, aku bisa membantumu. Namun, akan ada banyak hal yang harus kamu korbankan.” Alya menatap Narendra, kebingungan dan ketakutan bercampur dalam benaknya. “Apa maksudmu? Apa yang harus aku korbankan?” Narendra diam sejenak, memandang ke arah dinding ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak terlihat oleh mata Alya. “Terkadang, untuk memahami kebenaran, kita harus siap kehilangan sesuatu. Bisa jadi ketenangan, kenyamanan, atau bahkan ... dirimu sendiri.” Alya terdiam. Kengerian kata-kata Narendra mengakar dalam pikirannya, membuat bulu kuduknya meremang. Ia ingin berhenti, ingin kembali pada hidup normal tanpa ha

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Kutukan Wasiat Kakek    Kekacauan

    Narendra segera mengakhiri ritual yang ia lakukan di depan kamar kakek Suroto. Dengan penuh kepanikan, ia mendobrak pintu yang terbuat dari kayu tua, suara berdecit menambah suasana mencekam di dalam rumah. Seketika matanya terfokus pada tubuh mungil Alya yang tergeletak pingsan di lantai kayu, kulitnya terasa dingin seolah dihantam embun malam yang menusuk. Jantungnya berdegup kencang, menyadari betapa seriusnya situasi ini.“Ya Tuhan, Alya!” Suara Narendra bergetar, panik melanda saat ia berlari menghampiri tubuh gadis itu. Dengan cepat, ia mengangkat kepala Alya dan melihat wajahnya yang pucat, seolah nyawa gadis itu terenggut dari tubuhnya.Tepat saat itu, orang tua Alya masuk dengan tergopoh-gopoh, mata mereka dipenuhi kecemasan. “Narendra! Apa yang terjadi di sini? Ngapain kalian ada di kamar kakek?! ” tanya Bowo, suaranya nyaring dengan nada marah. Tina langsung berlari menghampiri putrinya, menangis tersedu-sedu sambil memeluk tubuh Alya yang lemas.“Naren, kamu harus men

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • Kutukan Wasiat Kakek    Terperangkap

    Narendra tak mau mempedulikan sosok itu, ia segera kembali ke depan ruang gawat darurat. Baru beberapa meter tiba di pintu, langkahnya sontak terhenti saat melihat orang tua Alya tengah berbincang dengan dokter.“Maafkan saya, tapi Alya dalam keadaan koma,” ungkap dokter itu, wajahnya mencerminkan keprihatinan yang mendalam.Dunia seolah runtuh di sekeliling Narendra. Ia menganga, tak percaya bahwa efek ritualnya bisa seburuk ini. Seakan disambar petir, ia terdiam, mengingat kembali langkah-langkah yang diambilnya dalam pelaksanaan ritual tadi."Memang ada yang kurang, tapi keburu Alya pingsan," batinnya.Bowo, yang berdiri tak jauh dari situ, langsung mengarahkan telunjuknya kepada Narendra, amarahnya membara. “Kau! Ini semua karena kebodohanmu!” teriak Bowo, suaranya menggema di lorong rumah sakit yang sunyi. “Bagaimana bisa kau membawa putriku ke dalam situasi berbahaya seperti ini?!”Narendra menunduk, merasa tertekan di bawah tatapan marah Bowo. “Paman, saya ... saya tidak berma

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-03
  • Kutukan Wasiat Kakek    Bertemu Kakek

    Di dunia lain, mungkin orang menyebutnya alam jin, Alya berjalan tanpa arah. Kakinya menginjak tanah yang terasa aneh, bukan seperti tanah di dunia tempatnya tinggal. Getaran dingin merambat dari ujung kaki hingga tengkuknya, mengingatkannya bahwa ia berada di tempat yang asing dan berbahaya. Pandangannya menyapu ke sekeliling, matanya terbelalak melihat pemandangan di depannya.Bangunan-bangunan megah menjulang tinggi, berkilau dalam cahaya keemasan yang tak pernah ia saksikan sebelumnya. Pilar-pilar raksasa terbuat dari emas murni berdiri dengan kokoh, memancarkan kilauan indah. Di kejauhan, kolam berisi susu putih mengalir tenang, memantulkan bayangan burung-burung indah dengan bulu berwarna-warni yang belum pernah dilihat Alya di dunia manusia. Taman-taman dipenuhi bunga beraroma manis, tetapi aroma itu membawa sesuatu yang membuat hatinya berdebar tak nyaman.“Di mana aku?”Tubuhnya bergetar, bukan karena udara dingin, tetapi karena rasa takut yang mengintai di balik setiap kei

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-04
  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 13

    Narendra membuka matanya perlahan, napasnya terasa berat dan dadanya sesak, seolah ada beban tak kasat mata yang menekan jiwanya. Di hadapannya, benda-benda ritual yang tadi ia susun berjejer, ada bunga melati yang mulai layu, mangkuk air suci, serta sepasang lilin khusus yang kini telah padam. Cahaya lilin yang tadi menjadi jembatan bagi Alya untuk pulang kini telah berakhir.Narendra menatap sisa-sisa asap dari sumbu lilin yang memudar.“Jiwanya pasti sudah kembali … Alya sudah selamat,” gumamnya pelan, tetapi tetap bergetar oleh perasaan tak tenang. Malam tadi, ia nekat pulang dari rumah sakit, menyelinap tanpa sepengetahuan kedua orang tua Alya, dan diam-diam melakukan ritual di kamarnya. Ia tahu risikonya, tahu bahwa ini tindakan berbahaya, tetapi hatinya tak bisa tenang membiarkan Alya tersesat di dunia lain.•Pagi menjelang, sinar matahari tipis menelusup masuk melalui celah jendela, suasana kamarnya masih terasa berat dan menyeramkan. Narendra merasakan hawa dingin yang m

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-05
  • Kutukan Wasiat Kakek    Suster

    "Eugh ...." Lenguhan tipis lolos dari bibir pria tampan itu, tetapi kelopak matanya masih berat sekali untuk terbuka, rasa pening membuatnya kalah.Narendra mencoba kembali memejamkan mata, tapi pikirannya tak tenang. Samar, suara tawa melengking mengusik ketenangan kamar rawat inapnya. Tawa itu terdengar lirih, tetapi semakin lama semakin jelas, seperti seseorang yang tertawa di sudut ruangan.Narendra membuka mata, pandangannya menyapu sekeliling kamar yang sunyi dan gelap. Tak ada siapa-siapa selain dirinya, tetapi hawa dingin menyusup perlahan. Ia bergidik, merasakan bulu kuduknya berdiri."Siapa di sana ...?” bisiknya, suaranya bergetar. Hanya keheningan yang menjawab, diselingi suara mesin detak jantung. Namun, tiba-tiba lampu kamar berkerlip pelan, seolah ada energi lain yang mengusik aliran listriknya. Ruangan menjadi semakin suram, dan bayangan-bayangan di dinding tampak bergerak, membentuk siluet yang mengerikan.“Cukup kali ini, jo, Le. Jangan lancang lagi ... atau jiwamu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06

Bab terbaru

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 74

    Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari rumah besar itu dengan hangat. Namun, suasana lantai dua terasa tegang. Tina, yang tengah merapikan barang-barangnya untuk pergi ke kos-kosan Alya, tiba-tiba merasa ada yang janggal.“Kenapa Nayu belum turun juga, ya?” gumamnya sambil melirik jam dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka sembilan. Biasanya, Nayu selalu muncul lebih pagi, entah untuk menyiapkan sarapan atau sekadar berkeliling.Tina menghentikan kegiatannya. Pikirannya terusik. Ia mencoba menepis kekhawatiran itu, tetapi firasatnya kian menguat. Akhirnya, dengan langkah pelan tapi pasti, ia memutuskan untuk naik ke lantai tiga.Tangga yang berderit di bawah pijakannya semakin menambah rasa was-was. Lantai tiga, yang biasanya jarang ia kunjungi, terasa begitu sunyi. Setibanya di depan kamar Nayu, Tina mengetuk pintu dengan hati-hati.“Nayu? Kamu di dalam?” panggilnya, berusaha terdengar tenang.Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. “Nayu! Ban

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 73

    Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri kokoh di tengah pekarangan yang sunyi. Malam telah larut, namun keheningan di lantai tiga terasa tidak biasa. Dinding-dinding tua berlapis cat yang mulai pudar memantulkan bayangan samar dari cahaya lilin yang berkerlip tak menentu. Udara di sana begitu pekat, seolah ada sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayangan gelap untuk menerkam.Di salah satu kamar di lantai itu, Nayu duduk bersila di lantai. Ruangan itu dipenuhi dengan benda-benda ritual, lilin hitam berjajar rapi di atas meja, sebuah cawan perak yang penuh cairan berbau menyengat, dan segumpal rambut kusut yang ia letakkan di atas kain merah. Matanya yang tajam menatap lekat rambut itu, tangannya mulai bergerak dengan pelan dan penuh tekad. Ia mulai merapal mantra, suaranya lirih, tapi penuh intensitas, seperti berbisik kepada kekuatan yang tidak kasat mata.“Aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu rencanaku,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Namun, malam itu berbeda.

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 72

    Pagi ini, ia dan Narendra kembali ke rumah Pak Ustaz Harun—pamannya Narendra, seorang tokoh agama yang menjadi tumpuan mereka dalam melawan kutukan keluarga.Di perjalanan, Narendra mengemudikan mobil dengan tenang. Sementara itu, Alya duduk diam di kursi penumpang, menggenggam gelang perak yang terasa berat, seolah ada energi gelap yang mengalir darinya. Di pangkuannya, ada kotak kayu kuno berukir motif Jawa yang ia temukan di kamar mendiang kakeknya. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Narendra, memecah keheningan.Alya mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku merasa lega, tapi sekaligus takut. Kalau ini nggak berhasil—”“Jangan berpikir begitu. Kita sudah sejauh ini. Aku yakin, Allah nggak akan membiarkan kita berjuang tanpa hasil.” Narendra mencoba menguatkan.Alya menatap kotak kayu di pangkuannya. “Kamu yakin semuanya akan selesai setelah ini?”Narendra mengangguk. “Itulah kenapa kita harus membakarnya. Semua benda yang jadi media kutukan harus dihancurkan total. Pak Ustaz juga

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 71

    “Ya Allah .…” Tina berdoa sambil menangis. “Kalau memang ini jalan yang harus kuambil, aku mohon … aku mohon, jangan biarkan Alya tahu. Jangan biarkan dia merasa bersalah. Dia nggak salah, semua ini karena dosa kami, dosa keluarga ini. Jangan hukum Alya, hukum aku saja.”Ia terisak lagi, kali ini lebih keras. Tangan kanannya menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat.Tangannya perlahan beralih ke dada, merasakan detak jantungnya yang semakin tak beraturan. Ia tahu efek ritual itu mungkin akan mulai terasa dalam beberapa hari ke depan. Bisa jadi tubuhnya akan melemah, bisa jadi ia akan sakit parah, atau bahkan meninggal.Tina tak berani menyelesaikan pikirannya. Namun, ia sudah siap. Ia tidak punya pilihan lain.Mobil yang ia kendarai kembali melaju perlahan, memasuki jalanan yang semakin sepi. Di tengah tangisannya, ia teringat lagi saat Alya memeluknya beberapa hari lalu. “Aku tahu kamu nggak akan berhenti, Nayu. Kamu mungkin akan cari cara lain kalau kamu tahu aku sudah menukar ram

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 70

    Malam hari.Tina memasuki rumah besar tiga lantai yang telah lama menjadi tempat tinggal keluarganya. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara angin berdesir di sela-sela pohon mangga di halaman, seolah-olah menyampaikan peringatan akan sesuatu yang kelam. Kini ia sudah berdiri di depan pintu rumah, menyapa pembantu rumah tangga yang tengah membereskan meja ruang tamu. "Nayu di mana?" tanyanya singkat, mencoba terdengar santai meski hatinya terus berdebar."Bu Nayu tadi bilang mau keluar sebentar, Bu. Katanya beli sesuatu," jawab pembantu itu sambil melipat kain lap.Mata Tina sedikit membelalak, tapi ia segera menenangkan diri. "Oh, ya sudah. Kalau begitu, saya mau naik ke lantai tiga sebentar. Ada yang ketinggalan."Pembantu itu hanya mengangguk, tak mencurigai apa-apa.Tina melangkah ke tangga, kali ini berhati-hati agar langkahnya tak menimbulkan suara berlebihan. Tangga kayu itu sesekali berderit pelan, membuatnya berhenti sejenak untuk memastikan tak ada orang yang me

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 69

    Alya duduk dengan tubuh menggigil di atas karpet tipis yang membentang di ruang utama rumah sang ustadz. Pandangannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Tubuhnya masih terasa panas, meski hawa dingin malam telah menyusup dari celah-celah jendela. Narendra duduk di dekatnya, mengamati Alya dengan cemas. "Alya," suara ustadz itu lembut, memecah keheningan. "Sebelum kita mulai, kamu harus menyucikan dirimu terlebih dahulu. Wudhu dan salat taubat adalah langkah awal untuk membuka hatimu kepada Allah. Setelah itu, kita lanjutkan dengan ruqyah. Apakah kamu siap?" Alya mengangguk perlahan, meski tubuhnya tampak lemah. "Saya siap, Ustadz," suaranya terdengar parau. Narendra segera berdiri, bersiap membantu jika Alya tidak kuat berjalan. Ustadz itu menunjukkan arah kamar mandi. "Narendra, temani dia. Pastikan dia baik-baik saja." Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi, Narendra mengikutinya dengan penuh perhatian. Di dalam kamar mandi, ia memercikkan air wudhu ke wajah

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 68

    Alya membaca tulisan itu berulang kali, mencoba memahami maksudnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seolah tulisan di atas kertas itu membawa beban yang tak kasat mata. Suara Narendra memecah keheningan."Jadi, gelang ini semacam kunci perjanjian, ya?" Narendra mengamati ukiran pada gelang perak itu. "Dan perjanjian itu jelas-jelas kutukan untuk keluargamu."Alya mengangguk pelan, bibirnya gemetar. "Iya, ini pasti ada hubungannya dengan ritual pesugihan. Tapi siapa yang menaruh gelang dan kertas ini di kotak ini? Kalau Kakek, kenapa nggak cerita ke anak-anaknya?"Narendra menggeleng. "Mungkin seseorang dari keluargamu. Tapi yang lebih penting sekarang, kita harus tahu bagaimana mengakhiri ini semua."Alya menunduk, menatap gelang itu dengan campuran rasa takut dan penasaran. "Ren, aku harus mengembalikan gelang ini ke tempat asalnya, kan? Kalau nggak, kutukan ini nggak akan pernah berhenti menghantui keluargaku."Narendra menaruh tangannya di bahu Alya, menenangkan. "Kita cari tahu dul

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 67

    Keesokan HarinyaUdara dingin pagi itu terasa menusuk tulang ketika Alya dan Narendra tiba di depan rumah besar peninggalan Kakek Suroto. Bangunan itu menjulang angker dengan arsitektur kuno. Langit mendung menambah kesan mencekam pada suasana sekitar. Alya menarik napas panjang, mencoba mengusir keraguan yang menyelimuti hatinya.“Aku masih nggak yakin ini ide bagus, Ren,” bisiknya sambil melirik Narendra yang berdiri di sebelahnya dengan raut wajah serius.“Kita sudah sampai sejauh ini, Alya. Kalau kita nggak ambil kotak itu sekarang, entah apa yang akan terjadi padamu,” jawab Narendra. Ia menggenggam bahu Alya, mencoba memberinya keberanian. “Aku ada di sini, nggak perlu takut.”Alya mengangguk pelan. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu samping yang biasa digunakan pekerja rumah untuk masuk. Tiga pekerja yang tengah membersihkan dapur langsung menoleh kaget melihat kehadiran Alya. Namun sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu, Alya mengangkat tangannya, memberi isyarat aga

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 66

    Tina tetap berdiri di depan celah pintu kamar Nayu. Pandangannya terpaku pada apa yang dilakukan adiknya di dalam ruangan. Nayu tampak serius, duduk bersila di lantai, dengan lilin-lilin hitam yang berkeliling mengelilinginya. Di tengah ritual itu, mata Tina tertumbuk pada sebuah benda yang membuat hatinya berdesir.Di atas kain merah dengan aksara kuno yang tampak asing, tergeletak segumpal rambut hitam pekat. Di sebelahnya, selembar foto Alya yang sudah kusam. Tangan Tina bergetar, dan ia menahan napas saat mendapati potongan rambut itu sangat mirip dengan milik putrinya."Astaga," Tina berbisik dalam hati. "Itu pasti rambutnya Alya?"Ia menggigit bibir, berusaha untuk tetap tenang. Kakinya terasa seperti tertancap ke lantai, sulit untuk digerakkan. Pandangannya bergantian antara Nayu yang tampak khusyuk melafalkan sesuatu dan benda-benda di depannya.Nayu tampak memejamkan mata, sesekali tangannya mengangkat mangkuk logam di hadapannya, kemudian meletakkannya kembali dengan gerakan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status