Alya merasa tubuhnya terguncang keras. Napasnya terengah, tubuhnya terasa berat dan dingin. Tangan yang mengguncang tubuhnya semakin kuat, membuatnya tersentak bangun dengan napas yang masih tersengal.
Pandangannya kabur, dan perlahan, wajah ibunya yang penuh kecemasan terlihat di depannya. “Alya! Kamu kenapa tidur di sini? Ini 'kan meja rias almarhumah nenekmu! Kenapa kamu sampai ketiduran di sini, Nak?” tanya Tina panjang lebar, keningnya mengerut heran. Alya hanya duduk terdiam, mengumpulkan kesadarannya yang masih tersisa. Jantungnya masih berdebar kencang, dan perasaan dingin itu seakan masih menyelimuti tubuhnya. Ia memandang wajah ibunya yang khawatir, tetapi pikirannya melayang-layang, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Apakah semuanya tadi benar-benar nyata atau hanya permainan mimpi yang menghantuinya? "Ya Tuhan ... jadi, tadi hanya mimpi? Kenapa rasanya nyata sekali?!" batinnya. Dengan kening berkerut dan raut wajah penuh kebingungan, Alya melirik ke arah lemari tua di sudut kamar itu. Lemari itu tertutup rapat, tampak seperti biasa, tanpa tanda-tanda pernah terbuka atau mengeluarkan suara aneh seperti yang ia ingat. Namun, keanehan dari mimpinya barusan masih terasa begitu nyata. Aroma anyir, suara bisikan, bahkan bayangan sosok menyeramkan yang nyaris menyentuhnya. Ibunya menatapnya dengan heran. “Alya? Kamu dengar nggak apa yang Ibu tanya?” Alya menelan ludah, hatinya bimbang. Ia tahu, jika menceritakan apa yang baru saja dialaminya, ibunya pasti akan khawatir. Ia pun memilih untuk tidak jujur, menyembunyikan semua hal mencekam yang baru saja terjadi. “Eh, maaf, Bu. Aku cuma ngantuk habis mandi. Tadi niatnya mau dandan, tapi nggak sengaja ketiduran di sini,” jawabnya, ragu. “Nak, jangan tidur di sini lagi, ya? Ini 'kan meja rias almarhumah nenek. Ibu khawatir kalau kamu mengalami sesuatu yang nggak baik,” katanya sambil mengusap kepala Alya lembut. “Kalau kamu merasa ada sesuatu yang aneh atau nggak nyaman, ceritakan sama Ibu.” Alya hanya mengangguk, berusaha menunjukkan senyuman kecil untuk menenangkan ibunya. Namun, batinnya tetap bergemuruh, dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab. Ia kembali melirik ke arah lemari tua itu, lalu mengalihkan pandangan ke cermin di meja rias, yang sekarang memantulkan bayangan dirinya dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca. “Sudah, yuk, kita sarapan. Mungkin kamu memang kelelahan, Nak. Jangan terlalu banyak pikiran, ya,” ujar ibunya seraya menarik tangan Alya dengan lembut, mencoba mengajaknya keluar dari kamar itu. Namun, langkah Alya terhenti sejenak di ambang pintu. Dalam bayangan cermin di meja rias, ia melihat sekilas seolah ada sosok lain yang berdiri di belakangnya, mengenakan pakaian serba putih dengan rambut yang tergerai. Ia terdiam, menatap ke cermin itu dengan saksama, tapi bayangan tersebut hilang dalam sekejap, meninggalkan hanya dirinya yang terpantul dengan wajah ketakutan. “Ada apa, Alya?” tanya Tina yang sudah lebih dulu berada di luar kamar, menyadari Alya tak ikut melangkah. “Eh, nggak … nggak ada apa-apa, Bu,” jawab Alya terbata-bata. Menarik napas panjang dan berusaha menenangkan dirinya, mencoba meyakinkan hatinya bahwa itu hanya halusinasi. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, Alya tahu ada sesuatu yang salah di dalam rumah ini. Sesuatu yang tersembunyi di antara kenangan masa lalu ataupun peninggalan sang kakek, yang terus berusaha berkomunikasi dengannya melalui mimpi dan bayangan-bayangan seram. • Waktu berlalu hingga matahari beranjak tinggi. Hari itu, Alya memutuskan keluar rumah, memilih menghirup udara segar di halaman belakang karena ia tak ada pekerjaan. Suasana di halaman belakang terasa sunyi, hanya angin lembut yang sesekali berhembus, membawa aroma tanah yang lembab. Di sini banyak pepohonan rindang, Alya yakin bisa cukup menenangkan pikirannya. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok Paman Suhadi yang tengah membungkuk di salah satu sudut halaman. Tampak sibuk mengubur sesuatu di bawah pohon mangga tua yang sudah lama dianggap angker oleh keluarga. "Hah, apa itu?!" Bungkusan putih yang dilihatnya tampak besar dan mencurigakan, hampir seukuran tubuh anak kecil. Alya merasa darahnya berdesir, nalurinya berbisik bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Alya berusaha mendekat, tapi tubuhnya seperti tertahan oleh rasa takut. Hatinya berdebar kencang ketika melihat gerak-gerik Paman Suhadi yang tampak terburu-buru, seperti menyembunyikan sesuatu. Bungkusan itu sudah setengah terkubur, hanya sedikit menyembul dari dalam tanah. Sesaat, Alya merasa seperti mencium bau bangkai yang samar tercium dari arah bungkusan itu, membuat tenggorokannya terasa kering dan perutnya mual. "Astaga. Itu bangkai hewan atau apa, sih? Bentuknya kok, kayak ...." Paman Suhadi menoleh tiba-tiba, seolah merasakan kehadiran keponakannya. Wajahnya tampak gelap, seperti ada sesuatu yang berat dan kelam yang disembunyikannya. Mata mereka bertemu, dan Alya langsung mengalihkan pandangan, berusaha menahan napas, merasa ketakutan sekaligus bingung karena ketahuan. “Lho, Alya … ngapain kamu di sini?” tanya Paman Suhadi dengan nada datar nan tajam, tatapannya menelisik penuh curiga. “Oh, cuma jalan-jalan aja, Paman,” jawab Alya, mencoba bersikap biasa, meski suaranya sedikit bergetar. Paman Suhadi hanya mengangguk, tetapi tatapannya tetap menusuk, membuat Alya merasa seakan-akan ia telah menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya. Alya segera berbalik, melangkah pergi dari halaman belakang itu. Kakinya berlari pelan menuju dapur, jantungnya masih berdetak kencang, dan pikirannya dihantui rasa penasaran yang bercampur dengan kengerian. Ia mengambil segelas air minum, meneguknya dengan harapan rasa gugup di dadanya akan sedikit mereda. Namun, tepat saat meletakkan gelas di atas meja, matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu yang membuat tubuhnya membeku seketika. "Ya Tuhan ...!" pekiknya dengan mata membelalak kaget. Di atas meja dapur, tergeletak pisau pemotong daging yang masih berlumuran darah segar. Darah itu menetes jatuh ke lantai, meninggalkan jejak yang samar, tetapi juga cukup nyata. Bau anyir yang pekat langsung menyergap indera penciumannya, membuatnya mual dan merinding dalam waktu bersamaan. "Bu Rahma!" Alya berteriak memanggil Asisten Rumah Tangga yang sedang berada di luar dapur. Tak lama kemudian, Bu Rahma muncul dengan ekspresi heran. "Iya, Non Alya? Ada apa?" Alya menunjuk pisau itu, suaranya tercekat saat bertanya, "ini ... bekas apa, Bu? Kenapa bisa banyak sekali darahnya? Baunya sangat menyengat. Apa ini habis dipakai untuk memotong daging? Daging apa yang darahnya kental banget kayak gini? Kenapa nggak dibersihkan?" ART itu terdiam sejenak, raut wajahnya tampak canggung, seolah menimbang apakah ia harus menjawab atau tidak. Namun, akhirnya, ia membuka suara, "itu tadi dipakai Pak Suhadi, Non. Katanya jangan dibersihkan, biar nanti Pak Suhadi sendiri yang bersihkan." Alya tersentak mendengar jawaban itu. Pikirannya langsung melayang pada apa yang dilihatnya tadi di halaman belakang. Rasa takut kini semakin menggulung di dadanya, membuat napasnya memburu tak karuan. Apa yang sebenarnya dilakukan Pamannya? Dan darah ini ... apa mungkin ada hubungannya dengan yang dikubur tadi? "Semuanya makin aneh dan nggak masuk akal. Aku bisa gila lama-lama!" batinnya berteriak.Setelah acara selamatan Kakek selesai, malam itu Alya langsung naik ke kamarnya, tubuhnya terasa lelah dan pikirannya masih penuh dengan berbagai kegelisahan yang menghantui sejak siang. Ia mengunci pintu, mencoba menenangkan diri dari segala keanehan yang terus berputar di benaknya. Sepanjang hari, Alya berusaha menghindari Paman Suhadi, wajah dinginnya yang tampak tenang justru membuat jantungnya berdegup lebih kencang. "Ya Tuhan ... aku percaya tidak ada yang lebih besar dariMu. Tolong lindungi hambaMu ini, Ya Tuhan," mohonnya.Alya mencoba mengalihkan pikirannya, meraih ponsel yang tergeletak di meja, berniat menghibur diri dengan berselancar di media sosial. Namun, belum sempat ia menggulir layar, telinganya menangkap suara bisikan yang sayup-sayup terdengar, begitu lemah beriringan desau angin malam.“Tolong ....”Suara itu begitu lirih, terbungkus dalam isak tangis yang menyayat hati, seolah datang dari seseorang tengah dilanda rasa sakit. Ia menajamkan pendengarannya, mem
Pagi itu, kedatangan Narendra disambut Alya dengan wajah yang masih penuh keresahan. Tanpa membuang waktu, ia langsung mengajak sahabatnya itu duduk di ruang tamu. Beruntung tak ada orang di rumah ini, semua pergi bekerja.“Naren, aku nggak tahu lagi apa yang terjadi di rumah ini,” bisik Alya pelan sambil sesekali melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada siapa pun di dekat mereka. “Suara-suara aneh itu ... dan bayangan yang muncul di kamarku ... semuanya terlalu nyata.”Narendra mengangguk, menatap Alya dengan penuh perhatian. “Alya, aku tahu kamu sedang mengalami masa yang berat. Coba tarik napas dulu, tenangin diri. Ini nggak baik kalau kamu terus merasa tertekan begini."Alya menarik napas dalam-dalam, meskipun masih terlihat gemetar. “Naren ... aku bahkan merasa kayak mau gila. Semalam aku dengar suara minta tolong dari arah halaman belakang, terus ada bayangan putih yang muncul di kamarku. Ini bukan cuma sekali dua kali aku ngalamin yang kayak gitu.” “Dengar, Alya. Ada banyak
Alya memeluk tubuhnya erat, mencoba meredam gemetar yang makin menjadi-jadi. Ruang tamu terasa semakin dingin, meski matahari pagi masih terlihat di luar jendela. Rasanya seakan ada sesuatu yang mengintai dari balik bayangan. “Kamu harus kuat. Semakin dalam kamu terlibat, semakin besar pula risiko yang mungkin datang. Tapi jika kamu benar-benar ingin mengetahui segalanya, aku bisa membantumu. Namun, akan ada banyak hal yang harus kamu korbankan.” Alya menatap Narendra, kebingungan dan ketakutan bercampur dalam benaknya. “Apa maksudmu? Apa yang harus aku korbankan?” Narendra diam sejenak, memandang ke arah dinding ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak terlihat oleh mata Alya. “Terkadang, untuk memahami kebenaran, kita harus siap kehilangan sesuatu. Bisa jadi ketenangan, kenyamanan, atau bahkan ... dirimu sendiri.” Alya terdiam. Kengerian kata-kata Narendra mengakar dalam pikirannya, membuat bulu kuduknya meremang. Ia ingin berhenti, ingin kembali pada hidup normal tanpa ha
Narendra segera mengakhiri ritual yang ia lakukan di depan kamar kakek Suroto. Dengan penuh kepanikan, ia mendobrak pintu yang terbuat dari kayu tua, suara berdecit menambah suasana mencekam di dalam rumah. Seketika matanya terfokus pada tubuh mungil Alya yang tergeletak pingsan di lantai kayu, kulitnya terasa dingin seolah dihantam embun malam yang menusuk. Jantungnya berdegup kencang, menyadari betapa seriusnya situasi ini.“Ya Tuhan, Alya!” Suara Narendra bergetar, panik melanda saat ia berlari menghampiri tubuh gadis itu. Dengan cepat, ia mengangkat kepala Alya dan melihat wajahnya yang pucat, seolah nyawa gadis itu terenggut dari tubuhnya.Tepat saat itu, orang tua Alya masuk dengan tergopoh-gopoh, mata mereka dipenuhi kecemasan. “Narendra! Apa yang terjadi di sini? Ngapain kalian ada di kamar kakek?! ” tanya Bowo, suaranya nyaring dengan nada marah. Tina langsung berlari menghampiri putrinya, menangis tersedu-sedu sambil memeluk tubuh Alya yang lemas.“Naren, kamu harus men
Narendra tak mau mempedulikan sosok itu, ia segera kembali ke depan ruang gawat darurat. Baru beberapa meter tiba di pintu, langkahnya sontak terhenti saat melihat orang tua Alya tengah berbincang dengan dokter.“Maafkan saya, tapi Alya dalam keadaan koma,” ungkap dokter itu, wajahnya mencerminkan keprihatinan yang mendalam.Dunia seolah runtuh di sekeliling Narendra. Ia menganga, tak percaya bahwa efek ritualnya bisa seburuk ini. Seakan disambar petir, ia terdiam, mengingat kembali langkah-langkah yang diambilnya dalam pelaksanaan ritual tadi."Memang ada yang kurang, tapi keburu Alya pingsan," batinnya.Bowo, yang berdiri tak jauh dari situ, langsung mengarahkan telunjuknya kepada Narendra, amarahnya membara. “Kau! Ini semua karena kebodohanmu!” teriak Bowo, suaranya menggema di lorong rumah sakit yang sunyi. “Bagaimana bisa kau membawa putriku ke dalam situasi berbahaya seperti ini?!”Narendra menunduk, merasa tertekan di bawah tatapan marah Bowo. “Paman, saya ... saya tidak berma
Di dunia lain, mungkin orang menyebutnya alam jin, Alya berjalan tanpa arah. Kakinya menginjak tanah yang terasa aneh, bukan seperti tanah di dunia tempatnya tinggal. Getaran dingin merambat dari ujung kaki hingga tengkuknya, mengingatkannya bahwa ia berada di tempat yang asing dan berbahaya. Pandangannya menyapu ke sekeliling, matanya terbelalak melihat pemandangan di depannya.Bangunan-bangunan megah menjulang tinggi, berkilau dalam cahaya keemasan yang tak pernah ia saksikan sebelumnya. Pilar-pilar raksasa terbuat dari emas murni berdiri dengan kokoh, memancarkan kilauan indah. Di kejauhan, kolam berisi susu putih mengalir tenang, memantulkan bayangan burung-burung indah dengan bulu berwarna-warni yang belum pernah dilihat Alya di dunia manusia. Taman-taman dipenuhi bunga beraroma manis, tetapi aroma itu membawa sesuatu yang membuat hatinya berdebar tak nyaman.“Di mana aku?”Tubuhnya bergetar, bukan karena udara dingin, tetapi karena rasa takut yang mengintai di balik setiap kei
Narendra membuka matanya perlahan, napasnya terasa berat dan dadanya sesak, seolah ada beban tak kasat mata yang menekan jiwanya. Di hadapannya, benda-benda ritual yang tadi ia susun berjejer, ada bunga melati yang mulai layu, mangkuk air suci, serta sepasang lilin khusus yang kini telah padam. Cahaya lilin yang tadi menjadi jembatan bagi Alya untuk pulang kini telah berakhir.Narendra menatap sisa-sisa asap dari sumbu lilin yang memudar.“Jiwanya pasti sudah kembali … Alya sudah selamat,” gumamnya pelan, tetapi tetap bergetar oleh perasaan tak tenang. Malam tadi, ia nekat pulang dari rumah sakit, menyelinap tanpa sepengetahuan kedua orang tua Alya, dan diam-diam melakukan ritual di kamarnya. Ia tahu risikonya, tahu bahwa ini tindakan berbahaya, tetapi hatinya tak bisa tenang membiarkan Alya tersesat di dunia lain.•Pagi menjelang, sinar matahari tipis menelusup masuk melalui celah jendela, suasana kamarnya masih terasa berat dan menyeramkan. Narendra merasakan hawa dingin yang m
"Eugh ...." Lenguhan tipis lolos dari bibir pria tampan itu, tetapi kelopak matanya masih berat sekali untuk terbuka, rasa pening membuatnya kalah.Narendra mencoba kembali memejamkan mata, tapi pikirannya tak tenang. Samar, suara tawa melengking mengusik ketenangan kamar rawat inapnya. Tawa itu terdengar lirih, tetapi semakin lama semakin jelas, seperti seseorang yang tertawa di sudut ruangan.Narendra membuka mata, pandangannya menyapu sekeliling kamar yang sunyi dan gelap. Tak ada siapa-siapa selain dirinya, tetapi hawa dingin menyusup perlahan. Ia bergidik, merasakan bulu kuduknya berdiri."Siapa di sana ...?” bisiknya, suaranya bergetar. Hanya keheningan yang menjawab, diselingi suara mesin detak jantung. Namun, tiba-tiba lampu kamar berkerlip pelan, seolah ada energi lain yang mengusik aliran listriknya. Ruangan menjadi semakin suram, dan bayangan-bayangan di dinding tampak bergerak, membentuk siluet yang mengerikan.“Cukup kali ini, jo, Le. Jangan lancang lagi ... atau jiwamu
Setelah berhasil keluar dari gudang dengan perasaan campur aduk antara lega dan takut, Alya dan Narendra kembali ke dalam rumah. Matahari sudah naik, tetapi sinarnya yang hangat terasa sia-sia. Aura mencekam masih menyelimuti rumah itu, seolah kejadian di gudang tadi belum sepenuhnya berakhir.Alya menarik napas panjang, menguatkan dirinya. “Kamu pasti capek, Naren. Duduk dulu, aku ambilkan minum.”Narendra mengangguk, membiarkan tubuhnya tenggelam di sofa ruang tamu. “Iya, terima kasih, Alya. Tapi kita harus bicara tentang apa yang baru saja terjadi. Ini nggak bisa dianggap remeh.”Namun, sebelum Alya sempat melangkah ke dapur, suara langkah berat terdengar dari arah tangga. Pak Bowo muncul dengan sorot mata tajam, wajahnya menunjukkan ketidaksukaan begitu melihat Narendra.“Alya, kenapa dia masih di sini?” suara Pak Bowo terdengar datar, tetapi jelas penuh tekanan.“Om—” Narendra hendak menyapa sopan, tetapi Pak Bowo mengangkat tangannya, menghentikannya.“Pagi-pagi begini sudah no
Narendra menggenggam erat tangan Alya, menariknya ke sudut gudang yang tampak lebih gelap dari bagian lainnya. Mereka berdua berjongkok, mencoba menahan napas di tengah suasana yang terasa begitu mencekam.“Ya Tuhan, Naren ... apa yang barusan kita lihat itu?” bisik Alya dengan suara yang nyaris tak terdengar, matanya masih menatap ke arah sosok yang kini menghilang di balik kegelapan.Narendra menjawab dengan nada serak, “Aku nggak tahu, Alya. Tapi apa pun itu, kita harus keluar dari sini.”“Tapi gimana caranya? Pintu gudangnya ketutup. Dan ... dan tadi itu, astaga, apa itu manusia atau bukan?” Suara Alya mulai meninggi, menandakan panik yang semakin tak bisa ia kendalikan.Narendra segera menyentuh pundaknya, mencoba menenangkan meskipun ia sendiri merasa gemetar. “Hei, dengar, kita nggak boleh kehilangan akal sekarang. Aku akan cari cara keluar. Kalau kita terus di sini, aku nggak yakin kita akan selamat.”Alya menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang mulai menggenang. Ia me
"Kita jangan ngobrol di sini, deh. Takut ada yang denger nanti malah bikin salah paham," bisik Narendra.Alya dan Narendra melangkah pelan menuju pintu samping rumah, yang langsung mengarah ke kebun belakang. Udara pagi yang dingin menusuk kulit mereka, tapi ketegangan yang menyelimuti terasa lebih menggigit. Kedua sahabat itu masih terngiang dengan kejadian aneh semalam dan perubahan sikap Paman Suhadi serta Bibi Nayu.“Aku yakin, Naren, pasti ada sesuatu di rumah ini,” ujar Alya sambil melangkah hati-hati. “Semua ini nggak masuk akal, dari sosok yang kita lihat semalam sampai sikap Bibi Nayu yang kamu lihat berubah jadi nenek-nenek.”Narendra tak menjawab, netranya fokus menatap ke arah kebun, mengamati sekitar dengan saksama. “Kamu lihat itu, Alya?” Ia menunjuk jejak tanah berlumpur yang tampak segar, menuju semak-semak di ujung kebun. “Jejak kaki ini ... nggak mungkin berasal dari orang yang baru masuk dari depan.”Alya mendekat, berjongkok untuk memperhatikan jejak tersebut. “In
"Sudahlah ...." Ayah Alya ikut bergabung, memandang muda-mudi itu dengan kening berkerut. “Kalian salah lihat mungkin? Paman Suhadi ini baru saja keluar dari mobil bareng kami. Paman juga masih lelah, jadi jangan ditanya-tanya dulu.”Narendra menggeleng, suaranya lebih tegas. “Tapi ini seperti nggak masuk akal, Om. Tidak mungkin banget. Kami melihatnya dengan mata kepala sendiri. Ada sosok yang mirip dengan Paman Suhadi di rumah tadi malam, bahkan suara dan caranya bicara sangat mirip.”Wajah Tina mendadak berubah serius. “Nak, jangan bercanda soal begituan. Kamu tahu kan rumah ini—” Netranya melirik sekilas ke arah Narendra, urung membuka gamblang di hadapan orang lain.Alya merasa dadanya sesak, tapi ia tetap mencoba menjelaskan. “Bu, aku serius! Kalau itu bukan Paman Suhadi, lalu siapa yang ada di rumah tadi malam? Apa yang kami lihat?”Paman Suhadi akhirnya kembali angkat bicara. “Alya, Naren, mungkin kalian hanya salah paham. Mungkin juga ... ada yang ingin menunjukkan sesuatu pa
Narendra duduk bersila di dekat pintu kamar, tangannya memegang tasbih dari lehernya yang selalu digunakan sebagai kalung. Tangannya menarik satu per satu butir tasbih dengan khusyuk. Suaranya perlahan memenuhi ruangan, melantunkan doa-doa perlindungan yang dia hafal sejak kecil. Di sisi lain, Alya duduk bersandar pada tembok dengan wajah tegang, mencoba mengingat doa-doa yang diajar ibunya saat kecil."Ya Allah, lindungi kami dari kejahatan yang tidak terlihat ini," bisik Narendra pelan, penuh keyakinan.Alya menatapnya. "Narendra, ini benar-benar suara Paman Suhadi tadi, kan? Tapi kenapa ... kenapa terdengar begitu, ya? Kayak bukan manusia."Narendra menggeleng, pandangannya tetap lurus ke pintu. "Aku nggak yakin, Alya. Bisa saja itu Paman, tapi bisa juga itu bukan Paman. Kita nggak tahu apa yang sedang terjadi."Dari luar kamar, suara ketukan keras kembali terdengar, kali ini diiringi suara geraman berat seperti dari binatang buas. Alya langsung menggenggam erat selimut yang menut
"Alya. Kita nggak bisa membiarkan rasa takut ini menguasai. Apa pun yang terjadi di sini, harus kita pecahkan sekarang."Alya menatap Narendra, ragu-ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Tapi apa nggak bahaya kalau kita keluar lagi?"Narendra menghela napas, kemudian menggenggam tangan Alya. "Kita akan melakukannya dengan hati-hati." Mereka berjalan keluar, kali ini dengan langkah yang lebih waspada. Angin malam kembali berhembus, membawa suara-suara samar yang terdengar seperti bisikan. Alya merapatkan jaketnya, mencoba mengusir rasa dingin yang mulai menyusup hingga ke tulang.Saat mereka kembali ke pohon mangga, sebuah kejadian aneh terjadi. Abu yang sebelumnya mereka temukan kini sudah lenyap. Tidak ada jejak apa pun selain rumput basah."Mungkin ini bagian dari permainan mereka," ujar Narendra, menunduk untuk memeriksa lebih teliti. Ia menyentuh tanah itu, tetapi tidak menemukan apa-apa.Alya memejamkan mata, mencoba mengingat sesuatu. "Narendra, abu itu ada aksara jawanya, kan? A
Narendra menggenggam ponselnya erat, pandangan masih terpaku ke halaman belakang. Kali ini, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keanehan. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," gumamnya pelan, lalu tanpa ragu ia mengambil jaket yang tergantung di kursi. Langkah kakinya mantap saat menyusuri lorong menuju pintu belakang, tapi tetap penuh kewaspadaan. Ia tahu ada kemungkinan besar orang yang ia lihat adalah Paman Suhadi seperti yang Alya katakan, tapi nalurinya tidak bisa mengabaikan keganjilan situasi ini. Saat Narendra sampai di pintu belakang, ia mendapati pintu itu tidak terkunci, sangat mustahil rumah sebesar ini pintunya dibiarkan tidak terkunci rapat. Hal ini membuat darahnya berdesir. Dengan gerakan perlahan, ia membuka pintu dan melangkah keluar. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, seperti membawa peringatan tersendiri. Namun, suara langkah di belakangnya membuatnya langsu
Langkah kaki yang misterius itu membuat ruangan terasa membeku seketika. Alya menggenggam lengan Narendra dengan erat, napasnya tertahan. Narendra menoleh ke belakang dengan cepat, tetapi tak ada apa-apa di sana. Hanya kesunyian yang menyelimuti mereka, seolah langkah tadi adalah ilusi belaka. “Kita nggak bisa terus begini,” ujar Narendra sambil menarik napas panjang. “Aku nggak akan biarin kamu sendirian di rumah ini malam ini. Aku nginep aja di kamar tamu, biar kalau ada apa-apa, aku bisa langsung bantu.” Alya mengerutkan kening, menimbang tawaran itu. Di satu sisi, ia merasa ragu membiarkan Narendra menginap, takut memancing gosip dan membuat ayahnya kembali marah. Namun, di sisi lain, ketakutan yang mencekam sejak tadi lebih dominan. Ia tahu ia tak akan bisa tidur nyenyak tanpa merasa ada orang lain di dekatnya. Apalagi orang tuanya juga entah pulang jam berapa. “Kamar tamu ada di lantai satu, kan?” Nare
Alya menatap layar ponselnya dengan mata yang mulai memerah. Gambar halaman dari buku tua itu terpampang jelas, aksara Jawa kuno yang sebagian sudah tak terbaca, tapi sisanya terlihat seperti mantra atau petunjuk ritual. Ia membaca baris-baris itu dengan seksama, mencoba menguraikan maknanya, meskipun pikirannya masih diselimuti rasa takut. “Ritual inti,” gumamnya pelan. Kata-kata itu menggema di benaknya, membawa perasaannya berkecamuk. Jika ritual sebelumnya tidak berhasil, mungkin ini adalah jalannya. Namun, apakah ia siap untuk melangkah lebih jauh? Apakah ia berani menghadapi konsekuensi yang mungkin lebih buruk? Ia teringat Mbah Karso yang berulang kali mengingatkan bahwa tidak semua ritual bisa dilakukan sembarangan. “Jangan mencoba sendiri. Kuatkan imanmu, Nduk, bukan egomu.” begitu pesan terakhirnya. Namun, sekarang, ia merasa tak punya pilihan lain. Angin dari celah jendela kembali berembus, menyapu rambutnya dan membuat kertas-kertas di meja bergetar pelan. Seo