Alya terbangun di tengah malam, tubuhnya basah oleh keringat. Kipas angin berputar pelan di sudut kamar, tapi udara terasa pengap, menyesakkan dada.
Matanya melirik jam di meja, hampir pukul tiga dini hari. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Dalam heningnya malam, tiba-tiba ia mendengar suara lirih memanggil namanya, "Alya … Alya ....” Suara itu terdengar halus, hampir seperti bisikan. Namun, entah kenapa terdengar familiar. Ia terdiam sejenak, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasinya. Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih jelas, suara itu mirip dengan suara Bibi Nayu. “Tapi untuk apa bibi memanggil malam-malam begini?” pikir Alya sambil menggigit bibirnya, ragu. Suami sang bibi sedang bertugas di luar kota, dan anaknya juga sedang kuliah dan tak bisa pulang. Ia pasti sendirian di lantai tiga. Mengingat itu, rasa khawatir perlahan mengalahkan keraguannya. Alya bangkit dari tempat tidur, mengabaikan peringatan ibunya sore tadi. Ia melangkah keluar dari kamar, lorong panjang menuju tangga kini tampak gelap dan mencekam, seolah menelan setiap suara langkahnya. Tangannya gemetar saat meraih pegangan tangga, matanya menatap lurus ke atas, ke arah lantai tiga yang cahayanya redup. “Alya, ke sini ….” Suara itu terdengar lagi, sedikit menggema di tangga yang kosong, terdengar seperti berasal dari ujung lorong di lantai tiga. Alya menarik napas panjang, menenangkan diri, dan mulai menaiki anak tangga satu per satu, perlahan. Semakin dekat ke lantai tiga, suhu udara semakin dingin, membuat bulu kuduknya berdiri. Ia merasa seperti sedang diawasi, tapi tak ada apa pun di sekelilingnya kecuali bayang-bayang yang bergerak mengikuti setiap langkahnya. Ketika sampai di lantai tiga, lorong itu gelap gulita, hanya disinari sedikit cahaya bulan yang masuk dari jendela kecil di ujung. Rumah besar itu kini terasa begitu asing, dindingnya seolah berbisik pelan, dan suasana sepi yang mencekam semakin menekan batinnya. “Bibi Nayu?” panggilnya pelan, suaranya bergetar. Tak ada jawaban. Hanya hening yang terasa semakin dalam, membungkus setiap sudut lorong. Ia melangkah lebih dalam, hingga tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat sesuatu di ujung lorong, bayangan samar berdiri di depan pintu kamar Bibi Nayu. Bentuknya seperti seorang wanita, tapi wajahnya kabur tertutup kegelapan. Sosok itu tampak diam, mematung, seolah menunggunya. Alya merasakan napasnya tercekat, kakinya terasa berat untuk melangkah. Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih lembut, seakan memanggilnya lebih dekat. “Alya, kemarilah, Nak .…” Dengan tubuh gemetar, ia memaksakan diri berjalan mendekati sosok itu. Namun, saat ia hanya beberapa langkah dari sosok tersebut, tiba-tiba bayangan itu lenyap, menghilang begitu saja. Kamar Bibi Nayu kini berada tepat di hadapannya, pintunya sedikit terbuka, memperlihatkan kegelapan di dalamnya. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu kamar sedikit lebih lebar, berusaha melihat ke dalam. Kamar itu kosong, sunyi, dan udara di dalam terasa lembab. Namun, tepat ketika ia hendak melangkah mundur, sebuah tangan dingin mencengkram bahunya dari belakang, menekan bahunya dengan kuat. Alya tersentak, matanya membelalak, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. “Jangan mengabaikan leluhurmu, yo, Nduk ....” bisikan terdengar di telinganya, sedingin es, membuat tubuhnya kaku dan tak bisa bergerak. Alya berusaha berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ia hanya bisa menatap ke depan, ke dalam kamar kosong yang kini tampak menyeramkan, membawa aroma bunga melati yang semakin menyengat di hidungnya. Pikirannya berusaha mengambil kontrol atas tubuhnya, ia berusaha berbalik, hendak melarikan diri dari lorong gelap itu. Namun, langkahnya terhenti seketika kala ia mendapati sosok Bibi Nayu berdiri tepat di hadapannya. Wajah bibinya tampak dingin dan datar, sedikit dibalut bayang-bayang, membuatnya terlihat lebih pucat dari biasanya. Alya memekik tertahan. “B-bibi?!” Suaranya gemetar. Bibi Nayu mengerutkan alisnya, raut bingung melintas di wajahnya. “Alya? Ngapain kamu tengah malam begini di luar kamar? Bukankah Ibumu sudah bilang untuk tetap di dalam kamar?” Alya terdiam sejenak, mencoba mengatur napasnya yang masih tersengal. “Aku … aku tadi dengar suara yang memanggil namaku, Bi. Kupikir itu Bibi yang butuh bantuan.” Mata Bibi Nayu menyipit, ekspresinya berubah serius. “Memanggil namamu? Alya, Bibi tidak memanggil kamu. Bibi baru saja dari kamar Paman Suhadi. Istrinya masuk angin, jadi Bibi bantu ngerokin dia.” Alya menelan ludah, merasakan hawa dingin menyusup ke belakang leher dan mengalirkan listrik ke seluruh pembuluh darahnya. “Tapi … aku jelas dengar suara yang mirip suara Bibi.” Bibi Nayu menggeleng, pandangannya masih sama dingin. “Alya, di rumah ini banyak hal yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Makanya kalau diminta ibumu untuk tidak keluar, kamu nurut saja jangan ngeyel." Ucapan itu membuat bulu kuduk Alya semakin meremang. Bibinya menatapnya tajam, seakan memperingatkan sesuatu yang sangat penting. “Kembalilah ke kamarmu, Nak. Jangan dipikirkan terlalu jauh. Takutnya kamu malah pusing.” Alya mengangguk dengan gugup, tak ingin menentang lebih jauh. Tubuhnya masih gemetar saat ia berbalik, melangkah kembali ke kamarnya. Namun, saat ia menapaki tangga dengan perlahan, rasa tak nyaman kembali muncul di dadanya. Seolah ada sepasang mata yang mengawasinya di kegelapan, mengiringi setiap langkahnya. Ketika ia akhirnya tiba di kamar dan menutup pintu, ia merasakan jantungnya berdegup kencang, nyaris ingin copot. Perlahan ia bersandar ke pintu, mencoba menenangkan diri, tapi perasaan itu tak juga hilang. "Tunggu!" Gadis itu menegakkan tubuh, keningnya mengerut heran dengan sepasang mata menyipit. "Aku nggak boleh keluar kamar, tapi Bibi Nayu boleh? Apa larangan itu khusus untuk anak-anak saja? Ah, tapi aneh sekali. Nyatanya ibu juga tetap ada di kamar sejak tadi," pikirnya. • Keesokan paginya, Alya terbangun dengan tubuh terasa berat dan pegal, seakan baru saja digebuki semalaman. Ketika ia menggerakkan lengannya, ia merasakan nyeri yang membuatnya meringis. Matanya tertuju pada beberapa lebam di tangan dan kakinya, membuatnya bertambah bingung. “Apa ini ...?” gumamnya, masih setengah sadar. Ia mengamati lebam itu, ungu kebiruan, membentuk lingkaran yang tidak beraturan. Dengan lemas, Alya keluar kamar dan menemukan ibunya di dapur. “Bu, lihat, deh,” katanya sambil menunjukkan lebam-lebam di tubuhnya, “tubuhku kok pegal-pegal, seperti habis dipukulin orang. Terus … lebam-lebam ini dari mana, ya?” Ibunya terdiam sejenak, memperhatikan lebam-lebam itu dengan ekspresi tak menentu. Sekilas, wajah wanita paruh baya itu tampak pucat, bibirnya bergumam lirih, “tandanya sudah muncul. Astaga ... putriku sudah ditandai!” Tina menaruh lap di atas meja makan, lalu menatap Alya dengan serius. “Kita harus ke orang pintar, Nak. Biar kamu diobati dan dibersihkan.” "Maksudnya apa, sih, Bu? Kalau pergi ke dokter masih masuk akal, aku memang butuh pengobatan. Tapi ngapain kita ke orang pintar? Itu nggak benar—" Wanita paruh baya itu langsung memotong cepat ucapan putrinya, kilatan matanya menyorot tajam. "Jangan banyak bertanya, Nak! Ibumu ini hanya ingin melindungi nyawamu!" "N-nyawaku ...?""Ini tanda dari leluhur, Nak. Tolong mengertilah ...." Alya mendesah panjang setelah mendengar perkataan ibunya, semua itu terasa seperti takhayul belaka baginya. Dengan nada menahan kesal, ia berkata, “Bu, kita ini hidup di zaman modern! Mana mungkin leluhur-leluhur itu masih bisa mengganggu kehidupan kita?” Ibunya berusaha menahan Alya, tapi ia melepaskan diri dan berjalan kembali ke kamarnya tanpa memedulikan teriakan ibunya yang meminta agar ia berhenti. Setibanya di kamar, Alya menyambar handuk dan perlengkapan mandi, berniat mandi di kamar mandi yang ada di kamar almarhum Kakek Suroto. Kamar mandi di sana lebih jarang digunakan, sehingga ia berharap akan lebih tenang. Suasana kamar almarhum kakeknya terasa sunyi, lebih dingin dari biasanya, seolah ada hawa asing yang mengintip dari sudut-sudut ruangan. Ia menutup pintu kamar mandi dengan sedikit perasaan tak nyaman, tapi ia mengabaikannya. Setelah menghidupkan shower, ia memejamkan mata, membiarkan air hangat menggu
Malam itu, suasana di rumah kakek Suroto masih diselimuti kesedihan. Hujan turun perlahan, dan suara tetesan air yang mengalir dari atap terasa semakin mencekam di tengah keheningan. Alya, gadis cantik pemilik rambut panjang nan legam itu berdiri di depan pintu kamar sang kakek, matanya berkaca-kaca. “Kakek, kenapa kau pergi begitu cepat?” gumamnya, terisak pelan. Kamar itu terasa sepi dan dingin, menimbulkan rasa rindu yang menggelora di dalam hati Alya. Ia melangkah masuk, menyusuri ruangan yang kini sepi. Perabotan lama masih teratur, seolah kakek Suroto baru saja pergi keluar sebentar. Alya mengingat betapa hangatnya pelukan kakeknya saat mereka bercerita tentang masa lalu. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Dengan hati-hati, Alya membuka lemari untuk mencari selimut baru, aroma obat dan embun malam mengisi udara. Selimut tua yang biasa digunakan untuk menutupi tubuh kakeknya masih basah oleh air bekas pemandian jenazah. “Aku harus menemukan yang bersih,” gu
"Alya! Apa yang terjadi? Kenapa kamu teriak-teriak tengah malam begini?" tanya sang ibu sambil menghampiri putrinya dengan tatapan panik. Alya menoleh cepat, matanya mencari-cari ke sekeliling ruangan, berharap menemukan jejak bayangan yang tadi membuatnya ketakutan. Namun, kamar itu kini kembali tenang dan kosong, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. “Enggak, Bu. Tadi … sepertinya aku cuma capek,” katanya, berusaha terdengar meyakinkan, meski masih merasa napasnya belum sepenuhnya stabil. Melihat Alya celingak-celinguk, Tina semakin penasaran. "Capek sampai teriak begitu? Alya, ada apa sebenarnya? Kamu kenapa, Nak?” Alya menghela napas dan mencoba mengalihkan perhatian ibunya. "Aku … kaget, Bu. Tiba-tiba lihat kotak kayu tua peninggalan kakek di lemari. Enggak tahu kenapa kotak itu jatuh sendiri.” Mata Tina mengamati Alya, lalu dia menghela napas kasar. Ia tak terlalu peduli dengan kotak penemuan putrinya, mengira memang benda biasa peninggalan ayahnya. "Alya, malam su
Setelah pemakaman Anto, seluruh keluarga kembali ke rumah besar Kakek Suroto. Rumah itu kini terasa semakin kelam, seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Hunian tua berlantai tiga itu dihuni oleh tiga keluarga, Paman Suhadi yang tinggal di lantai pertama, Tina di lantai dua, dan Bibi Nayu di lantai paling atas. Langit mulai gelap, senja menyiratkan cahaya oranye dari arah barat. Alya berjalan di lorong, hendak menuju dapur untuk mengambil air minum, tanpa sengaja melihat sosok ibunya yang tampak sibuk meletakkan lilin-lilin kecil dan bunga melati di beberapa sudut rumah. “Bu, lagi ngapain, sih?” Alya melangkah mendekat dengan wajah penuh tanda tanya. Tina menoleh, sedikit terkejut mendengar suara putrinya. Ia tersenyum kecil, tetapi raut wajahnya tampak tegang. “Ini, cuma … menghormati leluhur kita, Nak. Bunga dan lilin ini sebagai bentuk perlindungan." Alya mengerutkan dahi, merasa ada yang janggal. “Loh, tapi kita 'kan sudah mendoakan mereka. Untuk apa repot-repot