Setelah pemakaman Anto, seluruh keluarga kembali ke rumah besar Kakek Suroto. Rumah itu kini terasa semakin kelam, seolah menyimpan kesedihan yang mendalam.
Hunian tua berlantai tiga itu dihuni oleh tiga keluarga, Paman Suhadi yang tinggal di lantai pertama, Tina di lantai dua, dan Bibi Nayu di lantai paling atas. Langit mulai gelap, senja menyiratkan cahaya oranye dari arah barat. Alya berjalan di lorong, hendak menuju dapur untuk mengambil air minum, tanpa sengaja melihat sosok ibunya yang tampak sibuk meletakkan lilin-lilin kecil dan bunga melati di beberapa sudut rumah. “Bu, lagi ngapain, sih?” Alya melangkah mendekat dengan wajah penuh tanda tanya. Tina menoleh, sedikit terkejut mendengar suara putrinya. Ia tersenyum kecil, tetapi raut wajahnya tampak tegang. “Ini, cuma … menghormati leluhur kita, Nak. Bunga dan lilin ini sebagai bentuk perlindungan." Alya mengerutkan dahi, merasa ada yang janggal. “Loh, tapi kita 'kan sudah mendoakan mereka. Untuk apa repot-repot pakai segala benda kayak gini? Bukankah Tuhan yang Maha Segalanya akan menjaga kita?” tanyanya dengan nada bingung. Wajah Tina berubah. Matanya menatap Alya tajam, sorotannya seolah mengandung peringatan. “Alya, jangan bicara sembarangan! Leluhur itu tetap ada, mereka bisa mendengar dan melihat kita. Jangan pernah meremehkan keberadaan mereka.” Alya tercengang, tidak menyangka ibunya akan bereaksi seperti itu. “Tapi, Bu … kita diajarkan kalau hanya Tuhan yang melindungi kita. Semua ini sepertinya berlebihan—” “Cukup!” suara Tina meninggi, seolah menahan amarah. “Kamu tidak mengerti apa-apa! Jangan sembarangan meremehkan adat dan kepercayaan yang sudah lama ada, Nak!” Alya masih ingin membantah, tetapi melihat tatapan tajam ibunya, ia menahan diri. Ada sesuatu di mata ibunya, sebuah ketakutan yang tidak pernah Alya lihat sebelumnya. “Apa sebenarnya yang Ibu takutkan?” tanya Alya pelan. Tina hanya menghela napas, lalu mendekat dan menggenggam tangan Alya erat-erat. “Ada hal-hal yang tidak bisa kamu pahami sekarang. Kamu hanya perlu mengikuti kata-kata Ibu. Masuk ke kamar, kunci pintu, dan jangan keluar sampai matahari terbit besok pagi." Alya semakin bingung. “Kenapa, Bu? Ada apa sebenarnya?” Tina menghela napas dalam, pandangannya seolah menembus kegelapan di luar jendela. “Malam ini … malam kliwon, Nak. Arwah-arwah leluhur kita mungkin sedang berkeliaran. Jika kita tidak menghormati mereka, bisa saja mereka marah. Ibu tidak ingin ada yang terjadi padamu.” Alya bergidik mendengar kata-kata ibunya, tetapi logikanya masih tetap menyangkal. “Tapi bukannya arwah itu 'kan nggak nyata. Ini semua cuma … cerita orang dulu.” “Jangan keras kepala, Alya!” Tina berbisik tajam. “Sudah Ibu bilang, jangan keluar dari kamar sampai matahari terbit. Ini bukan hal yang bisa dianggap main-main. Leluhur kita tidak akan tinggal diam jika kita meremehkan mereka.” Alya menggigit bibirnya, merasa bingung dan takut sekaligus. “Baiklah, Bu. Aku masuk kamar sekarang." Tina mengangguk, lalu berbalik kembali ke arah lilin-lilin dan bunga-bunga yang telah ia letakkan. Sementara itu, Alya berjalan menuju kamarnya dengan langkah yang terasa berat. Sesampainya di kamar, Alya mengunci pintu seperti yang diperintahkan ibunya. Ia duduk di tepi tempat tidur, mendengarkan suara angin yang berembus di luar jendela, membawa aroma bunga melati yang terasa semakin menusuk hidung. "Apakah benar arwah leluhur itu nyata?" batinnya, masih bertanya-tanya. Alya menatap ke sekeliling kamar, perasaan takut merayap perlahan. Di luar kamar, ia mendengar suara langkah kaki ibunya yang terdengar samar, diiringi bunyi gesekan sesuatu yang tidak ia kenali. Hawa dingin tiba-tiba merambat di ruangan, membuat Alya merapatkan selimutnya. Kengerian mulai menyelimuti hatinya, dan meskipun ia mencoba mengabaikannya, perasaan tak nyaman itu terus menghantui. Di dalam hatinya, Alya hanya bisa berharap malam ini segera berlalu. Namun, entah kenapa, perasaan tak nyaman itu semakin kuat, seolah ada sesuatu yang mengawasi dari balik kegelapan. “Jangan keluar sampai matahari terbit.” Kalimat itu terus terngiang di telinganya, menciptakan kecemasan yang semakin mencekam. Tiba-tiba dorongan dari kantong kemihnya yang penuh memaksanya untuk mengambil risiko. Dengan setengah kesal, ia menggerutu dalam hati, "kenapa, sih, kamar ini nggak ada kamar mandi dalam? Masa disuruh nahan sampai pagi?" Akhirnya, Alya memberanikan diri keluar, membuka pintu perlahan agar tidak menimbulkan suara. Ia melangkah dengan hati-hati, menahan napas setiap kali lantai kayu di bawah kakinya berderit. Ia berjalan melewati lorong gelap yang mengarah ke kamar mandi yang letaknya tak jauh dari kamar orang tuanya. Namun, di tengah sunyi, terdengar suara samar dari dalam kamar ibunya. Langkah Alya terhenti sejenak, telinganya menangkap suara bisikan yang semakin keras, seperti orang sedang berdebat dengan nada tegang. Ia mendengar suara ibunya, diikuti suara Paman Suhadi dan Bibi Nayu. Tak ada satu pun cahaya di ujung lorong, hanya kegelapan yang semakin pekat. Ia mendekat, telinganya menempel di pintu kayu itu. “Sudah seharusnya, ritual kecil itu kita lakukan,” suara Paman Suhadi berbisik tajam. “Jika kita tak segera memulai, arwahnya akan mengganggu. Kau lihat apa yang terjadi pada Mas Anto?!” Alya menahan napas mendengar nama paman Anto disebut. “Bagaimana dengan persembahan inti? Bulan purnama sudah terlewat. Kita harus mencari seseorang yang weton-nya sama dengan kakek,” sahut Bibi Nayu, lirih. “Kalian kira aku tidak tahu? Tapi kita tidak bisa menggunakan sembarangan orang, apalagi … salah satu dari keluarga sendiri!” Kali ini tubuh Alya semakin menegang mendengar bentakan ibunya. Ia ingin mundur, kembali ke kamarnya, tapi seolah tubuhnya terjebak di tempat itu, menunggu mendengar lebih banyak. “Tapi kita tak punya waktu lagi,” desis Bibi Nayu. “Orang itu harus ditemukan sebelum arwahnya datang mencari tumbal sendiri!” Alya menahan napas, tapi tiba-tiba suara lantang ibunya membuatnya tersentak. “Tidak! Aku akan mencari orang lain. Tidak akan ada satu pun keluarga kita yang terlibat dalam hal ini. Cukup kakek dan nenek saja!” Kata-kata itu menyengat seperti sambaran petir di telinga Alya. Ia merasakan hawa dingin merayap naik ke punggungnya, memaksanya buru-buru masuk ke kamar mandi. Ia mengunci pintu, tangan gemetar saat memutar keran, mencoba mengabaikan suara-suara itu. Namun, gema percakapan tadi terus berdenging di telinganya, semakin lama semakin tajam. Sesudah selesai menuntaskan hajat, Alya melangkah cepat kembali ke kamarnya, tetapi pikirannya kacau, masih memikirkan kata-kata yang ia dengar. “Weton sama? Harus ada yang berkorban? Mencari seseorang yang mirip dengan Kakek? Apa maksudnya?” gumamnya. Tangannya meraih ponsel di meja samping ranjang. Dengan tangan gemetar, ia membuka kalender dan mulai mencari tanggal lahirnya sendiri. Ia juga tak paham, jemarinya seolah bergerak sendiri tanpa dikomando. Ketika matanya menemukan jawabannya, tubuhnya membeku. Weton kelahirannya sama persis dengan milik Kakek Suroto. Alya tercekat, merasakan hawa dingin menyusup ke tulang-tulangnya. Fakta itu menggetarkan, menyesakkan, seolah ada tangan tak kasat mata yang mencengkeram dadanya. Jantungnya berdentam-dentam, suara-suara dari lorong seolah berubah menjadi bisikan-bisikan yang mencekam di telinganya, mengingatkan dirinya bahwa malam ini ia tidak benar-benar sendirian. “Astaga …,” bisiknya pelan, tubuhnya mendadak terasa lemas. Tangannya bergetar, pikirannya berpacu, menghubungkan potongan-potongan percakapan yang ia dengar tadi dengan fakta mengejutkan ini. “Jadi … apakah aku anggota keluarga yang dimaksud?”Alya terbangun di tengah malam, tubuhnya basah oleh keringat. Kipas angin berputar pelan di sudut kamar, tapi udara terasa pengap, menyesakkan dada. Matanya melirik jam di meja, hampir pukul tiga dini hari. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Dalam heningnya malam, tiba-tiba ia mendengar suara lirih memanggil namanya, "Alya … Alya ....” Suara itu terdengar halus, hampir seperti bisikan. Namun, entah kenapa terdengar familiar. Ia terdiam sejenak, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasinya. Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih jelas, suara itu mirip dengan suara Bibi Nayu. “Tapi untuk apa bibi memanggil malam-malam begini?” pikir Alya sambil menggigit bibirnya, ragu. Suami sang bibi sedang bertugas di luar kota, dan anaknya juga sedang kuliah dan tak bisa pulang. Ia pasti sendirian di lantai tiga. Mengingat itu, rasa khawatir perlahan mengalahkan keraguannya. Alya bangkit dari tempat tidur, mengabaikan peringatan ibunya sore tadi. Ia me
"Ini tanda dari leluhur, Nak. Tolong mengertilah ...." Alya mendesah panjang setelah mendengar perkataan ibunya, semua itu terasa seperti takhayul belaka baginya. Dengan nada menahan kesal, ia berkata, “Bu, kita ini hidup di zaman modern! Mana mungkin leluhur-leluhur itu masih bisa mengganggu kehidupan kita?” Ibunya berusaha menahan Alya, tapi ia melepaskan diri dan berjalan kembali ke kamarnya tanpa memedulikan teriakan ibunya yang meminta agar ia berhenti. Setibanya di kamar, Alya menyambar handuk dan perlengkapan mandi, berniat mandi di kamar mandi yang ada di kamar almarhum Kakek Suroto. Kamar mandi di sana lebih jarang digunakan, sehingga ia berharap akan lebih tenang. Suasana kamar almarhum kakeknya terasa sunyi, lebih dingin dari biasanya, seolah ada hawa asing yang mengintip dari sudut-sudut ruangan. Ia menutup pintu kamar mandi dengan sedikit perasaan tak nyaman, tapi ia mengabaikannya. Setelah menghidupkan shower, ia memejamkan mata, membiarkan air hangat menggu
Malam itu, suasana di rumah kakek Suroto masih diselimuti kesedihan. Hujan turun perlahan, dan suara tetesan air yang mengalir dari atap terasa semakin mencekam di tengah keheningan. Alya, gadis cantik pemilik rambut panjang nan legam itu berdiri di depan pintu kamar sang kakek, matanya berkaca-kaca. “Kakek, kenapa kau pergi begitu cepat?” gumamnya, terisak pelan. Kamar itu terasa sepi dan dingin, menimbulkan rasa rindu yang menggelora di dalam hati Alya. Ia melangkah masuk, menyusuri ruangan yang kini sepi. Perabotan lama masih teratur, seolah kakek Suroto baru saja pergi keluar sebentar. Alya mengingat betapa hangatnya pelukan kakeknya saat mereka bercerita tentang masa lalu. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Dengan hati-hati, Alya membuka lemari untuk mencari selimut baru, aroma obat dan embun malam mengisi udara. Selimut tua yang biasa digunakan untuk menutupi tubuh kakeknya masih basah oleh air bekas pemandian jenazah. “Aku harus menemukan yang bersih,” gu
"Alya! Apa yang terjadi? Kenapa kamu teriak-teriak tengah malam begini?" tanya sang ibu sambil menghampiri putrinya dengan tatapan panik. Alya menoleh cepat, matanya mencari-cari ke sekeliling ruangan, berharap menemukan jejak bayangan yang tadi membuatnya ketakutan. Namun, kamar itu kini kembali tenang dan kosong, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. “Enggak, Bu. Tadi … sepertinya aku cuma capek,” katanya, berusaha terdengar meyakinkan, meski masih merasa napasnya belum sepenuhnya stabil. Melihat Alya celingak-celinguk, Tina semakin penasaran. "Capek sampai teriak begitu? Alya, ada apa sebenarnya? Kamu kenapa, Nak?” Alya menghela napas dan mencoba mengalihkan perhatian ibunya. "Aku … kaget, Bu. Tiba-tiba lihat kotak kayu tua peninggalan kakek di lemari. Enggak tahu kenapa kotak itu jatuh sendiri.” Mata Tina mengamati Alya, lalu dia menghela napas kasar. Ia tak terlalu peduli dengan kotak penemuan putrinya, mengira memang benda biasa peninggalan ayahnya. "Alya, malam su