Setelah pemakaman Anto, seluruh keluarga kembali ke rumah besar Kakek Suroto. Rumah itu kini terasa semakin kelam, seolah menyimpan kesedihan yang mendalam.
Hunian tua berlantai tiga itu dihuni oleh tiga keluarga, Paman Suhadi yang tinggal di lantai pertama, Tina di lantai dua, dan Bibi Nayu di lantai paling atas. Langit mulai gelap, senja menyiratkan cahaya oranye dari arah barat. Alya berjalan di lorong, hendak menuju dapur untuk mengambil air minum, tanpa sengaja melihat sosok ibunya yang tampak sibuk meletakkan lilin-lilin kecil dan bunga melati di beberapa sudut rumah. “Bu, lagi ngapain, sih?” Alya melangkah mendekat dengan wajah penuh tanda tanya. Tina menoleh, sedikit terkejut mendengar suara putrinya. Ia tersenyum kecil, tetapi raut wajahnya tampak tegang. “Ini, cuma … menghormati leluhur kita, Nak. Bunga dan lilin ini sebagai bentuk perlindungan." Alya mengerutkan dahi, merasa ada yang janggal. “Loh, tapi kita 'kan sudah mendoakan mereka. Untuk apa repot-repot pakai segala benda kayak gini? Bukankah Tuhan yang Maha Segalanya akan menjaga kita?” tanyanya dengan nada bingung. Wajah Tina berubah. Matanya menatap Alya tajam, sorotannya seolah mengandung peringatan. “Alya, jangan bicara sembarangan! Leluhur itu tetap ada, mereka bisa mendengar dan melihat kita. Jangan pernah meremehkan keberadaan mereka.” Alya tercengang, tidak menyangka ibunya akan bereaksi seperti itu. “Tapi, Bu … kita diajarkan kalau hanya Tuhan yang melindungi kita. Semua ini sepertinya berlebihan—” “Cukup!” suara Tina meninggi, seolah menahan amarah. “Kamu tidak mengerti apa-apa! Jangan sembarangan meremehkan adat dan kepercayaan yang sudah lama ada, Nak!” Alya masih ingin membantah, tetapi melihat tatapan tajam ibunya, ia menahan diri. Ada sesuatu di mata ibunya, sebuah ketakutan yang tidak pernah Alya lihat sebelumnya. “Apa sebenarnya yang Ibu takutkan?” tanya Alya pelan. Tina hanya menghela napas, lalu mendekat dan menggenggam tangan Alya erat-erat. “Ada hal-hal yang tidak bisa kamu pahami sekarang. Kamu hanya perlu mengikuti kata-kata Ibu. Masuk ke kamar, kunci pintu, dan jangan keluar sampai matahari terbit besok pagi." Alya semakin bingung. “Kenapa, Bu? Ada apa sebenarnya?” Tina menghela napas dalam, pandangannya seolah menembus kegelapan di luar jendela. “Malam ini … malam kliwon, Nak. Arwah-arwah leluhur kita mungkin sedang berkeliaran. Jika kita tidak menghormati mereka, bisa saja mereka marah. Ibu tidak ingin ada yang terjadi padamu.” Alya bergidik mendengar kata-kata ibunya, tetapi logikanya masih tetap menyangkal. “Tapi bukannya arwah itu 'kan nggak nyata. Ini semua cuma … cerita orang dulu.” “Jangan keras kepala, Alya!” Tina berbisik tajam. “Sudah Ibu bilang, jangan keluar dari kamar sampai matahari terbit. Ini bukan hal yang bisa dianggap main-main. Leluhur kita tidak akan tinggal diam jika kita meremehkan mereka.” Alya menggigit bibirnya, merasa bingung dan takut sekaligus. “Baiklah, Bu. Aku masuk kamar sekarang." Tina mengangguk, lalu berbalik kembali ke arah lilin-lilin dan bunga-bunga yang telah ia letakkan. Sementara itu, Alya berjalan menuju kamarnya dengan langkah yang terasa berat. Sesampainya di kamar, Alya mengunci pintu seperti yang diperintahkan ibunya. Ia duduk di tepi tempat tidur, mendengarkan suara angin yang berembus di luar jendela, membawa aroma bunga melati yang terasa semakin menusuk hidung. "Apakah benar arwah leluhur itu nyata?" batinnya, masih bertanya-tanya. Alya menatap ke sekeliling kamar, perasaan takut merayap perlahan. Di luar kamar, ia mendengar suara langkah kaki ibunya yang terdengar samar, diiringi bunyi gesekan sesuatu yang tidak ia kenali. Hawa dingin tiba-tiba merambat di ruangan, membuat Alya merapatkan selimutnya. Kengerian mulai menyelimuti hatinya, dan meskipun ia mencoba mengabaikannya, perasaan tak nyaman itu terus menghantui. Di dalam hatinya, Alya hanya bisa berharap malam ini segera berlalu. Namun, entah kenapa, perasaan tak nyaman itu semakin kuat, seolah ada sesuatu yang mengawasi dari balik kegelapan. “Jangan keluar sampai matahari terbit.” Kalimat itu terus terngiang di telinganya, menciptakan kecemasan yang semakin mencekam. Tiba-tiba dorongan dari kantong kemihnya yang penuh memaksanya untuk mengambil risiko. Dengan setengah kesal, ia menggerutu dalam hati, "kenapa, sih, kamar ini nggak ada kamar mandi dalam? Masa disuruh nahan sampai pagi?" Akhirnya, Alya memberanikan diri keluar, membuka pintu perlahan agar tidak menimbulkan suara. Ia melangkah dengan hati-hati, menahan napas setiap kali lantai kayu di bawah kakinya berderit. Ia berjalan melewati lorong gelap yang mengarah ke kamar mandi yang letaknya tak jauh dari kamar orang tuanya. Namun, di tengah sunyi, terdengar suara samar dari dalam kamar ibunya. Langkah Alya terhenti sejenak, telinganya menangkap suara bisikan yang semakin keras, seperti orang sedang berdebat dengan nada tegang. Ia mendengar suara ibunya, diikuti suara Paman Suhadi dan Bibi Nayu. Tak ada satu pun cahaya di ujung lorong, hanya kegelapan yang semakin pekat. Ia mendekat, telinganya menempel di pintu kayu itu. “Sudah seharusnya, ritual kecil itu kita lakukan,” suara Paman Suhadi berbisik tajam. “Jika kita tak segera memulai, arwahnya akan mengganggu. Kau lihat apa yang terjadi pada Mas Anto?!” Alya menahan napas mendengar nama paman Anto disebut. “Bagaimana dengan persembahan inti? Bulan purnama sudah terlewat. Kita harus mencari seseorang yang weton-nya sama dengan kakek,” sahut Bibi Nayu, lirih. “Kalian kira aku tidak tahu? Tapi kita tidak bisa menggunakan sembarangan orang, apalagi … salah satu dari keluarga sendiri!” Kali ini tubuh Alya semakin menegang mendengar bentakan ibunya. Ia ingin mundur, kembali ke kamarnya, tapi seolah tubuhnya terjebak di tempat itu, menunggu mendengar lebih banyak. “Tapi kita tak punya waktu lagi,” desis Bibi Nayu. “Orang itu harus ditemukan sebelum arwahnya datang mencari tumbal sendiri!” Alya menahan napas, tapi tiba-tiba suara lantang ibunya membuatnya tersentak. “Tidak! Aku akan mencari orang lain. Tidak akan ada satu pun keluarga kita yang terlibat dalam hal ini. Cukup kakek dan nenek saja!” Kata-kata itu menyengat seperti sambaran petir di telinga Alya. Ia merasakan hawa dingin merayap naik ke punggungnya, memaksanya buru-buru masuk ke kamar mandi. Ia mengunci pintu, tangan gemetar saat memutar keran, mencoba mengabaikan suara-suara itu. Namun, gema percakapan tadi terus berdenging di telinganya, semakin lama semakin tajam. Sesudah selesai menuntaskan hajat, Alya melangkah cepat kembali ke kamarnya, tetapi pikirannya kacau, masih memikirkan kata-kata yang ia dengar. “Weton sama? Harus ada yang berkorban? Mencari seseorang yang mirip dengan Kakek? Apa maksudnya?” gumamnya. Tangannya meraih ponsel di meja samping ranjang. Dengan tangan gemetar, ia membuka kalender dan mulai mencari tanggal lahirnya sendiri. Ia juga tak paham, jemarinya seolah bergerak sendiri tanpa dikomando. Ketika matanya menemukan jawabannya, tubuhnya membeku. Weton kelahirannya sama persis dengan milik Kakek Suroto. Alya tercekat, merasakan hawa dingin menyusup ke tulang-tulangnya. Fakta itu menggetarkan, menyesakkan, seolah ada tangan tak kasat mata yang mencengkeram dadanya. Jantungnya berdentam-dentam, suara-suara dari lorong seolah berubah menjadi bisikan-bisikan yang mencekam di telinganya, mengingatkan dirinya bahwa malam ini ia tidak benar-benar sendirian. “Astaga …,” bisiknya pelan, tubuhnya mendadak terasa lemas. Tangannya bergetar, pikirannya berpacu, menghubungkan potongan-potongan percakapan yang ia dengar tadi dengan fakta mengejutkan ini. “Jadi … apakah aku anggota keluarga yang dimaksud?”Alya terbangun di tengah malam, tubuhnya basah oleh keringat. Kipas angin berputar pelan di sudut kamar, tapi udara terasa pengap, menyesakkan dada. Matanya melirik jam di meja, hampir pukul tiga dini hari. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Dalam heningnya malam, tiba-tiba ia mendengar suara lirih memanggil namanya, "Alya … Alya ....” Suara itu terdengar halus, hampir seperti bisikan. Namun, entah kenapa terdengar familiar. Ia terdiam sejenak, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasinya. Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih jelas, suara itu mirip dengan suara Bibi Nayu. “Tapi untuk apa bibi memanggil malam-malam begini?” pikir Alya sambil menggigit bibirnya, ragu. Suami sang bibi sedang bertugas di luar kota, dan anaknya juga sedang kuliah dan tak bisa pulang. Ia pasti sendirian di lantai tiga. Mengingat itu, rasa khawatir perlahan mengalahkan keraguannya. Alya bangkit dari tempat tidur, mengabaikan peringatan ibunya sore tadi. Ia me
"Ini tanda dari leluhur, Nak. Tolong mengertilah ...." Alya mendesah panjang setelah mendengar perkataan ibunya, semua itu terasa seperti takhayul belaka baginya. Dengan nada menahan kesal, ia berkata, “Bu, kita ini hidup di zaman modern! Mana mungkin leluhur-leluhur itu masih bisa mengganggu kehidupan kita?” Ibunya berusaha menahan Alya, tapi ia melepaskan diri dan berjalan kembali ke kamarnya tanpa memedulikan teriakan ibunya yang meminta agar ia berhenti. Setibanya di kamar, Alya menyambar handuk dan perlengkapan mandi, berniat mandi di kamar mandi yang ada di kamar almarhum Kakek Suroto. Kamar mandi di sana lebih jarang digunakan, sehingga ia berharap akan lebih tenang. Suasana kamar almarhum kakeknya terasa sunyi, lebih dingin dari biasanya, seolah ada hawa asing yang mengintip dari sudut-sudut ruangan. Ia menutup pintu kamar mandi dengan sedikit perasaan tak nyaman, tapi ia mengabaikannya. Setelah menghidupkan shower, ia memejamkan mata, membiarkan air hangat menggu
Alya merasa tubuhnya terguncang keras. Napasnya terengah, tubuhnya terasa berat dan dingin. Tangan yang mengguncang tubuhnya semakin kuat, membuatnya tersentak bangun dengan napas yang masih tersengal. Pandangannya kabur, dan perlahan, wajah ibunya yang penuh kecemasan terlihat di depannya.“Alya! Kamu kenapa tidur di sini? Ini 'kan meja rias almarhumah nenekmu! Kenapa kamu sampai ketiduran di sini, Nak?” tanya Tina panjang lebar, keningnya mengerut heran.Alya hanya duduk terdiam, mengumpulkan kesadarannya yang masih tersisa. Jantungnya masih berdebar kencang, dan perasaan dingin itu seakan masih menyelimuti tubuhnya. Ia memandang wajah ibunya yang khawatir, tetapi pikirannya melayang-layang, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Apakah semuanya tadi benar-benar nyata atau hanya permainan mimpi yang menghantuinya?"Ya Tuhan ... jadi, tadi hanya mimpi? Kenapa rasanya nyata sekali?!" batinnya.Dengan kening berkerut dan raut wajah penuh kebingungan, Alya melirik ke arah lemar
Setelah acara selamatan Kakek selesai, malam itu Alya langsung naik ke kamarnya, tubuhnya terasa lelah dan pikirannya masih penuh dengan berbagai kegelisahan yang menghantui sejak siang. Ia mengunci pintu, mencoba menenangkan diri dari segala keanehan yang terus berputar di benaknya. Sepanjang hari, Alya berusaha menghindari Paman Suhadi, wajah dinginnya yang tampak tenang justru membuat jantungnya berdegup lebih kencang. "Ya Tuhan ... aku percaya tidak ada yang lebih besar dariMu. Tolong lindungi hambaMu ini, Ya Tuhan," mohonnya.Alya mencoba mengalihkan pikirannya, meraih ponsel yang tergeletak di meja, berniat menghibur diri dengan berselancar di media sosial. Namun, belum sempat ia menggulir layar, telinganya menangkap suara bisikan yang sayup-sayup terdengar, begitu lemah beriringan desau angin malam.“Tolong ....”Suara itu begitu lirih, terbungkus dalam isak tangis yang menyayat hati, seolah datang dari seseorang tengah dilanda rasa sakit. Ia menajamkan pendengarannya, mem
Pagi itu, kedatangan Narendra disambut Alya dengan wajah yang masih penuh keresahan. Tanpa membuang waktu, ia langsung mengajak sahabatnya itu duduk di ruang tamu. Beruntung tak ada orang di rumah ini, semua pergi bekerja.“Naren, aku nggak tahu lagi apa yang terjadi di rumah ini,” bisik Alya pelan sambil sesekali melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada siapa pun di dekat mereka. “Suara-suara aneh itu ... dan bayangan yang muncul di kamarku ... semuanya terlalu nyata.”Narendra mengangguk, menatap Alya dengan penuh perhatian. “Alya, aku tahu kamu sedang mengalami masa yang berat. Coba tarik napas dulu, tenangin diri. Ini nggak baik kalau kamu terus merasa tertekan begini."Alya menarik napas dalam-dalam, meskipun masih terlihat gemetar. “Naren ... aku bahkan merasa kayak mau gila. Semalam aku dengar suara minta tolong dari arah halaman belakang, terus ada bayangan putih yang muncul di kamarku. Ini bukan cuma sekali dua kali aku ngalamin yang kayak gitu.” “Dengar, Alya. Ada banyak
Alya memeluk tubuhnya erat, mencoba meredam gemetar yang makin menjadi-jadi. Ruang tamu terasa semakin dingin, meski matahari pagi masih terlihat di luar jendela. Rasanya seakan ada sesuatu yang mengintai dari balik bayangan. “Kamu harus kuat. Semakin dalam kamu terlibat, semakin besar pula risiko yang mungkin datang. Tapi jika kamu benar-benar ingin mengetahui segalanya, aku bisa membantumu. Namun, akan ada banyak hal yang harus kamu korbankan.” Alya menatap Narendra, kebingungan dan ketakutan bercampur dalam benaknya. “Apa maksudmu? Apa yang harus aku korbankan?” Narendra diam sejenak, memandang ke arah dinding ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak terlihat oleh mata Alya. “Terkadang, untuk memahami kebenaran, kita harus siap kehilangan sesuatu. Bisa jadi ketenangan, kenyamanan, atau bahkan ... dirimu sendiri.” Alya terdiam. Kengerian kata-kata Narendra mengakar dalam pikirannya, membuat bulu kuduknya meremang. Ia ingin berhenti, ingin kembali pada hidup normal tanpa ha
Narendra segera mengakhiri ritual yang ia lakukan di depan kamar kakek Suroto. Dengan penuh kepanikan, ia mendobrak pintu yang terbuat dari kayu tua, suara berdecit menambah suasana mencekam di dalam rumah. Seketika matanya terfokus pada tubuh mungil Alya yang tergeletak pingsan di lantai kayu, kulitnya terasa dingin seolah dihantam embun malam yang menusuk. Jantungnya berdegup kencang, menyadari betapa seriusnya situasi ini.“Ya Tuhan, Alya!” Suara Narendra bergetar, panik melanda saat ia berlari menghampiri tubuh gadis itu. Dengan cepat, ia mengangkat kepala Alya dan melihat wajahnya yang pucat, seolah nyawa gadis itu terenggut dari tubuhnya.Tepat saat itu, orang tua Alya masuk dengan tergopoh-gopoh, mata mereka dipenuhi kecemasan. “Narendra! Apa yang terjadi di sini? Ngapain kalian ada di kamar kakek?! ” tanya Bowo, suaranya nyaring dengan nada marah. Tina langsung berlari menghampiri putrinya, menangis tersedu-sedu sambil memeluk tubuh Alya yang lemas.“Naren, kamu harus men
Narendra tak mau mempedulikan sosok itu, ia segera kembali ke depan ruang gawat darurat. Baru beberapa meter tiba di pintu, langkahnya sontak terhenti saat melihat orang tua Alya tengah berbincang dengan dokter.“Maafkan saya, tapi Alya dalam keadaan koma,” ungkap dokter itu, wajahnya mencerminkan keprihatinan yang mendalam.Dunia seolah runtuh di sekeliling Narendra. Ia menganga, tak percaya bahwa efek ritualnya bisa seburuk ini. Seakan disambar petir, ia terdiam, mengingat kembali langkah-langkah yang diambilnya dalam pelaksanaan ritual tadi."Memang ada yang kurang, tapi keburu Alya pingsan," batinnya.Bowo, yang berdiri tak jauh dari situ, langsung mengarahkan telunjuknya kepada Narendra, amarahnya membara. “Kau! Ini semua karena kebodohanmu!” teriak Bowo, suaranya menggema di lorong rumah sakit yang sunyi. “Bagaimana bisa kau membawa putriku ke dalam situasi berbahaya seperti ini?!”Narendra menunduk, merasa tertekan di bawah tatapan marah Bowo. “Paman, saya ... saya tidak berma
Narendra menggenggam ponselnya erat, pandangan masih terpaku ke halaman belakang. Kali ini, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keanehan. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," gumamnya pelan, lalu tanpa ragu ia mengambil jaket yang tergantung di kursi. Langkah kakinya mantap saat menyusuri lorong menuju pintu belakang, tapi tetap penuh kewaspadaan. Ia tahu ada kemungkinan besar orang yang ia lihat adalah Paman Suhadi seperti yang Alya katakan, tapi nalurinya tidak bisa mengabaikan keganjilan situasi ini. Saat Narendra sampai di pintu belakang, ia mendapati pintu itu tidak terkunci, sangat mustahil rumah sebesar ini pintunya dibiarkan tidak terkunci rapat. Hal ini membuat darahnya berdesir. Dengan gerakan perlahan, ia membuka pintu dan melangkah keluar. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, seperti membawa peringatan tersendiri. Namun, suara langkah di belakangnya membuatnya langsu
Langkah kaki yang misterius itu membuat ruangan terasa membeku seketika. Alya menggenggam lengan Narendra dengan erat, napasnya tertahan. Narendra menoleh ke belakang dengan cepat, tetapi tak ada apa-apa di sana. Hanya kesunyian yang menyelimuti mereka, seolah langkah tadi adalah ilusi belaka. “Kita nggak bisa terus begini,” ujar Narendra sambil menarik napas panjang. “Aku nggak akan biarin kamu sendirian di rumah ini malam ini. Aku nginep aja di kamar tamu, biar kalau ada apa-apa, aku bisa langsung bantu.” Alya mengerutkan kening, menimbang tawaran itu. Di satu sisi, ia merasa ragu membiarkan Narendra menginap, takut memancing gosip dan membuat ayahnya kembali marah. Namun, di sisi lain, ketakutan yang mencekam sejak tadi lebih dominan. Ia tahu ia tak akan bisa tidur nyenyak tanpa merasa ada orang lain di dekatnya. Apalagi orang tuanya juga entah pulang jam berapa. “Kamar tamu ada di lantai satu, kan?” Nare
Alya menatap layar ponselnya dengan mata yang mulai memerah. Gambar halaman dari buku tua itu terpampang jelas, aksara Jawa kuno yang sebagian sudah tak terbaca, tapi sisanya terlihat seperti mantra atau petunjuk ritual. Ia membaca baris-baris itu dengan seksama, mencoba menguraikan maknanya, meskipun pikirannya masih diselimuti rasa takut. “Ritual inti,” gumamnya pelan. Kata-kata itu menggema di benaknya, membawa perasaannya berkecamuk. Jika ritual sebelumnya tidak berhasil, mungkin ini adalah jalannya. Namun, apakah ia siap untuk melangkah lebih jauh? Apakah ia berani menghadapi konsekuensi yang mungkin lebih buruk? Ia teringat Mbah Karso yang berulang kali mengingatkan bahwa tidak semua ritual bisa dilakukan sembarangan. “Jangan mencoba sendiri. Kuatkan imanmu, Nduk, bukan egomu.” begitu pesan terakhirnya. Namun, sekarang, ia merasa tak punya pilihan lain. Angin dari celah jendela kembali berembus, menyapu rambutnya dan membuat kertas-kertas di meja bergetar pelan. Seo
Malam itu, udara di dalam kamar Alya terasa berat. Meskipun lampu menyala, bayangan-bayangan di sudut ruangan seolah hidup, bergerak dengan irama yang tidak kasatmata. Alya mencoba memejamkan mata, tetapi suara samar dari arah jendela membuatnya tersentak.Tok ... tok ... tok ....Bunyi itu tidak terlalu keras, tetapi cukup untuk membuat jantung Alya berdetak kencang. Ia menggenggam kalung jimatnya lebih erat, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja."Itu paling cuma suara angin," gumamnya pelan, seolah berusaha menghibur dirinya sendiri.Namun, ketika suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, Alya langsung duduk tegak. Pandangannya terpaku pada jendela yang masih tertutup rapat.Ponsel di sampingnya bergetar, membuat tubuhnya tersentak. Nama Narendra muncul di layar, sekejap kemudian ia segera mengangkatnya.“Naren, tolong bilang aku cuma paranoid,” katanya, suaranya bergetar.“Ada apa lagi, Alya? Kenapa suaramu seperti itu?” tanya Narendra dengan panik.“Ada s
Mbah Karso tidak menjawab. Ia terus melantunkan doa, dan tak lama kemudian, Tina bergeser mundur dengan wajah tegang. “Astaga ... Mbah, itu ada di belakangmu!” seru Tina dengan suara bergetar, menunjuk ke arah sesuatu yang Alya tidak bisa lihat.“Apa? Ada apa, Bu?” tanya Alya, panik. Ia mencoba mencari tahu apa yang terjadi, tapi pandangannya hanya kosong. Tidak ada yang aneh di hadapannya.“Dia ada di sana ... dekat pintu!” bisik Tina sambil menutupi mulutnya. Matanya tidak lepas dari sosok tak kasatmata yang hanya bisa ia lihat. “Mbah, kenapa dia mendekat?”“Tenang, Tina,” ujar Mbah Karso tanpa menoleh. Suaranya tetap tenang, meski wajahnya mulai berkeringat. “Alya tidak bisa melihatnya, kan?”Alya menggeleng cepat. “Aku nggak lihat apa-apa, Mbah. Aku juga nggak dengar suara apa-apa.”Mbah Karso mengangguk dengan mantap. Ia membalikkan badan, menatap ke arah pintu yang kosong di mata Alya.“Kau sudah selesai di sini. Pergilah,” ucapnya pelan, penuh wibawa.Ruangan mendadak menjadi
Malam itu, udara begitu dingin, menusuk sampai ke tulang. Bau kembang tujuh rupa memenuhi ruangan kecil tempat Alya duduk dengan tubuh gemetar. Di sudut ruangan, Mbah Karso tengah berjongkok, memegang kendi berisi air kembang. Wajahnya serius, matanya tertuju pada nyala lampu minyak yang redup, sementara Tina berdiri di belakang Alya, menggenggam erat bahu anaknya.“Alya, jangan takut, ya, Nduk,” bisik Tina, meski suaranya bergetar. “Ini semua untuk kebaikanmu.”Alya hanya mengangguk kecil. Tubuhnya masih lemah setelah kejadian mengerikan sebelumnya, tapi tatapan penuh kasih ibunya memberinya sedikit keberanian.Mbah Karso berdiri perlahan, membawa kendi itu ke hadapan Alya. “Nduk, air ini sudah Mbah doakan. Mulai sekarang, semuanya tergantung pada keberanianmu sendiri. Kamu harus yakin dan percaya. Mengerti?”“Mbah, apa benar ini akan berhasil? Aku nggak mau lagi lihat mereka. Aku nggak kuat.” Alya berbisik pelan, suaranya hampir tak te
Alya berusaha mengumpulkan sisa keberanian di tengah gemetar tubuhnya. Mata merah yang menyala itu kini seperti menembus langsung ke jiwanya. Bayangan hitam itu mendekat perlahan, setiap langkahnya membuat lantai kayu berderak seperti direnggut oleh kekuatan yang tidak kasat mata.“Pergi dari sini! Ini bukan tempatmu!” seru Mbah Karso, menghentakkan tongkatnya ke lantai. Getarannya terasa sampai ke telapak kaki, tetapi bayangan itu hanya tertawa pelan, suaranya seperti dengungan ribuan lebah yang menggema di ruangan.Tina semakin erat memeluk Alya, tangannya bergetar hebat. "Mbah, dia makin dekat! Apa yang harus kita lakukan?""Alya!" suara Mbah Karso menggema dengan tegas. "Tatap aku! Jangan lihat dia!"Namun, Alya seperti terpaku. Matanya tak bisa lepas dari sosok itu. Ada daya tarik aneh yang memaksanya untuk terus menatap. Bayangan itu mengulurkan tangan panjang, dengan kuku-kuku hitam melengkung tajam. Jari-jari itu bergerak pelan, seolah-olah ingin meraih Alya."Mbah, aku ... a
Dalam gelap, suara langkah kaki menggema, lambat dan semakin mendekat. Alya merasakan hawa dingin menyentuh lehernya, seperti napas seseorang yang tidak terlihat. "Bu, dia ada di sini," bisik Alya dengan suara hampir tak terdengar. Tina tidak menjawab, hanya memeluk putrinya lebih erat. Namun, dari pelukannya, Alya tahu ibunya juga ketakutan. Tubuh Tina terasa kaku, seperti menahan sesuatu yang sangat berat. "Kalian tidak boleh gentar," kata Mbah Karso dengan suara tegas. "Dia hanya bisa masuk jika kalian mengizinkannya." "Aaargh ...!" Alya memekik hebat, merasakan sesuatu menyentuh bahunya, seperti kuku-kuku panjang yang tajam. Mbah Karso menyalakan lampu minyak dengan cepat. Cahaya kembali menerangi ruangan, tapi hanya sebentar. Sosok itu terlihat melayang di sudut, lebih besar dan lebih menyeramkan dari sebelumnya. "Gadis itu milik kami ...." Suara mahluk itu menggema, berat dan serak seperti bisikan kematian. "Tidak, dia bukan milikmu!" Mbah Karso menghentakkan tongka
Alya menatap pintu rumah tua itu dengan ragu. Papan-papan kayunya sudah lapuk, ditumbuhi lumut di beberapa bagian. Di atas pintu, tergantung sebuah hiasan anyaman daun kelapa yang mulai cokelat. Udara sekitar terasa berat, dingin yang menusuk tulang meski tidak ada angin berembus.Tina menggenggam tangan Alya erat, seolah memberikan kekuatan. “Ayo, Nak. Jangan takut,” katanya pelan.Alya menelan ludah, menahan diri agar tidak mundur. “Bu, tempat ini kenapa rasanya seperti ... aneh?” tanyanya ragu.Tina melirik putrinya, wajahnya tegang. “Ini bukan tempat aneh, Nduk. Ini tempat orang pintar yang bisa bantu kita. Sudah, nurut saja. Jangan banyak tanya.”Sebelum Alya bisa membalas, pintu rumah itu tiba-tiba terbuka. Engselnya berderit nyaring, seperti suara seseorang yang menjerit tertahan. Di balik pintu, berdiri seorang pria tua dengan tubuh tegap dan sorot mata tajam. Rambut putihnya tertutup blangkon, dan tubuh ringkih itu dibalut kain batik yang warnanya mulai pudar.“Kalian sudah