"Alya! Apa yang terjadi? Kenapa kamu teriak-teriak tengah malam begini?" tanya sang ibu sambil menghampiri putrinya dengan tatapan panik.
Alya menoleh cepat, matanya mencari-cari ke sekeliling ruangan, berharap menemukan jejak bayangan yang tadi membuatnya ketakutan. Namun, kamar itu kini kembali tenang dan kosong, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. “Enggak, Bu. Tadi … sepertinya aku cuma capek,” katanya, berusaha terdengar meyakinkan, meski masih merasa napasnya belum sepenuhnya stabil. Melihat Alya celingak-celinguk, Tina semakin penasaran. "Capek sampai teriak begitu? Alya, ada apa sebenarnya? Kamu kenapa, Nak?” Alya menghela napas dan mencoba mengalihkan perhatian ibunya. "Aku … kaget, Bu. Tiba-tiba lihat kotak kayu tua peninggalan kakek di lemari. Enggak tahu kenapa kotak itu jatuh sendiri.” Mata Tina mengamati Alya, lalu dia menghela napas kasar. Ia tak terlalu peduli dengan kotak penemuan putrinya, mengira memang benda biasa peninggalan ayahnya. "Alya, malam sudah larut. Lebih baik kamu kembalikan saja kotak itu ke tempatnya dan tidur, ya? Besok masih banyak saudara yang akan datang untuk berbela sungkawa.” Alya mengangguk, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Iya, Bu, maaf bikin kaget." Tina mengusap pundak Alya lembut. "Coba istirahat, Nak. Ini mungkin hanya efek kelelahan. Kamu tidur di kamar kakek juga mungkin membuat kamu teringat terus tentang kepergiannya. Besok coba tidur di kamarmu saja, ya.” Alya tersenyum kecil, lalu beranjak menempatkan kotak kayu itu kembali ke dalam lemari. Setelah ibunya meninggalkan kamar, Alya memandangi kotak itu sekali lagi, dengan tatapan ragu. Meski dalam hati ia enggan mengakui adanya hal-hal gaib, sesuatu tentang kotak itu meninggalkan perasaan tak nyaman yang sulit ia abaikan. • Pagi itu, rumah besar tempat keluarga Alya berkumpul kembali dipenuhi banyak orang. Di ruang tamu, Anto—paman Alya—duduk di antara kerabat yang lain. Wajahnya tampak cemberut, sementara yang lain sibuk mengobrol dengan nada suara yang halus, berbicara soal kenangan mereka tentang almarhum Kakek Suroto. Setelah hening sejenak, Anto membuka suara, “dengar, sekarang kakek sudah nggak ada, kita harus bahas soal warisannya. Menurutku, nggak perlu tunggu lama-lama. Nanti malah tambah ribet urusannya." Beberapa wajah langsung menoleh ke arah Anto, terkejut dengan sikapnya. Saudara lain yang duduk di sudut ruangan, menatapnya tajam. “Anto, bicara apa kamu ini?!” tegurnya sambil menggelengkan kepala. “Pamali, belum empat puluh hari udah bahas warisan.” Adik Anto yang lain, Paman Suhadi, juga ikut angkat bicara. “Betul, kita hormati dulu kakek yang baru saja pergi. Urusan harta bisa dibahas nanti, setelah kita semua selesai berkabung.” Anto mendengus, tidak puas. "Hah, pamali katanya? Dengar, siapa yang paling banyak urus kakek selama sakit? Aku! Yang lain mana? Sibuk dengan urusan masing-masing. Sekarang kakek sudah pergi, nggak ada salahnya dibagi sekarang, supaya semuanya jelas! Dan bagianku ... harus paling besar karena akulah yang paling berjasa." Tina yang duduk di sebelah putrinya, menatap kakaknya itu dengan ekspresi tak percaya. “Mas Anto, nggak begini caranya. Kita baru saja kehilangan kakek, masih banyak yang harus dipikirkan sebelum bicara soal warisan. Kalau kita buru-buru, bisa-bisa kakek nggak tenang di sana.” Anto tertawa kecil, matanya menyipit. “Mau tenang di sana, atau tenang di sini itu bukan urusanku. Sudah nggak ada bedanya! Aku cuma nggak mau nanti ada yang ngelunjak, ambil hak orang lain. Makanya aku minta dibagi sekarang, Tin.” Beberapa kerabat lain mulai berbisik-bisik, menatap Anto dengan tatapan tidak suka. Istri Anto, yang sedari tadi diam, mencoba menenangkan suaminya. “Mas, kita pulang saja kalau kamu masih panas-panas begini,” bisiknya pelan. Namun, Anto tidak menggubrisnya. “Sudahlah! Aku cuma mau ini cepat selesai. Apa salahnya?” Paman Suhadi menepuk bahu Anto, mencoba menenangkannya. “Mas Anto, kau tahu betul tradisi kita. Membahas warisan sebelum empat puluh hari itu bukan hal yang baik. Itu bukan cuma pamali, tapi juga menunjukkan rasa tidak hormat pada almarhum.” Anto mengibaskan tangannya, tidak sabar. “Ck, tradisi ini, tradisi itu! Kalian semua munafik. Yang penting harta ini harus dibagi adil.” Melihat suasana semakin tegang, Tina menghela napas panjang, mencoba memberi pengertian. “Mas, tolong dengarkan keluarga yang lain. Ini bukan soal warisan saja, tapi soal menghormati kakek dan kerukunan kita.” Anto mendengus, berdiri dengan kasar. “Kalian semua sama saja! Cuma mau menunda supaya bisa ambil kesempatan, kan?!” Dengan wajah memerah karena amarah, Anto melangkah keluar dari rumah, membanting pintu keras-keras hingga suara berdebum menggema di ruangan. Semua orang tercenung, sementara Alya hanya menyaksikan dalam diam. Malam harinya, saat keluarga berkumpul untuk acara selamatan kakek, suasana hening tanpa kehadiran Anto. Alya duduk bersama ibunya dan anggota keluarga lain yang sibuk memanjatkan doa. Namun, di tengah acara, tiba-tiba ponsel Tina berdering, memecah keheningan. Tina segera mengangkat telepon. "Halo? Iya, ada apa?" Di seberang telepon, istri Anto berbicara dengan suara bergetar dilanda kepanikan. “Dik Tina … Mas Anto, Dik. D-dia keracunan. Kami lagi di rumah sakit sekarang.” Mata Tina melebar, menatap Alya dan beberapa anggota keluarga lain yang mulai khawatir. “Apa? Kok bisa?!” Suara di telepon terdengar semakin gemetar diiringi isak tangis. “Aku nggak tahu, Dik … Mas Anto tadi makan di rumah, tiba-tiba perutnya sakit luar biasa. Sekarang dokter bilang kondisinya cukup serius.” Tina menutup mulutnya, hampir tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia menatap yang lain dengan tatapan penuh kecemasan. “Kita harus ke rumah sakit sekarang. Mas Anto keracunan!" Beberapa anggota keluarga lainnya mulai resah mendengar kabar itu, sementara dalam hati, Alya tidak bisa menahan perasaan ngeri yang menggelayutinya. Kenapa batinnya mengatakan peristiwa ini seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar di baliknya? Ketika anggota keluarga sudah berkumpul di rumah sakit, suasana berubah mencekam begitu dokter keluar dari ruang perawatan dengan wajah serius. Dengan suara tegang dan penuh penyesalan, dokter menyampaikan kabar yang tidak diharapkan. “Kami sudah berusaha yang terbaik, tetapi Pak Anto tidak bisa diselamatkan. Beliau meninggal sekitar sepuluh menit yang lalu.” Kalimat itu seperti petir di siang bolong. Alya terpaku di tempat, tubuhnya seketika lemas. Napasnya terhenti sesaat, dadanya sesak. Ini sangat tiba-tiba, tak bisa ia cerna. “Paman meninggal?” gumamnya tak percaya, matanya berkaca-kaca. Pikirannya tiba-tiba melayang jauh. Ia kembali teringat akan surat yang ia temukan di kamar Kakeknya. Tentang arwah keluarga yang menuntut darah jika ritual tidak dilaksanakan. Muncul dalam pikirannya, berputar-putar seperti bayangan kelam yang menolak untuk pergi. “Tidak! Ini pasti kebetulan. Paman Anto meninggal karena keracunan, bukan karena hal lain," batinnya menolak keras, mencoba melawan pikiran itu. Namun, hatinya bergejolak. Sesuatu terasa janggal. Kepergian Anto begitu mendadak, tepat setelah ia bersikeras ingin membahas warisan. Dan Alya merasa tak tenang, seolah ada tali tak kasat mata yang menghubungkan peristiwa ini dengan isi surat tersebut. Ia menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri, tapi hatinya tidak bisa berhenti bertanya. Apakah benar semua ini hanya kebetulan? Ataukah ada sesuatu yang lebih kelam di balik kematian Paman Anto? "Kematiannya ... beruntun."Setelah pemakaman Anto, seluruh keluarga kembali ke rumah besar Kakek Suroto. Rumah itu kini terasa semakin kelam, seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Hunian tua berlantai tiga itu dihuni oleh tiga keluarga, Paman Suhadi yang tinggal di lantai pertama, Tina di lantai dua, dan Bibi Nayu di lantai paling atas. Langit mulai gelap, senja menyiratkan cahaya oranye dari arah barat. Alya berjalan di lorong, hendak menuju dapur untuk mengambil air minum, tanpa sengaja melihat sosok ibunya yang tampak sibuk meletakkan lilin-lilin kecil dan bunga melati di beberapa sudut rumah. “Bu, lagi ngapain, sih?” Alya melangkah mendekat dengan wajah penuh tanda tanya. Tina menoleh, sedikit terkejut mendengar suara putrinya. Ia tersenyum kecil, tetapi raut wajahnya tampak tegang. “Ini, cuma … menghormati leluhur kita, Nak. Bunga dan lilin ini sebagai bentuk perlindungan." Alya mengerutkan dahi, merasa ada yang janggal. “Loh, tapi kita 'kan sudah mendoakan mereka. Untuk apa repot-repot
Alya terbangun di tengah malam, tubuhnya basah oleh keringat. Kipas angin berputar pelan di sudut kamar, tapi udara terasa pengap, menyesakkan dada. Matanya melirik jam di meja, hampir pukul tiga dini hari. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Dalam heningnya malam, tiba-tiba ia mendengar suara lirih memanggil namanya, "Alya … Alya ....” Suara itu terdengar halus, hampir seperti bisikan. Namun, entah kenapa terdengar familiar. Ia terdiam sejenak, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasinya. Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih jelas, suara itu mirip dengan suara Bibi Nayu. “Tapi untuk apa bibi memanggil malam-malam begini?” pikir Alya sambil menggigit bibirnya, ragu. Suami sang bibi sedang bertugas di luar kota, dan anaknya juga sedang kuliah dan tak bisa pulang. Ia pasti sendirian di lantai tiga. Mengingat itu, rasa khawatir perlahan mengalahkan keraguannya. Alya bangkit dari tempat tidur, mengabaikan peringatan ibunya sore tadi. Ia me
"Ini tanda dari leluhur, Nak. Tolong mengertilah ...." Alya mendesah panjang setelah mendengar perkataan ibunya, semua itu terasa seperti takhayul belaka baginya. Dengan nada menahan kesal, ia berkata, “Bu, kita ini hidup di zaman modern! Mana mungkin leluhur-leluhur itu masih bisa mengganggu kehidupan kita?” Ibunya berusaha menahan Alya, tapi ia melepaskan diri dan berjalan kembali ke kamarnya tanpa memedulikan teriakan ibunya yang meminta agar ia berhenti. Setibanya di kamar, Alya menyambar handuk dan perlengkapan mandi, berniat mandi di kamar mandi yang ada di kamar almarhum Kakek Suroto. Kamar mandi di sana lebih jarang digunakan, sehingga ia berharap akan lebih tenang. Suasana kamar almarhum kakeknya terasa sunyi, lebih dingin dari biasanya, seolah ada hawa asing yang mengintip dari sudut-sudut ruangan. Ia menutup pintu kamar mandi dengan sedikit perasaan tak nyaman, tapi ia mengabaikannya. Setelah menghidupkan shower, ia memejamkan mata, membiarkan air hangat menggu
Malam itu, suasana di rumah kakek Suroto masih diselimuti kesedihan. Hujan turun perlahan, dan suara tetesan air yang mengalir dari atap terasa semakin mencekam di tengah keheningan. Alya, gadis cantik pemilik rambut panjang nan legam itu berdiri di depan pintu kamar sang kakek, matanya berkaca-kaca. “Kakek, kenapa kau pergi begitu cepat?” gumamnya, terisak pelan. Kamar itu terasa sepi dan dingin, menimbulkan rasa rindu yang menggelora di dalam hati Alya. Ia melangkah masuk, menyusuri ruangan yang kini sepi. Perabotan lama masih teratur, seolah kakek Suroto baru saja pergi keluar sebentar. Alya mengingat betapa hangatnya pelukan kakeknya saat mereka bercerita tentang masa lalu. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Dengan hati-hati, Alya membuka lemari untuk mencari selimut baru, aroma obat dan embun malam mengisi udara. Selimut tua yang biasa digunakan untuk menutupi tubuh kakeknya masih basah oleh air bekas pemandian jenazah. “Aku harus menemukan yang bersih,” gu