Home / Horor / Kutukan Wasiat Kakek / Kematian Beruntun

Share

Kematian Beruntun

Author: Els Arrow
last update Last Updated: 2024-10-30 01:30:52

"Alya! Apa yang terjadi? Kenapa kamu teriak-teriak tengah malam begini?" tanya sang ibu sambil menghampiri putrinya dengan tatapan panik.

Alya menoleh cepat, matanya mencari-cari ke sekeliling ruangan, berharap menemukan jejak bayangan yang tadi membuatnya ketakutan. Namun, kamar itu kini kembali tenang dan kosong, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

“Enggak, Bu. Tadi … sepertinya aku cuma capek,” katanya, berusaha terdengar meyakinkan, meski masih merasa napasnya belum sepenuhnya stabil.

Melihat Alya celingak-celinguk, Tina semakin penasaran. "Capek sampai teriak begitu? Alya, ada apa sebenarnya? Kamu kenapa, Nak?”

Alya menghela napas dan mencoba mengalihkan perhatian ibunya.

"Aku … kaget, Bu. Tiba-tiba lihat kotak kayu tua peninggalan kakek di lemari. Enggak tahu kenapa kotak itu jatuh sendiri.”

Mata Tina mengamati Alya, lalu dia menghela napas kasar. Ia tak terlalu peduli dengan kotak penemuan putrinya, mengira memang benda biasa peninggalan ayahnya.

"Alya, malam sudah larut. Lebih baik kamu kembalikan saja kotak itu ke tempatnya dan tidur, ya? Besok masih banyak saudara yang akan datang untuk berbela sungkawa.”

Alya mengangguk, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Iya, Bu, maaf bikin kaget."

Tina mengusap pundak Alya lembut. "Coba istirahat, Nak. Ini mungkin hanya efek kelelahan. Kamu tidur di kamar kakek juga mungkin membuat kamu teringat terus tentang kepergiannya. Besok coba tidur di kamarmu saja, ya.”

Alya tersenyum kecil, lalu beranjak menempatkan kotak kayu itu kembali ke dalam lemari.

Setelah ibunya meninggalkan kamar, Alya memandangi kotak itu sekali lagi, dengan tatapan ragu. Meski dalam hati ia enggan mengakui adanya hal-hal gaib, sesuatu tentang kotak itu meninggalkan perasaan tak nyaman yang sulit ia abaikan.

Pagi itu, rumah besar tempat keluarga Alya berkumpul kembali dipenuhi banyak orang. Di ruang tamu, Anto—paman Alya—duduk di antara kerabat yang lain. Wajahnya tampak cemberut, sementara yang lain sibuk mengobrol dengan nada suara yang halus, berbicara soal kenangan mereka tentang almarhum Kakek Suroto.

Setelah hening sejenak, Anto membuka suara, “dengar, sekarang kakek sudah nggak ada, kita harus bahas soal warisannya. Menurutku, nggak perlu tunggu lama-lama. Nanti malah tambah ribet urusannya."

Beberapa wajah langsung menoleh ke arah Anto, terkejut dengan sikapnya. Saudara lain yang duduk di sudut ruangan, menatapnya tajam.

“Anto, bicara apa kamu ini?!” tegurnya sambil menggelengkan kepala. “Pamali, belum empat puluh hari udah bahas warisan.”

Adik Anto yang lain, Paman Suhadi, juga ikut angkat bicara. “Betul, kita hormati dulu kakek yang baru saja pergi. Urusan harta bisa dibahas nanti, setelah kita semua selesai berkabung.”

Anto mendengus, tidak puas. "Hah, pamali katanya? Dengar, siapa yang paling banyak urus kakek selama sakit? Aku! Yang lain mana? Sibuk dengan urusan masing-masing. Sekarang kakek sudah pergi, nggak ada salahnya dibagi sekarang, supaya semuanya jelas! Dan bagianku ... harus paling besar karena akulah yang paling berjasa."

Tina yang duduk di sebelah putrinya, menatap kakaknya itu dengan ekspresi tak percaya. “Mas Anto, nggak begini caranya. Kita baru saja kehilangan kakek, masih banyak yang harus dipikirkan sebelum bicara soal warisan. Kalau kita buru-buru, bisa-bisa kakek nggak tenang di sana.”

Anto tertawa kecil, matanya menyipit. “Mau tenang di sana, atau tenang di sini itu bukan urusanku. Sudah nggak ada bedanya! Aku cuma nggak mau nanti ada yang ngelunjak, ambil hak orang lain. Makanya aku minta dibagi sekarang, Tin.”

Beberapa kerabat lain mulai berbisik-bisik, menatap Anto dengan tatapan tidak suka. Istri Anto, yang sedari tadi diam, mencoba menenangkan suaminya. “Mas, kita pulang saja kalau kamu masih panas-panas begini,” bisiknya pelan.

Namun, Anto tidak menggubrisnya. “Sudahlah! Aku cuma mau ini cepat selesai. Apa salahnya?”

Paman Suhadi menepuk bahu Anto, mencoba menenangkannya. “Mas Anto, kau tahu betul tradisi kita. Membahas warisan sebelum empat puluh hari itu bukan hal yang baik. Itu bukan cuma pamali, tapi juga menunjukkan rasa tidak hormat pada almarhum.”

Anto mengibaskan tangannya, tidak sabar. “Ck, tradisi ini, tradisi itu! Kalian semua munafik. Yang penting harta ini harus dibagi adil.”

Melihat suasana semakin tegang, Tina menghela napas panjang, mencoba memberi pengertian. “Mas, tolong dengarkan keluarga yang lain. Ini bukan soal warisan saja, tapi soal menghormati kakek dan kerukunan kita.”

Anto mendengus, berdiri dengan kasar. “Kalian semua sama saja! Cuma mau menunda supaya bisa ambil kesempatan, kan?!”

Dengan wajah memerah karena amarah, Anto melangkah keluar dari rumah, membanting pintu keras-keras hingga suara berdebum menggema di ruangan.

Semua orang tercenung, sementara Alya hanya menyaksikan dalam diam.

Malam harinya, saat keluarga berkumpul untuk acara selamatan kakek, suasana hening tanpa kehadiran Anto. Alya duduk bersama ibunya dan anggota keluarga lain yang sibuk memanjatkan doa. Namun, di tengah acara, tiba-tiba ponsel Tina berdering, memecah keheningan.

Tina segera mengangkat telepon. "Halo? Iya, ada apa?"

Di seberang telepon, istri Anto berbicara dengan suara bergetar dilanda kepanikan. “Dik Tina … Mas Anto, Dik. D-dia keracunan. Kami lagi di rumah sakit sekarang.”

Mata Tina melebar, menatap Alya dan beberapa anggota keluarga lain yang mulai khawatir. “Apa? Kok bisa?!”

Suara di telepon terdengar semakin gemetar diiringi isak tangis. “Aku nggak tahu, Dik … Mas Anto tadi makan di rumah, tiba-tiba perutnya sakit luar biasa. Sekarang dokter bilang kondisinya cukup serius.”

Tina menutup mulutnya, hampir tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia menatap yang lain dengan tatapan penuh kecemasan.

“Kita harus ke rumah sakit sekarang. Mas Anto keracunan!"

Beberapa anggota keluarga lainnya mulai resah mendengar kabar itu, sementara dalam hati, Alya tidak bisa menahan perasaan ngeri yang menggelayutinya.

Kenapa batinnya mengatakan peristiwa ini seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?

Ketika anggota keluarga sudah berkumpul di rumah sakit, suasana berubah mencekam begitu dokter keluar dari ruang perawatan dengan wajah serius.

Dengan suara tegang dan penuh penyesalan, dokter menyampaikan kabar yang tidak diharapkan. “Kami sudah berusaha yang terbaik, tetapi Pak Anto tidak bisa diselamatkan. Beliau meninggal sekitar sepuluh menit yang lalu.”

Kalimat itu seperti petir di siang bolong. Alya terpaku di tempat, tubuhnya seketika lemas. Napasnya terhenti sesaat, dadanya sesak.

Ini sangat tiba-tiba, tak bisa ia cerna. “Paman meninggal?” gumamnya tak percaya, matanya berkaca-kaca.

Pikirannya tiba-tiba melayang jauh. Ia kembali teringat akan surat yang ia temukan di kamar Kakeknya. Tentang arwah keluarga yang menuntut darah jika ritual tidak dilaksanakan. Muncul dalam pikirannya, berputar-putar seperti bayangan kelam yang menolak untuk pergi.

“Tidak! Ini pasti kebetulan. Paman Anto meninggal karena keracunan, bukan karena hal lain," batinnya menolak keras, mencoba melawan pikiran itu.

Namun, hatinya bergejolak. Sesuatu terasa janggal. Kepergian Anto begitu mendadak, tepat setelah ia bersikeras ingin membahas warisan. Dan Alya merasa tak tenang, seolah ada tali tak kasat mata yang menghubungkan peristiwa ini dengan isi surat tersebut.

Ia menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri, tapi hatinya tidak bisa berhenti bertanya. Apakah benar semua ini hanya kebetulan? Ataukah ada sesuatu yang lebih kelam di balik kematian Paman Anto?

"Kematiannya ... beruntun."

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Nayanika Shanum
keren. suka sama karakternya
goodnovel comment avatar
Natasha
duh, ngeri
goodnovel comment avatar
Agung99
anto pasti kena karma
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Kutukan Wasiat Kakek    Weton Sama

    Setelah pemakaman Anto, seluruh keluarga kembali ke rumah besar Kakek Suroto. Rumah itu kini terasa semakin kelam, seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Hunian tua berlantai tiga itu dihuni oleh tiga keluarga, Paman Suhadi yang tinggal di lantai pertama, Tina di lantai dua, dan Bibi Nayu di lantai paling atas. Langit mulai gelap, senja menyiratkan cahaya oranye dari arah barat. Alya berjalan di lorong, hendak menuju dapur untuk mengambil air minum, tanpa sengaja melihat sosok ibunya yang tampak sibuk meletakkan lilin-lilin kecil dan bunga melati di beberapa sudut rumah. “Bu, lagi ngapain, sih?” Alya melangkah mendekat dengan wajah penuh tanda tanya. Tina menoleh, sedikit terkejut mendengar suara putrinya. Ia tersenyum kecil, tetapi raut wajahnya tampak tegang. “Ini, cuma … menghormati leluhur kita, Nak. Bunga dan lilin ini sebagai bentuk perlindungan." Alya mengerutkan dahi, merasa ada yang janggal. “Loh, tapi kita 'kan sudah mendoakan mereka. Untuk apa repot-repot

    Last Updated : 2024-10-30
  • Kutukan Wasiat Kakek    Panggilan Misterius

    Alya terbangun di tengah malam, tubuhnya basah oleh keringat. Kipas angin berputar pelan di sudut kamar, tapi udara terasa pengap, menyesakkan dada. Matanya melirik jam di meja, hampir pukul tiga dini hari. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Dalam heningnya malam, tiba-tiba ia mendengar suara lirih memanggil namanya, "Alya … Alya ....” Suara itu terdengar halus, hampir seperti bisikan. Namun, entah kenapa terdengar familiar. Ia terdiam sejenak, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasinya. Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih jelas, suara itu mirip dengan suara Bibi Nayu. “Tapi untuk apa bibi memanggil malam-malam begini?” pikir Alya sambil menggigit bibirnya, ragu. Suami sang bibi sedang bertugas di luar kota, dan anaknya juga sedang kuliah dan tak bisa pulang. Ia pasti sendirian di lantai tiga. Mengingat itu, rasa khawatir perlahan mengalahkan keraguannya. Alya bangkit dari tempat tidur, mengabaikan peringatan ibunya sore tadi. Ia me

    Last Updated : 2024-10-30
  • Kutukan Wasiat Kakek    Kehadiran Sosok

    "Ini tanda dari leluhur, Nak. Tolong mengertilah ...." Alya mendesah panjang setelah mendengar perkataan ibunya, semua itu terasa seperti takhayul belaka baginya. Dengan nada menahan kesal, ia berkata, “Bu, kita ini hidup di zaman modern! Mana mungkin leluhur-leluhur itu masih bisa mengganggu kehidupan kita?” Ibunya berusaha menahan Alya, tapi ia melepaskan diri dan berjalan kembali ke kamarnya tanpa memedulikan teriakan ibunya yang meminta agar ia berhenti. Setibanya di kamar, Alya menyambar handuk dan perlengkapan mandi, berniat mandi di kamar mandi yang ada di kamar almarhum Kakek Suroto. Kamar mandi di sana lebih jarang digunakan, sehingga ia berharap akan lebih tenang. Suasana kamar almarhum kakeknya terasa sunyi, lebih dingin dari biasanya, seolah ada hawa asing yang mengintip dari sudut-sudut ruangan. Ia menutup pintu kamar mandi dengan sedikit perasaan tak nyaman, tapi ia mengabaikannya. Setelah menghidupkan shower, ia memejamkan mata, membiarkan air hangat menggu

    Last Updated : 2024-10-30
  • Kutukan Wasiat Kakek    Halusinasi Atau Nyata?

    Alya merasa tubuhnya terguncang keras. Napasnya terengah, tubuhnya terasa berat dan dingin. Tangan yang mengguncang tubuhnya semakin kuat, membuatnya tersentak bangun dengan napas yang masih tersengal. Pandangannya kabur, dan perlahan, wajah ibunya yang penuh kecemasan terlihat di depannya.“Alya! Kamu kenapa tidur di sini? Ini 'kan meja rias almarhumah nenekmu! Kenapa kamu sampai ketiduran di sini, Nak?” tanya Tina panjang lebar, keningnya mengerut heran.Alya hanya duduk terdiam, mengumpulkan kesadarannya yang masih tersisa. Jantungnya masih berdebar kencang, dan perasaan dingin itu seakan masih menyelimuti tubuhnya. Ia memandang wajah ibunya yang khawatir, tetapi pikirannya melayang-layang, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Apakah semuanya tadi benar-benar nyata atau hanya permainan mimpi yang menghantuinya?"Ya Tuhan ... jadi, tadi hanya mimpi? Kenapa rasanya nyata sekali?!" batinnya.Dengan kening berkerut dan raut wajah penuh kebingungan, Alya melirik ke arah lemar

    Last Updated : 2024-10-31
  • Kutukan Wasiat Kakek    Tidak Tahan Lagi

    Setelah acara selamatan Kakek selesai, malam itu Alya langsung naik ke kamarnya, tubuhnya terasa lelah dan pikirannya masih penuh dengan berbagai kegelisahan yang menghantui sejak siang. Ia mengunci pintu, mencoba menenangkan diri dari segala keanehan yang terus berputar di benaknya. Sepanjang hari, Alya berusaha menghindari Paman Suhadi, wajah dinginnya yang tampak tenang justru membuat jantungnya berdegup lebih kencang. "Ya Tuhan ... aku percaya tidak ada yang lebih besar dariMu. Tolong lindungi hambaMu ini, Ya Tuhan," mohonnya.Alya mencoba mengalihkan pikirannya, meraih ponsel yang tergeletak di meja, berniat menghibur diri dengan berselancar di media sosial. Namun, belum sempat ia menggulir layar, telinganya menangkap suara bisikan yang sayup-sayup terdengar, begitu lemah beriringan desau angin malam.“Tolong ....”Suara itu begitu lirih, terbungkus dalam isak tangis yang menyayat hati, seolah datang dari seseorang tengah dilanda rasa sakit. Ia menajamkan pendengarannya, mem

    Last Updated : 2024-10-31
  • Kutukan Wasiat Kakek    Terbongkar

    Pagi itu, kedatangan Narendra disambut Alya dengan wajah yang masih penuh keresahan. Tanpa membuang waktu, ia langsung mengajak sahabatnya itu duduk di ruang tamu. Beruntung tak ada orang di rumah ini, semua pergi bekerja.“Naren, aku nggak tahu lagi apa yang terjadi di rumah ini,” bisik Alya pelan sambil sesekali melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada siapa pun di dekat mereka. “Suara-suara aneh itu ... dan bayangan yang muncul di kamarku ... semuanya terlalu nyata.”Narendra mengangguk, menatap Alya dengan penuh perhatian. “Alya, aku tahu kamu sedang mengalami masa yang berat. Coba tarik napas dulu, tenangin diri. Ini nggak baik kalau kamu terus merasa tertekan begini."Alya menarik napas dalam-dalam, meskipun masih terlihat gemetar. “Naren ... aku bahkan merasa kayak mau gila. Semalam aku dengar suara minta tolong dari arah halaman belakang, terus ada bayangan putih yang muncul di kamarku. Ini bukan cuma sekali dua kali aku ngalamin yang kayak gitu.” “Dengar, Alya. Ada banyak

    Last Updated : 2024-11-01
  • Kutukan Wasiat Kakek    Ritual

    Alya memeluk tubuhnya erat, mencoba meredam gemetar yang makin menjadi-jadi. Ruang tamu terasa semakin dingin, meski matahari pagi masih terlihat di luar jendela. Rasanya seakan ada sesuatu yang mengintai dari balik bayangan. “Kamu harus kuat. Semakin dalam kamu terlibat, semakin besar pula risiko yang mungkin datang. Tapi jika kamu benar-benar ingin mengetahui segalanya, aku bisa membantumu. Namun, akan ada banyak hal yang harus kamu korbankan.” Alya menatap Narendra, kebingungan dan ketakutan bercampur dalam benaknya. “Apa maksudmu? Apa yang harus aku korbankan?” Narendra diam sejenak, memandang ke arah dinding ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak terlihat oleh mata Alya. “Terkadang, untuk memahami kebenaran, kita harus siap kehilangan sesuatu. Bisa jadi ketenangan, kenyamanan, atau bahkan ... dirimu sendiri.” Alya terdiam. Kengerian kata-kata Narendra mengakar dalam pikirannya, membuat bulu kuduknya meremang. Ia ingin berhenti, ingin kembali pada hidup normal tanpa ha

    Last Updated : 2024-11-01
  • Kutukan Wasiat Kakek    Kekacauan

    Narendra segera mengakhiri ritual yang ia lakukan di depan kamar kakek Suroto. Dengan penuh kepanikan, ia mendobrak pintu yang terbuat dari kayu tua, suara berdecit menambah suasana mencekam di dalam rumah. Seketika matanya terfokus pada tubuh mungil Alya yang tergeletak pingsan di lantai kayu, kulitnya terasa dingin seolah dihantam embun malam yang menusuk. Jantungnya berdegup kencang, menyadari betapa seriusnya situasi ini.“Ya Tuhan, Alya!” Suara Narendra bergetar, panik melanda saat ia berlari menghampiri tubuh gadis itu. Dengan cepat, ia mengangkat kepala Alya dan melihat wajahnya yang pucat, seolah nyawa gadis itu terenggut dari tubuhnya.Tepat saat itu, orang tua Alya masuk dengan tergopoh-gopoh, mata mereka dipenuhi kecemasan. “Narendra! Apa yang terjadi di sini? Ngapain kalian ada di kamar kakek?! ” tanya Bowo, suaranya nyaring dengan nada marah. Tina langsung berlari menghampiri putrinya, menangis tersedu-sedu sambil memeluk tubuh Alya yang lemas.“Naren, kamu harus men

    Last Updated : 2024-11-02

Latest chapter

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 74

    Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari rumah besar itu dengan hangat. Namun, suasana lantai dua terasa tegang. Tina, yang tengah merapikan barang-barangnya untuk pergi ke kos-kosan Alya, tiba-tiba merasa ada yang janggal.“Kenapa Nayu belum turun juga, ya?” gumamnya sambil melirik jam dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka sembilan. Biasanya, Nayu selalu muncul lebih pagi, entah untuk menyiapkan sarapan atau sekadar berkeliling.Tina menghentikan kegiatannya. Pikirannya terusik. Ia mencoba menepis kekhawatiran itu, tetapi firasatnya kian menguat. Akhirnya, dengan langkah pelan tapi pasti, ia memutuskan untuk naik ke lantai tiga.Tangga yang berderit di bawah pijakannya semakin menambah rasa was-was. Lantai tiga, yang biasanya jarang ia kunjungi, terasa begitu sunyi. Setibanya di depan kamar Nayu, Tina mengetuk pintu dengan hati-hati.“Nayu? Kamu di dalam?” panggilnya, berusaha terdengar tenang.Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. “Nayu! Ban

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 73

    Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri kokoh di tengah pekarangan yang sunyi. Malam telah larut, namun keheningan di lantai tiga terasa tidak biasa. Dinding-dinding tua berlapis cat yang mulai pudar memantulkan bayangan samar dari cahaya lilin yang berkerlip tak menentu. Udara di sana begitu pekat, seolah ada sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayangan gelap untuk menerkam.Di salah satu kamar di lantai itu, Nayu duduk bersila di lantai. Ruangan itu dipenuhi dengan benda-benda ritual, lilin hitam berjajar rapi di atas meja, sebuah cawan perak yang penuh cairan berbau menyengat, dan segumpal rambut kusut yang ia letakkan di atas kain merah. Matanya yang tajam menatap lekat rambut itu, tangannya mulai bergerak dengan pelan dan penuh tekad. Ia mulai merapal mantra, suaranya lirih, tapi penuh intensitas, seperti berbisik kepada kekuatan yang tidak kasat mata.“Aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu rencanaku,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Namun, malam itu berbeda.

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 72

    Pagi ini, ia dan Narendra kembali ke rumah Pak Ustaz Harun—pamannya Narendra, seorang tokoh agama yang menjadi tumpuan mereka dalam melawan kutukan keluarga.Di perjalanan, Narendra mengemudikan mobil dengan tenang. Sementara itu, Alya duduk diam di kursi penumpang, menggenggam gelang perak yang terasa berat, seolah ada energi gelap yang mengalir darinya. Di pangkuannya, ada kotak kayu kuno berukir motif Jawa yang ia temukan di kamar mendiang kakeknya. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Narendra, memecah keheningan.Alya mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku merasa lega, tapi sekaligus takut. Kalau ini nggak berhasil—”“Jangan berpikir begitu. Kita sudah sejauh ini. Aku yakin, Allah nggak akan membiarkan kita berjuang tanpa hasil.” Narendra mencoba menguatkan.Alya menatap kotak kayu di pangkuannya. “Kamu yakin semuanya akan selesai setelah ini?”Narendra mengangguk. “Itulah kenapa kita harus membakarnya. Semua benda yang jadi media kutukan harus dihancurkan total. Pak Ustaz juga

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 71

    “Ya Allah .…” Tina berdoa sambil menangis. “Kalau memang ini jalan yang harus kuambil, aku mohon … aku mohon, jangan biarkan Alya tahu. Jangan biarkan dia merasa bersalah. Dia nggak salah, semua ini karena dosa kami, dosa keluarga ini. Jangan hukum Alya, hukum aku saja.”Ia terisak lagi, kali ini lebih keras. Tangan kanannya menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat.Tangannya perlahan beralih ke dada, merasakan detak jantungnya yang semakin tak beraturan. Ia tahu efek ritual itu mungkin akan mulai terasa dalam beberapa hari ke depan. Bisa jadi tubuhnya akan melemah, bisa jadi ia akan sakit parah, atau bahkan meninggal.Tina tak berani menyelesaikan pikirannya. Namun, ia sudah siap. Ia tidak punya pilihan lain.Mobil yang ia kendarai kembali melaju perlahan, memasuki jalanan yang semakin sepi. Di tengah tangisannya, ia teringat lagi saat Alya memeluknya beberapa hari lalu. “Aku tahu kamu nggak akan berhenti, Nayu. Kamu mungkin akan cari cara lain kalau kamu tahu aku sudah menukar ram

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 70

    Malam hari.Tina memasuki rumah besar tiga lantai yang telah lama menjadi tempat tinggal keluarganya. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara angin berdesir di sela-sela pohon mangga di halaman, seolah-olah menyampaikan peringatan akan sesuatu yang kelam. Kini ia sudah berdiri di depan pintu rumah, menyapa pembantu rumah tangga yang tengah membereskan meja ruang tamu. "Nayu di mana?" tanyanya singkat, mencoba terdengar santai meski hatinya terus berdebar."Bu Nayu tadi bilang mau keluar sebentar, Bu. Katanya beli sesuatu," jawab pembantu itu sambil melipat kain lap.Mata Tina sedikit membelalak, tapi ia segera menenangkan diri. "Oh, ya sudah. Kalau begitu, saya mau naik ke lantai tiga sebentar. Ada yang ketinggalan."Pembantu itu hanya mengangguk, tak mencurigai apa-apa.Tina melangkah ke tangga, kali ini berhati-hati agar langkahnya tak menimbulkan suara berlebihan. Tangga kayu itu sesekali berderit pelan, membuatnya berhenti sejenak untuk memastikan tak ada orang yang me

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 69

    Alya duduk dengan tubuh menggigil di atas karpet tipis yang membentang di ruang utama rumah sang ustadz. Pandangannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Tubuhnya masih terasa panas, meski hawa dingin malam telah menyusup dari celah-celah jendela. Narendra duduk di dekatnya, mengamati Alya dengan cemas. "Alya," suara ustadz itu lembut, memecah keheningan. "Sebelum kita mulai, kamu harus menyucikan dirimu terlebih dahulu. Wudhu dan salat taubat adalah langkah awal untuk membuka hatimu kepada Allah. Setelah itu, kita lanjutkan dengan ruqyah. Apakah kamu siap?" Alya mengangguk perlahan, meski tubuhnya tampak lemah. "Saya siap, Ustadz," suaranya terdengar parau. Narendra segera berdiri, bersiap membantu jika Alya tidak kuat berjalan. Ustadz itu menunjukkan arah kamar mandi. "Narendra, temani dia. Pastikan dia baik-baik saja." Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi, Narendra mengikutinya dengan penuh perhatian. Di dalam kamar mandi, ia memercikkan air wudhu ke wajah

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 68

    Alya membaca tulisan itu berulang kali, mencoba memahami maksudnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seolah tulisan di atas kertas itu membawa beban yang tak kasat mata. Suara Narendra memecah keheningan."Jadi, gelang ini semacam kunci perjanjian, ya?" Narendra mengamati ukiran pada gelang perak itu. "Dan perjanjian itu jelas-jelas kutukan untuk keluargamu."Alya mengangguk pelan, bibirnya gemetar. "Iya, ini pasti ada hubungannya dengan ritual pesugihan. Tapi siapa yang menaruh gelang dan kertas ini di kotak ini? Kalau Kakek, kenapa nggak cerita ke anak-anaknya?"Narendra menggeleng. "Mungkin seseorang dari keluargamu. Tapi yang lebih penting sekarang, kita harus tahu bagaimana mengakhiri ini semua."Alya menunduk, menatap gelang itu dengan campuran rasa takut dan penasaran. "Ren, aku harus mengembalikan gelang ini ke tempat asalnya, kan? Kalau nggak, kutukan ini nggak akan pernah berhenti menghantui keluargaku."Narendra menaruh tangannya di bahu Alya, menenangkan. "Kita cari tahu dul

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 67

    Keesokan HarinyaUdara dingin pagi itu terasa menusuk tulang ketika Alya dan Narendra tiba di depan rumah besar peninggalan Kakek Suroto. Bangunan itu menjulang angker dengan arsitektur kuno. Langit mendung menambah kesan mencekam pada suasana sekitar. Alya menarik napas panjang, mencoba mengusir keraguan yang menyelimuti hatinya.“Aku masih nggak yakin ini ide bagus, Ren,” bisiknya sambil melirik Narendra yang berdiri di sebelahnya dengan raut wajah serius.“Kita sudah sampai sejauh ini, Alya. Kalau kita nggak ambil kotak itu sekarang, entah apa yang akan terjadi padamu,” jawab Narendra. Ia menggenggam bahu Alya, mencoba memberinya keberanian. “Aku ada di sini, nggak perlu takut.”Alya mengangguk pelan. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu samping yang biasa digunakan pekerja rumah untuk masuk. Tiga pekerja yang tengah membersihkan dapur langsung menoleh kaget melihat kehadiran Alya. Namun sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu, Alya mengangkat tangannya, memberi isyarat aga

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 66

    Tina tetap berdiri di depan celah pintu kamar Nayu. Pandangannya terpaku pada apa yang dilakukan adiknya di dalam ruangan. Nayu tampak serius, duduk bersila di lantai, dengan lilin-lilin hitam yang berkeliling mengelilinginya. Di tengah ritual itu, mata Tina tertumbuk pada sebuah benda yang membuat hatinya berdesir.Di atas kain merah dengan aksara kuno yang tampak asing, tergeletak segumpal rambut hitam pekat. Di sebelahnya, selembar foto Alya yang sudah kusam. Tangan Tina bergetar, dan ia menahan napas saat mendapati potongan rambut itu sangat mirip dengan milik putrinya."Astaga," Tina berbisik dalam hati. "Itu pasti rambutnya Alya?"Ia menggigit bibir, berusaha untuk tetap tenang. Kakinya terasa seperti tertancap ke lantai, sulit untuk digerakkan. Pandangannya bergantian antara Nayu yang tampak khusyuk melafalkan sesuatu dan benda-benda di depannya.Nayu tampak memejamkan mata, sesekali tangannya mengangkat mangkuk logam di hadapannya, kemudian meletakkannya kembali dengan gerakan

DMCA.com Protection Status