Share

Kutukan Wasiat Kakek
Kutukan Wasiat Kakek
Author: Els Arrow

Kotak Kayu Tua

Malam itu, suasana di rumah kakek Suroto masih diselimuti kesedihan. Hujan turun perlahan, dan suara tetesan air yang mengalir dari atap terasa semakin mencekam di tengah keheningan.

Alya, gadis cantik pemilik rambut panjang nan legam itu berdiri di depan pintu kamar sang kakek, matanya berkaca-kaca.

“Kakek, kenapa kau pergi begitu cepat?” gumamnya, terisak pelan.

Kamar itu terasa sepi dan dingin, menimbulkan rasa rindu yang menggelora di dalam hati Alya.

Ia melangkah masuk, menyusuri ruangan yang kini sepi. Perabotan lama masih teratur, seolah kakek Suroto baru saja pergi keluar sebentar.

Alya mengingat betapa hangatnya pelukan kakeknya saat mereka bercerita tentang masa lalu. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan.

Dengan hati-hati, Alya membuka lemari untuk mencari selimut baru, aroma obat dan embun malam mengisi udara. Selimut tua yang biasa digunakan untuk menutupi tubuh kakeknya masih basah oleh air bekas pemandian jenazah.

“Aku harus menemukan yang bersih,” gumamnya, berusaha mengusir rasa gelisah yang mulai menggelayut di hatinya.

Tiba-tiba, saat ia meraih tumpukan selimut di atas lemari, tangannya menyenggol sebuah kotak kayu kecil yang tersimpan di sudut. Kotak itu jatuh, mengeluarkan bunyi bergetar saat menyentuh lantai kayu.

Alya terkejut, menatap kotak itu dengan bingung.

“Eh? Apa ini?” pikirnya. Kotak tersebut terbuat dari kayu tua, dihiasi dengan ukiran-ukiran kuno yang tak dikenalnya.

Setiap ukiran tampak hidup, seolah menceritakan kisah tersembunyi. Alya menunduk, mencoba melihat lebih dekat, dan rasa penasaran menghampirinya.

“Apa ini punya kakek?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik.

Pikirannya berkelana, membayangkan apa yang mungkin ada di dalam kotak itu.

"Apakah ini milik kakek? Atau mungkin benda pusaka yang dijaga turun-temurun?" batinnya gelisah.

Tanpa sadar, ia menggigit bibir bawahnya, menahan ketegangan yang merayap di dalam diri. Jantungnya berdebar kencang. "Ah, ini hanya kotak kayu biasa," batinnya lagi , berusaha menenangkan.

Namun, hatinya tak sepenuhnya yakin.

Ia menarik napas dalam-dalam, meskipun hatinya mulai bergetar, tangannya perlahan-lahan membuka tutup kotak. Suara gesekan kayu yang bergetar memecah kesunyian malam. Begitu tutup kotak terangkat, bayangan dari dalamnya seakan melompati cahaya bulan yang menerobos jendela.

Alya terperangah kaget.

Di dalam kotak itu, terdapat serangkaian kertas kuno yang dilipat rapi. Namun, di bawahnya, ada sesuatu yang lebih mengejutkan. Sebuah gelang perak tua, berkilau samar meskipun diselimuti debu.

Alya mengulurkan tangan, merasakan dingin saat jarinya menyentuh gelang itu.

“Ini … milik kakek atau nenek? Kenapa aku baru tahu kakek menyimpan semua ini? Apa ibu dan ayah juga tahu? Selama ini ... kakek nggak pernah cerita apa-apa."

Satu per satu, Alya mengeluarkan kertas-kertas tersebut, merasakan aura mistis yang menyelimuti setiap inci tubuhnya. Namun, saat ia membuka lipatan pertama, angin berembus masuk melalui celah jendela, seolah menyampaikan pesan dari dunia lain.

“Jangan!” teriak suara dari sudut gelap, membuat Alya terlonjak.

Ia menoleh cepat, mencari sumber suara, tapi tidak ada siapa-siapa di dalam kamar itu. Jantungnya berdegup kencang, dan rasa gelisah melanda.

“Siapa itu?!" Suaranya kini dipenuhi ketakutan.

Namun, hanya keheningan yang menjawabnya. Alya kembali melihat ke dalam kotak, merasakan ketidakpastian menggelayut di hatinya.

Apakah ia harus melanjutkan membuka kertas-kertas itu? Suasana malam semakin mencekam, seolah menanti keputusan yang akan diambilnya.

Tubuhnya mematung di tengah kamar yang dingin, gemetar hebat. Ia menggenggam kertas tua itu, merasakan permukaannya yang kasar dan rapuh, seolah menyimpan cerita kelam dari masa lalu.

Alya menelan ludah, merasakan bulu kuduknya meremang saat jemarinya mengusap permukaan kertas kuno itu. Dengan napas tertahan, ia membuka lipatan pertama. Tulisan tangan di atas kertas itu tampak pudar dan buram.

[Untuk siapapun yang menemukan surat ini, kutukan keluarga kita bukanlah mitos. Setiap tahun, darah harus dipersembahkan, atau arwah-arwah akan bangkit dari alamnya. Mereka akan datang. Menuntut apa yang terlewatkan.]

Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Udara di kamar semakin dingin, terasa pengap, seolah ada sesuatu yang diam-diam menyaksikan setiap gerakannya.

Keringat dingin mulai membasahi dahinya, tapi ia tak bisa berhenti. Ia harus tahu kebenarannya.

Seketika, suara gemerisik terdengar dari arah lemari. Alya memandang ke sana dengan napas tertahan, tapi tak ada apa-apa. Hanya lemari tua kakeknya yang tampak berdiri diam dalam bayangan gelap.

“Ah, hanya suara angin,” gumamnya lirih, mencoba meyakinkan diri.

Namun, tiba-tiba terdengar langkah pelan dari luar pintu kamar, berderap lambat tapi pasti, mendekati kamar yang ia tempati.

Alya membeku, napasnya tersengal. Ia tahu anggota keluarga yang lain sudah tidur sejak tadi. Sekarang, hanya ada dirinya yang masih terjaga.

Langkah kaki itu semakin mendekat. Suaranya berat dan menyeret, seolah-olah seseorang berjalan dengan susah payah.

Alya menggigit bibirnya, menahan suara agar tak terdengar. Dalam hatinya ia berdoa, berharap langkah itu segera berlalu.

Namun, langkah itu berhenti tepat di depan pintu kamar.

Alya menutup mulutnya, mengerjap-ngerjapkan matanya yang mulai dipenuhi air mata ketakutan. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak keras, seakan memukul-mukul dadanya yang kian menambah sesak.

Tiba-tiba, terdengar suara mengetuk pintu. Suara ketukan itu rendah dan berirama.

Tuk… tuk… tuk…

Alya mencengkeram kertas di tangannya lebih erat, hampir merobeknya. Kepalanya berputar, rasa penasaran yang meluap-luap memenuhi benaknya. Namun, ia enggan untuk membuka pintu, berpikir kalau itu keluarganya pasti akan memanggilnya.

Ketukan itu berhenti, keheningan kembali memenuhi kamar. Bahkan, udara terasa semakin dingin, menusuk tulang, membuat Alya merasa terperangkap dalam kamar luas ini.

Seketika, ia menyadari bahwa kamar itu tampak terasa berbeda. Hawa dinginnya ... terasa lebih menusuk dari beberapa detik lalu.

Dari sudut matanya, ia melihat bayangan mengintip di balik jendela. Jendelanya berada di lantai dua, tak mungkin ada siapa pun di sana. Bayangan itu diam di tempatnya, hanya tampak sebagai siluet gelap yang membeku, mengawasi.

Alya menutup matanya sejenak, berharap semua ini hanyalah ilusi. Namun, ketika ia membuka mata, bayangan itu telah berpindah, kini lebih dekat, hampir tepat di depannya, seolah melangkah tanpa suara di lantai kayu tua.

Bayangan itu berbisik, suara yang rendah dan mematikan. “Kau harus pergi … atau kami akan datang!”

Suara itu menggema di kepalanya, membuatnya terhuyung ke belakang, merasakan tubuhnya melemah. Dengan tangan gemetar, ia menunduk menatap kertas di tangannya, seakan mencari jawaban di antara kata-kata itu.

Namun sebelum ia sempat melanjutkan membaca, suara langkah berat kembali terdengar dari luar pintu, semakin dekat. Kali ini, pintu kamar berderak perlahan, membuka sedikit demi sedikit dengan bunyi nyaring yang menggema ke seluruh kamar.

Dan di balik celah pintu yang semakin terbuka, Alya melihat sesosok bayangan berwajah pucat dengan mata kosong, menatapnya tajam, senyum tipis yang mencekam seolah membekukan darahnya.

Suaranya kembali terdengar, kini lebih jelas, penuh ancaman. “Kau milik kami, Alya .…”

"Aaargh ...!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status