Malam itu, suasana di rumah kakek Suroto masih diselimuti kesedihan. Hujan turun perlahan, dan suara tetesan air yang mengalir dari atap terasa semakin mencekam di tengah keheningan.
Alya, gadis cantik pemilik rambut panjang nan legam itu berdiri di depan pintu kamar sang kakek, matanya berkaca-kaca. “Kakek, kenapa kau pergi begitu cepat?” gumamnya, terisak pelan. Kamar itu terasa sepi dan dingin, menimbulkan rasa rindu yang menggelora di dalam hati Alya. Ia melangkah masuk, menyusuri ruangan yang kini sepi. Perabotan lama masih teratur, seolah kakek Suroto baru saja pergi keluar sebentar. Alya mengingat betapa hangatnya pelukan kakeknya saat mereka bercerita tentang masa lalu. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Dengan hati-hati, Alya membuka lemari untuk mencari selimut baru, aroma obat dan embun malam mengisi udara. Selimut tua yang biasa digunakan untuk menutupi tubuh kakeknya masih basah oleh air bekas pemandian jenazah. “Aku harus menemukan yang bersih,” gumamnya, berusaha mengusir rasa gelisah yang mulai menggelayut di hatinya. Tiba-tiba, saat ia meraih tumpukan selimut di atas lemari, tangannya menyenggol sebuah kotak kayu kecil yang tersimpan di sudut. Kotak itu jatuh, mengeluarkan bunyi bergetar saat menyentuh lantai kayu. Alya terkejut, menatap kotak itu dengan bingung. “Eh? Apa ini?” pikirnya. Kotak tersebut terbuat dari kayu tua, dihiasi dengan ukiran-ukiran kuno yang tak dikenalnya. Setiap ukiran tampak hidup, seolah menceritakan kisah tersembunyi. Alya menunduk, mencoba melihat lebih dekat, dan rasa penasaran menghampirinya. “Apa ini punya kakek?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik. Pikirannya berkelana, membayangkan apa yang mungkin ada di dalam kotak itu. "Apakah ini milik kakek? Atau mungkin benda pusaka yang dijaga turun-temurun?" batinnya gelisah. Tanpa sadar, ia menggigit bibir bawahnya, menahan ketegangan yang merayap di dalam diri. Jantungnya berdebar kencang. "Ah, ini hanya kotak kayu biasa," batinnya lagi , berusaha menenangkan. Namun, hatinya tak sepenuhnya yakin. Ia menarik napas dalam-dalam, meskipun hatinya mulai bergetar, tangannya perlahan-lahan membuka tutup kotak. Suara gesekan kayu yang bergetar memecah kesunyian malam. Begitu tutup kotak terangkat, bayangan dari dalamnya seakan melompati cahaya bulan yang menerobos jendela. Alya terperangah kaget. Di dalam kotak itu, terdapat serangkaian kertas kuno yang dilipat rapi. Namun, di bawahnya, ada sesuatu yang lebih mengejutkan. Sebuah gelang perak tua, berkilau samar meskipun diselimuti debu. Alya mengulurkan tangan, merasakan dingin saat jarinya menyentuh gelang itu. “Ini … milik kakek atau nenek? Kenapa aku baru tahu kakek menyimpan semua ini? Apa ibu dan ayah juga tahu? Selama ini ... kakek nggak pernah cerita apa-apa." Satu per satu, Alya mengeluarkan kertas-kertas tersebut, merasakan aura mistis yang menyelimuti setiap inci tubuhnya. Namun, saat ia membuka lipatan pertama, angin berembus masuk melalui celah jendela, seolah menyampaikan pesan dari dunia lain. “Jangan!” teriak suara dari sudut gelap, membuat Alya terlonjak. Ia menoleh cepat, mencari sumber suara, tapi tidak ada siapa-siapa di dalam kamar itu. Jantungnya berdegup kencang, dan rasa gelisah melanda. “Siapa itu?!" Suaranya kini dipenuhi ketakutan. Namun, hanya keheningan yang menjawabnya. Alya kembali melihat ke dalam kotak, merasakan ketidakpastian menggelayut di hatinya. Apakah ia harus melanjutkan membuka kertas-kertas itu? Suasana malam semakin mencekam, seolah menanti keputusan yang akan diambilnya. Tubuhnya mematung di tengah kamar yang dingin, gemetar hebat. Ia menggenggam kertas tua itu, merasakan permukaannya yang kasar dan rapuh, seolah menyimpan cerita kelam dari masa lalu. Alya menelan ludah, merasakan bulu kuduknya meremang saat jemarinya mengusap permukaan kertas kuno itu. Dengan napas tertahan, ia membuka lipatan pertama. Tulisan tangan di atas kertas itu tampak pudar dan buram. [Untuk siapapun yang menemukan surat ini, kutukan keluarga kita bukanlah mitos. Setiap tahun, darah harus dipersembahkan, atau arwah-arwah akan bangkit dari alamnya. Mereka akan datang. Menuntut apa yang terlewatkan.] Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Udara di kamar semakin dingin, terasa pengap, seolah ada sesuatu yang diam-diam menyaksikan setiap gerakannya. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, tapi ia tak bisa berhenti. Ia harus tahu kebenarannya. Seketika, suara gemerisik terdengar dari arah lemari. Alya memandang ke sana dengan napas tertahan, tapi tak ada apa-apa. Hanya lemari tua kakeknya yang tampak berdiri diam dalam bayangan gelap. “Ah, hanya suara angin,” gumamnya lirih, mencoba meyakinkan diri. Namun, tiba-tiba terdengar langkah pelan dari luar pintu kamar, berderap lambat tapi pasti, mendekati kamar yang ia tempati. Alya membeku, napasnya tersengal. Ia tahu anggota keluarga yang lain sudah tidur sejak tadi. Sekarang, hanya ada dirinya yang masih terjaga. Langkah kaki itu semakin mendekat. Suaranya berat dan menyeret, seolah-olah seseorang berjalan dengan susah payah. Alya menggigit bibirnya, menahan suara agar tak terdengar. Dalam hatinya ia berdoa, berharap langkah itu segera berlalu. Namun, langkah itu berhenti tepat di depan pintu kamar. Alya menutup mulutnya, mengerjap-ngerjapkan matanya yang mulai dipenuhi air mata ketakutan. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak keras, seakan memukul-mukul dadanya yang kian menambah sesak. Tiba-tiba, terdengar suara mengetuk pintu. Suara ketukan itu rendah dan berirama. Tuk… tuk… tuk… Alya mencengkeram kertas di tangannya lebih erat, hampir merobeknya. Kepalanya berputar, rasa penasaran yang meluap-luap memenuhi benaknya. Namun, ia enggan untuk membuka pintu, berpikir kalau itu keluarganya pasti akan memanggilnya. Ketukan itu berhenti, keheningan kembali memenuhi kamar. Bahkan, udara terasa semakin dingin, menusuk tulang, membuat Alya merasa terperangkap dalam kamar luas ini. Seketika, ia menyadari bahwa kamar itu tampak terasa berbeda. Hawa dinginnya ... terasa lebih menusuk dari beberapa detik lalu. Dari sudut matanya, ia melihat bayangan mengintip di balik jendela. Jendelanya berada di lantai dua, tak mungkin ada siapa pun di sana. Bayangan itu diam di tempatnya, hanya tampak sebagai siluet gelap yang membeku, mengawasi. Alya menutup matanya sejenak, berharap semua ini hanyalah ilusi. Namun, ketika ia membuka mata, bayangan itu telah berpindah, kini lebih dekat, hampir tepat di depannya, seolah melangkah tanpa suara di lantai kayu tua. Bayangan itu berbisik, suara yang rendah dan mematikan. “Kau harus pergi … atau kami akan datang!” Suara itu menggema di kepalanya, membuatnya terhuyung ke belakang, merasakan tubuhnya melemah. Dengan tangan gemetar, ia menunduk menatap kertas di tangannya, seakan mencari jawaban di antara kata-kata itu. Namun sebelum ia sempat melanjutkan membaca, suara langkah berat kembali terdengar dari luar pintu, semakin dekat. Kali ini, pintu kamar berderak perlahan, membuka sedikit demi sedikit dengan bunyi nyaring yang menggema ke seluruh kamar. Dan di balik celah pintu yang semakin terbuka, Alya melihat sesosok bayangan berwajah pucat dengan mata kosong, menatapnya tajam, senyum tipis yang mencekam seolah membekukan darahnya. Suaranya kembali terdengar, kini lebih jelas, penuh ancaman. “Kau milik kami, Alya .…” "Aaargh ...!""Alya! Apa yang terjadi? Kenapa kamu teriak-teriak tengah malam begini?" tanya sang ibu sambil menghampiri putrinya dengan tatapan panik. Alya menoleh cepat, matanya mencari-cari ke sekeliling ruangan, berharap menemukan jejak bayangan yang tadi membuatnya ketakutan. Namun, kamar itu kini kembali tenang dan kosong, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. “Enggak, Bu. Tadi … sepertinya aku cuma capek,” katanya, berusaha terdengar meyakinkan, meski masih merasa napasnya belum sepenuhnya stabil. Melihat Alya celingak-celinguk, Tina semakin penasaran. "Capek sampai teriak begitu? Alya, ada apa sebenarnya? Kamu kenapa, Nak?” Alya menghela napas dan mencoba mengalihkan perhatian ibunya. "Aku … kaget, Bu. Tiba-tiba lihat kotak kayu tua peninggalan kakek di lemari. Enggak tahu kenapa kotak itu jatuh sendiri.” Mata Tina mengamati Alya, lalu dia menghela napas kasar. Ia tak terlalu peduli dengan kotak penemuan putrinya, mengira memang benda biasa peninggalan ayahnya. "Alya, malam su
Setelah pemakaman Anto, seluruh keluarga kembali ke rumah besar Kakek Suroto. Rumah itu kini terasa semakin kelam, seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Hunian tua berlantai tiga itu dihuni oleh tiga keluarga, Paman Suhadi yang tinggal di lantai pertama, Tina di lantai dua, dan Bibi Nayu di lantai paling atas. Langit mulai gelap, senja menyiratkan cahaya oranye dari arah barat. Alya berjalan di lorong, hendak menuju dapur untuk mengambil air minum, tanpa sengaja melihat sosok ibunya yang tampak sibuk meletakkan lilin-lilin kecil dan bunga melati di beberapa sudut rumah. “Bu, lagi ngapain, sih?” Alya melangkah mendekat dengan wajah penuh tanda tanya. Tina menoleh, sedikit terkejut mendengar suara putrinya. Ia tersenyum kecil, tetapi raut wajahnya tampak tegang. “Ini, cuma … menghormati leluhur kita, Nak. Bunga dan lilin ini sebagai bentuk perlindungan." Alya mengerutkan dahi, merasa ada yang janggal. “Loh, tapi kita 'kan sudah mendoakan mereka. Untuk apa repot-repot
Alya terbangun di tengah malam, tubuhnya basah oleh keringat. Kipas angin berputar pelan di sudut kamar, tapi udara terasa pengap, menyesakkan dada. Matanya melirik jam di meja, hampir pukul tiga dini hari. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Dalam heningnya malam, tiba-tiba ia mendengar suara lirih memanggil namanya, "Alya … Alya ....” Suara itu terdengar halus, hampir seperti bisikan. Namun, entah kenapa terdengar familiar. Ia terdiam sejenak, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasinya. Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih jelas, suara itu mirip dengan suara Bibi Nayu. “Tapi untuk apa bibi memanggil malam-malam begini?” pikir Alya sambil menggigit bibirnya, ragu. Suami sang bibi sedang bertugas di luar kota, dan anaknya juga sedang kuliah dan tak bisa pulang. Ia pasti sendirian di lantai tiga. Mengingat itu, rasa khawatir perlahan mengalahkan keraguannya. Alya bangkit dari tempat tidur, mengabaikan peringatan ibunya sore tadi. Ia me
"Ini tanda dari leluhur, Nak. Tolong mengertilah ...." Alya mendesah panjang setelah mendengar perkataan ibunya, semua itu terasa seperti takhayul belaka baginya. Dengan nada menahan kesal, ia berkata, “Bu, kita ini hidup di zaman modern! Mana mungkin leluhur-leluhur itu masih bisa mengganggu kehidupan kita?” Ibunya berusaha menahan Alya, tapi ia melepaskan diri dan berjalan kembali ke kamarnya tanpa memedulikan teriakan ibunya yang meminta agar ia berhenti. Setibanya di kamar, Alya menyambar handuk dan perlengkapan mandi, berniat mandi di kamar mandi yang ada di kamar almarhum Kakek Suroto. Kamar mandi di sana lebih jarang digunakan, sehingga ia berharap akan lebih tenang. Suasana kamar almarhum kakeknya terasa sunyi, lebih dingin dari biasanya, seolah ada hawa asing yang mengintip dari sudut-sudut ruangan. Ia menutup pintu kamar mandi dengan sedikit perasaan tak nyaman, tapi ia mengabaikannya. Setelah menghidupkan shower, ia memejamkan mata, membiarkan air hangat menggu