"Nana!" teriak Monica keras memanggil asisten rumah tangga, namun tak ada jawaban sama sekali.Langkahnya terburu-buru menuju ke kamar juga tak menemukan di sana. Bola matanya melebar memandang di atas ranjang. Sebuah selimut besar menutupi sesuatu yang dikira tubuh anak kecil telah diculik dua hari ini. Dihempaskan selimut itu dan terbukalah kebohongan besar di pelupuk mata.Dasar pembantu tidak tahu diri! Makinya kencang melempar semua bantal ke lantai.Martin dan Bernie tertidur lelap di lantai teras sesaat ia tiba. Mereka tak bisa dibangunkan seakan diberi obat tidur yang sangat banyak mematikan kesadaran untuk menjaga rumah dan mengawasi putra Amirah.Lalu Monica menuju ke lemari obat dan kemasan baru disimpan demi menyembuhkan sakit insomnia diderita dirinya sejak putus cinta dari CEO Kaivan. Luka trauma lima tahun lalu membuatnya tidak bisa tidur tenang.Bajingan itu harus merasakan apa yang dirasakan saat darah mengalir deras akibat keguguran hampir saja ia kehilangan nyawa ka
Kondisi Bagaskara mulai stabil. Panas tubuh mulai berangsur hilang namun Amirah tak melepaskan sekalipun pandangan darinya. Di sebuah kamar dulu pernah ditempati putranya kini menginap ke rumah besar ini lagi.Ditepiskan perasaan tak nyaman demi balita yang tertidur pulas di pelukan. Maafkan Mama sayang, sungguh aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu! Lirihnya pelan atas dosa dan salah sebagai Ibu yang tak termaafkan.Melani muncul di depan pintu, "Ra, pergilah ke bawah untuk makan malam biar aku yang menggantikanmu."Amirah menggeleng, "Kamu saja yang makan, aku tidak lapar.""Makanlah 'Ra, di sana ada suamiku, Aabid dan Kaivan," tegur Melani. "Kamu 'ga perlu sendirian menghadapi mantan suamimu, mereka pasti melindungimu!""Aku 'ga pa-pa kok," dusta Amirah agar sahabatnya tenang. "Kami akan pulang secepatnya setelah Bagaskara sembuh dan kau juga butuh istirahat kasihan bawa perut besar begitu."Senyum Melani mengembang sambil mengusap-usap kandungannya. Hidupnya lebih sempurna sepert
Kaivan mengusap kening Bagaskara lalu mengecup lembut bagaikan putranya sendiri. Kebahagiaan begitu indah akhirnya bocah berusia lima tahun ditemukan baik-baik saja. Di sepanjang perjalanan pulang tertidur pulas dipelukan ibunya merasakan kehangatan dan kenyamanan luar biasa. Saat tiba di rumah warisan Eyang Bisma Nareswara diambil alih Kaivan menggendong sampai ke kamar tidur lalu menyelimutinya. Sambil beranjak keluar kamar dia pun bertanya ke Amirah yang mengikuti di belakang. "Kenapa 'sih kamu ga tinggal di rumahku saja supaya lebih aman daripada di sini?" "Ga-lah Mas, kita 'kan belum suami istri nanti menimbulkan banyak fitnah sebelum hari pernikahan tiba," elak Amirah. "Aku memilih di rumah menemani Bagas biar traumanya hilang dulu." "Iya sayang, 'ga usah kerja tapi aku sering datang menengok, bila perlu ku kirim orang menjaga rumah ini," ucap Kaivan sambil merangkul bahu calon istri. "Ra, apa sebaiknya malam ini aku yang menemani kamu, tidur di sofa 'ga masalah yang penting
Terkejutlah Kaivan ketika mendatangi rumah tunangannya sepi tak ada kehidupan. Masih pukul tujuh pagi ia berkunjung ingin mengajak sarapan bersama tetapi sia-sia. Dimanakah kau, Amirah?! Hatinya bertanya-tanya.Bel rumah ditekan berkali-kali barulah keluar asisten rumah tangga tergopoh-gopoh menemui. "Oh, maafkan Tuan, saya sedang membereskan kamar Nyonya," seloroh Bi Minah membukakan pintu gerbang.Dahi Kaivan langsung mengernyit. "Memang Amirah kemana kok tidak menjumpaiku sekarang?"Raut wajah Bi Minah tertunduk ketakutan, lalu berterus terang, "Nyonya pergi bersama Bagaskara menuju ke bandara sejak subuh tadi mengejar penerbangan pertama katanya, dan menitipkan sebuah surat untuk Tuan.""Surat?" guman Kaivan bingung, untuk apa bersurat-suratan jika tunangannya bisa menelepon langsung atau mengirim pesan melalui gawai. Aneh!"Sebentar Tuan, saya ambil dulu suratnya," seru Bi Minah bergegas mengambil ke dalam rumah membiarkan tamu berdiri tegak di luar gerbang. Ia juga tidak tahu me
Setengah jam berlalu akhirnya tiba di kediaman Alex. Untung kedua sahabat Amirah sedang sarapan belum berangkat ke kantor. "Hai 'bro, sorry ganggu!" sapa Kaivan terburu-buru setelah dibukakan pintu. "Aku mau tanya, apa tunanganku berada di sini?"Alex mengerutkan dahi sambil menyilakan koleganya duduk di sofa. "Masuklah dulu, 'Van, kita sarapan dulu bareng dengan istriku sebelum mengobrol.""Sorry, aku tergesa-gesa hanya sekedar ingin tahu Amirah mengunjungi kalian pagi ini atau tidak?!" desaknya."Tidak, mungkin masih kelelahan beristirahat di rumahnya 'kan kasus Bagas baru selesai kemarin," sahut Alex menganggap biasa walau temperamen tunangan sahabatnya begitu aneh dan berbeda."Lex, kau percaya Amirah dan Bagas menghilang sejak subuh tadi?""Ngaco kau, 'Van!""Cek gawainya segera jika aku bohong!"Sontak Alex memanggil Melani yang masih sarapan di meja makan agar bertemu Kaivan. "Sayang, coba bawa gawaimu dan menghubungi Amirah sekarang!"Istrinya bangkit memegang perutnya yang ma
Kekecewaan Alagar Hakim tidak dapat disembunyikan lagi. Semalam Amirah menolak mentah-mentah agar menginap di rumahnya walau dengan alasan putra mereka sekalipun. Kesempatannya sudah habis. Mantan istri begitu trauma atas perlakuan di masa lalu. Di kantor, konsentrasi bekerja hilang sudah. Bagaskara sudah ditemukan tapi tak pernah kembali ke pelukan. Sungguh menyedihkan menjadi duda tampan kaya raya namun bukan seorang ayah yang baik bagi putranya sendiri. Disulut sebatang rokok lalu menghembuskan asap putih sekenanya kembali merenungi nasib. Wajah dingin menatap keluar jendela sementara pikiran mengawang-awang tidak tahu arah merasa selamanya harus hidup begini tanpa kekasih atau anak dan istri. Alagar Hakim dikenal sebagai pria penuh banyak masalah sampai adik dan orang tua enggan berdekatan lagi kecuali acara keluarga besar yang kadang kala lebih dianggap tidak ada. Sampai kapan bisa berubah jika tak dimulai dari dirinya sendiri?! Keluhnya berkali-kali. Ketukan pelan terdengar
Amirah berdiri tegak di pesisir pantai diapit dua semenanjung, yaitu tanjung Kelayang dan tanjung Pendam. Di antara batu-batu granit besar menambah eksotik pemandangan yang jarang ditemui pulau lain. Sementara Bagaskara asyik berlarian di pasir putih menyentuh air laut menyipaknya berulang-ulang."Mama!" serunya riang. "Mengapa Papa Kaivan dan Om Aabid tak ikut ke sini?!"Papa Kaivan. Amirah tertegun putranya memanggil calon suami tak akan pernah dinikahi. Mantan kekasih pria itu beringas mengancam membatalkan pernikahan mereka. Dengan sangat terpaksa menuruti permintaannya demi menyelamatkan nyawa Bagaskara."Mereka sedang bekerja, sayang," kilahnya halus. "Nanti liburan mendatang kita ajak kemari."Tangan kecil Bagas tetap tak mau diam. Kali ini membangun istana pasir dengan peralatan mainan yang baru dibeli saat tiba di pulau Belitung. Sengaja Amirah memilih tempat wisata jauh dari ibukota, bukan ke Yogya mengunjungi kerabat ibunya atau ke pulau Bali di mana Kaivan lebih mudah menc
"Gimana 'Ran, kamu sudah berhasil menghubungi Amirah?" desak Kaivan tak sabar.Suara adiknya tercekat menyampaikan hasil perbincangan dengan calon istrinya. Perjalanan menuju ke negeri tetangga terasa lama. Urusan antara mantan kekasih dituntaskan sebelum mengejar Amirah dan Bagaskara. Jalang Monica terus mengincar mereka jika tak mampu disingkirkan secepatnya."Maafkan aku, Mas Ivan," sesal Khirani dalam-dalam. "Mba Amirah kekeuh membatalkan pernikahan kalian.""Sial!" dengus Kaivan marah. "Kamu tahu posisi mereka berada di mana sekarang?""Ga Mas, kami cuma bicara sebentar, kedengaran seperti suara deburan ombak dan angin 'sih," duga Khirani. "Apa mereka sedang berlibur ke Bali 'kan Mas Ivan tinggal menyusul saja ke sana?!"Andai semudah itu.Kaivan yakin Amirah melarikan diri sejauh-jauhnya tanpa ingin ditemui sama sekali. Tiada kesempatan untuk menjelaskan maupun meminta maaf atas kesalahan yang bukan diperbuat dirinya. Nasi telah menjadi bubur. Mahligai cinta dan pernikahan baru