‘’Sayang, aku berangkat dulu ke kantor ya.’’ Mas Deno mengambil tas hitamnya, lalu melangkah ke pintu depan dengan langkah terburu-buru.
Seperti biasa, aku mengantarnya hingga ke teras. Aku meraih tangannya, lalu mengecup lembut punggung tangannya— sebuah tanda hormat yang sering aku lakukan. Senyum simpul menghiasi wajahku, meski di dalam hatiku hancur berkeping-keping. Aku harus tetap bersikap biasa. Ini semua demi rencana besar yang sudah kususun. Aku mencoba menenangkan pikiran yang bergolak. ‘’Hati-hati, Mas,’’ ucapku kemudian menatapnya yang kini telah memasuki mobil. Dia membalas dengan senyuman, senyuman yang dulu begitu aku rindukan. Kini, senyuman itu hanya menambah luka di hatiku. Sejak aku tahu tentang perselingkuhannya, semua yang kulihat dari dirinya hanyalah palsu semata. ‘’Begitu pandainya kamu menutupi kebusukanmu selama ini, Mas. Berpura-pura setia ternyata kamu selama ini!’’ gumamku getir, sambil memandang mobil yang semakin jauh. Mas Deno membunyikan klakson, seperti biasa. Kaca mobilnya sedikit terbuka, memperlihatkan senyum terakhirnya sebelum mobil itu lenyap dari pandanganku. Cuih! Sandiwaramu sungguh luar biasa patut kuacungi jempol kaki. Aku terpaksa tersenyum dan melambaikan tangan, seolah tak ada yang berubah. Setelah mobilnya benar-benar hilang dari pandangan, aku menghela napas panjang. Akhirnya, aku bisa mengembalikan perasaan asliku—Perasaan yang penuh dengan rasa sakit dan kecewa. Setelah mengunci pagar, aku kembali memasuki rumah. Putriku Naisya, masih terlelap di kamar. Tapi, saat aku masuk, kudapati dia sudah terbangun, mengusap matanya yang masih mengantuk. ‘’Duhh! Anak Mama ternyata udah bangun ya, Sayang?’’ Aku tersenyum, duduk di sampingnya dan mengusap rambutnya yang lembut. ‘’Mama.’’ ‘’Iya, Sayang. Adik mandi dulu ya? Setelah itu baru kita sarapan.’’ ‘’Papa, Ma?’’ tanya Naisya dengan suara manja, matanya menatapku penuh harap. ‘’Papa Adik kerja untuk kita,’’ jawabku, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Bagaimana jika Mas Deno benar-benar pergi meninggalkan kami untuk selingkuhannya? Bagaimana nasip putriku yang begitu dekat dengan papanya? ‘’Kok nggak pamit dulu sama Adik?’’ tanya Naisya dengan logat lucu khas anak kecil, membuat hatiku semakin tersayat. ‘’Adik tidur, Nak. Jadi Papa kasihan membangunkan Adik,’’ sahutku, berusaha terdengar tenang. Kupandangi wajah mungilnya seperti ada kekecewaan di sana. Apa memang benar Mas Deno sebelum pergi kerja tak mengecup kening Naisya seperti biasa. Apa dia terlalu tergesa-gesa untuk bertemu dengan wanita murahan itu? ‘’Aku harus melakukan sesuatu,’’ gumamku. *** ‘’Bibi!’’ panggilku saat aku ingin melangkah ke dapur. ‘’Ada apa, Bu?’’ Bibi Sum, asisten rumah tanggaku, tergopoh-gopoh menghampiriku. Aku menatapnya sejenak, menimbang-nimbang pertanyaan yang hendak aku ajukan.‘’Bi, Bibi pernah liat sesuatu yang mencurigakan ngga dari Bapak? Atau menelpon tengah malam gitu?’’ tanyaku to the point. Bibi Sum seperti sedang berpikir. ‘’Pernah, sih Bu. Tengah malam terdengar Bapak menelpon di dapur, Bibi kaget karena udah larut malam. Bibi kira siapa, eh tau-taunya Bapak.’’ Hatiku mencelocos mendengar jawaban itu. Apa wanita murahan itu yang dia hubungi tengah malam? ‘’Emang kenapa, Bu?’’ tanya Bibi Sum, bingung melihat raut wajahku. ‘’Oh, Enggak kok, Bi. Aku penasaran aja. Soalnya Bapak pernah nggak ada di kamar waktu itu, padahal udah malam banget. Aku pikir Bapak ke mana.’’ ‘’Eh, ternyata kata si Bapak malah menelpon di luar. Takut akunya keganggu kali ya, Bi?’’ kilahku, berpura-pura tenang, meski hati bergejolak saat ini. Bibi Sum menatapku, aku memalingkan muka dan berpura-pura sibuk merapikan baju Naisya. ‘’Syukurlah, Bu. Kalo ada apa-apa cerita aja sama Bibi ya? Jangan sungkan, Bu.’’ Bibi Sum tersenyum hangat. Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. ‘’Ya udah Bibi lanjut kerja dulu ya, Bu?’’ Bibi Sum menunduk. Setelah Bibi Sum pergi, aku beralih menatap Naisya yang masih asyik dengan boneka kesayangannya. ‘’Sayang, Adik laper kan?’’ Dia membalas dengan anggukan. Aku bergegas menggendong Naisya menuju ruang makan. Aku segera membuatkan susu botol untuknya. Sambil menyiapkan susu, pikiranku kembali melayang pada isi pesan wanita itu. Kata-katanya yang begitu menusuk, membuat air mataku tak mampu untuk ditahan lagi. Aku menghapusnya kasar dengan punggung tangan. ‘’Aku bodoh! Menangisi lelaki brengsek kayak dia! Air mataku terlalu berharga menangisi lelaki itu!’’ gumamku dengan getir. ‘’Ma,’’ panggil Naisya dengan suara lirih, membuatku tersentak dari lamunan. ‘’Eh, iya , Sayang. Nih susunya udah jadi,’’ jawabku cepat, memberikan botol susu padanya. Naisya segera meraihnya dengan tangan mungil dan mulai meneguknya. ‘’Mama harus kuat demi kamu, Nak,’’ bisikku pelan sambil menatap Naisya. ** Setelah meneguk susu botol, aku membawa Naisya ke kamar dan memberinya mainan. Sementara itu, aku mengambil ponselku dan menghubungi seseorang. Berdering. ‘’Wa’alaikumussalam, Fan. Kamu lagi sibuk nggak?’’ ‘’Eh, enggak kok, Nel. Tumben kamu nelpon aku.’’ Suara Fani di seberang sana terdengar ceria. ‘’Aku cuma takut ganggu kamu kerja.’’ ‘’Kamu mah, Nel. Aku nggak sesibuk itu juga kali. By the way, ada yang mau aku bantu?’’ ‘’Siapa tahu kan, Fan. Kamu kan kerja kantoran pasti sibuklah ya. Beda dengan aku, ya kan?’’ Aku tertawa kecil. Aku merasa ragu hendak bertanya, tapi akhirnya aku memberanikan diri. ‘’Fan, di kantor ada perempuan bernama Chika, nggak?’’ Mas Deno dan Fani bekerja di kantor yang sama. Siapa tahu Fani tahu dan kenal sama si pelakor itu. ‘’Chika? Oh, ada. Dia sekretarisnya Deno, suami kamu.’’ Jleb! Sekretarisnya? Aku sungguh terperanjat mendengar ucapan sahabatku. Terdengar lirih tetapi menusuk di hati. ‘’Emang kenapa, Nel?’’ ‘’Engga, aku cuma pengen kenalan aja sama dia. Kamu punya nomernya, kan?’’ Aku tetap berusaha tenang dan santai. ‘’Buat apa, Nel? Kamu cemburu sama dia? Dia cuma sekretaris Deno kok, nggak lebih.’’ Fani berusaha meyakinkanku, akan tetapi justru membuat hatiku makin panas. ‘’Kamu nggak akan tahu, Fan. Kalo nggak ada bukti perselingkuhannya, aku nggak akan kayak gini!’’ bisik hatiku. ‘’Sudahlah, Fan. Kasih aja nomornya sama aku. Aku Cuma pengen lebih dekat aja sama dia, apa salahnya?’’ ketusku kemudian. ‘’Jangan ngambek dong, Nel. Maksud aku tuh nanti kamu malah nuduh yang enggak-enggak ke Chika lagi.’’ ‘’Suamimu itu nyari nafkah untuk kamu dan anakmu loh. Jadi saranku jangan su’uzon ya sama Deno,’’ tambah Fani yang membuat dadaku semakin panas. Dia tak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi di rumah tanggaku. ‘’Kamu tahu kan gimana aku?’’ tanyaku ketus. Tanpa menanggapi ucapannya. ‘’Oke deh, aku kirimkan nanti ya? Ya udah, aku mau lanjut kerja dulu.’’ ‘’Sip! Jangan lupa ya? Lanjutkan kerja kamu, maaf aku menganggu, Fan. Assalamualaikum.’’ Aku langsung memutuskan sambungan sepihak. Aku tak habis pikir dengan perubahan sikap Fani padaku. Ponselku berdering. Ternyata pesan dari Fani. Aku tersenyum sinis memandangi layar ponsel. Nomor wanita itu sudah ada di tanganku. Aku langsung menyimpan nomor wanita itu dengan nama kontak P saja. Oke, aku akan menjalankan semua rencanaku dengan pelan-pelan. Kupandangi Naisya masih asyik bermain sambil mengemil kuenya yang masih tersisa. Aku meminta bantuan Bibi Sum untuk membeli kartu SIM demi menjalankan sebuah rencana besarku. Tak butuh waktu lama, Bibi sudah kembali. ‘’Ini, Bu. Oh ya, Bibi lupa nanyain berapa pulsanya. Bibi belikan aja deh semuanya,’’ ucapnya tersenyum yang tengah menyodorkan kartu. Aku tertawa kecil. ’’Nggak apa-apa kok, Bi. Makasih banyak ya,’’ ‘’Sama-sama, Bu. Kalo gitu Bibi lanjut kerja dulu.’’ Bibi Sum kembali melangkah. ‘’Tunggu, Bi!’’ Membuat dia menoleh,‘’Iya, Bu?’’ ‘’By the way, kartunya udah diaktifkan langsung kan?’’ ‘’Udah kok, Bu.’’ ‘’Ya udah, makasih sekali lagi ya, Bi.’’ Aku tersenyum lebar. Bibi Sum mengangguk dan kembali melanjutkan langkahnya. ‘’Rencanaku harus berjalan dengan mulus!’’ gumamku tersenyum sinis memandangi kedua kartu SIM di tanganku. Bersambung‘’Lah, kok nggak ada hpnya? Bukannya sudah kuletakkan lagi di sini?’’ gumamku pelan sambil meraba bawah lemari, mencari-cari ponsel asing yang ternyata sudah tak ada lagi. Aku menghela napas pelan, kembali duduk di tepi tempat tidur. ‘’Atau...Jangan-jangan Mas Deno mencurigaiku, trus dia yang ngambil hp itu? Ahh! Itu bukan urusanku, sekarang yang penting aku udah mendapatkan nomor si Pelakor itu!’’ bisikku, tersenyum sinis. Dengan cepat, aku mengganti kartu SIM yang baru, yang tadi dibelikan oleh Bibi Sum. Pandanganku sekilas menatap putriku yang masih asyik bermain. ‘’Oh iya, nomor si pelakor itu belum aku salin,’’ kataku pada diri sendiri kembali mengganti diri sendiri sambil kembali mengganti kartunya. Setelah beberapa saat, aku berhasil menyalin nomor wanita itu. Saatnya aku menjalankan rencana. ‘’Selamat siang, Mba! Maaf menganggu waktunya. Ini aku sepupunya Mas Deno. Ini Mba Chika, bukan?’’ tulisku cepat. Tak butuh waktu lama, dua centang biru langsung muncul—tanda bahwa pesa
‘’A—apa ya, Mas?’’ tanyaku, terbata. ‘’Kamu pernah dengerin nada dering hp nggak? Di lemari atau di mana gitu?’’ tanya Mas Deno sambil sibuk mengancingkan bajunya. ‘’Hp? Bukannya kamu ke kantor bawa hp?’’ jawabku sambil berpura-pura tidak tahu. Padahal, aku yakin yang dia maksud adalah ponsel yang aku temukan di bawah lemari beberapa hari nan lalu. Kutatap mukanya seperti tengah menyembunyikan sesuatu dariku. ‘’Rasain kamu, Mas! Kamu pikir bisa menyembunyikan sesuatu dariku? Terlambat, aku udah tau semuanya,’’ batinku sambil tersenyum sinis. ‘’I—iya, maksudku hp temen kantor. Dia nitipin ke aku.’’ Mas Deno terlihat canggung, bahkan menggaruk kepalanya yang jelas-jelas menurutku tak gatal. ‘’Ngaco deh kamu, Mas. Yang bener aja kali dia nitipin hpnya ke kamu. Atau.. Kamu yang bohong sama aku?’’ serangku, spontan. Dia tampak terkejut, matanya melebar. Rasakan kamu, Mas. ‘’Ka—kamu bilang apa sih, Sayang? Kalo kamu nggak percaya ayo kita telpon temenku itu. Eh, ke nomor istrinya maks
Aku tersenyum sinis menatap suamiku, dia masih asyik mematut diri di depan cermin dan sibuk merapikan rambutnya, tiba-tiba suara rengekan putriku terdengar. ‘’Ma,’’ rengek Naisya. Aku segera menghampirinya. ‘’Duh, Sayang udah bangun ya? Kita cuci muka dulu, yuk!’’ ucapku lembut sambil menggendongnya. ’’Biar Bibi Sum yang jagain Naisya. Kita kan mau makan. Mas udah laper nih,’’ katanya tanpa berpaling dari cermin. ‘’Naisya belum mandi, Mas. Masa disuruh Bibi yang jaga,’’ jawabku agak kesal, lalu melangkah. Namun, langkahku terhenti ketika dia berbicara lagi. ‘’Nel, itu kan tugas Bibi. Kenapa sih kamu? Aku Cuma minta temenin makan. Mana ada selera makan sendiri,’’ kata Mas Deno ketus. Aku tahu, berdebat dengannya hanya akan memperburuk suasana. Saat ini terpaksa aku mengalah dan berpura-pura tidak tahu soal perselingkuhannya. Karena aku punya rencana besar dan untuk saat ini, berpura-pura bodoh adalah pilihan yang tepat. ‘’Iya, iya, Mas. Maafkan aku deh. Aku titip Naisya ke Bibi d
‘’Nel, kamu harus jujur sama aku. Di mana sih kamu pesen makanan tadi sore?’’ tanya Mas Deno mukanya tampak memerah. Aku tak menggubris pertanyaannya karena saking asyik bermain bersama Naisya, putriku. ‘’Nel! Kok kamu nggak dengerin, Mas!’’ Seru Mas Deno, suaranya mulai terdengar kesal. Aku menoleh sejenak.‘’Apaan sih, Mas? Orang lagi sibuk main dengan Naisya juga!’’ sahutku ketus. Tanganku sibuk menyusun mainan Naisya agar terlihat menarik dipandangi oleh Naisya. ‘’Apa salahnya sih menjawab pertanyaan doang,’’ sungut lelaki yang masih berstatus sebagai suamiku itu.‘’Kamu aneh-aneh aja sih, Mas. Ya, di warung nasilah aku beli. Masa di toko emas,’’ sahutku seketika.‘’Iya. Di warung nasi, oke. Nama warungnya apa? Kamu sih, tinggal bilang aja kok repot amat,’’ rutuk Papa Naisya seperti kucing yang tengah terjepit, membuatku hampir saja tertawa lepas mendengar rutukannya. Tapi aku mencoba menahan tawa semampuku.‘’Bukan aku yang beli. Temenku itu yang mesan kemaren.’’ ‘’Hah? Apa?
Sayup-sayup terdengar bunyi mesin mobil di luar sana. Itu pasti Mas Deno. Kucoba mengusap mata yang terasa perih dan tak kunjung bisa dibuka. Mataku tertuju ke benda yang melingkar di dinding. Sontak membuatku terperanjat kaget.‘’Pukul 01.00? Ya Allah! Apa aku salah lihat kali, ya?’’ Aku terus saja mengusap bola mataku tak henti-hentinya. Tetapi tetap saja angka 01.00 yang terlihat olehku. ‘’Allah! Ternyata udah larut malam. Aku tertidur setelah curhat ke Bibi, saking lelahnya pikiranku ini,’’ gumamku dalam hati.Langkah kaki terdengar lirih olehku menuju kamar. Aku yakin itu adalah si lelaki pengkhianat. Aku bergegas berpura-pura tertidur lelap dan membelakangi punggungku ke arah pintu. Kupasang pendengaranku dengan sebaik mungkin. Langkah kakinya semakin terdengar dekat dan pintu pun sedikit berderit. Hidungku seakan-akan mencium seperti bau minyak wangi seorang wanita. Ya Allah! Apa itu minyak wangi si pelakor yang lengket baunya di pakaian suamiku? Hatiku sungguh terasa ditusuk
Sepertinya Mas Deno masih kecewa padaku, tampak dari raut wajahnya. Ya, pasti dia kecewa karena aku menolak untuk hamil lagi. Lelaki seperi Mas Deno cukup satu anak saja. Dan aku tak kan mau untuk hamil lagi, sekali pun dia memaksaku. Aku menatapnya dengan tersenyum tipis sedari tadi melihatnya mengaduk-aduk nasi di piringnya itu hanya sesekali disuap oleh Mas Deno, entah apa yang tengah terpikirkan di benaknya itu.‘’Lah, Mas kamu nggak suka masakan aku?’’ tanyaku berpura-pura.Ya, tadi akhirnya aku memutuskan untuk memasak walau aku sempat merasa malas untuk memasakkan seleranya, tetapi aku harus berpura-pura bersikap layaknya seperti biasa, yang tak mengetahui perselingkuhannya. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.’’Bukan. Aku nggak ada selera aja,’’ sahut suamiku lemah.‘’Dasar kamu, Mas! Aku tahu kamu pasti kepikiran ucapanku tadi pagi yang menolak untuk hamil lagi. Iya kan? Lelaki kayak kamu itu nggak bisa punya anak banyak!’’ batinku sembari menyuap nasi ke mul
‘’Aku heran deh, Nel. Tumben kamu kayak gini,’’ cecar Mas Deno sambil menyunggingkan bibirnya kala berada di mobil. Aku yang masih fokus menyetir menoleh sejenak lantas tersenyum tipis.‘’Heran kenapa? Wajarlah aku kayak gini ke suamiku sendiri. Ada-ada aja kamu, Mas,’’ sahutku sembari menggelengkan kepala lalu fokus kembali menyetir.‘’Aku tuh pengen suami aku kayak lelaki lain penampilannya,’’ imbuhku meliriknya sejenak lalu kembali fokus menyetir.Semoga dia tak begitu curiga dengan sikapku agar semua rencanaku berjalan dengan lancar. Kini aku lebih banyak diam dan fokus menyetir, jadi kami tak begitu banyak mengobrol. Hanya sesekali saja. Entah kenapa selalu saja isi pesan dari si pelakor itu menari-nari di benakku, membuat hatiku teriris dan rasa benci hadir pada si lelaki yang duduk di sampingku ini. Tak berselang lama, aku telah tiba di depan Transmart. Bergegas memarkirkan mobilku. ‘’Yuk, Mas!’’ ajakku kepada lelaki yang masih bergeming sedari tadi. ‘’Ah, iya, Nel.’’ Aku dan
‘’Semoga hari ini semua rencanaku berjalan dengan lancar.’’Aku tersenyum sinis, kupandangi benda melingkar di tanganku, masih menunjukkan pukul 10.00. Kembali fokus menyetir sesekali melirik ke lelaki pengkhianat di sampingku. Dia lebih banyak diam sedari tadi, mungkin khawatir jika aku mengetahui semua pengkhianatannya padaku. Aku bukan istri bodoh! Dan aku bukan wanita untuk dikhianati.‘’Nel, kita ke mana sih? Kita pulang aja yuk!Naisya pasti nyariin,’’ lirih Mas Deno, aku menoleh sejenak dan menatap kedua mata elangnya. Tampak ada sesuatu yang tengah disembunyikannya di sana. ‘’Aku yakin ini tentang pengkhianatannya, dia takut akan terbongkar atau—’’‘’Entahlah!’’ batinku.‘’Kok kamu cemas begitu, Mas? Lucu deh, kamu kira aku akan bawa kamu ke penjara gitu?’’ Aku terkekeh memandangi ekspresi wajah Mas Deno. ‘’Bu—bukan begitu, Nel,’’ kilahnya terbata. Aku kembali menoleh.’’Lalu?’’‘’Kasihan Naisya kalo kita tinggal lama.’’ Dia bicara denganku tapi pandangannya ke depan. Ahh! D
Setelah bersalaman dengan mertua, sahabat, dan juga anakku. Saatnya kami berdua menaiki pelaminan. Lelakiku itu mengenggam erat tanganku untuk melangkah menuju pelaminan. Para tamu undangan pun langsung mengucapkan selamat dan bersalaman dengan kami berdua.‘’MaasyaaAllah. Mba Nelda? Akhirnya bertemu dengan Penulis favoritku.’’ Wanita yang kuperkirakan umurnya dua puluhan itu bergegas memelukku.‘’Alhamdulillah. Senang banget bertemu, Kakak.’’ Kami melepaskan pelukan. Matanya berbinar menatapku.‘’Semoga langgeng sampe Kakek Nenek yah, Mba.’’‘’Aamiin Ya Allah. Makasih banyak loh.’’Ternyata ada banyak pembaca yang kuundang hingga membuat kami tak bisa duduk beristirahat di kursi pelaminan karena menjabat tangan mereka satu-persatu.‘’Tapi kok Naisya belum ketemu sama aku sejak tadi?’’ Mataku sibuk mencari keberadaan si kecil.‘’Mama! Papa!’’ teriaknya yang membuat aku tertawa, anakku bergegas memelukku. Ternyata dia bersama Fani.‘’Duuh sayangnya Mama nih.’’ Aku memeluknya dengan era
Seminggu kemudian, hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Semua persiapan pernikahanku Fani dan teman-temannya yang mengurus. Aku tengah duduk di depan cermin. MaasyaaAllah, aku terlihat begitu cantik dan anggun dengan polesan make up tipis dari Sang Perias.‘’Akhirnya aku melepas masa jandaku. Semoga ini adalah pernikahan terakhirku seumur hidup dan semoga Reno imam terbaik untuk aku, juga jadi Papa sambung buat anakku.’’ Aku tersenyum memandangi bayangan wajahku di pantulan cermin.Ini adalah pernikahanku yang kedua kalinya. Sebelumnya tak pernah terniat di hatiku untuk menikah lagi, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Namun, apalah daya. Allah berkehendak lain. Lelaki itu selingkuh selama empat tahun lamanya. Menyisakan trauma dan luka yang mendalam. Hingga akhirnya datang seseorang yang dengan pelan-pelan bisa mengobati rasa luka dan traumaku. Dialah yang akan jadi calon imamku. Harapanku semoga ini adalah pernikahan terakhir dalam hidupku.‘’Cie-cie ada yang senyam-senyum
‘’Happy birth day, Om Reno.’’ Kali ini Naisya yang mengucapkan.‘’Makasih, Dik. Sayangnya Om Reno nih.’’ Tangannya mengelus kepala Naisya.‘’Ini kadonya dari aku, Om.’’ Anakku bergegas menyodorkan kado yang membuat para tamu undangan tersenyum.‘’Wah, ini Adik yang membungkus kadonya? Bagus banget. Makasih ya.’’ Lelaki itu langsung mengambil kado dari tangan Naisya lalu memandangi kado yang bersampul panda itu.‘’Bibi yang menyiapkan, Om. Dan uang untuk membeli kadonya minta ke Mama,’’ katanya dengan polos, berhasil membuat para tamu tertawa.Begitu juga dengan Reno dan orangtuanya. Aku memberi kode agar si Bibi memberikan kado yang tengah dipegangnya sedari tadi. Bibi langsung memberikannya padaku.‘’Dan ini dari aku ya, Ren. Jangan dilihat dari harganya. Tapi lihatlah siapa yang memberikannya.’’ Senyumannya mengembang lalu bergegas mengambil kado yang kusodorkan.‘’Makasi ya,’’ kata lelaki itu dengan suara lembut. Entah kenapa hatiku jadi tersentuh.***Tak ada acara hembus lilin. H
Setahun kemudian..Hari ini adalah ulang tahun Reno, lelaki yang selama ini kukira tidak baik. Lelaki yang selama ini aku ragukan ketulusan hatinya. Ternyata dia memang lelaki yang baik dan peduli padaku, terutama pada Naisya. Dia banyak sekali berkorban untukku dan juga anakku. Akibat kepeduliannya itu membuat sikap dinginku lenyap, apalagi Naisya sangat senang bermain dengan lelaki itu. Hingga sosok almarhum Papanya bisa digantikan oleh Reno. ‘’Udah setahun lebih tanpa kehadiran Mas Deno di sisiku dan juga Naisya. Semoga kamu tenang di alam sana ya, Mas. Dan diampuni segala dosa-dosamu,’’ lirihku sambil mematut diri di cermin.Ya, sudah setahun lebih lamanya aku menjanda. Sedangkan sahabatku Fani sudah menikah duluan dengan Fahmi, lelaki pilihan Mamanya. Yang ternyata dia adalah lelaki baik.Seiring berjalannya waktu rasa luka masa lalu itu dengan pelan mulai sembuh, disembuhkan oleh lelaki baik yang bernama Reno. Malaikat yang dititipkan Allah untukku.‘’Ma, yuk kita jalan sekaran
Dua hari kemudian..Anak semata wayangku sudah bisa dibawa pulang, Alhamdulillah panasnya sudah turun. Ya, walaupun dia sering memanggil nama Papanya. Terutama di saat tengah tertidur pulas. Sesuai prediksi Dokter Nira, anakku itu kemungkinan tengah merindu berat pada Papanya. Ditambah dia kekurangan istirahat, dia sering begadang karena tak bisa tidur beberapa hari kemarin.Aku pun sudah mencoba menghubungi nomor kontak Mas Deno, tapi nihil. Lelaki itu malah mereject telepon dariku, bahkan sudah berulangkali aku hubungi namun sekali pun tak diangkatnya. Apa dia tak kepikiran Naisya di sana? Apa dia tak mengalami hal yang sama seperti Naisya yang tengah rindu berat padanya? Atau karena dia sedang asyik bersama si pelakor itu? Jadi lupa sama anaknya? Aku menghela napas lega. Biarkan saja lelaki itu, toh dia tak kan mau peduli pada anakku. Biarkan saja aku yang membesarkan dan mendidik Naisya.****Hari ini aku bersyukur sekali, karena anakku bisa dibawa pulang. Aku mengusap kepala putr
Tanpa berkata apapun aku bergegas berpindah posisi duduk. Aku memeluk putriku di kursi belakang. Sedangkan lelaki yang bernama Reno itu langsung melajukan si roda empat. Ya, kali ini aku tak boleh egois. Yang paling penting sekarang Naisya tiba di rumah sakit dan mendapatkan perawatan dari dokter. Aku terus saja mengecup kening putriku yang tengah dalam pangkuan. Kubelai rambutnya.‘’Sayang, Adik pasti kuat. Yang sabar ya, Nak. Sebentar lagi kita pasti akan sampe di rumah sakit,’’ kataku lirih.Kuraba kepalanya, membuat aku semakin cemas. Panas anakku malah semakin naik.‘’Ya Allah! Kuatkan anakku. Sembuhkan dia.’’‘’Nel, kamu yang tenang ya. Banyakin berdo’a,’’ kata lelaki yang tengah fokus menyetir itu sesekali melirik ke belakang lewat kaca spion.Entah kenapa kali ini membuat hatiku lebih tenang. Ada apa denganku?Tak berselang lama mobilku sudah tiba di depan rumah sakit. Lelaki itu bergegas turun. Aku yang akan membuka pintu mobil membuat tanganku terhenti. Karena lelaki itu sud
‘’Astaghfirullah! Dik, kok kamu panas banget, Nak.’’ Aku mengusap kepala Naisya. Membuat aku terkesiap dan panik dibuatnya. ‘’Bibi!’’ ‘’Bi! Cepat ke sini!’’ ‘’Iya, Bu?’’ Wanita separuh baya itu terperanjat memandangi aku. ‘’Naisya, Bi. Kepalanya panas banget.’’ ‘’Tenang ya, Bu. Biar Bibi coba kompres dulu.’’ Aku sungguh tak tenang dibuatnya. Bagaimana tidak, tubuhnya begitu panas. ‘’Pa—Pa.’’ Membuat mataku membulat. Papa? Matanya masih terpejam namun dia memanggil mas Deno. Anakku ketika demam tak pernah memanggil papanya. Apa dia begitu rindu pada mas Deno? Ya Allah. Aku harus bagaimana? ‘’Bu, biar Bibi yang mengompres,’’ kata wanita separuh baya itu yang tengah melangkah memasuki kamar dengan tergopoh-gopoh sambil membawa baskom dan handuk kecil. Di saat anakku demam panas seperti ini bayangan wajah Mas Deno pun hadir di benakku. Ada apa ini? Bisa-bisanya aku teringat sama lelaki itu di saat genting seperti ini. ‘’Nggak, Nel. Kamu harus fokus ke anakmu. Nggak usa
‘’Hei, loh bisa diem nggak?’’ Tangan lelaki itu menamparku dengan spontan. Membuat aku meringis kesakitan. Andaikan saja aku punya tenaga dan tanganku tak diikat, mungkin aku akan membalas semuanya. ‘’Jangan dihabisin tenaga kalian. Tutup saja mulutnya,’’ titah wanita licik itu yang membuat mataku melotot.‘’Baik, Bu.’’ Dia bergegas melakban mulutku membuat aku sulit untuk bicara.‘’Dasar brengsek! Awas aja kalian semua. Aku bakal balas lebih kejam dari ini,’’ ancamku dalam hati. Lelaki yang tengah menyetir itu tersenyum puas menatapku, begitupun dengan lelaki yang duduk di sebelahku. Awas saja kalian! Akan kubalas semua perlakuan kejam ini.‘Aku mau dibawa ke mana sebenarnya?Tiada putusnya mataku memandangi di sekeliling jalan ini lewat kaca jendela. Begitu sepi, hanya satu atau dua saja kendaraan yang lewat. Aku semakin cemas dibuatnya. Mau apa mereka? Apa mereka punya rencana lebih jahat lagi padaku? Chika, kamu di mana Sayang. Andaikan saja kamu tahu apa yang dilakukan oleh Mam
POV Deno‘’Untuk apa kalian memberiku makan? Lebih baik bunuh saja akuu!’’ teriakku lantang.Sudah seminggu aku disekap di sini. Tendangan dan pukulan bertubi-tubi kuhadapi, hingga membuat wajahku babak belur seperti ini. Mukaku begitu terasa sakit. Kukira mertuaku itu akan membawaku pergi ke luar kota, namun tak sesuai ekspektasi. Sungguh dia pandai sekali bersandiwara membuat aku percaya.Ternyata aku dibawa ke rumah kosong yang sudah tua. Masih teringat olehku ketika aku berada di mobil, asistennya membekap mulutku hingga membuat aku pingsan. Aku yakin ada resep yang ditaburkannya pada sapu tangan itu. Tak berselang lama tiba-tiba aku sudah sadar dengan keadaan air yang membasahi muka dan seluruh tubuhku. Aku yakin wanita licik itu yang menyiramkannya. Kenapa aku jadi bodoh seperti ini. Sialan!‘’Awas aja kalo aku bisa keluar dari sini. Aku akan balas semuanya,’’ geramku dalam hati yang memandangi kedua lelaki bertubuh kekar itu.‘’Ngapain loh melototin kita kayak gitu? Mau kabur,