‘’Hp siapa yang berbunyi? Mas Deno? Nggak, aku hapal betul bunyi nada deringnya. Tapi hp siapa?’’
Aku yang sedang menidurkan si kecil, buru-buru mencari sumber bunyi tersebut di seluruh sudut ruangan, hingga lemari sekalipun. Namun tak kutemui. Aneh. Di mana sebenarnya ponsel itu? Suara deringnya kembali terdengar, kali ini lebih lama. Aku menunduk, mencoba melihat ke bawah lemari. Tampak kilauan cahaya di bawah lemari. Dengan susah payah aku meraih ponsel yang sulit aku gapai. Begitu ponsel asing itu berhasil kugenggam, mataku tertuju pada layar yang menyala. ‘’2 Panggilan tak terjawab dan 2 pesan dari WA? Siapa?’’ Dengan hati terus bertanya bergegas kutelusuri. ‘’Chika sayangku?’’ Membaca nama itu membuat dadaku terasa sesak, seperti ada ribuan jarum yang menusuk. Tanpa kusadari, air mataku mulai berjatuhan. ‘’A—apa Mas Deno selingkuh di belakangku? Kalo nggak, kenapa nama kontaknya Chika Sayangku? Aku harus cek pesannya,’’ bisikku pelan, air mata terus mengalir membasahi pipiku. Tanganku bergetar saat menekan ikon pesan. ‘’Mas, kapan sih mau menikahiku? Kita udah 4 tahun pacaran loh, loh.’’ Tubuhku seolah kehilangan kekuatan, aku melempar ponsel itu ke atas tempat tidur. ‘’Empat tahun kamu selingkuh Mas? Kenapa aku nggak pernah tahu, begitu licik dan pandainya kamu menutupi semuanya dari aku! Tapi, bagaimana pun menyimpan bangkai suatu saat baunya akan tercium juga.’’ Tanganku mengepal, air mata semakin deras mengalir. ‘’Kamu mau bermain denganku, Mas! Oke, aku akan ikuti permainanmu.’’ Kuseka air mata dengan kasar. ‘’Lelaki brengs*k itu nggak pantas ditangisi. Air matamu akan terbuang sia-sia saja, Nelda!’’ Aku kembali mengambil ponsel itu dengan tangan gemetar, aku memutuskan untuk menghapus pesan dan tanda panggilan dari wanita itu. Lalu, meletakkan ponselnya kembali ke tempat semula, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. ‘’Begitu rapatnya kamu tutupi dari aku, Mas.’’ Aku kembali merebahkan tubuh ke tempat tidur, menatap langit-langit kamar. Pandanganku sesekali tertuju pada anakku yang masih terlelap, wajah polosnya membuat hatiku teriris. Aku harus tetap kuat demi anakku, meski hatiku hancur berkeping-keping. ‘’Yang bisa aku lakukan saat ini adalah berpura-pura ngga tahu perselingkuhan kamu, Mas. Sampai rencanaku berjalan dengan lancar.’’ bisik hatiku. Hatiku sungguh terasa perih sekali. Beraninya Mas Deno bermain api di belakangku apalagi sudah 4 tahun. ‘’Kamu kira aku ini wanita apaan, Mas!’’ gumamku tersenyum sinis, pintu kamar terdengar berderit. Aku berpura-pura tertidur. Itu pasti Mas Deno yang masuk kamar. Mungkin dia baru selesai mandi, karena biasanya dia berangkat ke kantor lebih pagi. ‘’Kamu masih tidur, Sayang? Nggak solat?’’ Cuih! Aku jijik mendengar kata sayang dari mulut lelaki seperti kamu Mas. Solat? Kamu berpura-pura saleh, tapi hatimu busuk. Kamu bisa berbohong padaku, tetapi tidak pada Allah. ‘’Tukang selingkuh, nyuruh aku solat. Lucu ya?’’ gumamku dalam hati. Aku menahan tawa sinis dalam hati, tetap berpura-pura terlelap. ‘’Yang, bangun dong. Udah jam berapa ini, bikini aku sarapan.’’ Dia mengguncang tubuhku pelan. ‘’Apaan sih, Mas. Aku masih ngantuk nih. Kamu bikin mi aja sana,’’ jawabku malas, pura-pura baru terbangun. Kuusap mataku pelan. ‘’Mi? Kok kamu gitu sih? Kan kamu tahu, aku nggak suka makan mi,’’ katanya mulai kesal. Aku harus lebih berhati-hati, jangan sampai dia curiga. Segera aku bangkit, mencoba untuk bersikap seperti biasanya walaupun terasa menyakitkan. ‘’Maaf deh, Sayang,’’ kataku pelan. Kata sayang yang keluar dari mulutku terasa begitu menjijikkan bagiku. ‘’Iya. Kamu kan tau kalo Mas nggak suka mi,’’ ucapnya sambil merapikan rambut di depan cermin. Aku menyunggingkan senyum kecil. ‘’Habisnya aku ngantuk banget, Mas.’’ ‘’Ya udah, aku bikini kamu sarapan deh. Tapi aku nyuci muka dulu sebentar.’’ Dia hanya mengangguk lantas tersenyum menatapku. Aku membalas senyumannya, meski di dalam hati terasa muak. ‘’Sandiwara kamu sungguh luarbiasa, Mas!’’ gumamku, aku melangkah menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah selesai, aku melangkah ke dapur. Lalu membuka kulkas. Syukurlah, masih ada ikan dan seikat sayur. Sejujurnya, aku enggan memasak untuk suami yang suka selingkuh, tapi aku tak punya pilihan lain saat ini. Aku harus tetap bersikap seperti biasa, walau rasanya begitu sakit. Aku bergegas menyiapkan semua bahan. Membersihkan ikan terlebih dahulu lantas memoles dengan bumbu-bumbu halus yaitu bawang putih, bawang merah, kunyit, dan kububuhi garam kasar sesuai selera. Lalu kurebus hingga matang. Bayangan pesan wanita itu terus menghantui pikiranku. ‘’Lelaki pembohong dan nggak tahu diri, nggak seharusnya aku pertahankan!’’ kesalku dalam hati. Aku mencoba menahan amarah. Aku tak mau gegabah dalam bertindak, demi menjalankan semua rencana besar. Aku akan berpura-pura tak tahu bahwa aku sudah mengetahui perselingkuhan Mas Deno. ** Tak berselang lama, ikanku tampak sudah matang bergegas aku menggorengnya. Beberapa menit kemudian, aku telah selesai memasak dan merapikan dapur terlebih dahulu. Tiba-tiba aku merasakan tangan Mas Deno melingkar di pinggangku. Aku berhenti sejenak, merasa jijik dengan sentuhannya. Bayangan dia bersama wanita lain membuatku mual. ‘’Mas, ngapain sih? Ini aku sedang kerja loh,’’ sungutk, berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Namun, tenaganya lebih kuat. Dia tak tahu betapa sakitnya hatiku saat ini. ‘’Mas kangen kamu. Kenapa sih? Masa suami sendiri dimarahin,’’ ucapnya manja. Cuih! Aku hampir ingin muntah mendengar kata-kata manis itu, yang mungkin juga dia ucapkan pada wanita selingkuhannya. ‘’I—iya, Mas. Kan Mas tahu, aku lagi kerja nih,’’ lirihku, berusaha tetap tenang. ‘’Mas pasti laper kan? Ya udah sarapan dulu, kan Mas mau berangkat kerja. Ntar telat loh,’’ ucapku melepaskan tangan Mas Deno dari pinggangku. Dia seperti terheran menatapku. Semoga saja dia tak curiga dengan sikapku kali ini. Tanpa mempedulikannya, aku bergegas membawa makanan ke ruang makan, lalu menatanya di meja. Seketika Mas Deno duduk di kursi memandangku aneh. ‘’Kamu kok berubah sekarang, Yang?’’ ‘’Apa sih maksudmu, Mas?’’ Aku menatapnya, berpura-pura tak mengerti. ‘’Kamu kayak berubah sekarang, Nel,’’ ulangnya kembali, kali ini lebih serius. ‘’Hah? Berubah gimana? Kamu nggak demam kan, Mas?’’ Aku bergegas menyentuh keningnya untuk memastikan. Dia malah terkekeh pelan, lalu kembali menatapku. ‘’Apaan sih kamu. Mas kan serius nanya.’’ ‘’Kamu yang apaan, Mas. Kamu bilang aku berubah dari mananya berubah coba?’’ kesalku. Tanganku sibuk menuangkan kopi hangat. Mas Deno memandangku dengan penuh tanya, tapi aku tak peduli. Saat ini aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk membalas pengkianatannya. Tanganku masih sibuk mengaduk kopi hangat untuk Mas Deno, sekilas menoleh pada lelaki yang masih berstatus sebagai suamiku itu. ‘’Mas meluk kamu aja merasa gimana gitu, aku ini suami kamu loh. Nggak biasanya kamu bersikap kayak gitu,’’ jawab Mas Deno ketus. ‘’Alahh! Gayamu, Mas. Aku jijik memeluk kamu yang bekas dipeluk wanita murahan itu!’’ bisik hatiku. ‘’Kan aku lagi sibuk kerja, Sayang. Masa sih itu aja kamu langsung ngambek. Kayak anak kecil aja,’’ ucapku pelan dan bergegas memeluknya walau terasa jijik olehku. ‘’Iya, iya. Maaf deh, Sayang,’’ sahutnya kemudian. Aku menghela napas pelan. Segitu aja ngambek. Kamu egois, Mas! Di belakang aku aja selingkuh! Jangan-jangan itu untuk menutupi aibmu aja. Dasar lelaki! ‘’Ya udah, kita sarapan dulu ya,’’ ucapku sembari melepaskan pelukan. Dia mengangguk lalu tersenyum lebar. Sejak pengkianatannya terbongkar membuat aku malas memandanginya, hatiku hancur. ‘’Mas, Mas. Kamu lihat aja, aku lebih licik dari kamu!’’ Aku membatin sembari tersenyum sinis memandanginya. Oke, aku akan melakukan sesuatu padamu, Mas! Bersambung. Bantu support karyaku dengan cara beri ulasan, vote, follow, like, dan komentar ya. Terima kasih. ❤‘’Sayang, aku berangkat dulu ke kantor ya.’’ Mas Deno mengambil tas hitamnya, lalu melangkah ke pintu depan dengan langkah terburu-buru. Seperti biasa, aku mengantarnya hingga ke teras. Aku meraih tangannya, lalu mengecup lembut punggung tangannya— sebuah tanda hormat yang sering aku lakukan. Senyum simpul menghiasi wajahku, meski di dalam hatiku hancur berkeping-keping. Aku harus tetap bersikap biasa. Ini semua demi rencana besar yang sudah kususun. Aku mencoba menenangkan pikiran yang bergolak. ‘’Hati-hati, Mas,’’ ucapku kemudian menatapnya yang kini telah memasuki mobil. Dia membalas dengan senyuman, senyuman yang dulu begitu aku rindukan. Kini, senyuman itu hanya menambah luka di hatiku. Sejak aku tahu tentang perselingkuhannya, semua yang kulihat dari dirinya hanyalah palsu semata. ‘’Begitu pandainya kamu menutupi kebusukanmu selama ini, Mas. Berpura-pura setia ternyata kamu selama ini!’’ gumamku getir, sambil memandang mobil yang semakin jauh. Mas Deno membunyikan klakson
‘’Lah, kok nggak ada hpnya? Bukannya sudah kuletakkan lagi di sini?’’ gumamku pelan sambil meraba bawah lemari, mencari-cari ponsel asing yang ternyata sudah tak ada lagi. Aku menghela napas pelan, kembali duduk di tepi tempat tidur. ‘’Atau...Jangan-jangan Mas Deno mencurigaiku, trus dia yang ngambil hp itu? Ahh! Itu bukan urusanku, sekarang yang penting aku udah mendapatkan nomor si Pelakor itu!’’ bisikku, tersenyum sinis. Dengan cepat, aku mengganti kartu SIM yang baru, yang tadi dibelikan oleh Bibi Sum. Pandanganku sekilas menatap putriku yang masih asyik bermain. ‘’Oh iya, nomor si pelakor itu belum aku salin,’’ kataku pada diri sendiri kembali mengganti diri sendiri sambil kembali mengganti kartunya. Setelah beberapa saat, aku berhasil menyalin nomor wanita itu. Saatnya aku menjalankan rencana. ‘’Selamat siang, Mba! Maaf menganggu waktunya. Ini aku sepupunya Mas Deno. Ini Mba Chika, bukan?’’ tulisku cepat. Tak butuh waktu lama, dua centang biru langsung muncul—tanda bahwa pesa
‘’A—apa ya, Mas?’’ tanyaku, terbata. ‘’Kamu pernah dengerin nada dering hp nggak? Di lemari atau di mana gitu?’’ tanya Mas Deno sambil sibuk mengancingkan bajunya. ‘’Hp? Bukannya kamu ke kantor bawa hp?’’ jawabku sambil berpura-pura tidak tahu. Padahal, aku yakin yang dia maksud adalah ponsel yang aku temukan di bawah lemari beberapa hari nan lalu. Kutatap mukanya seperti tengah menyembunyikan sesuatu dariku. ‘’Rasain kamu, Mas! Kamu pikir bisa menyembunyikan sesuatu dariku? Terlambat, aku udah tau semuanya,’’ batinku sambil tersenyum sinis. ‘’I—iya, maksudku hp temen kantor. Dia nitipin ke aku.’’ Mas Deno terlihat canggung, bahkan menggaruk kepalanya yang jelas-jelas menurutku tak gatal. ‘’Ngaco deh kamu, Mas. Yang bener aja kali dia nitipin hpnya ke kamu. Atau.. Kamu yang bohong sama aku?’’ serangku, spontan. Dia tampak terkejut, matanya melebar. Rasakan kamu, Mas. ‘’Ka—kamu bilang apa sih, Sayang? Kalo kamu nggak percaya ayo kita telpon temenku itu. Eh, ke nomor istrinya maks
Aku tersenyum sinis menatap suamiku, dia masih asyik mematut diri di depan cermin dan sibuk merapikan rambutnya, tiba-tiba suara rengekan putriku terdengar. ‘’Ma,’’ rengek Naisya. Aku segera menghampirinya. ‘’Duh, Sayang udah bangun ya? Kita cuci muka dulu, yuk!’’ ucapku lembut sambil menggendongnya. ’’Biar Bibi Sum yang jagain Naisya. Kita kan mau makan. Mas udah laper nih,’’ katanya tanpa berpaling dari cermin. ‘’Naisya belum mandi, Mas. Masa disuruh Bibi yang jaga,’’ jawabku agak kesal, lalu melangkah. Namun, langkahku terhenti ketika dia berbicara lagi. ‘’Nel, itu kan tugas Bibi. Kenapa sih kamu? Aku Cuma minta temenin makan. Mana ada selera makan sendiri,’’ kata Mas Deno ketus. Aku tahu, berdebat dengannya hanya akan memperburuk suasana. Saat ini terpaksa aku mengalah dan berpura-pura tidak tahu soal perselingkuhannya. Karena aku punya rencana besar dan untuk saat ini, berpura-pura bodoh adalah pilihan yang tepat. ‘’Iya, iya, Mas. Maafkan aku deh. Aku titip Naisya ke Bibi d
‘’Nel, kamu harus jujur sama aku. Di mana sih kamu pesen makanan tadi sore?’’ tanya Mas Deno mukanya tampak memerah. Aku tak menggubris pertanyaannya karena saking asyik bermain bersama Naisya, putriku. ‘’Nel! Kok kamu nggak dengerin, Mas!’’ Seru Mas Deno, suaranya mulai terdengar kesal. Aku menoleh sejenak.‘’Apaan sih, Mas? Orang lagi sibuk main dengan Naisya juga!’’ sahutku ketus. Tanganku sibuk menyusun mainan Naisya agar terlihat menarik dipandangi oleh Naisya. ‘’Apa salahnya sih menjawab pertanyaan doang,’’ sungut lelaki yang masih berstatus sebagai suamiku itu.‘’Kamu aneh-aneh aja sih, Mas. Ya, di warung nasilah aku beli. Masa di toko emas,’’ sahutku seketika.‘’Iya. Di warung nasi, oke. Nama warungnya apa? Kamu sih, tinggal bilang aja kok repot amat,’’ rutuk Papa Naisya seperti kucing yang tengah terjepit, membuatku hampir saja tertawa lepas mendengar rutukannya. Tapi aku mencoba menahan tawa semampuku.‘’Bukan aku yang beli. Temenku itu yang mesan kemaren.’’ ‘’Hah? Apa?
Sayup-sayup terdengar bunyi mesin mobil di luar sana. Itu pasti Mas Deno. Kucoba mengusap mata yang terasa perih dan tak kunjung bisa dibuka. Mataku tertuju ke benda yang melingkar di dinding. Sontak membuatku terperanjat kaget.‘’Pukul 01.00? Ya Allah! Apa aku salah lihat kali, ya?’’ Aku terus saja mengusap bola mataku tak henti-hentinya. Tetapi tetap saja angka 01.00 yang terlihat olehku. ‘’Allah! Ternyata udah larut malam. Aku tertidur setelah curhat ke Bibi, saking lelahnya pikiranku ini,’’ gumamku dalam hati.Langkah kaki terdengar lirih olehku menuju kamar. Aku yakin itu adalah si lelaki pengkhianat. Aku bergegas berpura-pura tertidur lelap dan membelakangi punggungku ke arah pintu. Kupasang pendengaranku dengan sebaik mungkin. Langkah kakinya semakin terdengar dekat dan pintu pun sedikit berderit. Hidungku seakan-akan mencium seperti bau minyak wangi seorang wanita. Ya Allah! Apa itu minyak wangi si pelakor yang lengket baunya di pakaian suamiku? Hatiku sungguh terasa ditusuk
Sepertinya Mas Deno masih kecewa padaku, tampak dari raut wajahnya. Ya, pasti dia kecewa karena aku menolak untuk hamil lagi. Lelaki seperi Mas Deno cukup satu anak saja. Dan aku tak kan mau untuk hamil lagi, sekali pun dia memaksaku. Aku menatapnya dengan tersenyum tipis sedari tadi melihatnya mengaduk-aduk nasi di piringnya itu hanya sesekali disuap oleh Mas Deno, entah apa yang tengah terpikirkan di benaknya itu.‘’Lah, Mas kamu nggak suka masakan aku?’’ tanyaku berpura-pura.Ya, tadi akhirnya aku memutuskan untuk memasak walau aku sempat merasa malas untuk memasakkan seleranya, tetapi aku harus berpura-pura bersikap layaknya seperti biasa, yang tak mengetahui perselingkuhannya. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.’’Bukan. Aku nggak ada selera aja,’’ sahut suamiku lemah.‘’Dasar kamu, Mas! Aku tahu kamu pasti kepikiran ucapanku tadi pagi yang menolak untuk hamil lagi. Iya kan? Lelaki kayak kamu itu nggak bisa punya anak banyak!’’ batinku sembari menyuap nasi ke mul
‘’Aku heran deh, Nel. Tumben kamu kayak gini,’’ cecar Mas Deno sambil menyunggingkan bibirnya kala berada di mobil. Aku yang masih fokus menyetir menoleh sejenak lantas tersenyum tipis.‘’Heran kenapa? Wajarlah aku kayak gini ke suamiku sendiri. Ada-ada aja kamu, Mas,’’ sahutku sembari menggelengkan kepala lalu fokus kembali menyetir.‘’Aku tuh pengen suami aku kayak lelaki lain penampilannya,’’ imbuhku meliriknya sejenak lalu kembali fokus menyetir.Semoga dia tak begitu curiga dengan sikapku agar semua rencanaku berjalan dengan lancar. Kini aku lebih banyak diam dan fokus menyetir, jadi kami tak begitu banyak mengobrol. Hanya sesekali saja. Entah kenapa selalu saja isi pesan dari si pelakor itu menari-nari di benakku, membuat hatiku teriris dan rasa benci hadir pada si lelaki yang duduk di sampingku ini. Tak berselang lama, aku telah tiba di depan Transmart. Bergegas memarkirkan mobilku. ‘’Yuk, Mas!’’ ajakku kepada lelaki yang masih bergeming sedari tadi. ‘’Ah, iya, Nel.’’ Aku dan
Setelah bersalaman dengan mertua, sahabat, dan juga anakku. Saatnya kami berdua menaiki pelaminan. Lelakiku itu mengenggam erat tanganku untuk melangkah menuju pelaminan. Para tamu undangan pun langsung mengucapkan selamat dan bersalaman dengan kami berdua.‘’MaasyaaAllah. Mba Nelda? Akhirnya bertemu dengan Penulis favoritku.’’ Wanita yang kuperkirakan umurnya dua puluhan itu bergegas memelukku.‘’Alhamdulillah. Senang banget bertemu, Kakak.’’ Kami melepaskan pelukan. Matanya berbinar menatapku.‘’Semoga langgeng sampe Kakek Nenek yah, Mba.’’‘’Aamiin Ya Allah. Makasih banyak loh.’’Ternyata ada banyak pembaca yang kuundang hingga membuat kami tak bisa duduk beristirahat di kursi pelaminan karena menjabat tangan mereka satu-persatu.‘’Tapi kok Naisya belum ketemu sama aku sejak tadi?’’ Mataku sibuk mencari keberadaan si kecil.‘’Mama! Papa!’’ teriaknya yang membuat aku tertawa, anakku bergegas memelukku. Ternyata dia bersama Fani.‘’Duuh sayangnya Mama nih.’’ Aku memeluknya dengan era
Seminggu kemudian, hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Semua persiapan pernikahanku Fani dan teman-temannya yang mengurus. Aku tengah duduk di depan cermin. MaasyaaAllah, aku terlihat begitu cantik dan anggun dengan polesan make up tipis dari Sang Perias.‘’Akhirnya aku melepas masa jandaku. Semoga ini adalah pernikahan terakhirku seumur hidup dan semoga Reno imam terbaik untuk aku, juga jadi Papa sambung buat anakku.’’ Aku tersenyum memandangi bayangan wajahku di pantulan cermin.Ini adalah pernikahanku yang kedua kalinya. Sebelumnya tak pernah terniat di hatiku untuk menikah lagi, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Namun, apalah daya. Allah berkehendak lain. Lelaki itu selingkuh selama empat tahun lamanya. Menyisakan trauma dan luka yang mendalam. Hingga akhirnya datang seseorang yang dengan pelan-pelan bisa mengobati rasa luka dan traumaku. Dialah yang akan jadi calon imamku. Harapanku semoga ini adalah pernikahan terakhir dalam hidupku.‘’Cie-cie ada yang senyam-senyum
‘’Happy birth day, Om Reno.’’ Kali ini Naisya yang mengucapkan.‘’Makasih, Dik. Sayangnya Om Reno nih.’’ Tangannya mengelus kepala Naisya.‘’Ini kadonya dari aku, Om.’’ Anakku bergegas menyodorkan kado yang membuat para tamu undangan tersenyum.‘’Wah, ini Adik yang membungkus kadonya? Bagus banget. Makasih ya.’’ Lelaki itu langsung mengambil kado dari tangan Naisya lalu memandangi kado yang bersampul panda itu.‘’Bibi yang menyiapkan, Om. Dan uang untuk membeli kadonya minta ke Mama,’’ katanya dengan polos, berhasil membuat para tamu tertawa.Begitu juga dengan Reno dan orangtuanya. Aku memberi kode agar si Bibi memberikan kado yang tengah dipegangnya sedari tadi. Bibi langsung memberikannya padaku.‘’Dan ini dari aku ya, Ren. Jangan dilihat dari harganya. Tapi lihatlah siapa yang memberikannya.’’ Senyumannya mengembang lalu bergegas mengambil kado yang kusodorkan.‘’Makasi ya,’’ kata lelaki itu dengan suara lembut. Entah kenapa hatiku jadi tersentuh.***Tak ada acara hembus lilin. H
Setahun kemudian..Hari ini adalah ulang tahun Reno, lelaki yang selama ini kukira tidak baik. Lelaki yang selama ini aku ragukan ketulusan hatinya. Ternyata dia memang lelaki yang baik dan peduli padaku, terutama pada Naisya. Dia banyak sekali berkorban untukku dan juga anakku. Akibat kepeduliannya itu membuat sikap dinginku lenyap, apalagi Naisya sangat senang bermain dengan lelaki itu. Hingga sosok almarhum Papanya bisa digantikan oleh Reno. ‘’Udah setahun lebih tanpa kehadiran Mas Deno di sisiku dan juga Naisya. Semoga kamu tenang di alam sana ya, Mas. Dan diampuni segala dosa-dosamu,’’ lirihku sambil mematut diri di cermin.Ya, sudah setahun lebih lamanya aku menjanda. Sedangkan sahabatku Fani sudah menikah duluan dengan Fahmi, lelaki pilihan Mamanya. Yang ternyata dia adalah lelaki baik.Seiring berjalannya waktu rasa luka masa lalu itu dengan pelan mulai sembuh, disembuhkan oleh lelaki baik yang bernama Reno. Malaikat yang dititipkan Allah untukku.‘’Ma, yuk kita jalan sekaran
Dua hari kemudian..Anak semata wayangku sudah bisa dibawa pulang, Alhamdulillah panasnya sudah turun. Ya, walaupun dia sering memanggil nama Papanya. Terutama di saat tengah tertidur pulas. Sesuai prediksi Dokter Nira, anakku itu kemungkinan tengah merindu berat pada Papanya. Ditambah dia kekurangan istirahat, dia sering begadang karena tak bisa tidur beberapa hari kemarin.Aku pun sudah mencoba menghubungi nomor kontak Mas Deno, tapi nihil. Lelaki itu malah mereject telepon dariku, bahkan sudah berulangkali aku hubungi namun sekali pun tak diangkatnya. Apa dia tak kepikiran Naisya di sana? Apa dia tak mengalami hal yang sama seperti Naisya yang tengah rindu berat padanya? Atau karena dia sedang asyik bersama si pelakor itu? Jadi lupa sama anaknya? Aku menghela napas lega. Biarkan saja lelaki itu, toh dia tak kan mau peduli pada anakku. Biarkan saja aku yang membesarkan dan mendidik Naisya.****Hari ini aku bersyukur sekali, karena anakku bisa dibawa pulang. Aku mengusap kepala putr
Tanpa berkata apapun aku bergegas berpindah posisi duduk. Aku memeluk putriku di kursi belakang. Sedangkan lelaki yang bernama Reno itu langsung melajukan si roda empat. Ya, kali ini aku tak boleh egois. Yang paling penting sekarang Naisya tiba di rumah sakit dan mendapatkan perawatan dari dokter. Aku terus saja mengecup kening putriku yang tengah dalam pangkuan. Kubelai rambutnya.‘’Sayang, Adik pasti kuat. Yang sabar ya, Nak. Sebentar lagi kita pasti akan sampe di rumah sakit,’’ kataku lirih.Kuraba kepalanya, membuat aku semakin cemas. Panas anakku malah semakin naik.‘’Ya Allah! Kuatkan anakku. Sembuhkan dia.’’‘’Nel, kamu yang tenang ya. Banyakin berdo’a,’’ kata lelaki yang tengah fokus menyetir itu sesekali melirik ke belakang lewat kaca spion.Entah kenapa kali ini membuat hatiku lebih tenang. Ada apa denganku?Tak berselang lama mobilku sudah tiba di depan rumah sakit. Lelaki itu bergegas turun. Aku yang akan membuka pintu mobil membuat tanganku terhenti. Karena lelaki itu sud
‘’Astaghfirullah! Dik, kok kamu panas banget, Nak.’’ Aku mengusap kepala Naisya. Membuat aku terkesiap dan panik dibuatnya. ‘’Bibi!’’ ‘’Bi! Cepat ke sini!’’ ‘’Iya, Bu?’’ Wanita separuh baya itu terperanjat memandangi aku. ‘’Naisya, Bi. Kepalanya panas banget.’’ ‘’Tenang ya, Bu. Biar Bibi coba kompres dulu.’’ Aku sungguh tak tenang dibuatnya. Bagaimana tidak, tubuhnya begitu panas. ‘’Pa—Pa.’’ Membuat mataku membulat. Papa? Matanya masih terpejam namun dia memanggil mas Deno. Anakku ketika demam tak pernah memanggil papanya. Apa dia begitu rindu pada mas Deno? Ya Allah. Aku harus bagaimana? ‘’Bu, biar Bibi yang mengompres,’’ kata wanita separuh baya itu yang tengah melangkah memasuki kamar dengan tergopoh-gopoh sambil membawa baskom dan handuk kecil. Di saat anakku demam panas seperti ini bayangan wajah Mas Deno pun hadir di benakku. Ada apa ini? Bisa-bisanya aku teringat sama lelaki itu di saat genting seperti ini. ‘’Nggak, Nel. Kamu harus fokus ke anakmu. Nggak usa
‘’Hei, loh bisa diem nggak?’’ Tangan lelaki itu menamparku dengan spontan. Membuat aku meringis kesakitan. Andaikan saja aku punya tenaga dan tanganku tak diikat, mungkin aku akan membalas semuanya. ‘’Jangan dihabisin tenaga kalian. Tutup saja mulutnya,’’ titah wanita licik itu yang membuat mataku melotot.‘’Baik, Bu.’’ Dia bergegas melakban mulutku membuat aku sulit untuk bicara.‘’Dasar brengsek! Awas aja kalian semua. Aku bakal balas lebih kejam dari ini,’’ ancamku dalam hati. Lelaki yang tengah menyetir itu tersenyum puas menatapku, begitupun dengan lelaki yang duduk di sebelahku. Awas saja kalian! Akan kubalas semua perlakuan kejam ini.‘Aku mau dibawa ke mana sebenarnya?Tiada putusnya mataku memandangi di sekeliling jalan ini lewat kaca jendela. Begitu sepi, hanya satu atau dua saja kendaraan yang lewat. Aku semakin cemas dibuatnya. Mau apa mereka? Apa mereka punya rencana lebih jahat lagi padaku? Chika, kamu di mana Sayang. Andaikan saja kamu tahu apa yang dilakukan oleh Mam
POV Deno‘’Untuk apa kalian memberiku makan? Lebih baik bunuh saja akuu!’’ teriakku lantang.Sudah seminggu aku disekap di sini. Tendangan dan pukulan bertubi-tubi kuhadapi, hingga membuat wajahku babak belur seperti ini. Mukaku begitu terasa sakit. Kukira mertuaku itu akan membawaku pergi ke luar kota, namun tak sesuai ekspektasi. Sungguh dia pandai sekali bersandiwara membuat aku percaya.Ternyata aku dibawa ke rumah kosong yang sudah tua. Masih teringat olehku ketika aku berada di mobil, asistennya membekap mulutku hingga membuat aku pingsan. Aku yakin ada resep yang ditaburkannya pada sapu tangan itu. Tak berselang lama tiba-tiba aku sudah sadar dengan keadaan air yang membasahi muka dan seluruh tubuhku. Aku yakin wanita licik itu yang menyiramkannya. Kenapa aku jadi bodoh seperti ini. Sialan!‘’Awas aja kalo aku bisa keluar dari sini. Aku akan balas semuanya,’’ geramku dalam hati yang memandangi kedua lelaki bertubuh kekar itu.‘’Ngapain loh melototin kita kayak gitu? Mau kabur,