‘’Happy birth day, Om Reno.’’ Kali ini Naisya yang mengucapkan.‘’Makasih, Dik. Sayangnya Om Reno nih.’’ Tangannya mengelus kepala Naisya.‘’Ini kadonya dari aku, Om.’’ Anakku bergegas menyodorkan kado yang membuat para tamu undangan tersenyum.‘’Wah, ini Adik yang membungkus kadonya? Bagus banget. Makasih ya.’’ Lelaki itu langsung mengambil kado dari tangan Naisya lalu memandangi kado yang bersampul panda itu.‘’Bibi yang menyiapkan, Om. Dan uang untuk membeli kadonya minta ke Mama,’’ katanya dengan polos, berhasil membuat para tamu tertawa.Begitu juga dengan Reno dan orangtuanya. Aku memberi kode agar si Bibi memberikan kado yang tengah dipegangnya sedari tadi. Bibi langsung memberikannya padaku.‘’Dan ini dari aku ya, Ren. Jangan dilihat dari harganya. Tapi lihatlah siapa yang memberikannya.’’ Senyumannya mengembang lalu bergegas mengambil kado yang kusodorkan.‘’Makasi ya,’’ kata lelaki itu dengan suara lembut. Entah kenapa hatiku jadi tersentuh.***Tak ada acara hembus lilin. H
Seminggu kemudian, hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Semua persiapan pernikahanku Fani dan teman-temannya yang mengurus. Aku tengah duduk di depan cermin. MaasyaaAllah, aku terlihat begitu cantik dan anggun dengan polesan make up tipis dari Sang Perias.‘’Akhirnya aku melepas masa jandaku. Semoga ini adalah pernikahan terakhirku seumur hidup dan semoga Reno imam terbaik untuk aku, juga jadi Papa sambung buat anakku.’’ Aku tersenyum memandangi bayangan wajahku di pantulan cermin.Ini adalah pernikahanku yang kedua kalinya. Sebelumnya tak pernah terniat di hatiku untuk menikah lagi, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Namun, apalah daya. Allah berkehendak lain. Lelaki itu selingkuh selama empat tahun lamanya. Menyisakan trauma dan luka yang mendalam. Hingga akhirnya datang seseorang yang dengan pelan-pelan bisa mengobati rasa luka dan traumaku. Dialah yang akan jadi calon imamku. Harapanku semoga ini adalah pernikahan terakhir dalam hidupku.‘’Cie-cie ada yang senyam-senyum
Setelah bersalaman dengan mertua, sahabat, dan juga anakku. Saatnya kami berdua menaiki pelaminan. Lelakiku itu mengenggam erat tanganku untuk melangkah menuju pelaminan. Para tamu undangan pun langsung mengucapkan selamat dan bersalaman dengan kami berdua.‘’MaasyaaAllah. Mba Nelda? Akhirnya bertemu dengan Penulis favoritku.’’ Wanita yang kuperkirakan umurnya dua puluhan itu bergegas memelukku.‘’Alhamdulillah. Senang banget bertemu, Kakak.’’ Kami melepaskan pelukan. Matanya berbinar menatapku.‘’Semoga langgeng sampe Kakek Nenek yah, Mba.’’‘’Aamiin Ya Allah. Makasih banyak loh.’’Ternyata ada banyak pembaca yang kuundang hingga membuat kami tak bisa duduk beristirahat di kursi pelaminan karena menjabat tangan mereka satu-persatu.‘’Tapi kok Naisya belum ketemu sama aku sejak tadi?’’ Mataku sibuk mencari keberadaan si kecil.‘’Mama! Papa!’’ teriaknya yang membuat aku tertawa, anakku bergegas memelukku. Ternyata dia bersama Fani.‘’Duuh sayangnya Mama nih.’’ Aku memeluknya dengan era
‘’Hp siapa yang berbunyi? Mas Deno? Nggak, aku hapal betul bunyi nada deringnya. Tapi hp siapa?’’ Aku yang sedang menidurkan si kecil, buru-buru mencari sumber bunyi tersebut di seluruh sudut ruangan, hingga lemari sekalipun. Namun tak kutemui. Aneh. Di mana sebenarnya ponsel itu? Suara deringnya kembali terdengar, kali ini lebih lama. Aku menunduk, mencoba melihat ke bawah lemari. Tampak kilauan cahaya di bawah lemari. Dengan susah payah aku meraih ponsel yang sulit aku gapai. Begitu ponsel asing itu berhasil kugenggam, mataku tertuju pada layar yang menyala. ‘’2 Panggilan tak terjawab dan 2 pesan dari WA? Siapa?’’ Dengan hati terus bertanya bergegas kutelusuri. ‘’Chika sayangku?’’ Membaca nama itu membuat dadaku terasa sesak, seperti ada ribuan jarum yang menusuk. Tanpa kusadari, air mataku mulai berjatuhan. ‘’A—apa Mas Deno selingkuh di belakangku? Kalo nggak, kenapa nama kontaknya Chika Sayangku? Aku harus cek pesannya,’’ bisikku pelan, air mata terus mengalir membasahi pip
‘’Sayang, aku berangkat dulu ke kantor ya.’’ Mas Deno mengambil tas hitamnya, lalu melangkah ke pintu depan dengan langkah terburu-buru. Seperti biasa, aku mengantarnya hingga ke teras. Aku meraih tangannya, lalu mengecup lembut punggung tangannya— sebuah tanda hormat yang sering aku lakukan. Senyum simpul menghiasi wajahku, meski di dalam hatiku hancur berkeping-keping. Aku harus tetap bersikap biasa. Ini semua demi rencana besar yang sudah kususun. Aku mencoba menenangkan pikiran yang bergolak. ‘’Hati-hati, Mas,’’ ucapku kemudian menatapnya yang kini telah memasuki mobil. Dia membalas dengan senyuman, senyuman yang dulu begitu aku rindukan. Kini, senyuman itu hanya menambah luka di hatiku. Sejak aku tahu tentang perselingkuhannya, semua yang kulihat dari dirinya hanyalah palsu semata. ‘’Begitu pandainya kamu menutupi kebusukanmu selama ini, Mas. Berpura-pura setia ternyata kamu selama ini!’’ gumamku getir, sambil memandang mobil yang semakin jauh. Mas Deno membunyikan klakson
‘’Lah, kok nggak ada hpnya? Bukannya sudah kuletakkan lagi di sini?’’ gumamku pelan sambil meraba bawah lemari, mencari-cari ponsel asing yang ternyata sudah tak ada lagi. Aku menghela napas pelan, kembali duduk di tepi tempat tidur. ‘’Atau...Jangan-jangan Mas Deno mencurigaiku, trus dia yang ngambil hp itu? Ahh! Itu bukan urusanku, sekarang yang penting aku udah mendapatkan nomor si Pelakor itu!’’ bisikku, tersenyum sinis. Dengan cepat, aku mengganti kartu SIM yang baru, yang tadi dibelikan oleh Bibi Sum. Pandanganku sekilas menatap putriku yang masih asyik bermain. ‘’Oh iya, nomor si pelakor itu belum aku salin,’’ kataku pada diri sendiri kembali mengganti diri sendiri sambil kembali mengganti kartunya. Setelah beberapa saat, aku berhasil menyalin nomor wanita itu. Saatnya aku menjalankan rencana. ‘’Selamat siang, Mba! Maaf menganggu waktunya. Ini aku sepupunya Mas Deno. Ini Mba Chika, bukan?’’ tulisku cepat. Tak butuh waktu lama, dua centang biru langsung muncul—tanda bahwa pesa
‘’A—apa ya, Mas?’’ tanyaku, terbata. ‘’Kamu pernah dengerin nada dering hp nggak? Di lemari atau di mana gitu?’’ tanya Mas Deno sambil sibuk mengancingkan bajunya. ‘’Hp? Bukannya kamu ke kantor bawa hp?’’ jawabku sambil berpura-pura tidak tahu. Padahal, aku yakin yang dia maksud adalah ponsel yang aku temukan di bawah lemari beberapa hari nan lalu. Kutatap mukanya seperti tengah menyembunyikan sesuatu dariku. ‘’Rasain kamu, Mas! Kamu pikir bisa menyembunyikan sesuatu dariku? Terlambat, aku udah tau semuanya,’’ batinku sambil tersenyum sinis. ‘’I—iya, maksudku hp temen kantor. Dia nitipin ke aku.’’ Mas Deno terlihat canggung, bahkan menggaruk kepalanya yang jelas-jelas menurutku tak gatal. ‘’Ngaco deh kamu, Mas. Yang bener aja kali dia nitipin hpnya ke kamu. Atau.. Kamu yang bohong sama aku?’’ serangku, spontan. Dia tampak terkejut, matanya melebar. Rasakan kamu, Mas. ‘’Ka—kamu bilang apa sih, Sayang? Kalo kamu nggak percaya ayo kita telpon temenku itu. Eh, ke nomor istrinya maks
Aku tersenyum sinis menatap suamiku, dia masih asyik mematut diri di depan cermin dan sibuk merapikan rambutnya, tiba-tiba suara rengekan putriku terdengar. ‘’Ma,’’ rengek Naisya. Aku segera menghampirinya. ‘’Duh, Sayang udah bangun ya? Kita cuci muka dulu, yuk!’’ ucapku lembut sambil menggendongnya. ’’Biar Bibi Sum yang jagain Naisya. Kita kan mau makan. Mas udah laper nih,’’ katanya tanpa berpaling dari cermin. ‘’Naisya belum mandi, Mas. Masa disuruh Bibi yang jaga,’’ jawabku agak kesal, lalu melangkah. Namun, langkahku terhenti ketika dia berbicara lagi. ‘’Nel, itu kan tugas Bibi. Kenapa sih kamu? Aku Cuma minta temenin makan. Mana ada selera makan sendiri,’’ kata Mas Deno ketus. Aku tahu, berdebat dengannya hanya akan memperburuk suasana. Saat ini terpaksa aku mengalah dan berpura-pura tidak tahu soal perselingkuhannya. Karena aku punya rencana besar dan untuk saat ini, berpura-pura bodoh adalah pilihan yang tepat. ‘’Iya, iya, Mas. Maafkan aku deh. Aku titip Naisya ke Bibi d
Setelah bersalaman dengan mertua, sahabat, dan juga anakku. Saatnya kami berdua menaiki pelaminan. Lelakiku itu mengenggam erat tanganku untuk melangkah menuju pelaminan. Para tamu undangan pun langsung mengucapkan selamat dan bersalaman dengan kami berdua.‘’MaasyaaAllah. Mba Nelda? Akhirnya bertemu dengan Penulis favoritku.’’ Wanita yang kuperkirakan umurnya dua puluhan itu bergegas memelukku.‘’Alhamdulillah. Senang banget bertemu, Kakak.’’ Kami melepaskan pelukan. Matanya berbinar menatapku.‘’Semoga langgeng sampe Kakek Nenek yah, Mba.’’‘’Aamiin Ya Allah. Makasih banyak loh.’’Ternyata ada banyak pembaca yang kuundang hingga membuat kami tak bisa duduk beristirahat di kursi pelaminan karena menjabat tangan mereka satu-persatu.‘’Tapi kok Naisya belum ketemu sama aku sejak tadi?’’ Mataku sibuk mencari keberadaan si kecil.‘’Mama! Papa!’’ teriaknya yang membuat aku tertawa, anakku bergegas memelukku. Ternyata dia bersama Fani.‘’Duuh sayangnya Mama nih.’’ Aku memeluknya dengan era
Seminggu kemudian, hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Semua persiapan pernikahanku Fani dan teman-temannya yang mengurus. Aku tengah duduk di depan cermin. MaasyaaAllah, aku terlihat begitu cantik dan anggun dengan polesan make up tipis dari Sang Perias.‘’Akhirnya aku melepas masa jandaku. Semoga ini adalah pernikahan terakhirku seumur hidup dan semoga Reno imam terbaik untuk aku, juga jadi Papa sambung buat anakku.’’ Aku tersenyum memandangi bayangan wajahku di pantulan cermin.Ini adalah pernikahanku yang kedua kalinya. Sebelumnya tak pernah terniat di hatiku untuk menikah lagi, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Namun, apalah daya. Allah berkehendak lain. Lelaki itu selingkuh selama empat tahun lamanya. Menyisakan trauma dan luka yang mendalam. Hingga akhirnya datang seseorang yang dengan pelan-pelan bisa mengobati rasa luka dan traumaku. Dialah yang akan jadi calon imamku. Harapanku semoga ini adalah pernikahan terakhir dalam hidupku.‘’Cie-cie ada yang senyam-senyum
‘’Happy birth day, Om Reno.’’ Kali ini Naisya yang mengucapkan.‘’Makasih, Dik. Sayangnya Om Reno nih.’’ Tangannya mengelus kepala Naisya.‘’Ini kadonya dari aku, Om.’’ Anakku bergegas menyodorkan kado yang membuat para tamu undangan tersenyum.‘’Wah, ini Adik yang membungkus kadonya? Bagus banget. Makasih ya.’’ Lelaki itu langsung mengambil kado dari tangan Naisya lalu memandangi kado yang bersampul panda itu.‘’Bibi yang menyiapkan, Om. Dan uang untuk membeli kadonya minta ke Mama,’’ katanya dengan polos, berhasil membuat para tamu tertawa.Begitu juga dengan Reno dan orangtuanya. Aku memberi kode agar si Bibi memberikan kado yang tengah dipegangnya sedari tadi. Bibi langsung memberikannya padaku.‘’Dan ini dari aku ya, Ren. Jangan dilihat dari harganya. Tapi lihatlah siapa yang memberikannya.’’ Senyumannya mengembang lalu bergegas mengambil kado yang kusodorkan.‘’Makasi ya,’’ kata lelaki itu dengan suara lembut. Entah kenapa hatiku jadi tersentuh.***Tak ada acara hembus lilin. H
Setahun kemudian..Hari ini adalah ulang tahun Reno, lelaki yang selama ini kukira tidak baik. Lelaki yang selama ini aku ragukan ketulusan hatinya. Ternyata dia memang lelaki yang baik dan peduli padaku, terutama pada Naisya. Dia banyak sekali berkorban untukku dan juga anakku. Akibat kepeduliannya itu membuat sikap dinginku lenyap, apalagi Naisya sangat senang bermain dengan lelaki itu. Hingga sosok almarhum Papanya bisa digantikan oleh Reno. ‘’Udah setahun lebih tanpa kehadiran Mas Deno di sisiku dan juga Naisya. Semoga kamu tenang di alam sana ya, Mas. Dan diampuni segala dosa-dosamu,’’ lirihku sambil mematut diri di cermin.Ya, sudah setahun lebih lamanya aku menjanda. Sedangkan sahabatku Fani sudah menikah duluan dengan Fahmi, lelaki pilihan Mamanya. Yang ternyata dia adalah lelaki baik.Seiring berjalannya waktu rasa luka masa lalu itu dengan pelan mulai sembuh, disembuhkan oleh lelaki baik yang bernama Reno. Malaikat yang dititipkan Allah untukku.‘’Ma, yuk kita jalan sekaran
Dua hari kemudian..Anak semata wayangku sudah bisa dibawa pulang, Alhamdulillah panasnya sudah turun. Ya, walaupun dia sering memanggil nama Papanya. Terutama di saat tengah tertidur pulas. Sesuai prediksi Dokter Nira, anakku itu kemungkinan tengah merindu berat pada Papanya. Ditambah dia kekurangan istirahat, dia sering begadang karena tak bisa tidur beberapa hari kemarin.Aku pun sudah mencoba menghubungi nomor kontak Mas Deno, tapi nihil. Lelaki itu malah mereject telepon dariku, bahkan sudah berulangkali aku hubungi namun sekali pun tak diangkatnya. Apa dia tak kepikiran Naisya di sana? Apa dia tak mengalami hal yang sama seperti Naisya yang tengah rindu berat padanya? Atau karena dia sedang asyik bersama si pelakor itu? Jadi lupa sama anaknya? Aku menghela napas lega. Biarkan saja lelaki itu, toh dia tak kan mau peduli pada anakku. Biarkan saja aku yang membesarkan dan mendidik Naisya.****Hari ini aku bersyukur sekali, karena anakku bisa dibawa pulang. Aku mengusap kepala putr
Tanpa berkata apapun aku bergegas berpindah posisi duduk. Aku memeluk putriku di kursi belakang. Sedangkan lelaki yang bernama Reno itu langsung melajukan si roda empat. Ya, kali ini aku tak boleh egois. Yang paling penting sekarang Naisya tiba di rumah sakit dan mendapatkan perawatan dari dokter. Aku terus saja mengecup kening putriku yang tengah dalam pangkuan. Kubelai rambutnya.‘’Sayang, Adik pasti kuat. Yang sabar ya, Nak. Sebentar lagi kita pasti akan sampe di rumah sakit,’’ kataku lirih.Kuraba kepalanya, membuat aku semakin cemas. Panas anakku malah semakin naik.‘’Ya Allah! Kuatkan anakku. Sembuhkan dia.’’‘’Nel, kamu yang tenang ya. Banyakin berdo’a,’’ kata lelaki yang tengah fokus menyetir itu sesekali melirik ke belakang lewat kaca spion.Entah kenapa kali ini membuat hatiku lebih tenang. Ada apa denganku?Tak berselang lama mobilku sudah tiba di depan rumah sakit. Lelaki itu bergegas turun. Aku yang akan membuka pintu mobil membuat tanganku terhenti. Karena lelaki itu sud
‘’Astaghfirullah! Dik, kok kamu panas banget, Nak.’’ Aku mengusap kepala Naisya. Membuat aku terkesiap dan panik dibuatnya. ‘’Bibi!’’ ‘’Bi! Cepat ke sini!’’ ‘’Iya, Bu?’’ Wanita separuh baya itu terperanjat memandangi aku. ‘’Naisya, Bi. Kepalanya panas banget.’’ ‘’Tenang ya, Bu. Biar Bibi coba kompres dulu.’’ Aku sungguh tak tenang dibuatnya. Bagaimana tidak, tubuhnya begitu panas. ‘’Pa—Pa.’’ Membuat mataku membulat. Papa? Matanya masih terpejam namun dia memanggil mas Deno. Anakku ketika demam tak pernah memanggil papanya. Apa dia begitu rindu pada mas Deno? Ya Allah. Aku harus bagaimana? ‘’Bu, biar Bibi yang mengompres,’’ kata wanita separuh baya itu yang tengah melangkah memasuki kamar dengan tergopoh-gopoh sambil membawa baskom dan handuk kecil. Di saat anakku demam panas seperti ini bayangan wajah Mas Deno pun hadir di benakku. Ada apa ini? Bisa-bisanya aku teringat sama lelaki itu di saat genting seperti ini. ‘’Nggak, Nel. Kamu harus fokus ke anakmu. Nggak usa
‘’Hei, loh bisa diem nggak?’’ Tangan lelaki itu menamparku dengan spontan. Membuat aku meringis kesakitan. Andaikan saja aku punya tenaga dan tanganku tak diikat, mungkin aku akan membalas semuanya. ‘’Jangan dihabisin tenaga kalian. Tutup saja mulutnya,’’ titah wanita licik itu yang membuat mataku melotot.‘’Baik, Bu.’’ Dia bergegas melakban mulutku membuat aku sulit untuk bicara.‘’Dasar brengsek! Awas aja kalian semua. Aku bakal balas lebih kejam dari ini,’’ ancamku dalam hati. Lelaki yang tengah menyetir itu tersenyum puas menatapku, begitupun dengan lelaki yang duduk di sebelahku. Awas saja kalian! Akan kubalas semua perlakuan kejam ini.‘Aku mau dibawa ke mana sebenarnya?Tiada putusnya mataku memandangi di sekeliling jalan ini lewat kaca jendela. Begitu sepi, hanya satu atau dua saja kendaraan yang lewat. Aku semakin cemas dibuatnya. Mau apa mereka? Apa mereka punya rencana lebih jahat lagi padaku? Chika, kamu di mana Sayang. Andaikan saja kamu tahu apa yang dilakukan oleh Mam
POV Deno‘’Untuk apa kalian memberiku makan? Lebih baik bunuh saja akuu!’’ teriakku lantang.Sudah seminggu aku disekap di sini. Tendangan dan pukulan bertubi-tubi kuhadapi, hingga membuat wajahku babak belur seperti ini. Mukaku begitu terasa sakit. Kukira mertuaku itu akan membawaku pergi ke luar kota, namun tak sesuai ekspektasi. Sungguh dia pandai sekali bersandiwara membuat aku percaya.Ternyata aku dibawa ke rumah kosong yang sudah tua. Masih teringat olehku ketika aku berada di mobil, asistennya membekap mulutku hingga membuat aku pingsan. Aku yakin ada resep yang ditaburkannya pada sapu tangan itu. Tak berselang lama tiba-tiba aku sudah sadar dengan keadaan air yang membasahi muka dan seluruh tubuhku. Aku yakin wanita licik itu yang menyiramkannya. Kenapa aku jadi bodoh seperti ini. Sialan!‘’Awas aja kalo aku bisa keluar dari sini. Aku akan balas semuanya,’’ geramku dalam hati yang memandangi kedua lelaki bertubuh kekar itu.‘’Ngapain loh melototin kita kayak gitu? Mau kabur,