Aku tersenyum sinis menatap suamiku, dia masih asyik mematut diri di depan cermin dan sibuk merapikan rambutnya, tiba-tiba suara rengekan putriku terdengar.
‘’Ma,’’ rengek Naisya. Aku segera menghampirinya. ‘’Duh, Sayang udah bangun ya? Kita cuci muka dulu, yuk!’’ ucapku lembut sambil menggendongnya. ’’Biar Bibi Sum yang jagain Naisya. Kita kan mau makan. Mas udah laper nih,’’ katanya tanpa berpaling dari cermin. ‘’Naisya belum mandi, Mas. Masa disuruh Bibi yang jaga,’’ jawabku agak kesal, lalu melangkah. Namun, langkahku terhenti ketika dia berbicara lagi. ‘’Nel, itu kan tugas Bibi. Kenapa sih kamu? Aku Cuma minta temenin makan. Mana ada selera makan sendiri,’’ kata Mas Deno ketus. Aku tahu, berdebat dengannya hanya akan memperburuk suasana. Saat ini terpaksa aku mengalah dan berpura-pura tidak tahu soal perselingkuhannya. Karena aku punya rencana besar dan untuk saat ini, berpura-pura bodoh adalah pilihan yang tepat. ‘’Iya, iya, Mas. Maafkan aku deh. Aku titip Naisya ke Bibi dulu. Setelah itu aku mandi sebentar,’’ jawabku lirih., mencoba meredakan ketegangan. Di ruang makan, Bibi Sum sedang beberes. ‘’Bi!’’ sapaku sambil menghampirinya. Bibi menoleh. ‘’Eh, Ibu? Ini sebentar lagi siap, Bu,’’ sahutnya sambil tersenyum. ‘’Bu? Ibu ngga salah pesen kan?’’ Membuat aku melongo. ‘’E—engga kok, Bi. Emang kenapa?’’ Si Bibi sepertinya juga terheran menatapku, dia menghentikan tangannya bekerja. ‘’Ibu liat aja sendiri nanti ya. Bibi takut kalo ketauan sama Bapak menu yang begituan apa beliau ngga marah? Tapi, Ibu ngga mesan menu yang ngga disukai Bapak kan?’’ Ah, aku tak mengerti dengan ucapan Bibi Sum saat ini. Ah, aku jadi penasaran, menu apa yang dipesan oleh wanita murahan itu. ‘’Ehem..Biar aku aja yang urus ya, Bi. Aku minta bantuan Bibi boleh?’’ ‘’Ini Bi, Naisya belum mandi. Dia baru bangun tidur. Aku minta tolong buat mandiin Naisya dan jagain dia sekalian ya, Bi. Maaf merepotkan kali ini, maklumlah Bibi kan tahu gimana Bapak. Bapak minta ditemenin makan,’’ ucapku lirih karena takut kedengaran dengan Mas Deno. ‘’Siap, Bu. Eh, nggak merasa direpotkan sama sekali kok. Bibi senang banget malahan bisa bantu Ibu,’’ jawabnya dengan senyuman tulus. ‘’Ini udah selesai, yuk Nai mandi sama Bibi! Nanti kita main sepuasnya.’’ Bibi Sum tertawa kecil. ‘’Makasih banyak ya, Bi? Main sama Bibi ya, Dik?’’ Aku menyerahkan Naisya ke Bibi Sum. Naisya tampak tersenyum manis dalam gendongan Bibi. ‘’Sama-sama, Bu,’’ sahutnya tersenyum. ‘’Ya udah, jangan rewel sama Bibi ya, Dik.’’ Bibi pun berlalu meninggalkanku. Aku kembali ke ruang makan, menatap hidangan yang tertata rapi di meja makan. Ada ikan bakar, rendang daging, sayur brokoli dan semur jengkol? . ‘’Tapi. Tunggu!’’ Aku beralih mematut semur jengkol. Pasti menu ini yang dimaksud oleh Bibi Sumi. Aku tertegun. Sejak kapan Mas Deno suka jengkol? Setahuku, di benci sekali dengan jengkol. Apa ini pesanan wanita itu? Pikiranku berkecamuk, mengingat isi pesan wanita selingkuhannya ‘’Bukannya Mas Deno nggak suka semur jengkol, sejak kapan dia suka? Kalo Mas Deno nggak suka nggak mungkin akan dipilihkan menu ini oleh wanita murahan itu.’’ Kenangan tentang betapa jijiknya Mas Deno pada jengkol berputar di kepalaku. Dulu, dia pernah memintaku membuang jengkol dari meja makan. Kini? Makanan ini langsung dipesan oleh wanita itu, tak mungkin dia memesan menu ini jika Mas Deno tak suka. Ada yang tidak beres. Aku mengusap wajahku, beristighfar berkali-kal untuk menenangkan pikiranku, bergegas aku menuju wastafel. Mungkin dengan menyentuh air, setidaknya bisa mengurangi rasa panas yang menjalar di kepala. Saat aku melamun, tiba-tiba ada lengan yang melingkar di pinggangku. Refleks aku berbalik. ‘’Astaghfirullah, Mas!’’ seruku kaget. Dia malah tertawa kecil. ‘’Ya Allah, Mas! Bikin kaget aja tau nggak sih,’’ kesalku sambil mencoba menjauhkan tangan kekarnya dari pinggangku. ‘’Kenapa kaget, Sayang? Apa yang sedang kamu pikirin ayo? Hem?’’ tanya Mas Deno, nada manisnya terasa palsu. ‘’Lepasin nggak, Mas!’’ kataku kesal, namun dia hanya menatapku. Aku mencoba melepaskan diri dari pelukannyam tapi dia menahanku dengan kekuatan yang lebih besar. ‘’Kok gitu, Sayang? Hei, coba liat Mas. Kenapa kamu berubah kayak gini? Kamu nggak seperti Nelda yang Mas kenal dulu,’’ katanya, tatapan Mas Deno mencoba menembusku. Aku berpaling, berusaha menutupi rasa muak yang mengalir. ‘’Aduuh! Ya Allah! Aku lupa, kenapa sih sulit banget untuk berpura-pura nggak berubah ke dia. Ntar malah kebongkar semuanya dan rencanaku bakalan gagal lagi.’’ Aku membatin. Aku harus tetap tenang dan jangan gegabah. ‘’Hei, Sayang! Kenapa melamun? Hem?’’ ‘’E—enggak kok, Mas. Kan aku udah bilang lagi nggak enak badan aja,’’ sahutku, memaksakan tersenyum. Dia masih nyaman melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku sudah berusaha menahan jijik dan pengap. ‘’Mas, Mas pasti laper banget. Yuk kita makan!’’ ajakku, mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku langsung menggandeng tangannya, membawanya ke meja makan. Namun, ketika dia melihat hidangan yang tertata di meja, matanya sempurna membulat. Pergerakannya terhenti ketika hendak menghenyak di kursi. ‘’Rasain kamu tuh, Mas! Pasti kamu kaget melihat menu ini kan? Hahah!’’ batinku merasa menang. ‘’Lah, kenapa, Mas? Duduk dulu! Kan kita mau makan,’’ lirihku yang sedari tadi sudah menghenyak di kursi. Aku mencoba untuk menahan tawaku agar tak tumpah begitu saja. Kutarik napas pelan. ‘’Susah juga bersandiwara begini ya?’’ batinku sambil terkekeh. ‘’Ka—kamu pesan makanan ini di mana?’’ tanya Mas Deno dengan suara tercekat. ‘’Ya, di warung nasi lah, Mas. Masa di bank ya kan?’’ jawabku, mencoba bercanda. ‘’Apa? Jangan bercanda deh. Orang lagi serius kamunya malah bercanda. Ngga lucu!’’ Nada suaranya tinggi dan wajah Mas Deno memerah, membuatku semakin yakin ada yang disembunyikannya. ‘’Astaghfirullah, hei Mas! Kenapa sih marah-marah nggak jelas begini? Aku kaget tahu nggak.’’ ‘’Kamu jelasin dulu ke aku, apa masalahnya? Ini malah marah-marah nggak jelas. Ada apa? Kamu ada masalah di kantor?’’ Mas Deno tampak menarik napasnya, lalu memijit keningnya yang kurasa kepalanya sudah terasa pening. Dia mulai menghenyak di kursi. Aku tersenyum sinis sambil mengalihkan pandanganku. ‘’Maafkan, Mas,’’ lirihnya kemudian. ‘’Aneh deh kamu, Mas,’’ batinku sambil menggeleng. Aku hanya terdiam sejenak dalam pikiran yang merasa menang. ‘’Kamu kan tau, Mas nggak suka makanan yang beginian. Mas lebih suka masakan kamu,’’ lirihnya pelan. ‘’Bohong kamu, Mas! Kalo nggak, nggak mungkin si Pelakor ini memesan menu yang beginian,’’ batinku kembali sambil menyunggingkan bibir. ‘’Aku tau, Mas. Tapi, ini kayaknya enak banget loh, Mas. Dicoba dulu deh, siapa tau Mas suka dan ketagihan ntar.’’ ‘’Kamu gimana sih, Nel. Udah aku bilang, aku nggak suka makanan kayak beginian,’’ kesal suamiku. Tampak mukanya merah padam. Katakan sajalah Mas, bahwa makanan itu adalah menu favorit kamu dan selingkuhanmu itu. ‘’Iya aku tau. Tapi Mas coba aja dulu tuh ada ikan bakar sama rendang daging Padang. Cicip dulu siapa tau enak. Daripada Mas kelaparan gimana cobak?’’ ‘’Ya udah, Mas. Kalo Mas ngga mau makan, biar aku aja yang makan. Kan mubazir,’’ kataku, mencoba menahan tawa. Dalam hati, aku merasa menang melihat wajahnya yang pias. Aku meraih piring dan mulai mengambil nasi. Mas Deno malah menatapku dengan tatapan kesal. ‘’Eh, kok gitu? Katanya kamu beliin untuk aku. Kok kamu yang makan?’’ ‘’Katanya Mas nggak suka sama makanan yang beginian. Ya…Daripada mubazir, mending aku aja yang makan sendirian. Sebanyak ini loh, mana aku pake uang arisanku lagi,’’ rutukku seperti kucing yang terjepit di pintu. Aku kembali mengambil rendang daging dan meletakkan di piringku. Kupandangi Mas Deno seperti menahan salivanya dan memegangi perut. Tak bisa disembunyikan. ‘’Hahahah! Dari sana udah ketahuan, Mas. Kalo menu ini adalah kesukaan kamu yang kamu makan bersama selingkuhanmu itu,’’ gumamku sembari menyuap nasi. Rasanya hampir saja aku tersedak menahan tawa. Bergegas aku mengambil segelas air, lalu meneguknya. ‘’Mas, Mas pasti laper yah? Makanlah, aku tau Mas laper banget. Iya kan?’’ ‘’Jangan bohongi perutmu loh, Mas. Kalo aku yang kamu bohongi nggak apa-apa,’’ kataku serius dan mataku tertuju pada perut Mas Deno yang sedang dipegangnya itu. Aku kembali meletakkan gelas yang masih tersisa seperempat air minum. ‘’Laper banget. Puas kamu?’’ ketus Mas Deno. Membuat tawaku keluar dan aku langsung menutup mulutku. Aneh sekali kamu, Mas. Bukannya marah, malah aku tertawa dibuatnya dengan tingkah anehmu itu. ‘’Lah, makanya makan dong, Mas. Tuh ada ikan bakar yang aku sisain untuk kamu. Kalo kamu nggak suka rendang,’’ tunjukku ke piring yang masih tersisa ikan bakar. ‘’Iya, iya. Nih aku makan, dari pada menahan laper. Kamunya nggak mau masak. Tega banget sih kamu!’’ kesal Mas Deno sambil mengambil piring, lalu menambahkan nasi dengan kasar. ‘’Aduuhh! Mas, Mas. Kamu itu bikin aku tertawa aja. Kena kamu, Mas!’’ gumamku dalam hati sembari menggeleng, aku puas melihatnya terjebak dalam permainanku. Ini belum seberapa rencanaku untukmu, Suamiku yang katanya setia sampe mati Bersambung.‘’Nel, kamu harus jujur sama aku. Di mana sih kamu pesen makanan tadi sore?’’ tanya Mas Deno mukanya tampak memerah. Aku tak menggubris pertanyaannya karena saking asyik bermain bersama Naisya, putriku. ‘’Nel! Kok kamu nggak dengerin, Mas!’’ Seru Mas Deno, suaranya mulai terdengar kesal. Aku menoleh sejenak.‘’Apaan sih, Mas? Orang lagi sibuk main dengan Naisya juga!’’ sahutku ketus. Tanganku sibuk menyusun mainan Naisya agar terlihat menarik dipandangi oleh Naisya. ‘’Apa salahnya sih menjawab pertanyaan doang,’’ sungut lelaki yang masih berstatus sebagai suamiku itu.‘’Kamu aneh-aneh aja sih, Mas. Ya, di warung nasilah aku beli. Masa di toko emas,’’ sahutku seketika.‘’Iya. Di warung nasi, oke. Nama warungnya apa? Kamu sih, tinggal bilang aja kok repot amat,’’ rutuk Papa Naisya seperti kucing yang tengah terjepit, membuatku hampir saja tertawa lepas mendengar rutukannya. Tapi aku mencoba menahan tawa semampuku.‘’Bukan aku yang beli. Temenku itu yang mesan kemaren.’’ ‘’Hah? Apa?
Sayup-sayup terdengar bunyi mesin mobil di luar sana. Itu pasti Mas Deno. Kucoba mengusap mata yang terasa perih dan tak kunjung bisa dibuka. Mataku tertuju ke benda yang melingkar di dinding. Sontak membuatku terperanjat kaget.‘’Pukul 01.00? Ya Allah! Apa aku salah lihat kali, ya?’’ Aku terus saja mengusap bola mataku tak henti-hentinya. Tetapi tetap saja angka 01.00 yang terlihat olehku. ‘’Allah! Ternyata udah larut malam. Aku tertidur setelah curhat ke Bibi, saking lelahnya pikiranku ini,’’ gumamku dalam hati.Langkah kaki terdengar lirih olehku menuju kamar. Aku yakin itu adalah si lelaki pengkhianat. Aku bergegas berpura-pura tertidur lelap dan membelakangi punggungku ke arah pintu. Kupasang pendengaranku dengan sebaik mungkin. Langkah kakinya semakin terdengar dekat dan pintu pun sedikit berderit. Hidungku seakan-akan mencium seperti bau minyak wangi seorang wanita. Ya Allah! Apa itu minyak wangi si pelakor yang lengket baunya di pakaian suamiku? Hatiku sungguh terasa ditusuk
Sepertinya Mas Deno masih kecewa padaku, tampak dari raut wajahnya. Ya, pasti dia kecewa karena aku menolak untuk hamil lagi. Lelaki seperi Mas Deno cukup satu anak saja. Dan aku tak kan mau untuk hamil lagi, sekali pun dia memaksaku. Aku menatapnya dengan tersenyum tipis sedari tadi melihatnya mengaduk-aduk nasi di piringnya itu hanya sesekali disuap oleh Mas Deno, entah apa yang tengah terpikirkan di benaknya itu.‘’Lah, Mas kamu nggak suka masakan aku?’’ tanyaku berpura-pura.Ya, tadi akhirnya aku memutuskan untuk memasak walau aku sempat merasa malas untuk memasakkan seleranya, tetapi aku harus berpura-pura bersikap layaknya seperti biasa, yang tak mengetahui perselingkuhannya. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.’’Bukan. Aku nggak ada selera aja,’’ sahut suamiku lemah.‘’Dasar kamu, Mas! Aku tahu kamu pasti kepikiran ucapanku tadi pagi yang menolak untuk hamil lagi. Iya kan? Lelaki kayak kamu itu nggak bisa punya anak banyak!’’ batinku sembari menyuap nasi ke mul
‘’Aku heran deh, Nel. Tumben kamu kayak gini,’’ cecar Mas Deno sambil menyunggingkan bibirnya kala berada di mobil. Aku yang masih fokus menyetir menoleh sejenak lantas tersenyum tipis.‘’Heran kenapa? Wajarlah aku kayak gini ke suamiku sendiri. Ada-ada aja kamu, Mas,’’ sahutku sembari menggelengkan kepala lalu fokus kembali menyetir.‘’Aku tuh pengen suami aku kayak lelaki lain penampilannya,’’ imbuhku meliriknya sejenak lalu kembali fokus menyetir.Semoga dia tak begitu curiga dengan sikapku agar semua rencanaku berjalan dengan lancar. Kini aku lebih banyak diam dan fokus menyetir, jadi kami tak begitu banyak mengobrol. Hanya sesekali saja. Entah kenapa selalu saja isi pesan dari si pelakor itu menari-nari di benakku, membuat hatiku teriris dan rasa benci hadir pada si lelaki yang duduk di sampingku ini. Tak berselang lama, aku telah tiba di depan Transmart. Bergegas memarkirkan mobilku. ‘’Yuk, Mas!’’ ajakku kepada lelaki yang masih bergeming sedari tadi. ‘’Ah, iya, Nel.’’ Aku dan
‘’Semoga hari ini semua rencanaku berjalan dengan lancar.’’Aku tersenyum sinis, kupandangi benda melingkar di tanganku, masih menunjukkan pukul 10.00. Kembali fokus menyetir sesekali melirik ke lelaki pengkhianat di sampingku. Dia lebih banyak diam sedari tadi, mungkin khawatir jika aku mengetahui semua pengkhianatannya padaku. Aku bukan istri bodoh! Dan aku bukan wanita untuk dikhianati.‘’Nel, kita ke mana sih? Kita pulang aja yuk!Naisya pasti nyariin,’’ lirih Mas Deno, aku menoleh sejenak dan menatap kedua mata elangnya. Tampak ada sesuatu yang tengah disembunyikannya di sana. ‘’Aku yakin ini tentang pengkhianatannya, dia takut akan terbongkar atau—’’‘’Entahlah!’’ batinku.‘’Kok kamu cemas begitu, Mas? Lucu deh, kamu kira aku akan bawa kamu ke penjara gitu?’’ Aku terkekeh memandangi ekspresi wajah Mas Deno. ‘’Bu—bukan begitu, Nel,’’ kilahnya terbata. Aku kembali menoleh.’’Lalu?’’‘’Kasihan Naisya kalo kita tinggal lama.’’ Dia bicara denganku tapi pandangannya ke depan. Ahh! D
‘’Nel! Cukup, Nel!’’ bentak Mas Deno dengan suara menggelegar dan berusaha merebut benda pipih yang tengah kugenggam.Akhirnya aku terpaksa mengakhiri live di instagram karena dia terus saja berusaha merebut benda pipih dari tanganku, aku takut nanti malah terbentur ke lantai apalagi perjuanganku untuk mendapatkan benda pipih ini sangat susah, dulu ketika aku masih gadis bekerja siang dan malam. Ya, sekarang yang penting followersku sudah tahu kalau lelaki yang selama ini dipuja olehnya adalah lelaki yang hobi main gila dengan wanita murahan. Aku bergegas memasukkan kembali ke saku-saku.‘’Apa kata kamu, cukup? Kamu yang cukup, Mas!’’ jawabku tak kalah lebih emosi lagi.‘’Tega kamu selama ini sama aku! Apa kurangnya aku? Apa yang nggak kuberi ke kamu, semuanya aku berikan! Aku temeni kamu dari nol, Papaku memberikan pekerjaan untuk kamu dan udah kaya raya kamu malah main dengan wanita murahan ini. Kamu bener-bener keterlaluan, Mas!’’ Kuluapkan semua amarahku, aku keluarkan apa yang
Entah kenapa aku sekarang sangat mencemaskan Nelda.‘’Mas, ada apa sih? Kok kamu kelihatan murung begitu?’’ Chika, selingkuhanku bergegas menghampiri dan dia menghenyakkan bokongnya di sampingku.‘’Kamu kepikiran Nelda yang udah mempermalukan kita itu? Mikir dong, Mas! Seharusnya kamu lebih bisa melupakannya!’’ kesal Chika seketika.Ya, beberapa hari nan lalu aku diviralkan oleh istriku sendiri di sosmednya, dia yang kukira tak tahu apa-apa ternyata begitu licik juga. Entah dari mana dapat ide semenarik dan selicik itu untuk mempermalukan aku di depan camera. Aku tak menyangka seorang Nelda akan melakukan hal yang di luar perkiraanku. Aku juga tak mengira jika perselingkuhanku terungkap secepat itu.‘’Atau kamu mau nggak kita bales aja tuh semua perlakuan si sok alim, gimana?’’ usul Chika dengan tersenyum sinis. Dalam hati aku membenarkan ucapan Chika. Tetapi hati kecilku memberontak, entah kenapa. Apa rasa cinta itu masih ada untuk istriku? Jika masih ada, mengapa aku lebih nyaman de
‘’A—aku di mana?’’ Aku memegangi kepala yang begitu terasa sakit. Samarku kulihat ada seorang lelaki muda lagi tampan, siapa dia?‘’Alhamdulillah, kamu udah siuman,’’ ucap lelaki itu sambil tersenyum.‘’Aku di mana?’’ ulangku kembali. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ya Allah, di rumah sakit? Aku coba mengingat kembali, pikiranku berputar mengingat semua kejadian beberapa jam nan lalu. Aku kecelakaan? Teringat kejadian itu saja membuat kepalaku pusing.‘’Kamu di rumah sakit. Kamu tadi kecelakaan,’’ sahutnya.‘’Oh iya, kenalkan namaku Reno!’’ Dia mengulurkan tangannya dan mendekat ke arahku yang tengah terbaring lemas ditambah terpasang indah selang infus dan perban. Aku memandanginya, sekian detik kemudian.‘’Aku Nelda.’’ Aku hanya menelungkupkan tangan di dada. Membuat dia menggaruk kepalanya, lantas mengangguk tersenyum. Ya, biar bagaimana pun aku dan lelaki itu bukan mahram. Aku mencoba untuk duduk, namun begitu terasa sulit sekali. Tubuhku sangat sakit.‘’Kamu istirahat d
Setelah bersalaman dengan mertua, sahabat, dan juga anakku. Saatnya kami berdua menaiki pelaminan. Lelakiku itu mengenggam erat tanganku untuk melangkah menuju pelaminan. Para tamu undangan pun langsung mengucapkan selamat dan bersalaman dengan kami berdua.‘’MaasyaaAllah. Mba Nelda? Akhirnya bertemu dengan Penulis favoritku.’’ Wanita yang kuperkirakan umurnya dua puluhan itu bergegas memelukku.‘’Alhamdulillah. Senang banget bertemu, Kakak.’’ Kami melepaskan pelukan. Matanya berbinar menatapku.‘’Semoga langgeng sampe Kakek Nenek yah, Mba.’’‘’Aamiin Ya Allah. Makasih banyak loh.’’Ternyata ada banyak pembaca yang kuundang hingga membuat kami tak bisa duduk beristirahat di kursi pelaminan karena menjabat tangan mereka satu-persatu.‘’Tapi kok Naisya belum ketemu sama aku sejak tadi?’’ Mataku sibuk mencari keberadaan si kecil.‘’Mama! Papa!’’ teriaknya yang membuat aku tertawa, anakku bergegas memelukku. Ternyata dia bersama Fani.‘’Duuh sayangnya Mama nih.’’ Aku memeluknya dengan era
Seminggu kemudian, hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Semua persiapan pernikahanku Fani dan teman-temannya yang mengurus. Aku tengah duduk di depan cermin. MaasyaaAllah, aku terlihat begitu cantik dan anggun dengan polesan make up tipis dari Sang Perias.‘’Akhirnya aku melepas masa jandaku. Semoga ini adalah pernikahan terakhirku seumur hidup dan semoga Reno imam terbaik untuk aku, juga jadi Papa sambung buat anakku.’’ Aku tersenyum memandangi bayangan wajahku di pantulan cermin.Ini adalah pernikahanku yang kedua kalinya. Sebelumnya tak pernah terniat di hatiku untuk menikah lagi, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Namun, apalah daya. Allah berkehendak lain. Lelaki itu selingkuh selama empat tahun lamanya. Menyisakan trauma dan luka yang mendalam. Hingga akhirnya datang seseorang yang dengan pelan-pelan bisa mengobati rasa luka dan traumaku. Dialah yang akan jadi calon imamku. Harapanku semoga ini adalah pernikahan terakhir dalam hidupku.‘’Cie-cie ada yang senyam-senyum
‘’Happy birth day, Om Reno.’’ Kali ini Naisya yang mengucapkan.‘’Makasih, Dik. Sayangnya Om Reno nih.’’ Tangannya mengelus kepala Naisya.‘’Ini kadonya dari aku, Om.’’ Anakku bergegas menyodorkan kado yang membuat para tamu undangan tersenyum.‘’Wah, ini Adik yang membungkus kadonya? Bagus banget. Makasih ya.’’ Lelaki itu langsung mengambil kado dari tangan Naisya lalu memandangi kado yang bersampul panda itu.‘’Bibi yang menyiapkan, Om. Dan uang untuk membeli kadonya minta ke Mama,’’ katanya dengan polos, berhasil membuat para tamu tertawa.Begitu juga dengan Reno dan orangtuanya. Aku memberi kode agar si Bibi memberikan kado yang tengah dipegangnya sedari tadi. Bibi langsung memberikannya padaku.‘’Dan ini dari aku ya, Ren. Jangan dilihat dari harganya. Tapi lihatlah siapa yang memberikannya.’’ Senyumannya mengembang lalu bergegas mengambil kado yang kusodorkan.‘’Makasi ya,’’ kata lelaki itu dengan suara lembut. Entah kenapa hatiku jadi tersentuh.***Tak ada acara hembus lilin. H
Setahun kemudian..Hari ini adalah ulang tahun Reno, lelaki yang selama ini kukira tidak baik. Lelaki yang selama ini aku ragukan ketulusan hatinya. Ternyata dia memang lelaki yang baik dan peduli padaku, terutama pada Naisya. Dia banyak sekali berkorban untukku dan juga anakku. Akibat kepeduliannya itu membuat sikap dinginku lenyap, apalagi Naisya sangat senang bermain dengan lelaki itu. Hingga sosok almarhum Papanya bisa digantikan oleh Reno. ‘’Udah setahun lebih tanpa kehadiran Mas Deno di sisiku dan juga Naisya. Semoga kamu tenang di alam sana ya, Mas. Dan diampuni segala dosa-dosamu,’’ lirihku sambil mematut diri di cermin.Ya, sudah setahun lebih lamanya aku menjanda. Sedangkan sahabatku Fani sudah menikah duluan dengan Fahmi, lelaki pilihan Mamanya. Yang ternyata dia adalah lelaki baik.Seiring berjalannya waktu rasa luka masa lalu itu dengan pelan mulai sembuh, disembuhkan oleh lelaki baik yang bernama Reno. Malaikat yang dititipkan Allah untukku.‘’Ma, yuk kita jalan sekaran
Dua hari kemudian..Anak semata wayangku sudah bisa dibawa pulang, Alhamdulillah panasnya sudah turun. Ya, walaupun dia sering memanggil nama Papanya. Terutama di saat tengah tertidur pulas. Sesuai prediksi Dokter Nira, anakku itu kemungkinan tengah merindu berat pada Papanya. Ditambah dia kekurangan istirahat, dia sering begadang karena tak bisa tidur beberapa hari kemarin.Aku pun sudah mencoba menghubungi nomor kontak Mas Deno, tapi nihil. Lelaki itu malah mereject telepon dariku, bahkan sudah berulangkali aku hubungi namun sekali pun tak diangkatnya. Apa dia tak kepikiran Naisya di sana? Apa dia tak mengalami hal yang sama seperti Naisya yang tengah rindu berat padanya? Atau karena dia sedang asyik bersama si pelakor itu? Jadi lupa sama anaknya? Aku menghela napas lega. Biarkan saja lelaki itu, toh dia tak kan mau peduli pada anakku. Biarkan saja aku yang membesarkan dan mendidik Naisya.****Hari ini aku bersyukur sekali, karena anakku bisa dibawa pulang. Aku mengusap kepala putr
Tanpa berkata apapun aku bergegas berpindah posisi duduk. Aku memeluk putriku di kursi belakang. Sedangkan lelaki yang bernama Reno itu langsung melajukan si roda empat. Ya, kali ini aku tak boleh egois. Yang paling penting sekarang Naisya tiba di rumah sakit dan mendapatkan perawatan dari dokter. Aku terus saja mengecup kening putriku yang tengah dalam pangkuan. Kubelai rambutnya.‘’Sayang, Adik pasti kuat. Yang sabar ya, Nak. Sebentar lagi kita pasti akan sampe di rumah sakit,’’ kataku lirih.Kuraba kepalanya, membuat aku semakin cemas. Panas anakku malah semakin naik.‘’Ya Allah! Kuatkan anakku. Sembuhkan dia.’’‘’Nel, kamu yang tenang ya. Banyakin berdo’a,’’ kata lelaki yang tengah fokus menyetir itu sesekali melirik ke belakang lewat kaca spion.Entah kenapa kali ini membuat hatiku lebih tenang. Ada apa denganku?Tak berselang lama mobilku sudah tiba di depan rumah sakit. Lelaki itu bergegas turun. Aku yang akan membuka pintu mobil membuat tanganku terhenti. Karena lelaki itu sud
‘’Astaghfirullah! Dik, kok kamu panas banget, Nak.’’ Aku mengusap kepala Naisya. Membuat aku terkesiap dan panik dibuatnya. ‘’Bibi!’’ ‘’Bi! Cepat ke sini!’’ ‘’Iya, Bu?’’ Wanita separuh baya itu terperanjat memandangi aku. ‘’Naisya, Bi. Kepalanya panas banget.’’ ‘’Tenang ya, Bu. Biar Bibi coba kompres dulu.’’ Aku sungguh tak tenang dibuatnya. Bagaimana tidak, tubuhnya begitu panas. ‘’Pa—Pa.’’ Membuat mataku membulat. Papa? Matanya masih terpejam namun dia memanggil mas Deno. Anakku ketika demam tak pernah memanggil papanya. Apa dia begitu rindu pada mas Deno? Ya Allah. Aku harus bagaimana? ‘’Bu, biar Bibi yang mengompres,’’ kata wanita separuh baya itu yang tengah melangkah memasuki kamar dengan tergopoh-gopoh sambil membawa baskom dan handuk kecil. Di saat anakku demam panas seperti ini bayangan wajah Mas Deno pun hadir di benakku. Ada apa ini? Bisa-bisanya aku teringat sama lelaki itu di saat genting seperti ini. ‘’Nggak, Nel. Kamu harus fokus ke anakmu. Nggak usa
‘’Hei, loh bisa diem nggak?’’ Tangan lelaki itu menamparku dengan spontan. Membuat aku meringis kesakitan. Andaikan saja aku punya tenaga dan tanganku tak diikat, mungkin aku akan membalas semuanya. ‘’Jangan dihabisin tenaga kalian. Tutup saja mulutnya,’’ titah wanita licik itu yang membuat mataku melotot.‘’Baik, Bu.’’ Dia bergegas melakban mulutku membuat aku sulit untuk bicara.‘’Dasar brengsek! Awas aja kalian semua. Aku bakal balas lebih kejam dari ini,’’ ancamku dalam hati. Lelaki yang tengah menyetir itu tersenyum puas menatapku, begitupun dengan lelaki yang duduk di sebelahku. Awas saja kalian! Akan kubalas semua perlakuan kejam ini.‘Aku mau dibawa ke mana sebenarnya?Tiada putusnya mataku memandangi di sekeliling jalan ini lewat kaca jendela. Begitu sepi, hanya satu atau dua saja kendaraan yang lewat. Aku semakin cemas dibuatnya. Mau apa mereka? Apa mereka punya rencana lebih jahat lagi padaku? Chika, kamu di mana Sayang. Andaikan saja kamu tahu apa yang dilakukan oleh Mam
POV Deno‘’Untuk apa kalian memberiku makan? Lebih baik bunuh saja akuu!’’ teriakku lantang.Sudah seminggu aku disekap di sini. Tendangan dan pukulan bertubi-tubi kuhadapi, hingga membuat wajahku babak belur seperti ini. Mukaku begitu terasa sakit. Kukira mertuaku itu akan membawaku pergi ke luar kota, namun tak sesuai ekspektasi. Sungguh dia pandai sekali bersandiwara membuat aku percaya.Ternyata aku dibawa ke rumah kosong yang sudah tua. Masih teringat olehku ketika aku berada di mobil, asistennya membekap mulutku hingga membuat aku pingsan. Aku yakin ada resep yang ditaburkannya pada sapu tangan itu. Tak berselang lama tiba-tiba aku sudah sadar dengan keadaan air yang membasahi muka dan seluruh tubuhku. Aku yakin wanita licik itu yang menyiramkannya. Kenapa aku jadi bodoh seperti ini. Sialan!‘’Awas aja kalo aku bisa keluar dari sini. Aku akan balas semuanya,’’ geramku dalam hati yang memandangi kedua lelaki bertubuh kekar itu.‘’Ngapain loh melototin kita kayak gitu? Mau kabur,