[Nanti aku kabari ke kamu kalau udah nemu kerjaannya.]
[Sekarang aku lagi makan sama istri kamu, Mas.]Jema mambalas pesan sambil mendengarkan celotehan Ava yang berisi keluhan dan ‘hinaan’ tentang suaminya. Terkadang dia heran sekaligus kagum dengan kesabaran Ziyan menghadapi istri semacam Ava ini. “Kamu tahu nggak, sih? Cicilan rumah kami aja belum lunas, Va! Gimana kami bisa nabung kalau Ziyan jadi pengangguran? Gaji aku aja cuma cukup buat kebutuhanku aja!” Memang benar, selama ini uang Ava hanya untuk memenuhi kebutuhannya saja. Mulai dari shopping, jalan-jalan, arisan, hingga liburan. Sedangkan untuk makan, cicilan rumah, hingga perawatan sepenuhnya ditanggung sang suami. Hal itu juga tidak luput dari sepengetahuan Jema. Gaya hidup hedon Ava terkadang membuatnya geleng-geleng kepala. Bukan karena iri, tetapi jutru kasihan—terutama untuk Ziyan. Namun, apa boleh buat, itu kehidupan temannya, Jema tidak bisa ikut campur lebih dalam lagi. “Kamu tahu nggak, sih? Aku, tuh, stres banget mikirin ini sejak semalam!” Ava menyangga kepalanya, berbicara dengan nada dramatis yang tidak dibuat-buat.Jema juga bisa melihat tekanan yang begitu menghimpit sahabatnya. “Va, kalau aku boleh kasih saran, nih.” Dia memajukan kursinya, kemudian melipat tangan di atas meja. “Buat sekarang, kamu coba fokus buat penuhin kebutuhan utama kalian. Shopping, hang out—liburan, itu nanti dulu. Lagian kalian udah sering liburan, hampir tiap minggu.”“Nggak liburan, shopping? Kamu gila?” Ava terlihat tidak terima. “Mana bisa, Ma! Terus gimana caraku biar ngilangin stres habis kerjaan?” Dia menggeleng dramatis. “Mending aku pinjol aja ketimbang nggak healing!”Ini dia masalahnya. Jema sudah tahu jika Ava memang sulit melepas gaya hidup mewahnya. Dulu, saat mereka masih sama-sama lajang pun Jema sampai kewalahan menghadapi ajakan hang out dan liburan temannya.Mereka memang berada di kelas sosial yang tidak jauh berbeda, tetapi Jema adalah kebalikan dari Ava. Terstruktur, pandangan jauh ke depan, hidup minimalis—sederhana, karena baginya liburan dan shopping bukan hal yang harus menjadi kebutuhan setiap saat. “Kalau kamu nggak bisa, kondisi keluargamu akan lebih sulit. Bukannya aku membela Ziyan, tapi dia pasti lagi bingung dan sama frustrasinya kayak kamu. Tahu sendiri, ‘kan, suamimu itu sayang banget sama kamu, Va.” Jema berusaha membuat Ava sadar.Ava berdecak, dia menyandarkan punggung sambil bersedekap. “Kamu nggak tahu aja gimana rasanya kalau udah menikah. Lebih mudah stres, Ma. Kamu, mah, enak masih bisa ngabisin duit gajian sendirian. Lagian kamu mana bisa tahu, toh, nggak berniat buat menikah juga, ‘kan?”“Lah, kalian belum punya anak, ‘kan? Aku nggak bilang kehidupan after married itu gampang, tapi selagi masih belum ada momongan, seenggaknya masih bisa untuk diatur pengeluaran kalian berdua.” Jema hanya berbicara berdasarkan realitas, karena bukan Ava saja yang belum lama menikah dan menunda untuk punya anak. Beberapa saudara sepupunya yang juga seorang wanita karir, telihat lebih terstruktur dalam permasalahan keuangan. Terlebih gaji mereka di atas UMR, sangat cukup untuk hidup di kota. Paling tidak, itu berdasarkan perhitungan Jema selama hidup berteman dengan pasangan suami istri itu."Nggak bisa, Ma. Aku nggak bisa bayangin hidup tanpa liburan dan shopping!" Ava bergidik ngeri membayang dirinya akan mati bosan hanya demi menghemat pengeluaran."Aku nggak bilang buat selamanya, cukup sampai suamimu dapat pekerjaan lagi. Tapi, kalau kamu nggak terima saranku juga nggak masalah, sih. Hanya aku nggak mau kamu tetlihat tertekan terus, Va."***Di rumah, Ziyan sedang sibuk membuka beberapa situs online yang berkaitan dengan pekerjaan. Barangkali ada lowongan di sana. Dia mendapati beberapa peluang di sana, kemudian mengirimkan CV dan beberapa persyaratan lainnya. Tidak lupa dengan menghubungi beberapa rekan kerja yang dia kenal di beberapa perusahaan, untuk menanyakan ada tidaknya lowongan.Lelaki itu tampak kelelahan karena berkutat di depan komputet dari pagi hingga sore. Namun dia cukup puas karena sudah bangak mengirim surat lamaran di berbagai perusahaan lewat online.Dia menguap beberapa kali. Mungkin karena terlalu semangat, Ziyan sampai melewatkan makan siang. Tubuhnya juga lelah, mata mulai terasa berat. Hingga lelaki itu akhirnya tertidur di depan komputer.Entah sudah berapa lama dia tertidur, Ziyan terkesiap saat mendengar nada dering ponselnya. Dari Ava."Astaga! Ini jam berapa?!" Ziyan kalang kabut. Begitu melihat jam di ponsel, matanya semakib melotot. Belum lagi dengan riwayat panggilan tak tetjawab dari istrinya. "Alamat kena amuk lagi ini!" Tanpa menunggu lama, Ziyan mengambil kunci mobil dan bergegas ke bagasi. Dia pergi tanpa memerhatikan penampilannya yang saat ini hanya mengenakan kaus pendek oblong dan celana selutut. Tidak lupa dengan rambutnya yang acak-acakan.***"Apa aku bilang? Dia pasti lagi enak-enakan rebahan di rumah sambil main game. Boro-boro inget buat jemput istrinya!" Ava menggerutu, sudah tujuh kali dia menelepon suaminya, tetapi tidak ada satu pun yang diangkat. Dia menghela napas jengkel. "Kamu pulang duluan aja, Ma. Aku nggak mau kamu ikutan telat pulang gara-gara aku nungguin Ziyan." Jema sebenarnya tidak masalah dengan hal itu, tetapi lantaran hubungan suami-istri tersebut sedang tidak akur, lebih baik dia menyingkir untuk saat ini. “Ya udah, Va. Nanti kabari udah sampai rumah, ya.” Dia akhirnya berpamitan.Setelah kepergian Jema, diam-diam Ava mematikan ponsel. Lalu, menghentikan taksi yang lewat dan menaikinya. Tanpa basa-basi dia meminta sopir mengantarknya ke alamat kantor Ziyan. Tujuannya kali ini tidak lain adalah untuk membuat perhitungan pada teman suaminya itu.Setelah sampai di tempat, dia beruntung karena Vino sedang lembur hari ini. Katornya tampak sepi, hanya ada tiga karyawan yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ava menghampiri meja Vino yang sedang menelepon—mungkin bosnya, karena Ava sedikit mendengar perbincangan itu.“Baik, Pak. Akan saya selesaikan hari ini. Laporan keuangan proyek Djuana hampir selesai—“Brakk!Semua orang terkejut sekaligus bingung dengan kehadiran Ava. “Kamu teman yang nggak tahu diuntung!” sentaknya bernada tinggi. Tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sana. “Apa-apaan ini? Datang-datang langsung ngamuk!” Sontak Vino beranjak dari duduknya. “Aku yang harusnya bilang begitu! Vino, teganya kamu memfitnah suamiku, hah!”Suasana ruangan itu menjadi panas. Mereka yang melihat keduanya berdebat tampak berbisik-bisik. “Apa maksudmu?”“Nggak usah sok bodoh! Kamu memfitnah Ziyan sampai dia dipecat. Itu semua gara-gara kamu, ‘kan?!”Lelaki berjas hitam itu tampak kelabakan. Tidak disangka bahwa istri temannya itu akan datang sendiri ke kantor untuk melabraknya. “Aku akan tuntut kamu atas pencemaran nama baik!”“Ma, aku nggak bisa menghubungi Ava. Nomornya nggak aktif.” Ziyan bingung dan cemas. Sudah berkali-kali dia mencoba untuk menghubungi istrinya, tetapi bisa. Hari sudah mulai gelap, tidak biasanya Ava pergi tanpa mengabarinya dulu.“Lho, bukannya kamu yang jemput dia, Mas?” Suara Jema dari seberang telepon menyahut. Ziyan memilih menepikan mobilnya, kemudian menjawab, “Aku udah sampai di tempat tujuan, tapi Ava nggak ada. Aku kirim pesan dan telepon juga nggak ada respons. Nomornya juga nggak aktif.” Suaranya terdengar gelisah. Beberapa kali dia mengibas rambut dengan frustrasi. “Oke, tenang dulu, Mas. Mungkin dia pergi ke suatu tempat dan HP-nya mati, jadi nggak bisa hubungin kamu.” Ava mencoba untuk menenangkan. “Salahku karena telat jemput dia. Aargh!” Dia tahu bahwa Ava sedang sensitif perasaannya. Memang sang istri bukan anak kecil yang harus 24 jam dalam pengawasan, tetapi jika pergi tanpa kabar, siapa juga yang tidak khawatir?Jema yang saat ini sedang ada di rumah merasa ber
Tanpa basa-basi, Ava diseret ke luar oleh suaminya. Dia mencoba untuk memberontak, tetapi gagal lantaran cengkraman Ziyan pada tangannya cukup kuat. Jema tetap tinggal di ruangan untuk meminta maaf kepada Pak Kemal dan Vino. Sementara itu, Ziyan membawa istrinya sampai di depan lift. Karena hari sudah gelap, kantor pun tampak sepi. "Kamu ini apa-apaan, sih!" Ziyan mulai mengomel. "Mau malu-maluin aku? Ini bukan kantor aku lagi Va."Ava membuang napas kasar. "Apa? Malu-maluin? Harusnya kamu itu berterimakasih, Mas! Aku ngebela kamu, lho! Datang ke sini buat meminta keadilan."Ziyan mengacak rambut dengan frustrasi. Dia tahu bahwa wanita itubmelakukan hal ini demi dirinya. Ava memang orang yang seperti itu, sedikit saja mencium ketidakadilan maka dia akan mengusutnya sampai tuntas. Hanya saja, hal seperti ini akan menambah masalah. "Tapi, bukan begini caranya, Va." "Terus, kamu mau aku gimana, hah?!" Ava mulai bersungut-sungut. "Diam sampai kamu mau turun tangan? Hahaha. Itu mus
"Aku bisa pulang sendiri, kok," kata Jema saat mereka bertiga sudah ada di area parkir. "Arah rumahku sama kalian, 'kan, beda."Ziyan menawarkan untuk mengantar Jema pulang, dan hal itu disetujui oleh Ava. "Tapi, kamu udah jauh-jauh ke sini, Ma. Nggak enak, dong, kalau kamu pulang sendiri," kata Ava yang merasa tak enak hati."Nggak usah, Va. Beneran, deh. Kalian pulang aja dulu."Karena Jema tetap bersikeras untuk pulang sendiri, mereka pun akhirnya pergi tanpanya. Di perjalanan, Ava dan Ziyan sedikit berbincang tentang masalah hari ini. Sang suami pun menjelaskan alasan mengapa dirinya telat menjemput. Bukan untuk mencari pembenaran, melainkan untuk meyakinkan Ava bahwa dirinya tidak bersikap pasrah begitu saja. Lagi pula, bekerja di tempat dia dulu tidak sepenuhnya baik. Rekan kerja yang terlalu kompetitif hingga rela melakukan hal kotor, sampai bosnya yang tidak adil dan hanya mendengar dari satu pihak saja. Sungguh sangat melelahkab bekerja di tempat seperti itu. Ziyan juga su
"Lho, Jema?" Arum, ibunya Ziyan tampak kaget dengan kedatangan wanita itu. "Pagi, Tante." Sapaan penuh kehangatan dan keceriaan dari Jema tampaknya menular ke wanita paruh baya di depannya. Dia terkekeh pelan. "Maaf, Tante, Jema datang nggak ngabarin dulu.""Aduh, duh... sini, Nak. Tante malah senang kamu datang." Raut kegembiaraan wanita itu tidak dapat dimungkiri. Rumah yang tidak asing bagi Jema menyambutnya dengan hangat. Tidak dapat terelakkan bahwa dia terkadang merasa rindu dengan suasana rumah ini.Tidak terlalu besar, tidak kecil juga. Rumah yang sederhana, tampak rapi dan 'cantik' dalam versinya. Di halaman, bunga-bunga yang cantik dan penuh warna sudah menyambutnya lebih dulu. Aroma khas kue kering dan pengharum ruangan bunga lavender jadi iconic setiap berkunjung ke sini. "Tante Arum lagi buat kue, ya?" tanya Jema setelah tiba di ruang tamu. Tidak jauh dari sana, lokasi dapur memang mudah dijangkau. Jadi, tidak jarang jika bertamu di rumah ini akan disuguhkan pemandanga
Ava masih tidak terbiasa dengan kehadiran Jema. Bukan apa-apa, tetapi ini sungguh di luar prediksinya. Kenapa dan bagaimana bisa perempuan itu ada di rumah mertuanya?"Ini kue buatan Ibu sama Jema. Kalian pasti suka." Arum sangat antusias menghidangkan camilan manis itu. Rait wajahnya berbeda dari beberapa menit yang lalu--waktu menyambut kedatangan anak dan menantunya. "Temanmu ini, lho, Va. Datang pagi-pagi buat bantuin Ibu bikin kue sama bersih-beraih rumah. Ibu jari bisa leha-leha dikit, deh," lanjut wanita bersanggul itu.Ava tampak tidak terlalu memerhatikan ucapan mertuanya. Dia sibuk meneliti Jema, seakan temannya itu makhluk asing dari luar angkasa. "Kamu, kok, ada di sini, Ma?" tanya Ava pada akhirnya. "Oh, iya. Aku--" Dia menggantungkan kalimatnya sembari melirik sekilas ke arah Ziyan. "Aku cuma mampir. Niat awalnya cuma nyapa sebentar--oh, dan aku kira kamu udah ada di sini sejak pagi. Jadi, biar sekalian main. Tapi, ternyata kamu datangnya sore menjelang malam."Itu su
Situasi tidak kian mereda meski Ziyan sudah berusaha untuk melerai. Dia menatap istrinya, seolah memberi kode agar Ava berhenti menyahut ucapan Arum. "Bu. Coba, dong, berpikir objektif. Mas Nevan udah punya jabatan tinggi di kantornya saat nikah sama Mbak Hanna. Mbak Hanna juga udah dapet warisan dari orang tuanya, udah punya rumah. Sedangkan aku nikah sama Mas Ziyan di saat kami baru dapat kerjaan. Rumah juga masih awal tahun ini kami cicil." Ava mengambil napas. "Aku nggak mau ngambil risiko punya anak yang nanti malah nggak keurus dengan baik. Apa aku salah?" Sejak tadi dia terlihat kesal karena menantunya itu menjawab terus ucapannya. Arum hendak menyahut, tetapi dihentikan oleh suaminya. Di saat ada peluang itu, Ziyan langsung membawa istrinya ke teras. Jema tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Memang sudah benar seharusnya dia pergi dari sejak sebelum makan malam. Situasi canggung dan sentimentil ini membuatnya tidak nyaman. Hal itu juga disadari Pak Herman."Nak Jem
"Terlalu ikut campur?"Jema mengangguk sebagai jawaban. "Kamu ngebantu kami, Ma. Kalau bukan karena kamu, nggak mungkin kami tetap bersama sampai sekarang." Tidak bisa dimungkiri bahwa Jema memang memiliki peran tersendiri dalam kehidupannya dan Ava. Ziyan melihat Jema sebagai sahabat yang baik dan pengertian. Selalu ada dalam keadaan suka dan duka, melerai pertikaian suami istri yang terkadang kurang penting. Dia amat sangat berterimakasih akan hal itu.Perlahan kekhawatiran Jema menyusut. Syukurlah, paling tidak apa yang menjadi kecemasannya beberapa saat yang lalu telah mereda. Setelah sampai, Ziyan langsung berpamitan bahkan saat masih di dalam mobil. Lelaki itu merasa harus segera balik karena situasi rumah sedang dingin."Hati-hati di jalan, ya, Mas." Jema melambai singkat, kemudian masuk ke rumah setelah mobil Ziyan menghilang dari pandangan.***Keesokan harinya, Ava bangun kesiangan. Pukul 7.30 waktu setempat. Sebenarnya itu adalah jam biasa dirinya bangun setiap hari lib
"Mending kita pisah aja, Mas!"Ziyan tertegun untuk beberapa saat. Ini kali pertama dia mendengar ucapan itu. Tangannya terangkat untuk mengacak rambut, dia berbalik dan mengatur napas, berusaha untuk tenang. Entah mengapa dia merasa lelah untuk semua ini.Tidak lama, dia berbalik dan menatap istrinya. "Aku anggap nggak pernah dengar ucapan kamu tadi." Membuang napas, dia melanjutkan, "terserah kamu kalau mau pulang. Aku panggilkan taksi. Nanti aku nyusul setelah ketemu sama Bang Nevan dan keluarga."Setelah mengatakan itu, Ziyan keluar kamar. Raut masam Ava tidak berubah. "Nyebelin banget, sih, jadi suami! Lebih mentingin keluarga kakaknya daripada istri sendiri!" Dia melanjutkan kemas-kemas barang. Setelah selesai, dia menghubungi Jema dengan mengirim pesan. Di saat seperti ini memang hanya ada sahabatnya yang bisa dijadikan tempat "pengaduan".[Malam ini aku mau nginep ke rumah kamu, ya, Ma. Alasannya nanti aku jelasin pas ketemu.]Ada kemungkinan Ziyan tidak akan pulang malam in