"Mending kita pisah aja, Mas!"Ziyan tertegun untuk beberapa saat. Ini kali pertama dia mendengar ucapan itu. Tangannya terangkat untuk mengacak rambut, dia berbalik dan mengatur napas, berusaha untuk tenang. Entah mengapa dia merasa lelah untuk semua ini.Tidak lama, dia berbalik dan menatap istrinya. "Aku anggap nggak pernah dengar ucapan kamu tadi." Membuang napas, dia melanjutkan, "terserah kamu kalau mau pulang. Aku panggilkan taksi. Nanti aku nyusul setelah ketemu sama Bang Nevan dan keluarga."Setelah mengatakan itu, Ziyan keluar kamar. Raut masam Ava tidak berubah. "Nyebelin banget, sih, jadi suami! Lebih mentingin keluarga kakaknya daripada istri sendiri!" Dia melanjutkan kemas-kemas barang. Setelah selesai, dia menghubungi Jema dengan mengirim pesan. Di saat seperti ini memang hanya ada sahabatnya yang bisa dijadikan tempat "pengaduan".[Malam ini aku mau nginep ke rumah kamu, ya, Ma. Alasannya nanti aku jelasin pas ketemu.]Ada kemungkinan Ziyan tidak akan pulang malam in
Sesaat Jema membeku, terkejut dengan keberadaan Ava yang mendadak seperti ini. Dari seberang telepon dia mendengar Ziyan berbicara, "Jangan bilang kalau aku yang menelepon, ya, Ma."Ketika itulah dia menjawab, "Temen kantor, Va. Besok katanya ada meeting pagi-pagi sama atasan. Ngingetin aja biar nggak telat." Ava tampak menimbang sesuatu. "Oh, dari Desi, ya? Aku udah denger itu dari sore. Malam-malam gini dia nelpon kamu?"Sial. Jema tahu bahwa jika sudah memulai kebohongan, maka akan sulit berkata jujur di kemudian hari. "Iya. Biasalah, sekalian dia curcol soal doinya." Ava yang tahu bahwa Ja memang dekat dengan teman satu divisi dengan mereka itu hanya bisa mengangguk. "Ya udah. Aku tadi kaget kamu nggak ada di ranjang kirain lagi ke toilet atau apa." Dia kemudian menguap. "Kalau gitu aku tidur lagi, ya. Bilang ke Desi kalau curhat jangan di tengah malam begini. Ganggu orang tidur, tahu."Jema hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya.Setelah Ava kembali ke kamar, Jema berbicar
"Kalau terkenal mesum, kenapa masih ada di perusahaan?" Dia hanya berpikir jika memang semenakutkan itu, apa alasan perusahaan masih menerima orang sepertinya? Tidak, kecuali memang dia orang yang cukup berpengaruh.Di jam pulang kantor, suasana memang cukup sepi. Hanya beberapa orang yang tinggal untuk lembur. Sambil menaiki lift, Jema memberi kabar kepada Ziyan bahwa kemungkinan ada posisi di kantornya. [Apa kamu nggak masalah kalau harus satu kantor sama kami?]Pintu lift tertutul dan dua lantai dari kantornya menjadi tujuan wanita itu.[Aku, sih, nggak masalah. Tapi, mungkin bakal mengejutkan Ava.][Jadi, sekarang kamu masih di kantor? Ava memenin kamu nggak?]Jema tidak membalas pesan itu karena pesan lain masuk dan itu dari teman kantornya tadi. [Biasanya Pak Mahen pulang setengah jam lebih lama darinjam normal. Aku dapat info dari temanku.]Jema memeriksa jamnya sekarang. Untunglah, masih ada waktu sebelum pria itu pulang.Sesampainya di sana, dia bertanya kepada karyawan yan
"Terima kasih buat apa, Mas?" Keduanya terkejut dengan kedatangan Ava yang tiba-tiba. Melihat keterkejutan Ziyan, Jema yakin bahwa lelaki itu belum memberitahu istrinya tentang hal ini. Jadi, dia mengambil inisiatif untuk mejawab, "Ini, Va. Aku udah nemu ker--""Makasih buat bantuan kemarin, Va." Ziyan menjawab cepat, memotong ucapan Jema yang saat ini terlihat bingung. "Kemarin dia udah bantuin Ibu dan kamu, 'kan?"Ava hanya ber-oh panjang sebagai jawaban. "Kamu, kok, ada di sini, Ma? Nggak ngabarin lagi. Tahu gitu aku ajak kamu ke salon bareng tadi." Dia duduk di samping suaminya, berhadapan dengan Jema. "Salon di depan murah, lho. Pelayanannya juga bagus. Apa karena baru buka, ya? Sekalian promosi gitu."Jema tersenyum, melirik kikuk pada Ziyan dan menjawab, "Tadi aku ada urusan di dekat sini, jadi sekalian mampir aja sebentar. Eh, bukannya kemarin kamu udah nyalon, ya, Va?" Seingatnya memang begitu. Ava ke salon sebelum bertandang ke rumah mertua. "Heheh. Lagi pengin aja, Va."
"Nggak tau, Va. Mungkin urusan kantor." Hanya itu yang menjadi jawaban Jema. Dia lantas memenuhi panggilan itu dan meninggalkan Ava dalam tanda tanya.Di ruangan Pak Mahesa, Jema duduk manis di depan meja kerja pria itu. "Saya bawakan berkas yang Bapak minta. Mungkin bisa sebagai bahan pertimbanganpertimbangan, ya, Pak." Dia menjulurkan tangan yang memegang amplop cokelat. Tiba-tiba Jema berjengit kaget saat tangannya disentuh oleh pria itu. "Pak--""Kamu baik banget, sih. Mau aja nolong temen kamu? Hm?"Dalam hati Jema memaki Pria Tua Bangka ini. Saat akan melepaskan diri, tangannya justru digenggam semakin erat. "Pak, tolong. Ini kantor."Alih-alih melepas pegangan, pria itu menjawab, "Jadi, kalau bukan di kantor kamu mau?"Sial. Jema merutuk. "Bukan, Pak. Mau di mana pun, saya hanya karyawan biasa dan Anda adalah atasan meski tidak langsung. Saya kemari hanya untuk urusan pekerjaan." Dia berharap lelaki itu sadar dengan ucapannya. "Lho, memangnya saya bicara apa sampai kamu kel
Ziyan melihat pinggang Jema yang disentuh lelaki itu kemudian beralih menatap si wanita penih tanda tanya. "Mas, aku--""Siapa kamu?" Pak Mahesa terlihat tidak suka. "Dia teman saya, Pak." Jema berhasil melepaskan diri dan menjaga jarak. Suasana menjadi canggung, terlebih untuk Jema yang tidak tahu harus berkata apa. Situasi ini jelas memancing kesalahpahaman dan itu sangat buruk. "Biar aku jelasin dulu, Mas. Aku tadi cuma--""Jadi ini teman kamu? Yang minta buat kerja di kantor kita?" Pak Mahesa tidak menatap remeh Ziyan. "Kamu pinter banget, ya, memanfaatkan perempuan sebaik Jema buat keuntunganmu?"Ziyan mengerutkan kening tak paham. Dia menghampiri mereka karena dari jauh Jema terlihat tidak nyaman dengan pria itu. Memang terlihat mencurigakan, apalagi sosok gendut dan pendek itu terus bersikap aneh. "Maaf, tapi maksudnya apa, ya?" ucap Ziyan. "Jema, kamu bisa jelaskan?" "Mas--""Kamu itu jadi laki-laki harus punya harga diri, dong." Pak Mahesa lagi-lagi memotong ucapan Je
Ava menggeram kesal karena ponsel suaminya sulit dihubungi. Sudah hampir setengah jam dia menunggu di depan toko tas dan tidak ada tanda-tanda akan munculnya sang suami. "Dia ngilang ke mana, sih?!" "Lelaki nggak bertanggungjawab!""Main ditinggal aja! Awas aja kalau nanti ketemu!""Nyebelin banget, sih!""Suami nggak berguna!"Serentetan kalimat umpatan dia lontarkan tanpa beban. Memangnya ada istri yang sabar ketika ditinggal suaminya saat belanja? Untung saja dompet lelaki itu ada padanya. Jika tidak, siap-siap Ava akan mengamuk sepanjang jalan. Ava memutuskan untuk keluar Mall setelah membeli beberapa camilan kesukaannya. Menuju ke tempat parkir, dia merasa sedikit lega karena mobil suaminya masih di sana. Lantas, kemana perginya Ziyan. Dia memilih untuk berkeliling di luar Mall sambil melihat-lihat sekaligus mencari suaminya. Sampai dia tiba di halaman samping Mall tersebut. Ada dua orang yang jelas dikenalinya itu. "Itu Jema, 'kan? Kenapa bisa bareng sama Ziyan?" Melihat
Ava terkejut saat keluar kamar dan melihat suaminya tidur di sofa. "Jadi semalaman dia tidur di sana? Sengaja menghindar, ya!" gumamnya dengan jengkel. "Udah dikasih pintu kamar malah sengaja tidur di sofa." Menggelengkan kepala, dia melengos tak peduli dan memilih untuk siap-siap bekerja. Saat Ava sedang mandi, Ziyan terbangun dan langsung mengecek ponselnya. Melihat pesan, dia menghela napas lega karena sepertinya Jema lebih dulu tidur dibanding dirinya. Memulai aktivitas pagi, dia berjalan menuju dapur untuk melihat bahan makanan yang bisa dimasak pagi ini. ***Di kantor, Ava memerhatikan temannya dengan seksama. Wajah perempuan itu terlihat lebih baik dari yang terakhir dia lihat di Mall. "Ma," panggilnya dari balik sekat dengan sedikit melongok. "Kamu beneran udah nggak apa-apa?" "Iya, Va. Nggak apa-apa, kok.""Kenapa nggak cerita kalau kamu ada masalah?"Jema menghela napas panjang. "Bukan masalah besar dan aku nggak mau ngerepotin kamu."Ava menyipitkan mata, merasa tak