"Apa?!" teriak Ava setelah mendengar penjelasan dari Jema. "Mereka gila atau gimana?! Bikin gosip nggak ngotak kayak gitu!" Jema berusaha untuk menenangkan temannya. Saat ini kantin sudah mulai sepi dan memang dia sengaja meminta Ava tetap tinggal sedikit lebih lama untuk menceritakan apa yang terjadi. "Aku nggak tahu, Va. Kayaknya ini udah tersebar, deh." Bohong jika Jema tidak merasa sakit hati setelah mendengar berbagai ucapan buruk tentang dirinya."Sekarang coba ceritakan gimana asal-usulnya kamu jadi bahan gosip sekantor." Ava sedikit menekan karena sudah terlanjur emosi. Rasanya dia ingin melabrak orang-orang yang bergosip itu saat ini juga.Ini dia yang menjadi dilema Jema beberapa menit yang lalu. Jika dirinya tidak membicarakan masalah ini, dia takut Ava akan mendengarnya dari orang lain dan berakhir salah paham. Lagi pula, temannya itu juga lambat laun akan tahu karena hampir semua rekan kerjanya membicarakan masalah ini. Di sisi lain, jika Jema menceritakannya, Ziyan mun
Jema tidak bicara sejak perbincangannya dengan Pak Mahesa. Ava sendiri tidak berani mengatakan apa pun karena takut membuat temannya merasa tidak nyaman. Akhirnya dia membiarkan perempuan itu pulang lebih dulu.Saat Ava sudah di rumah, dia bertanya kepada suaminya. "Mas. Kamu tahu tentang masalah Jema dan Pak Mahesa?"Ziyan sedang duduk menonton televisi. Perhatiannya mendadak teralihkan karena pertanyaan itu. "Iya." Jika istrinya sudah bertanya begitu, maka tidak ada gunanya dia untuk menutupi lagi."Kok, kamu nggal bilang ke aku, sih, Mas!" Ava duduk di sofa tunggal dengan tangan yang terlipat di perut. "Kamu minta tolong ke Jema buat nyari kerjaan, sedangkan istrimu juga ke4ja di kantor yang sama.""Aku cuma nggak mau ngerepotin kamu, Va. Itu aja." Dalam hati, Ziyan melakukan itu karena Ava akan sulit untuk diajak kerjasama. Dia sadar bahwa istrinya hanya menuntut tentang pekerjaannya, tanpa ada dukungan seperti yang dilakukan Jema untuknya. Apakah salah jika Ziyan berpikir demiki
Seperti yang sudah diucapkan, Jema mampir ke rumah Pak Mahesa setelah pulang kerja. Ava menentangnya mentah-mentah, tetapi perempuan itu tetap pada pendiriannya untuk menyelesaikan masalah ini secepat mungkin. Bukan karena Jema tidak tahan akan cibiran orang-orang kantor, melainkan dia takut jika rumor buruk itu sampai ke telinga ibunya. Menjadi anak tunggal dari keluarga yang tidak utuh bukanlah perkara mudah. Di sisinya, hanya sang ibu yang menjadi alasan Jema tetap tegar dengan kedua kaki sendiri. Apa jadinya jika ibunya tahu bahwa sang anak menjadi bahan omongan sebagai wanita perusak rumahtangga orang lain?Jema tiba di depan pintu rumah bercat putih dengan dua lantai itu. Dia memencet bel dua kali. Membutuhkan waktu untuknya menunggu agar pintu terbuka. Mobil pria tua itu ada di depan rumah, jadi tidak mungkin rumah ini kosong, bukan? Saat dia akan menekan bel lagi, mendadak pintu itu terbuka. "Akhirnya yang ditunggu datang juga."Jema bersumpah bahwa senyum Pak Mahesa terli
Kedengarannya memang menarik, hanya saja bukan ini yang diinginkan Jema. Tujuannya datang kemari tidaklag untuk memenuhi permintaan Pak Mahesa, apa pun itu. Jadi, dengan satu kali gerakan, Jema berhasil membebaskan tangannya dari genggaman lelaki tersebut. "Pak, apa Anda sadar dengan ucapan Anda barusan, 'kan?""Yang mana?""Ajakan Anda.""Kenapa?" Pak Mahesa berlagak linglung. Mengabaikan perasaan risihnya, dia kembali berbicara, "Apa ini yang Bapak tawarkan ke karyawan lain di kantor?""Iya, Sayang--"Sebelum terlambat, Jema bergegas untuk berdiri dan meraih ponselnya. Dia mengamankan benda itu di tas dan tersenyum penuh kemenangan. "Mau ke mana kamu?" Pak Mahesa yang terkejut menatap perempuan itu dengan alis ditekuk. "Pulang," jawabnya enteng."Apa--""Untuk hari ini cukup sampai di sini saja, Pak." Tanpa beban, Jema tersenyum lebar. "Saya sangat berterima kasih karensa Bapak sudah meluangkan waktu untuk saya." Sebelum Jema berbalik pergi, Pak Mahesa mencegat tangan perempuan
Suasana menjadi suram, terutama apa yang dirasakan wanita itu. Yulia seketika bergerak mundur, seolah ingin melarikan diri dari sana. Namun, temannya yang bernama Gina itu mencegahnya. "Ada apa? Kamu ada urusan apa sama Pak Mahesa?" "Bu-bukan apa-apa. Eh, iya. Aku mau ke toilet dulu, ya." Yulia hendak berbalik, tetapi suara seseorang menghentikannya. "Bukannya lucu? Maling teriak maling." Jelas sindirian itu ditujukan kepada Yulia. Jema tersenyum puas melihat keadaan yang berbalik. Meski sebagian belum sadar dengan apa yang dia katakan, paling tidak Jema tahu bahwa dirinya tidak sepenuhnya berada dalam kegelapan. Ava yang bingung memberi kode dengan menaikan alis, seolah bertanya bahwa apa yang dibicarakan temannya itu. Hanya saja, alih-alih menjelaskan, dia justru berdiri dan menghampiri Yulia. "Tadi aku udah bilang kalau aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Kenapa malah kabur? Jangan bikin semuanya semakin jelas, dong." "Kamu ini bicara apa, sih?" Yulia tampak kesal. Dia menata
Di kafe, Jema berhadapan dengan Yulia. Wanita berwajah oval itu terlihat tidak nyaman dengan sesekali menggeser posisi duduknya. Di sisi lain, Jema justru bersikap santai dengan menikmati minuman berwarba hijau itu. "Jadi, apa yang sebenarnya kamu mau?" Tidak tahan, Yulia membuka perbincangan lebih dulu."Aku mau kita bekerja sama untuk membuat Pak Mahesa dipecat.""Apa?!" Jelas saja ucapan Jema membuatnya terkejut setengah mati. Bagaimana perempuan itu memikirkan hal gila tadi? "Kamu jangan bercanda, Jema. Kamu pikir kita ini apa? Pak Mahesa itu punya banyak koneksi dan bentar lagi bakal jadi anggota eksekutif di kantor."Jema dengan santai menganggukan kepala. "Aku tahu itu. Karena itulah aku nggak bisa sendiri. Kamu dan para karyawati lain yang sudah terjerat sama kebusukan Pak Mahesa. Aku butuh kalian."Kali ini Yulia tidak menjawabnya langsung. Wanita itu terlihat berpikir, sangat dalam hingga keningnya berkerut tajam. "Aku tahu ini nggak gampang buat kamu, Yulia. Aku juga memi
Belakangan Jema sibuk dengan rencananya untuk menggulirkan Pak Mahesa sampai pulang kerja pun yang ada di pikirannya hanya tentang lelaki tua itu. Tidak semua rencana yang disusunnya, ia ceritakan kepada Ava, tetapi sebagian kecilnya perempuan itu tahu apa tujuan Jema. "Apa kamu yakin kalau aku nggak perlu bantu apa pun?" Ava sudah menawarkan hal itu berkali-kali. "Nggak, Va. Aku yakin kamu juga capek. Lagian aku nggak mungkin bawa-bawa kamu, takutnya nanti malah kamu ikutan keseret dalam masalah ini." Dia menjawab dengan jujur. Ava menghela napas. "Ya sudah kalau begitu. Pesanku, jangan terlalu memaksa kalau memang capek dan yang penting bkamu harus hati-hati. Yang kamu lawan itu atasan di perusahaan tempat kita bekerja, lho, Ma.""Iya, Va, iya. Nggak mungkin aku lupa sama fakta itu." Justru karena alasan itulah dia ingin cepat-cepat memberi lelaki itu pelajaran yang setimpal. Akhirnya mereka berpisah di depan pintu gerbang. Seperti biasa, Ava menunggu jemputan sang suami dengan
Belakangan Jema sibuk dengan rencananya untuk menggulirkan Pak Mahesa sampai pulang kerja pun yang ada di pikirannya hanya tentang lelaki tua itu. Tidak semua rencana yang disusunnya, ia ceritakan kepada Ava, tetapi sebagian kecilnya perempuan itu tahu apa tujuan Jema. "Apa kamu yakin kalau aku nggak perlu bantu apa pun?" Ava sudah menawarkan hal itu berkali-kali. "Nggak, Va. Aku yakin kamu juga capek. Lagian aku nggak mungkin bawa-bawa kamu, takutnya nanti malah kamu ikutan keseret dalam masalah ini." Dia menjawab dengan jujur. Ava menghela napas. "Ya sudah kalau begitu. Pesanku, jangan terlalu memaksa kalau memang capek dan yang penting bkamu harus hati-hati. Yang kamu lawan itu atasan di perusahaan tempat kita bekerja, lho, Ma.""Iya, Va, iya. Nggak mungkin aku lupa sama fakta itu." Justru karena alasan itulah dia ingin cepat-cepat memberi lelaki itu pelajaran yang setimpal. Akhirnya mereka berpisah di depan pintu gerbang. Seperti biasa, Ava menunggu jemputan sang suami dengan