"Nggak tau, Va. Mungkin urusan kantor." Hanya itu yang menjadi jawaban Jema. Dia lantas memenuhi panggilan itu dan meninggalkan Ava dalam tanda tanya.Di ruangan Pak Mahesa, Jema duduk manis di depan meja kerja pria itu. "Saya bawakan berkas yang Bapak minta. Mungkin bisa sebagai bahan pertimbanganpertimbangan, ya, Pak." Dia menjulurkan tangan yang memegang amplop cokelat. Tiba-tiba Jema berjengit kaget saat tangannya disentuh oleh pria itu. "Pak--""Kamu baik banget, sih. Mau aja nolong temen kamu? Hm?"Dalam hati Jema memaki Pria Tua Bangka ini. Saat akan melepaskan diri, tangannya justru digenggam semakin erat. "Pak, tolong. Ini kantor."Alih-alih melepas pegangan, pria itu menjawab, "Jadi, kalau bukan di kantor kamu mau?"Sial. Jema merutuk. "Bukan, Pak. Mau di mana pun, saya hanya karyawan biasa dan Anda adalah atasan meski tidak langsung. Saya kemari hanya untuk urusan pekerjaan." Dia berharap lelaki itu sadar dengan ucapannya. "Lho, memangnya saya bicara apa sampai kamu kel
Ziyan melihat pinggang Jema yang disentuh lelaki itu kemudian beralih menatap si wanita penih tanda tanya. "Mas, aku--""Siapa kamu?" Pak Mahesa terlihat tidak suka. "Dia teman saya, Pak." Jema berhasil melepaskan diri dan menjaga jarak. Suasana menjadi canggung, terlebih untuk Jema yang tidak tahu harus berkata apa. Situasi ini jelas memancing kesalahpahaman dan itu sangat buruk. "Biar aku jelasin dulu, Mas. Aku tadi cuma--""Jadi ini teman kamu? Yang minta buat kerja di kantor kita?" Pak Mahesa tidak menatap remeh Ziyan. "Kamu pinter banget, ya, memanfaatkan perempuan sebaik Jema buat keuntunganmu?"Ziyan mengerutkan kening tak paham. Dia menghampiri mereka karena dari jauh Jema terlihat tidak nyaman dengan pria itu. Memang terlihat mencurigakan, apalagi sosok gendut dan pendek itu terus bersikap aneh. "Maaf, tapi maksudnya apa, ya?" ucap Ziyan. "Jema, kamu bisa jelaskan?" "Mas--""Kamu itu jadi laki-laki harus punya harga diri, dong." Pak Mahesa lagi-lagi memotong ucapan Je
Ava menggeram kesal karena ponsel suaminya sulit dihubungi. Sudah hampir setengah jam dia menunggu di depan toko tas dan tidak ada tanda-tanda akan munculnya sang suami. "Dia ngilang ke mana, sih?!" "Lelaki nggak bertanggungjawab!""Main ditinggal aja! Awas aja kalau nanti ketemu!""Nyebelin banget, sih!""Suami nggak berguna!"Serentetan kalimat umpatan dia lontarkan tanpa beban. Memangnya ada istri yang sabar ketika ditinggal suaminya saat belanja? Untung saja dompet lelaki itu ada padanya. Jika tidak, siap-siap Ava akan mengamuk sepanjang jalan. Ava memutuskan untuk keluar Mall setelah membeli beberapa camilan kesukaannya. Menuju ke tempat parkir, dia merasa sedikit lega karena mobil suaminya masih di sana. Lantas, kemana perginya Ziyan. Dia memilih untuk berkeliling di luar Mall sambil melihat-lihat sekaligus mencari suaminya. Sampai dia tiba di halaman samping Mall tersebut. Ada dua orang yang jelas dikenalinya itu. "Itu Jema, 'kan? Kenapa bisa bareng sama Ziyan?" Melihat
Ava terkejut saat keluar kamar dan melihat suaminya tidur di sofa. "Jadi semalaman dia tidur di sana? Sengaja menghindar, ya!" gumamnya dengan jengkel. "Udah dikasih pintu kamar malah sengaja tidur di sofa." Menggelengkan kepala, dia melengos tak peduli dan memilih untuk siap-siap bekerja. Saat Ava sedang mandi, Ziyan terbangun dan langsung mengecek ponselnya. Melihat pesan, dia menghela napas lega karena sepertinya Jema lebih dulu tidur dibanding dirinya. Memulai aktivitas pagi, dia berjalan menuju dapur untuk melihat bahan makanan yang bisa dimasak pagi ini. ***Di kantor, Ava memerhatikan temannya dengan seksama. Wajah perempuan itu terlihat lebih baik dari yang terakhir dia lihat di Mall. "Ma," panggilnya dari balik sekat dengan sedikit melongok. "Kamu beneran udah nggak apa-apa?" "Iya, Va. Nggak apa-apa, kok.""Kenapa nggak cerita kalau kamu ada masalah?"Jema menghela napas panjang. "Bukan masalah besar dan aku nggak mau ngerepotin kamu."Ava menyipitkan mata, merasa tak
"Apa?!" teriak Ava setelah mendengar penjelasan dari Jema. "Mereka gila atau gimana?! Bikin gosip nggak ngotak kayak gitu!" Jema berusaha untuk menenangkan temannya. Saat ini kantin sudah mulai sepi dan memang dia sengaja meminta Ava tetap tinggal sedikit lebih lama untuk menceritakan apa yang terjadi. "Aku nggak tahu, Va. Kayaknya ini udah tersebar, deh." Bohong jika Jema tidak merasa sakit hati setelah mendengar berbagai ucapan buruk tentang dirinya."Sekarang coba ceritakan gimana asal-usulnya kamu jadi bahan gosip sekantor." Ava sedikit menekan karena sudah terlanjur emosi. Rasanya dia ingin melabrak orang-orang yang bergosip itu saat ini juga.Ini dia yang menjadi dilema Jema beberapa menit yang lalu. Jika dirinya tidak membicarakan masalah ini, dia takut Ava akan mendengarnya dari orang lain dan berakhir salah paham. Lagi pula, temannya itu juga lambat laun akan tahu karena hampir semua rekan kerjanya membicarakan masalah ini. Di sisi lain, jika Jema menceritakannya, Ziyan mun
Jema tidak bicara sejak perbincangannya dengan Pak Mahesa. Ava sendiri tidak berani mengatakan apa pun karena takut membuat temannya merasa tidak nyaman. Akhirnya dia membiarkan perempuan itu pulang lebih dulu.Saat Ava sudah di rumah, dia bertanya kepada suaminya. "Mas. Kamu tahu tentang masalah Jema dan Pak Mahesa?"Ziyan sedang duduk menonton televisi. Perhatiannya mendadak teralihkan karena pertanyaan itu. "Iya." Jika istrinya sudah bertanya begitu, maka tidak ada gunanya dia untuk menutupi lagi."Kok, kamu nggal bilang ke aku, sih, Mas!" Ava duduk di sofa tunggal dengan tangan yang terlipat di perut. "Kamu minta tolong ke Jema buat nyari kerjaan, sedangkan istrimu juga ke4ja di kantor yang sama.""Aku cuma nggak mau ngerepotin kamu, Va. Itu aja." Dalam hati, Ziyan melakukan itu karena Ava akan sulit untuk diajak kerjasama. Dia sadar bahwa istrinya hanya menuntut tentang pekerjaannya, tanpa ada dukungan seperti yang dilakukan Jema untuknya. Apakah salah jika Ziyan berpikir demiki
Seperti yang sudah diucapkan, Jema mampir ke rumah Pak Mahesa setelah pulang kerja. Ava menentangnya mentah-mentah, tetapi perempuan itu tetap pada pendiriannya untuk menyelesaikan masalah ini secepat mungkin. Bukan karena Jema tidak tahan akan cibiran orang-orang kantor, melainkan dia takut jika rumor buruk itu sampai ke telinga ibunya. Menjadi anak tunggal dari keluarga yang tidak utuh bukanlah perkara mudah. Di sisinya, hanya sang ibu yang menjadi alasan Jema tetap tegar dengan kedua kaki sendiri. Apa jadinya jika ibunya tahu bahwa sang anak menjadi bahan omongan sebagai wanita perusak rumahtangga orang lain?Jema tiba di depan pintu rumah bercat putih dengan dua lantai itu. Dia memencet bel dua kali. Membutuhkan waktu untuknya menunggu agar pintu terbuka. Mobil pria tua itu ada di depan rumah, jadi tidak mungkin rumah ini kosong, bukan? Saat dia akan menekan bel lagi, mendadak pintu itu terbuka. "Akhirnya yang ditunggu datang juga."Jema bersumpah bahwa senyum Pak Mahesa terli
Kedengarannya memang menarik, hanya saja bukan ini yang diinginkan Jema. Tujuannya datang kemari tidaklag untuk memenuhi permintaan Pak Mahesa, apa pun itu. Jadi, dengan satu kali gerakan, Jema berhasil membebaskan tangannya dari genggaman lelaki tersebut. "Pak, apa Anda sadar dengan ucapan Anda barusan, 'kan?""Yang mana?""Ajakan Anda.""Kenapa?" Pak Mahesa berlagak linglung. Mengabaikan perasaan risihnya, dia kembali berbicara, "Apa ini yang Bapak tawarkan ke karyawan lain di kantor?""Iya, Sayang--"Sebelum terlambat, Jema bergegas untuk berdiri dan meraih ponselnya. Dia mengamankan benda itu di tas dan tersenyum penuh kemenangan. "Mau ke mana kamu?" Pak Mahesa yang terkejut menatap perempuan itu dengan alis ditekuk. "Pulang," jawabnya enteng."Apa--""Untuk hari ini cukup sampai di sini saja, Pak." Tanpa beban, Jema tersenyum lebar. "Saya sangat berterima kasih karensa Bapak sudah meluangkan waktu untuk saya." Sebelum Jema berbalik pergi, Pak Mahesa mencegat tangan perempuan