Situasi tidak kian mereda meski Ziyan sudah berusaha untuk melerai. Dia menatap istrinya, seolah memberi kode agar Ava berhenti menyahut ucapan Arum. "Bu. Coba, dong, berpikir objektif. Mas Nevan udah punya jabatan tinggi di kantornya saat nikah sama Mbak Hanna. Mbak Hanna juga udah dapet warisan dari orang tuanya, udah punya rumah. Sedangkan aku nikah sama Mas Ziyan di saat kami baru dapat kerjaan. Rumah juga masih awal tahun ini kami cicil." Ava mengambil napas. "Aku nggak mau ngambil risiko punya anak yang nanti malah nggak keurus dengan baik. Apa aku salah?" Sejak tadi dia terlihat kesal karena menantunya itu menjawab terus ucapannya. Arum hendak menyahut, tetapi dihentikan oleh suaminya. Di saat ada peluang itu, Ziyan langsung membawa istrinya ke teras. Jema tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Memang sudah benar seharusnya dia pergi dari sejak sebelum makan malam. Situasi canggung dan sentimentil ini membuatnya tidak nyaman. Hal itu juga disadari Pak Herman."Nak Jem
"Terlalu ikut campur?"Jema mengangguk sebagai jawaban. "Kamu ngebantu kami, Ma. Kalau bukan karena kamu, nggak mungkin kami tetap bersama sampai sekarang." Tidak bisa dimungkiri bahwa Jema memang memiliki peran tersendiri dalam kehidupannya dan Ava. Ziyan melihat Jema sebagai sahabat yang baik dan pengertian. Selalu ada dalam keadaan suka dan duka, melerai pertikaian suami istri yang terkadang kurang penting. Dia amat sangat berterimakasih akan hal itu.Perlahan kekhawatiran Jema menyusut. Syukurlah, paling tidak apa yang menjadi kecemasannya beberapa saat yang lalu telah mereda. Setelah sampai, Ziyan langsung berpamitan bahkan saat masih di dalam mobil. Lelaki itu merasa harus segera balik karena situasi rumah sedang dingin."Hati-hati di jalan, ya, Mas." Jema melambai singkat, kemudian masuk ke rumah setelah mobil Ziyan menghilang dari pandangan.***Keesokan harinya, Ava bangun kesiangan. Pukul 7.30 waktu setempat. Sebenarnya itu adalah jam biasa dirinya bangun setiap hari lib
"Mending kita pisah aja, Mas!"Ziyan tertegun untuk beberapa saat. Ini kali pertama dia mendengar ucapan itu. Tangannya terangkat untuk mengacak rambut, dia berbalik dan mengatur napas, berusaha untuk tenang. Entah mengapa dia merasa lelah untuk semua ini.Tidak lama, dia berbalik dan menatap istrinya. "Aku anggap nggak pernah dengar ucapan kamu tadi." Membuang napas, dia melanjutkan, "terserah kamu kalau mau pulang. Aku panggilkan taksi. Nanti aku nyusul setelah ketemu sama Bang Nevan dan keluarga."Setelah mengatakan itu, Ziyan keluar kamar. Raut masam Ava tidak berubah. "Nyebelin banget, sih, jadi suami! Lebih mentingin keluarga kakaknya daripada istri sendiri!" Dia melanjutkan kemas-kemas barang. Setelah selesai, dia menghubungi Jema dengan mengirim pesan. Di saat seperti ini memang hanya ada sahabatnya yang bisa dijadikan tempat "pengaduan".[Malam ini aku mau nginep ke rumah kamu, ya, Ma. Alasannya nanti aku jelasin pas ketemu.]Ada kemungkinan Ziyan tidak akan pulang malam in
Sesaat Jema membeku, terkejut dengan keberadaan Ava yang mendadak seperti ini. Dari seberang telepon dia mendengar Ziyan berbicara, "Jangan bilang kalau aku yang menelepon, ya, Ma."Ketika itulah dia menjawab, "Temen kantor, Va. Besok katanya ada meeting pagi-pagi sama atasan. Ngingetin aja biar nggak telat." Ava tampak menimbang sesuatu. "Oh, dari Desi, ya? Aku udah denger itu dari sore. Malam-malam gini dia nelpon kamu?"Sial. Jema tahu bahwa jika sudah memulai kebohongan, maka akan sulit berkata jujur di kemudian hari. "Iya. Biasalah, sekalian dia curcol soal doinya." Ava yang tahu bahwa Ja memang dekat dengan teman satu divisi dengan mereka itu hanya bisa mengangguk. "Ya udah. Aku tadi kaget kamu nggak ada di ranjang kirain lagi ke toilet atau apa." Dia kemudian menguap. "Kalau gitu aku tidur lagi, ya. Bilang ke Desi kalau curhat jangan di tengah malam begini. Ganggu orang tidur, tahu."Jema hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya.Setelah Ava kembali ke kamar, Jema berbicar
"Kalau terkenal mesum, kenapa masih ada di perusahaan?" Dia hanya berpikir jika memang semenakutkan itu, apa alasan perusahaan masih menerima orang sepertinya? Tidak, kecuali memang dia orang yang cukup berpengaruh.Di jam pulang kantor, suasana memang cukup sepi. Hanya beberapa orang yang tinggal untuk lembur. Sambil menaiki lift, Jema memberi kabar kepada Ziyan bahwa kemungkinan ada posisi di kantornya. [Apa kamu nggak masalah kalau harus satu kantor sama kami?]Pintu lift tertutul dan dua lantai dari kantornya menjadi tujuan wanita itu.[Aku, sih, nggak masalah. Tapi, mungkin bakal mengejutkan Ava.][Jadi, sekarang kamu masih di kantor? Ava memenin kamu nggak?]Jema tidak membalas pesan itu karena pesan lain masuk dan itu dari teman kantornya tadi. [Biasanya Pak Mahen pulang setengah jam lebih lama darinjam normal. Aku dapat info dari temanku.]Jema memeriksa jamnya sekarang. Untunglah, masih ada waktu sebelum pria itu pulang.Sesampainya di sana, dia bertanya kepada karyawan yan
"Terima kasih buat apa, Mas?" Keduanya terkejut dengan kedatangan Ava yang tiba-tiba. Melihat keterkejutan Ziyan, Jema yakin bahwa lelaki itu belum memberitahu istrinya tentang hal ini. Jadi, dia mengambil inisiatif untuk mejawab, "Ini, Va. Aku udah nemu ker--""Makasih buat bantuan kemarin, Va." Ziyan menjawab cepat, memotong ucapan Jema yang saat ini terlihat bingung. "Kemarin dia udah bantuin Ibu dan kamu, 'kan?"Ava hanya ber-oh panjang sebagai jawaban. "Kamu, kok, ada di sini, Ma? Nggak ngabarin lagi. Tahu gitu aku ajak kamu ke salon bareng tadi." Dia duduk di samping suaminya, berhadapan dengan Jema. "Salon di depan murah, lho. Pelayanannya juga bagus. Apa karena baru buka, ya? Sekalian promosi gitu."Jema tersenyum, melirik kikuk pada Ziyan dan menjawab, "Tadi aku ada urusan di dekat sini, jadi sekalian mampir aja sebentar. Eh, bukannya kemarin kamu udah nyalon, ya, Va?" Seingatnya memang begitu. Ava ke salon sebelum bertandang ke rumah mertua. "Heheh. Lagi pengin aja, Va."
"Nggak tau, Va. Mungkin urusan kantor." Hanya itu yang menjadi jawaban Jema. Dia lantas memenuhi panggilan itu dan meninggalkan Ava dalam tanda tanya.Di ruangan Pak Mahesa, Jema duduk manis di depan meja kerja pria itu. "Saya bawakan berkas yang Bapak minta. Mungkin bisa sebagai bahan pertimbanganpertimbangan, ya, Pak." Dia menjulurkan tangan yang memegang amplop cokelat. Tiba-tiba Jema berjengit kaget saat tangannya disentuh oleh pria itu. "Pak--""Kamu baik banget, sih. Mau aja nolong temen kamu? Hm?"Dalam hati Jema memaki Pria Tua Bangka ini. Saat akan melepaskan diri, tangannya justru digenggam semakin erat. "Pak, tolong. Ini kantor."Alih-alih melepas pegangan, pria itu menjawab, "Jadi, kalau bukan di kantor kamu mau?"Sial. Jema merutuk. "Bukan, Pak. Mau di mana pun, saya hanya karyawan biasa dan Anda adalah atasan meski tidak langsung. Saya kemari hanya untuk urusan pekerjaan." Dia berharap lelaki itu sadar dengan ucapannya. "Lho, memangnya saya bicara apa sampai kamu kel
Ziyan melihat pinggang Jema yang disentuh lelaki itu kemudian beralih menatap si wanita penih tanda tanya. "Mas, aku--""Siapa kamu?" Pak Mahesa terlihat tidak suka. "Dia teman saya, Pak." Jema berhasil melepaskan diri dan menjaga jarak. Suasana menjadi canggung, terlebih untuk Jema yang tidak tahu harus berkata apa. Situasi ini jelas memancing kesalahpahaman dan itu sangat buruk. "Biar aku jelasin dulu, Mas. Aku tadi cuma--""Jadi ini teman kamu? Yang minta buat kerja di kantor kita?" Pak Mahesa tidak menatap remeh Ziyan. "Kamu pinter banget, ya, memanfaatkan perempuan sebaik Jema buat keuntunganmu?"Ziyan mengerutkan kening tak paham. Dia menghampiri mereka karena dari jauh Jema terlihat tidak nyaman dengan pria itu. Memang terlihat mencurigakan, apalagi sosok gendut dan pendek itu terus bersikap aneh. "Maaf, tapi maksudnya apa, ya?" ucap Ziyan. "Jema, kamu bisa jelaskan?" "Mas--""Kamu itu jadi laki-laki harus punya harga diri, dong." Pak Mahesa lagi-lagi memotong ucapan Je