“Ma, aku nggak bisa menghubungi Ava. Nomornya nggak aktif.” Ziyan bingung dan cemas. Sudah berkali-kali dia mencoba untuk menghubungi istrinya, tetapi bisa. Hari sudah mulai gelap, tidak biasanya Ava pergi tanpa mengabarinya dulu.
“Lho, bukannya kamu yang jemput dia, Mas?” Suara Jema dari seberang telepon menyahut. Ziyan memilih menepikan mobilnya, kemudian menjawab, “Aku udah sampai di tempat tujuan, tapi Ava nggak ada. Aku kirim pesan dan telepon juga nggak ada respons. Nomornya juga nggak aktif.” Suaranya terdengar gelisah. Beberapa kali dia mengibas rambut dengan frustrasi. “Oke, tenang dulu, Mas. Mungkin dia pergi ke suatu tempat dan HP-nya mati, jadi nggak bisa hubungin kamu.” Ava mencoba untuk menenangkan. “Salahku karena telat jemput dia. Aargh!” Dia tahu bahwa Ava sedang sensitif perasaannya. Memang sang istri bukan anak kecil yang harus 24 jam dalam pengawasan, tetapi jika pergi tanpa kabar, siapa juga yang tidak khawatir?Jema yang saat ini sedang ada di rumah merasa bersalah. Seharusnya dia tidak pulang lebih dulu dan menemani perempuan itu dijemput. Namun, jika mengatakan demikian, pasti akan membuat keadaan menjadi lebih buruk. “Kamu udah coba tanya ke ibunya? Atau siapa gitu yang sekiranya sering Ava datangi?”“Udah, Ma. Tapi, mereka juga nggak tahu. Aku bahkan pulang ke rumah buat ngecek, barangkali dia pulang dulu. Ternyata nggak ada juga. Dia nggak biasanya pergi-pergi sendiri. Bahkan kalau belanja pun minta ditemenin.”Jema sangat tahu akan hal itu, begitu juga dengan kekhawatiran Ziyan. Jika sudah begini, dia juga tidak bisa tinggal diam. Karena itulah, Jema mengusulkan untuk ikut mencari Ava, dan Ziyan menawarkan agar mereka mencarinya bersama.Ziyan menjemput Jema tepat di depan rumah, kemudian mereka langsung berangkat.Di dalam mobil, mereka menerka-nerka ke mana perginya Ava. Tidak ada yang berbicara, sampai Ziyan yang memulainya dengan bertanya, “Maaf, ya, udah ngerepotin kamu terus.”Wanita yang mengenakan kardigan rajut berwarna cokelat itu tersenyum maklum. “Nggak sama sekali. Udah seharusnya aku membantu kalian. Ava sahabat aku sejak lama, Mas.”“Tapi, terus menerus melibatkan kamu di permasalahan kami, itu yang seharusnya nggak aku lakukan.” Ziyan jujur akan perasaannya saat ini.Dibanding dengan rasa malu, dia justru merasa tidak enak—takut jika pertikaiannya dengan Ava membuat wanita di sampingnya ini tidak nyaman.“Nggak, Mas. Kita fokus aja mencari Ava. Semoga dia baik-baik aja.”Ziyan menyanggupi. Dia melajukan mobil dengan sangat lambat, sembari melihat sekeliling untuk mencari sosok istrinya. Sementara itu, Jema masih berusaha menghubungi Ava, teman-temannya dan siapa saja yang memiliki peluang bersama atau sekadar melihat wanita itu.Sampai tiba-tiba dia teringat dengan percakapan mereka saat makan siang di kantin. “Dia pernah bilang mau nemuin teman kantor kamu, nggak?”Seketika Ziyan menatapnya. “Dia juga bilang ke kamu?” Pertanyaan itu diangguki Jema. “Kalau begitu nggak salah lagi.”Ziyan membanting setir mobil untuk putar balik, menancap gas dan mereka melaju cepat menuju kantor lelaki itu.Di saat yang bersamaan, Jema melihat kesungguhan dan kecemasan lelaki di sampingnya yang menggebu-gebu. Ava salah, semua yang dikeluhkan sahabatnya itu tidak sebanding dengan kerja keras dan kegigihan Ziyan yang bertanggungjawab.“Andai Ava bisa melihat suaminya sekarang,” batin Jema terkagum-kagum.***Suasana di ruang direktur tampak tegang. Satu-satunya wanita di ruangan itu terlihat tidak menunjukkan sedikit pun keramahan. Di sampingnya, pria dengan dasi yang melorot itu berusaha untuk tenang, meski kegelisahan di dalam hatinya kian menggebu. Terlebih bosnya, Sang Manager Keuangan tidak menunjukkan adanya belas kasihan saat ini.Keributan di kantor, terutama di bagian divisi keuangan, tepat di meja kerja Vino, membuat mereka berakhir di ruangan Direktur. “Siapa dari kalian yang ingin menjelaskan keributan ini?” Dingin dan menusuk. Tatapan pria yang berusia akhir tiga puluhan itu menyorot tajam Ava dan Vino secara bergantian. Sesat tidak ada yang merespons, sampai akhirnya Ava yang lebih dulu angkat suara. “Saya datang ke sini untuk menuntut keadilan, Pak. Suami saya telah difitnah sama rekan kerjanya sendiri.” Lugas dan tidak bertele-tele.Vino yang merasa sesak dari tadi, kini membuka mulut. “Itu tidak benar, Pak. Lagian, tidak masuk akal juga kenapa wanita ini tiba-tiba datang dan melabrak saya dengan tuduhan tidak berdasar itu?Suaminya dipecat karena melakukan kesalahan. Itu di luar urusan istrinya, bukan?” Tidak mau terintimidasi di depan bosnya sendiri, lelaki itu enggan untuk membiarkan Ava mengungguli situasinya.“Apa katamu? Nggak ada hubungannya? Jelas-jelas ada!” sentaknya tidak tanggung-tanggung, seraya melototi pria di samping kanannya. Lalu, dia beralih menatap Pak Kemal. “Jelas ada hubungannya, dong, Pak. Saya sebagai istri Ziyan tidak bisa membiarkan suami ditendang begitu saja dari pekerjaannya hanya karena kedengkian teman kerjanya.”“Mamang, hal seperti ini tidak asing di dunia kerja, tetapi sikap rendahan dan pengecut seorang karyawan hingga menjatuhkan karir temannya—itu tidak bisa diterima, Pak.” Ava tidak segan menunjuk Vino yang sudah gelagapan. Kini, tatapan Pak Kemal menjurus pada karyawannya. Hal itu membuat Vino tidak terima. Lelaki tersebut mencoba untuk membela diri. “Itu tidak benar, Pak. Jangan percaya sama kata-kata perempuan ini! Seperti yang Bapak tahu, kecurangan Ziyan sudah ada buktinya. Bapak sendiri yang bilang bahwa itu valid. Ziyan memang menggelapkan dana proyek.”Brakkk!“Jaga mulutmu!” Ava hilang kendali. Dia mengabaikan situasi dan di mana dirinya saat ini berada. “Bukti bisa aja dipalsukan!”“Terus, apa kamu punya bukti kalau bukti korupsi suamimu itu palsu?” Vino menyeringai penuh kemenangan.Wanita itu sudah ancang-ancang untuk memukul Vino, tetapi Pak Kemal menginterupsi keduanya.“Berhenti, Kalian!” Kepala pria tua itu berdenyut. Sejak pagi dirinya sudah pusing dengan kerjaan yang menumpuk, terlebih posisi Ziyan yang belum ada penggantinya. Memang, Vino mengerjakan sebagian tugas yang dulu diemban temannya itu, tetapi jelas kinerjanya tidak seefisien dulu. Istri dari mantan karyawannya itu memang sulit dikendalikan. Sudah beberapa kali satpan mencoba untuk mengusir, tetapi berakhir gagal karena mengancam akan membuat keributan yang lebih gila di lain hari. Bahkan Ava secara terang-terangan tidak segan untuk melapor ke polisi.Jujur saja, Ava sendiri tidak bersungguh-sungguh ketika mengatakannya. Namun, siapa sangka bahwa hal itu justru membawanya ke ruangan manager. Dia pikir dirinyalah yang akan berakhir di kantor polisi.“Bagini, Bu,” jelas Pak Kemal. “Saya tahu bahwa rasanya tidak adil karena suami Anda di-PHK secara mendadak. Namun, bagaimana pun juga, ini sudah menjadi keputusan perusahaan. Semua jalan yang diambil jelas dengan pertimbangan yang matang. Saya menghargai usaha Anda untuk mendukung Pak Ziyan.”Ava semakin meradang, sementara Vino diam-diam tersenyum licik. Sepertinya dunia sedang memihak padanya, pikir lelaki itu.“Tidak bisa, Pak!” geram Ava. Dia beranjak dari duduknya dan dengan penuh emosi melanjutkan, “Suami saya tidak melakukan kesalahan apa pun! Yang seharusnya Anda pecat adalah dia!” Telunjuknya mengarah pada Vino. Pak Kemal menghela napas panjang, ternyata kebaikan hatinya untuk berbicara baik-baik dengan wanita ini sungguh sia-sia.“Pokoknya, kalau Bapak tidak memberi keadilan pada suami saya, akan saya tuntut kantor ini!” “Ava!”Teriakan itu berasal dari pintu. Ziyan dengan wajah terkejut sekaligus marah tengah berdiri dan di belakangnya ada Jema. Suasana menjadi semakin tegang. Ava yang terkejut dengan kehadiran suaminya hanya bisa membeku di tempat.Tanpa basa-basi, Ava diseret ke luar oleh suaminya. Dia mencoba untuk memberontak, tetapi gagal lantaran cengkraman Ziyan pada tangannya cukup kuat. Jema tetap tinggal di ruangan untuk meminta maaf kepada Pak Kemal dan Vino. Sementara itu, Ziyan membawa istrinya sampai di depan lift. Karena hari sudah gelap, kantor pun tampak sepi. "Kamu ini apa-apaan, sih!" Ziyan mulai mengomel. "Mau malu-maluin aku? Ini bukan kantor aku lagi Va."Ava membuang napas kasar. "Apa? Malu-maluin? Harusnya kamu itu berterimakasih, Mas! Aku ngebela kamu, lho! Datang ke sini buat meminta keadilan."Ziyan mengacak rambut dengan frustrasi. Dia tahu bahwa wanita itubmelakukan hal ini demi dirinya. Ava memang orang yang seperti itu, sedikit saja mencium ketidakadilan maka dia akan mengusutnya sampai tuntas. Hanya saja, hal seperti ini akan menambah masalah. "Tapi, bukan begini caranya, Va." "Terus, kamu mau aku gimana, hah?!" Ava mulai bersungut-sungut. "Diam sampai kamu mau turun tangan? Hahaha. Itu mus
"Aku bisa pulang sendiri, kok," kata Jema saat mereka bertiga sudah ada di area parkir. "Arah rumahku sama kalian, 'kan, beda."Ziyan menawarkan untuk mengantar Jema pulang, dan hal itu disetujui oleh Ava. "Tapi, kamu udah jauh-jauh ke sini, Ma. Nggak enak, dong, kalau kamu pulang sendiri," kata Ava yang merasa tak enak hati."Nggak usah, Va. Beneran, deh. Kalian pulang aja dulu."Karena Jema tetap bersikeras untuk pulang sendiri, mereka pun akhirnya pergi tanpanya. Di perjalanan, Ava dan Ziyan sedikit berbincang tentang masalah hari ini. Sang suami pun menjelaskan alasan mengapa dirinya telat menjemput. Bukan untuk mencari pembenaran, melainkan untuk meyakinkan Ava bahwa dirinya tidak bersikap pasrah begitu saja. Lagi pula, bekerja di tempat dia dulu tidak sepenuhnya baik. Rekan kerja yang terlalu kompetitif hingga rela melakukan hal kotor, sampai bosnya yang tidak adil dan hanya mendengar dari satu pihak saja. Sungguh sangat melelahkab bekerja di tempat seperti itu. Ziyan juga su
"Lho, Jema?" Arum, ibunya Ziyan tampak kaget dengan kedatangan wanita itu. "Pagi, Tante." Sapaan penuh kehangatan dan keceriaan dari Jema tampaknya menular ke wanita paruh baya di depannya. Dia terkekeh pelan. "Maaf, Tante, Jema datang nggak ngabarin dulu.""Aduh, duh... sini, Nak. Tante malah senang kamu datang." Raut kegembiaraan wanita itu tidak dapat dimungkiri. Rumah yang tidak asing bagi Jema menyambutnya dengan hangat. Tidak dapat terelakkan bahwa dia terkadang merasa rindu dengan suasana rumah ini.Tidak terlalu besar, tidak kecil juga. Rumah yang sederhana, tampak rapi dan 'cantik' dalam versinya. Di halaman, bunga-bunga yang cantik dan penuh warna sudah menyambutnya lebih dulu. Aroma khas kue kering dan pengharum ruangan bunga lavender jadi iconic setiap berkunjung ke sini. "Tante Arum lagi buat kue, ya?" tanya Jema setelah tiba di ruang tamu. Tidak jauh dari sana, lokasi dapur memang mudah dijangkau. Jadi, tidak jarang jika bertamu di rumah ini akan disuguhkan pemandanga
Ava masih tidak terbiasa dengan kehadiran Jema. Bukan apa-apa, tetapi ini sungguh di luar prediksinya. Kenapa dan bagaimana bisa perempuan itu ada di rumah mertuanya?"Ini kue buatan Ibu sama Jema. Kalian pasti suka." Arum sangat antusias menghidangkan camilan manis itu. Rait wajahnya berbeda dari beberapa menit yang lalu--waktu menyambut kedatangan anak dan menantunya. "Temanmu ini, lho, Va. Datang pagi-pagi buat bantuin Ibu bikin kue sama bersih-beraih rumah. Ibu jari bisa leha-leha dikit, deh," lanjut wanita bersanggul itu.Ava tampak tidak terlalu memerhatikan ucapan mertuanya. Dia sibuk meneliti Jema, seakan temannya itu makhluk asing dari luar angkasa. "Kamu, kok, ada di sini, Ma?" tanya Ava pada akhirnya. "Oh, iya. Aku--" Dia menggantungkan kalimatnya sembari melirik sekilas ke arah Ziyan. "Aku cuma mampir. Niat awalnya cuma nyapa sebentar--oh, dan aku kira kamu udah ada di sini sejak pagi. Jadi, biar sekalian main. Tapi, ternyata kamu datangnya sore menjelang malam."Itu su
Situasi tidak kian mereda meski Ziyan sudah berusaha untuk melerai. Dia menatap istrinya, seolah memberi kode agar Ava berhenti menyahut ucapan Arum. "Bu. Coba, dong, berpikir objektif. Mas Nevan udah punya jabatan tinggi di kantornya saat nikah sama Mbak Hanna. Mbak Hanna juga udah dapet warisan dari orang tuanya, udah punya rumah. Sedangkan aku nikah sama Mas Ziyan di saat kami baru dapat kerjaan. Rumah juga masih awal tahun ini kami cicil." Ava mengambil napas. "Aku nggak mau ngambil risiko punya anak yang nanti malah nggak keurus dengan baik. Apa aku salah?" Sejak tadi dia terlihat kesal karena menantunya itu menjawab terus ucapannya. Arum hendak menyahut, tetapi dihentikan oleh suaminya. Di saat ada peluang itu, Ziyan langsung membawa istrinya ke teras. Jema tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Memang sudah benar seharusnya dia pergi dari sejak sebelum makan malam. Situasi canggung dan sentimentil ini membuatnya tidak nyaman. Hal itu juga disadari Pak Herman."Nak Jem
"Terlalu ikut campur?"Jema mengangguk sebagai jawaban. "Kamu ngebantu kami, Ma. Kalau bukan karena kamu, nggak mungkin kami tetap bersama sampai sekarang." Tidak bisa dimungkiri bahwa Jema memang memiliki peran tersendiri dalam kehidupannya dan Ava. Ziyan melihat Jema sebagai sahabat yang baik dan pengertian. Selalu ada dalam keadaan suka dan duka, melerai pertikaian suami istri yang terkadang kurang penting. Dia amat sangat berterimakasih akan hal itu.Perlahan kekhawatiran Jema menyusut. Syukurlah, paling tidak apa yang menjadi kecemasannya beberapa saat yang lalu telah mereda. Setelah sampai, Ziyan langsung berpamitan bahkan saat masih di dalam mobil. Lelaki itu merasa harus segera balik karena situasi rumah sedang dingin."Hati-hati di jalan, ya, Mas." Jema melambai singkat, kemudian masuk ke rumah setelah mobil Ziyan menghilang dari pandangan.***Keesokan harinya, Ava bangun kesiangan. Pukul 7.30 waktu setempat. Sebenarnya itu adalah jam biasa dirinya bangun setiap hari lib
"Mending kita pisah aja, Mas!"Ziyan tertegun untuk beberapa saat. Ini kali pertama dia mendengar ucapan itu. Tangannya terangkat untuk mengacak rambut, dia berbalik dan mengatur napas, berusaha untuk tenang. Entah mengapa dia merasa lelah untuk semua ini.Tidak lama, dia berbalik dan menatap istrinya. "Aku anggap nggak pernah dengar ucapan kamu tadi." Membuang napas, dia melanjutkan, "terserah kamu kalau mau pulang. Aku panggilkan taksi. Nanti aku nyusul setelah ketemu sama Bang Nevan dan keluarga."Setelah mengatakan itu, Ziyan keluar kamar. Raut masam Ava tidak berubah. "Nyebelin banget, sih, jadi suami! Lebih mentingin keluarga kakaknya daripada istri sendiri!" Dia melanjutkan kemas-kemas barang. Setelah selesai, dia menghubungi Jema dengan mengirim pesan. Di saat seperti ini memang hanya ada sahabatnya yang bisa dijadikan tempat "pengaduan".[Malam ini aku mau nginep ke rumah kamu, ya, Ma. Alasannya nanti aku jelasin pas ketemu.]Ada kemungkinan Ziyan tidak akan pulang malam in
Sesaat Jema membeku, terkejut dengan keberadaan Ava yang mendadak seperti ini. Dari seberang telepon dia mendengar Ziyan berbicara, "Jangan bilang kalau aku yang menelepon, ya, Ma."Ketika itulah dia menjawab, "Temen kantor, Va. Besok katanya ada meeting pagi-pagi sama atasan. Ngingetin aja biar nggak telat." Ava tampak menimbang sesuatu. "Oh, dari Desi, ya? Aku udah denger itu dari sore. Malam-malam gini dia nelpon kamu?"Sial. Jema tahu bahwa jika sudah memulai kebohongan, maka akan sulit berkata jujur di kemudian hari. "Iya. Biasalah, sekalian dia curcol soal doinya." Ava yang tahu bahwa Ja memang dekat dengan teman satu divisi dengan mereka itu hanya bisa mengangguk. "Ya udah. Aku tadi kaget kamu nggak ada di ranjang kirain lagi ke toilet atau apa." Dia kemudian menguap. "Kalau gitu aku tidur lagi, ya. Bilang ke Desi kalau curhat jangan di tengah malam begini. Ganggu orang tidur, tahu."Jema hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya.Setelah Ava kembali ke kamar, Jema berbicar