"Aku bisa pulang sendiri, kok," kata Jema saat mereka bertiga sudah ada di area parkir. "Arah rumahku sama kalian, 'kan, beda."
Ziyan menawarkan untuk mengantar Jema pulang, dan hal itu disetujui oleh Ava. "Tapi, kamu udah jauh-jauh ke sini, Ma. Nggak enak, dong, kalau kamu pulang sendiri," kata Ava yang merasa tak enak hati."Nggak usah, Va. Beneran, deh. Kalian pulang aja dulu."Karena Jema tetap bersikeras untuk pulang sendiri, mereka pun akhirnya pergi tanpanya. Di perjalanan, Ava dan Ziyan sedikit berbincang tentang masalah hari ini. Sang suami pun menjelaskan alasan mengapa dirinya telat menjemput. Bukan untuk mencari pembenaran, melainkan untuk meyakinkan Ava bahwa dirinya tidak bersikap pasrah begitu saja. Lagi pula, bekerja di tempat dia dulu tidak sepenuhnya baik. Rekan kerja yang terlalu kompetitif hingga rela melakukan hal kotor, sampai bosnya yang tidak adil dan hanya mendengar dari satu pihak saja. Sungguh sangat melelahkab bekerja di tempat seperti itu. Ziyan juga sudah cukup sakit hati dengan fitnah yang tidak berdasar. Dia yakin bahwa masih ada tempat lain yang bisa menghargai kerja kerasnya. Sementara itu, Ava tidak banyak berkomentar untuk saat ini. Ziyan berharap semoga istrinya tersebut bisa lebih memahaminya.Saat sudah sampai di rumah, Ziyan mendapat telepon dari ibunya."Halo, Bu." Ziyan menyapa dengan hangat. Ava yang mendengar itu membiarkab keduanya berbicara. Dia memilih untuk mengistirahatkan diri di kamar. Sementara Ziyan berada di ruang tamu dan masih berbicara dengan ibunya."Main ke rumah Ibu?" Dia sedikit mengecilkan suara. Entah mengapa Ziyan merasa bahwa hal ini tidak tepat untuk didengar Ava. "Ada apa, Bu?"Terdengar sahutan dari seberang telepon. "Ada apa kamu bilang? Nak, udah berapa lama kamu nggak pulang ke rumah Ibu? Apa kamu nggak kangen sama orangtuamu?"Tanpa diutarakan secara terus terang, Ziyan tahu maksud sesungguhnya dari permintaan sang ibu. "Iya, Bu. Maaf soal itu. Nanti aku coba bilang ke Ava, ya." Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menurut."Nah, istrimu juga! Kenapa susah banget dihubungi, sih? Kalian baik-baik aja, 'kan?""Baik-baik aja, kok, Bu.""Ya udah kalau begitu. Ibu harap secepatnya kamu datang ke sini."Panggilan terputus setelah keduanya mengucapkan salam. Ziyan masuk ke kamar dan istrinya tengah duduk di depan meja rias--rutinitas memakai produk perawatan kulit. "Ibu ngomong apa, Mas?" Tidak langsung menjawab, Ziyan beringsut ke kasur. Merilekskan tubuhnya yang sedikit kaku. "Ibu minta kita main ke rumah."Krim malam yang semula di tangannya mendadak terlepas ke atas meja. Bunyi yang sedikit nyaring membuat sang suami sedikit berjingit kaget."Pasti mau tanya anak, 'kan?" Nada suara yang ketus itu lantas membuat Ziyan menghela napas panjang. Ini dia masalahnya. Kedua wanita yang sangat dicintainya itu selalu sensitif tentang masalah anak.Benar, ibunya Ziyan sudah lama menginginkan cucu. Meski notabene sudah memiliki cucu dari pihak kakaknya, tetap saja yang menjadi alasan adalah karena Ziyan anak bungsu yang sangat dinantikan keturunannya. Memang sedikit tidak masuk akal, karena sejak pernikahannya, persoalan anak sudah dibicarakan. Mereka berniat menunda momongan sampai kondisi finansial yang stabil. Ava mengubah posisi duduknya yang semula menghadap cermin, kini beralih ke Ziyan. "Mas! Bilangin, dong, ke ibumu. Jangan maksa-maksa terus." "Ibu nggak bilang gitu, kok, Va. Ibu cum minta kita main karena udah lama nggak kesana. Jangan berprasangka dulu lah." Ziyan mencoba untuk bersikap netral. Sialnya, bagian ini yang paling sulit dilakukan."Halah! Nggak percaya aku, Mas! Memangnya pernah ibu kamu nyuruh kita datang selain menginterogasi 'kapan punya anak?' terus bandingin kita sama saudaramu itu?" Ava mulai terbawa emosi. Jika sudah menyinggung tentang anak dan perbandingan ibu mertua dengan keluarga kakaknya Ziyan, ubun-ubunnya terasa panas.Ziyan pikir malam ini akan sedikit lebih tenang. Selesai masalah satu, ternyata ada masalah lain yang mengntre. Menghela napas saja rasanya tidak cukup untuk menjelaskan betapa sesaknya fia saat ini."Va, please. Kita datang aja dulu. Barangkali emang ibu dan bapak kangen sama kita.""Kangen buat menyudutkan mantunya, sih, iya!"***Besok lusa adalah akhir pekan dan Ziyan memutuskan untuk datang di hari itu. Ava sudah berulang kali memberi alasan untuk tidak mau datang, tetapi jika sudah menyangkut sang ibu memang sulit untuk dikibuli. "Aku malas, Ma. Malas berdebat sama ibunya Ziyan!" Ava menangkup dagunya dengan satu tangan. "Tapi, yang dibilang Ziyan bisa aja benar, 'kan? Cuma pengin lihat kalian aja." Jema menanggapinya dengan santai. Curhatan ini tidak sekaki atau dua kali dia dengar. Ava memang sefrustrasi itu jika sudah menyangkut ibu mertua."Kamu kayak nggak kenal ibunya Ziyan aja, sih, Ma. Lebih cerewet daripada tukang sales!""Hush! Nggak boleh ngomong gitu. Mau gimanapun juga, beliau ibu mertua kamu, Va.""Kamu, mah, nggak bakal ngerti posisi aku, Va. Lagian emang kamu juga nggak berniat punya ibu mertua, 'kan?"Jema hanya menghela napas. Jika jawabannya sudah seperti itu, dia tidak bisa bicara banyak.Kebiasaan Ava memang begitu. Jika tidak mendapat saran atau tanggapan yang sekiranya mendukung dia, wanita itu akan membalas dengan ungkapan bahwa orang lain tidak akan mengerti dirinya, tidak ada yang paham posisinya dan menjadikan dirinya seakan yang paling menderita.Memang, Jema tidak tahu rasanya punya ibu mertua yang cerewet. Tidak pernah mendengar saudara atau orang terdekat menagih keturunan darinya, konflik antara keluarga suami, dan masih banyak lagi. Dia tidak atau mungkin belum merasakannya, akan tetapi kenapa Ava menjadikannya tempat curhat untuk segala keruwetan rumahtangga? Kalau memang Ava tahu bahwa Jema tidak akan mengerti, kenapa tidak konsultasi ke ahlinya saja? Terkadang, di situlah rasa malas Jema menyerang ketika sahabatnya mulai bercerita. Namun, di sisi lain juga Jema sadar bahwa Ava tidak selalu mengingknkan solusi dalam masalahnya. Wanita itu lebih sering ingin didengar dibanding hal yang lain."Kalau aja ada yang mau tukar posisi sama aku, Ma." Ava melipat lengan di atas meja dan membiarkan kepalanya beristirahat di sana. "Tukar posisi?""Iya. Seseorang gantiin aku. Aku muak terus berada di situasi kayak gini."Jema menatap lekat sahabatnya yang lesu itu. "Kalau beneran ada yang mau, kamu nggak keberatan sama sekali?""Lho, Jema?" Arum, ibunya Ziyan tampak kaget dengan kedatangan wanita itu. "Pagi, Tante." Sapaan penuh kehangatan dan keceriaan dari Jema tampaknya menular ke wanita paruh baya di depannya. Dia terkekeh pelan. "Maaf, Tante, Jema datang nggak ngabarin dulu.""Aduh, duh... sini, Nak. Tante malah senang kamu datang." Raut kegembiaraan wanita itu tidak dapat dimungkiri. Rumah yang tidak asing bagi Jema menyambutnya dengan hangat. Tidak dapat terelakkan bahwa dia terkadang merasa rindu dengan suasana rumah ini.Tidak terlalu besar, tidak kecil juga. Rumah yang sederhana, tampak rapi dan 'cantik' dalam versinya. Di halaman, bunga-bunga yang cantik dan penuh warna sudah menyambutnya lebih dulu. Aroma khas kue kering dan pengharum ruangan bunga lavender jadi iconic setiap berkunjung ke sini. "Tante Arum lagi buat kue, ya?" tanya Jema setelah tiba di ruang tamu. Tidak jauh dari sana, lokasi dapur memang mudah dijangkau. Jadi, tidak jarang jika bertamu di rumah ini akan disuguhkan pemandanga
Ava masih tidak terbiasa dengan kehadiran Jema. Bukan apa-apa, tetapi ini sungguh di luar prediksinya. Kenapa dan bagaimana bisa perempuan itu ada di rumah mertuanya?"Ini kue buatan Ibu sama Jema. Kalian pasti suka." Arum sangat antusias menghidangkan camilan manis itu. Rait wajahnya berbeda dari beberapa menit yang lalu--waktu menyambut kedatangan anak dan menantunya. "Temanmu ini, lho, Va. Datang pagi-pagi buat bantuin Ibu bikin kue sama bersih-beraih rumah. Ibu jari bisa leha-leha dikit, deh," lanjut wanita bersanggul itu.Ava tampak tidak terlalu memerhatikan ucapan mertuanya. Dia sibuk meneliti Jema, seakan temannya itu makhluk asing dari luar angkasa. "Kamu, kok, ada di sini, Ma?" tanya Ava pada akhirnya. "Oh, iya. Aku--" Dia menggantungkan kalimatnya sembari melirik sekilas ke arah Ziyan. "Aku cuma mampir. Niat awalnya cuma nyapa sebentar--oh, dan aku kira kamu udah ada di sini sejak pagi. Jadi, biar sekalian main. Tapi, ternyata kamu datangnya sore menjelang malam."Itu su
Situasi tidak kian mereda meski Ziyan sudah berusaha untuk melerai. Dia menatap istrinya, seolah memberi kode agar Ava berhenti menyahut ucapan Arum. "Bu. Coba, dong, berpikir objektif. Mas Nevan udah punya jabatan tinggi di kantornya saat nikah sama Mbak Hanna. Mbak Hanna juga udah dapet warisan dari orang tuanya, udah punya rumah. Sedangkan aku nikah sama Mas Ziyan di saat kami baru dapat kerjaan. Rumah juga masih awal tahun ini kami cicil." Ava mengambil napas. "Aku nggak mau ngambil risiko punya anak yang nanti malah nggak keurus dengan baik. Apa aku salah?" Sejak tadi dia terlihat kesal karena menantunya itu menjawab terus ucapannya. Arum hendak menyahut, tetapi dihentikan oleh suaminya. Di saat ada peluang itu, Ziyan langsung membawa istrinya ke teras. Jema tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Memang sudah benar seharusnya dia pergi dari sejak sebelum makan malam. Situasi canggung dan sentimentil ini membuatnya tidak nyaman. Hal itu juga disadari Pak Herman."Nak Jem
"Terlalu ikut campur?"Jema mengangguk sebagai jawaban. "Kamu ngebantu kami, Ma. Kalau bukan karena kamu, nggak mungkin kami tetap bersama sampai sekarang." Tidak bisa dimungkiri bahwa Jema memang memiliki peran tersendiri dalam kehidupannya dan Ava. Ziyan melihat Jema sebagai sahabat yang baik dan pengertian. Selalu ada dalam keadaan suka dan duka, melerai pertikaian suami istri yang terkadang kurang penting. Dia amat sangat berterimakasih akan hal itu.Perlahan kekhawatiran Jema menyusut. Syukurlah, paling tidak apa yang menjadi kecemasannya beberapa saat yang lalu telah mereda. Setelah sampai, Ziyan langsung berpamitan bahkan saat masih di dalam mobil. Lelaki itu merasa harus segera balik karena situasi rumah sedang dingin."Hati-hati di jalan, ya, Mas." Jema melambai singkat, kemudian masuk ke rumah setelah mobil Ziyan menghilang dari pandangan.***Keesokan harinya, Ava bangun kesiangan. Pukul 7.30 waktu setempat. Sebenarnya itu adalah jam biasa dirinya bangun setiap hari lib
"Mending kita pisah aja, Mas!"Ziyan tertegun untuk beberapa saat. Ini kali pertama dia mendengar ucapan itu. Tangannya terangkat untuk mengacak rambut, dia berbalik dan mengatur napas, berusaha untuk tenang. Entah mengapa dia merasa lelah untuk semua ini.Tidak lama, dia berbalik dan menatap istrinya. "Aku anggap nggak pernah dengar ucapan kamu tadi." Membuang napas, dia melanjutkan, "terserah kamu kalau mau pulang. Aku panggilkan taksi. Nanti aku nyusul setelah ketemu sama Bang Nevan dan keluarga."Setelah mengatakan itu, Ziyan keluar kamar. Raut masam Ava tidak berubah. "Nyebelin banget, sih, jadi suami! Lebih mentingin keluarga kakaknya daripada istri sendiri!" Dia melanjutkan kemas-kemas barang. Setelah selesai, dia menghubungi Jema dengan mengirim pesan. Di saat seperti ini memang hanya ada sahabatnya yang bisa dijadikan tempat "pengaduan".[Malam ini aku mau nginep ke rumah kamu, ya, Ma. Alasannya nanti aku jelasin pas ketemu.]Ada kemungkinan Ziyan tidak akan pulang malam in
Sesaat Jema membeku, terkejut dengan keberadaan Ava yang mendadak seperti ini. Dari seberang telepon dia mendengar Ziyan berbicara, "Jangan bilang kalau aku yang menelepon, ya, Ma."Ketika itulah dia menjawab, "Temen kantor, Va. Besok katanya ada meeting pagi-pagi sama atasan. Ngingetin aja biar nggak telat." Ava tampak menimbang sesuatu. "Oh, dari Desi, ya? Aku udah denger itu dari sore. Malam-malam gini dia nelpon kamu?"Sial. Jema tahu bahwa jika sudah memulai kebohongan, maka akan sulit berkata jujur di kemudian hari. "Iya. Biasalah, sekalian dia curcol soal doinya." Ava yang tahu bahwa Ja memang dekat dengan teman satu divisi dengan mereka itu hanya bisa mengangguk. "Ya udah. Aku tadi kaget kamu nggak ada di ranjang kirain lagi ke toilet atau apa." Dia kemudian menguap. "Kalau gitu aku tidur lagi, ya. Bilang ke Desi kalau curhat jangan di tengah malam begini. Ganggu orang tidur, tahu."Jema hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya.Setelah Ava kembali ke kamar, Jema berbicar
"Kalau terkenal mesum, kenapa masih ada di perusahaan?" Dia hanya berpikir jika memang semenakutkan itu, apa alasan perusahaan masih menerima orang sepertinya? Tidak, kecuali memang dia orang yang cukup berpengaruh.Di jam pulang kantor, suasana memang cukup sepi. Hanya beberapa orang yang tinggal untuk lembur. Sambil menaiki lift, Jema memberi kabar kepada Ziyan bahwa kemungkinan ada posisi di kantornya. [Apa kamu nggak masalah kalau harus satu kantor sama kami?]Pintu lift tertutul dan dua lantai dari kantornya menjadi tujuan wanita itu.[Aku, sih, nggak masalah. Tapi, mungkin bakal mengejutkan Ava.][Jadi, sekarang kamu masih di kantor? Ava memenin kamu nggak?]Jema tidak membalas pesan itu karena pesan lain masuk dan itu dari teman kantornya tadi. [Biasanya Pak Mahen pulang setengah jam lebih lama darinjam normal. Aku dapat info dari temanku.]Jema memeriksa jamnya sekarang. Untunglah, masih ada waktu sebelum pria itu pulang.Sesampainya di sana, dia bertanya kepada karyawan yan
"Terima kasih buat apa, Mas?" Keduanya terkejut dengan kedatangan Ava yang tiba-tiba. Melihat keterkejutan Ziyan, Jema yakin bahwa lelaki itu belum memberitahu istrinya tentang hal ini. Jadi, dia mengambil inisiatif untuk mejawab, "Ini, Va. Aku udah nemu ker--""Makasih buat bantuan kemarin, Va." Ziyan menjawab cepat, memotong ucapan Jema yang saat ini terlihat bingung. "Kemarin dia udah bantuin Ibu dan kamu, 'kan?"Ava hanya ber-oh panjang sebagai jawaban. "Kamu, kok, ada di sini, Ma? Nggak ngabarin lagi. Tahu gitu aku ajak kamu ke salon bareng tadi." Dia duduk di samping suaminya, berhadapan dengan Jema. "Salon di depan murah, lho. Pelayanannya juga bagus. Apa karena baru buka, ya? Sekalian promosi gitu."Jema tersenyum, melirik kikuk pada Ziyan dan menjawab, "Tadi aku ada urusan di dekat sini, jadi sekalian mampir aja sebentar. Eh, bukannya kemarin kamu udah nyalon, ya, Va?" Seingatnya memang begitu. Ava ke salon sebelum bertandang ke rumah mertua. "Heheh. Lagi pengin aja, Va."