Tanpa basa-basi, Ava diseret ke luar oleh suaminya. Dia mencoba untuk memberontak, tetapi gagal lantaran cengkraman Ziyan pada tangannya cukup kuat.
Jema tetap tinggal di ruangan untuk meminta maaf kepada Pak Kemal dan Vino. Sementara itu, Ziyan membawa istrinya sampai di depan lift. Karena hari sudah gelap, kantor pun tampak sepi. "Kamu ini apa-apaan, sih!" Ziyan mulai mengomel. "Mau malu-maluin aku? Ini bukan kantor aku lagi Va."Ava membuang napas kasar. "Apa? Malu-maluin? Harusnya kamu itu berterimakasih, Mas! Aku ngebela kamu, lho! Datang ke sini buat meminta keadilan."Ziyan mengacak rambut dengan frustrasi. Dia tahu bahwa wanita itubmelakukan hal ini demi dirinya. Ava memang orang yang seperti itu, sedikit saja mencium ketidakadilan maka dia akan mengusutnya sampai tuntas. Hanya saja, hal seperti ini akan menambah masalah. "Tapi, bukan begini caranya, Va." "Terus, kamu mau aku gimana, hah?!" Ava mulai bersungut-sungut. "Diam sampai kamu mau turun tangan? Hahaha. Itu mustahil, Mas! Loyalitas kamu ke temanmu itu bakal menghambat hidup kita!"Ava tahu bagaimana Ziyan. Suaminya itu bukan hanya jujur dan baik hati, tetapi juga berjiwa setia kawan. Jujur, memang itu adalah kelebihan dari sekian banyak hal yang mengesankan di diri suaminya. Namun, itu dulu, saat masih pacaran. Kehidupan setelah menikah sangat, sangat jauh realistis."Aku bisa mengurus dengan caraku sendiri! Kamu yang gegabah kayak gini justru bakal nimbulin masalah baru, Va." Ziyan hanya ingin dimengerti. Situasi seperti ini hanya akan melukai harga dirinya dan membuat Ava dipandang buruk oleh rekan kerjanya, mantan rekan kerja lebih tepatnya."Nggak! Aku harus bikin bos kamu menyesesali perbuatannya dan jadiin kamu karyawannya lagi." Tekad wanita itu masih tetap kukuh. Menyerah tidak pernah ada di dalam kamusnya. "Va... astaga, please." Entah harus dengan cara apa lagi Ziyan harus menyadarkan istrinya. Dia baru akan melanjutkan ucapannya, sampai kedatangan Jema mengambil atensi mereka.Jema paham denga situasi ini. Awalnya dia juga tidak ingin ikut campur lebih jauh lagi. Hanya saja, dari dulu memang seperti ini. Ava yang keras kepala dan Ziyan engga berterusterang karena memikirkan perasaan istrinya. "Aku tahu mungkin ini akan terdengar berlebihan, tapi Va, yang dibilang suamimu ada benernya juga." Sebisa mungkin Jema menjelaskan dengan nada lembut, tanpa memberi kesan menghakimi. "Coba kamu bayangin, kalau kamu ada di posisi Ziyan. Dia udah difitnah sama temannya sendiri, kehilangan kepercayaa dari bosnya, nama baik di kalangan rekan kerja juga udah tercoret. Apa kamu masih mau bekerja di tempat kayak gini?"Sesaat ada senyuman kecil di bibir Ziyan. Sungguh beruntung dirinya dan Ava memiliki teman seperti Jema. "Aku cuma mau kamu pikirin lagi soal ini. Bukan berarti tindakan kamu sepenuhnya salah, kok. Ziyan emang difitnah, dan kamu menuntut keadilan pada bosnya. Kita bisa melakukannya dengan cara yang damai. Aku udah sedikit bicarakan ini ke Pak Kemal." Ava tidak membalas ucapan sahabatnya. Dia menatap Ziyan dengan sorot mata lembut. Hal itu juga disadari oleh Jema. Dalam hati dia bersyukur Ava kembali menjadi sosok wanita yang pengertian kepada suami."Lebih baik kita pulang dulu. Biar aku yang akan bicara sama Pak Kemal," ucap Ziyan. Kini dia beralih pada Jema dan tersenyum. "Makasih, ya, karena udah menenangkan situasi. Juga, aku minta maaf karena udah nyeret kamu ke dalam masalah ini." Mengusap belakang kepalanya, dia melanjutkan, "Aku berhutang budi sama kamu." "Kalian sahabatku, udah hal yang wajar." Jema mengangkat bahu dengan santai.Akhirnya Ziyan memutuskan untuk menemui Pak Kemal di ruangannga. Ternyata di sana juga masih ada Vino."Maaf, Pak. Boleh saya bicara sebentar?" Setelab dipersilakan duduk, Ziyan memulai pembicaraan. Sedikit pun dia tidak melirik pada sosok di sampingnya. Vino mengendus sinis melihat temannya itu berpura-pura tidak peduli. "Setelah ngadu ke istri, sekarang apa lagi?" gumamnya sepelan mungkin. Namun, dia tidak sadar bahwa ucapan itu didengar Ziyan."Sebelumnya, saya minta maaf atas keributan yang dibuat istri saya, Pak. Kejadian hari ini benar-benar di luar kendali saya." Lelaki itu menghela napas. "Saya mohon dengan setulus hati untuk Bapak memaafkan istri saya dan--" Dia menjeda kalimatnya, kemudian menatap Vino. "Untuk masalah penggelapan dana, sampai saat ini pun saya tetap pada pernyataan bahwa saya tidak melakukan hal itu. Sama sekali." Lalu, kembali menghadap Pak Kemal. "Terlepas bagaimana Bapak menilai saya, itu bukan urusan saya lagi."Ziyan berusaha untuk ikhlas dengan apa yang sudah terjadi. Bahkan jika dirinya diberi kesempatan untuk kembali, Ziyan tidak akan mau. Bukan karena harga dirinya, tetapi dia sudah tahu kualitas orang-orang yang ada di kantor ini. Persaingan di dunia kerja bukanlah hal baru, tetapi menjadi korban dari segala drama yang dibuat-buat itu membuatnya sadar. Tidak memandang siapa yang bekerja bersamamu, jika memang pada dasarnya hubungan itu dilandari iri dan dengki, tidak ada yang bisa bertahan lama. Yang Ziyan maksud di sini adalah kepercayaan. "Saya lupa untuk mengatakan ini saat hari terakhir bekerja kemarin. Terima kasih atas waktu yang sudah Anda habiskan bersama saya di kantor ini. Semoga beruntung untuk posisi atau apa pun yang menjadi ambisimu. Saran saja, jangan lakukan itu lagi di kemudian hari atau pada orang lain."Vino yang mendengarnya sontak saja menatap Ziyan. Meski tatapan mata tertuju pada Pak Kemal, jelas bahwa ucapan lelaki itu merujuk padanya. Vino mengeratkan rahang, kedua tangannya terkepal kuat di atas paha. Sekuat tenaga dia mencoba untuk tidak berbicara. "Kalau begitu, saya permisi, Pak."Ziyan pergi setelah berpamitan, dan sampai pintu kembali tertutup pun dia tidak melirik lagi pada temannya.Belum lama keluar dari ruangan Pak Kemal, dia mendapat pesan dari Ava. Katanya, mereka menunggu Ziyan di parkiran. Langkah kaki pria itu menuju ke tempat yabg disebutkan, tetapi mendadak seseorang memanggilnya. Dari suaranya saja Ziyan sudah tahu. Agak malas memang, tetapi dia penasaran apa yang akan dilakukan orang itu.Ziyan berbalik. "Apa?" Vino tersenyum miring. "Lo menyerah secepat itu?" Disusul dengan tawa ringan yang mengejek. "Nggak gue sangka, ternyata lo sepengecut itu sampai bawa-bawa istri lo."Lelaki itu tidak menjawab."Pak Kemal udah memutuskan kalau gue yang bakal jadi asistennya." Belum lama ini Pak Kemal mendapat promosi, memang belum resmi, tapi semua karyawan sudah tahu akan perubahan posisi jabatan pria paruh baya itu. "Baru tadi pagi juga beliau nyuruh gue jadi asistennya." Senyum penuh kemenangan itu sudah menjelaskan semuanya.Ziyan tidak tampak terkejut sama sekali, seakan-akan sudah menduga hal itu. "Selamat.""Sorry, tapi lo emang baiknya nggak di sini, Yan.""Gue nggak masalah soal itu. Yang kayak udah dibilang tadi. Gue nggak mau terpuruk sama masalah yang bukan dari gue asalnya. Vin, cara lo emang menjijikkan, kotor, dan itu pantas aja dilakuin sama orang kayak lo." Ziya mengatakannya dengan santai.Wajah Vino sudah memerah, tangannya terkepal hingga urat di sekitarnya menonjol. "Nasihat terakhir gue sebagai teman lo," sambung Ziyan. "Tujuan yang dilakukan dengan cara yang salah, itu nggak bertahan lama. Gue nggak percaya karma, yang gue tahu Tuhan itu nggak pernah tidur." Setelah mengatakan itu, Ziyan meninggalkan Vino yang masih diliputi oleh kemarahan."Aku bisa pulang sendiri, kok," kata Jema saat mereka bertiga sudah ada di area parkir. "Arah rumahku sama kalian, 'kan, beda."Ziyan menawarkan untuk mengantar Jema pulang, dan hal itu disetujui oleh Ava. "Tapi, kamu udah jauh-jauh ke sini, Ma. Nggak enak, dong, kalau kamu pulang sendiri," kata Ava yang merasa tak enak hati."Nggak usah, Va. Beneran, deh. Kalian pulang aja dulu."Karena Jema tetap bersikeras untuk pulang sendiri, mereka pun akhirnya pergi tanpanya. Di perjalanan, Ava dan Ziyan sedikit berbincang tentang masalah hari ini. Sang suami pun menjelaskan alasan mengapa dirinya telat menjemput. Bukan untuk mencari pembenaran, melainkan untuk meyakinkan Ava bahwa dirinya tidak bersikap pasrah begitu saja. Lagi pula, bekerja di tempat dia dulu tidak sepenuhnya baik. Rekan kerja yang terlalu kompetitif hingga rela melakukan hal kotor, sampai bosnya yang tidak adil dan hanya mendengar dari satu pihak saja. Sungguh sangat melelahkab bekerja di tempat seperti itu. Ziyan juga su
"Lho, Jema?" Arum, ibunya Ziyan tampak kaget dengan kedatangan wanita itu. "Pagi, Tante." Sapaan penuh kehangatan dan keceriaan dari Jema tampaknya menular ke wanita paruh baya di depannya. Dia terkekeh pelan. "Maaf, Tante, Jema datang nggak ngabarin dulu.""Aduh, duh... sini, Nak. Tante malah senang kamu datang." Raut kegembiaraan wanita itu tidak dapat dimungkiri. Rumah yang tidak asing bagi Jema menyambutnya dengan hangat. Tidak dapat terelakkan bahwa dia terkadang merasa rindu dengan suasana rumah ini.Tidak terlalu besar, tidak kecil juga. Rumah yang sederhana, tampak rapi dan 'cantik' dalam versinya. Di halaman, bunga-bunga yang cantik dan penuh warna sudah menyambutnya lebih dulu. Aroma khas kue kering dan pengharum ruangan bunga lavender jadi iconic setiap berkunjung ke sini. "Tante Arum lagi buat kue, ya?" tanya Jema setelah tiba di ruang tamu. Tidak jauh dari sana, lokasi dapur memang mudah dijangkau. Jadi, tidak jarang jika bertamu di rumah ini akan disuguhkan pemandanga
Ava masih tidak terbiasa dengan kehadiran Jema. Bukan apa-apa, tetapi ini sungguh di luar prediksinya. Kenapa dan bagaimana bisa perempuan itu ada di rumah mertuanya?"Ini kue buatan Ibu sama Jema. Kalian pasti suka." Arum sangat antusias menghidangkan camilan manis itu. Rait wajahnya berbeda dari beberapa menit yang lalu--waktu menyambut kedatangan anak dan menantunya. "Temanmu ini, lho, Va. Datang pagi-pagi buat bantuin Ibu bikin kue sama bersih-beraih rumah. Ibu jari bisa leha-leha dikit, deh," lanjut wanita bersanggul itu.Ava tampak tidak terlalu memerhatikan ucapan mertuanya. Dia sibuk meneliti Jema, seakan temannya itu makhluk asing dari luar angkasa. "Kamu, kok, ada di sini, Ma?" tanya Ava pada akhirnya. "Oh, iya. Aku--" Dia menggantungkan kalimatnya sembari melirik sekilas ke arah Ziyan. "Aku cuma mampir. Niat awalnya cuma nyapa sebentar--oh, dan aku kira kamu udah ada di sini sejak pagi. Jadi, biar sekalian main. Tapi, ternyata kamu datangnya sore menjelang malam."Itu su
Situasi tidak kian mereda meski Ziyan sudah berusaha untuk melerai. Dia menatap istrinya, seolah memberi kode agar Ava berhenti menyahut ucapan Arum. "Bu. Coba, dong, berpikir objektif. Mas Nevan udah punya jabatan tinggi di kantornya saat nikah sama Mbak Hanna. Mbak Hanna juga udah dapet warisan dari orang tuanya, udah punya rumah. Sedangkan aku nikah sama Mas Ziyan di saat kami baru dapat kerjaan. Rumah juga masih awal tahun ini kami cicil." Ava mengambil napas. "Aku nggak mau ngambil risiko punya anak yang nanti malah nggak keurus dengan baik. Apa aku salah?" Sejak tadi dia terlihat kesal karena menantunya itu menjawab terus ucapannya. Arum hendak menyahut, tetapi dihentikan oleh suaminya. Di saat ada peluang itu, Ziyan langsung membawa istrinya ke teras. Jema tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Memang sudah benar seharusnya dia pergi dari sejak sebelum makan malam. Situasi canggung dan sentimentil ini membuatnya tidak nyaman. Hal itu juga disadari Pak Herman."Nak Jem
"Terlalu ikut campur?"Jema mengangguk sebagai jawaban. "Kamu ngebantu kami, Ma. Kalau bukan karena kamu, nggak mungkin kami tetap bersama sampai sekarang." Tidak bisa dimungkiri bahwa Jema memang memiliki peran tersendiri dalam kehidupannya dan Ava. Ziyan melihat Jema sebagai sahabat yang baik dan pengertian. Selalu ada dalam keadaan suka dan duka, melerai pertikaian suami istri yang terkadang kurang penting. Dia amat sangat berterimakasih akan hal itu.Perlahan kekhawatiran Jema menyusut. Syukurlah, paling tidak apa yang menjadi kecemasannya beberapa saat yang lalu telah mereda. Setelah sampai, Ziyan langsung berpamitan bahkan saat masih di dalam mobil. Lelaki itu merasa harus segera balik karena situasi rumah sedang dingin."Hati-hati di jalan, ya, Mas." Jema melambai singkat, kemudian masuk ke rumah setelah mobil Ziyan menghilang dari pandangan.***Keesokan harinya, Ava bangun kesiangan. Pukul 7.30 waktu setempat. Sebenarnya itu adalah jam biasa dirinya bangun setiap hari lib
"Mending kita pisah aja, Mas!"Ziyan tertegun untuk beberapa saat. Ini kali pertama dia mendengar ucapan itu. Tangannya terangkat untuk mengacak rambut, dia berbalik dan mengatur napas, berusaha untuk tenang. Entah mengapa dia merasa lelah untuk semua ini.Tidak lama, dia berbalik dan menatap istrinya. "Aku anggap nggak pernah dengar ucapan kamu tadi." Membuang napas, dia melanjutkan, "terserah kamu kalau mau pulang. Aku panggilkan taksi. Nanti aku nyusul setelah ketemu sama Bang Nevan dan keluarga."Setelah mengatakan itu, Ziyan keluar kamar. Raut masam Ava tidak berubah. "Nyebelin banget, sih, jadi suami! Lebih mentingin keluarga kakaknya daripada istri sendiri!" Dia melanjutkan kemas-kemas barang. Setelah selesai, dia menghubungi Jema dengan mengirim pesan. Di saat seperti ini memang hanya ada sahabatnya yang bisa dijadikan tempat "pengaduan".[Malam ini aku mau nginep ke rumah kamu, ya, Ma. Alasannya nanti aku jelasin pas ketemu.]Ada kemungkinan Ziyan tidak akan pulang malam in
Sesaat Jema membeku, terkejut dengan keberadaan Ava yang mendadak seperti ini. Dari seberang telepon dia mendengar Ziyan berbicara, "Jangan bilang kalau aku yang menelepon, ya, Ma."Ketika itulah dia menjawab, "Temen kantor, Va. Besok katanya ada meeting pagi-pagi sama atasan. Ngingetin aja biar nggak telat." Ava tampak menimbang sesuatu. "Oh, dari Desi, ya? Aku udah denger itu dari sore. Malam-malam gini dia nelpon kamu?"Sial. Jema tahu bahwa jika sudah memulai kebohongan, maka akan sulit berkata jujur di kemudian hari. "Iya. Biasalah, sekalian dia curcol soal doinya." Ava yang tahu bahwa Ja memang dekat dengan teman satu divisi dengan mereka itu hanya bisa mengangguk. "Ya udah. Aku tadi kaget kamu nggak ada di ranjang kirain lagi ke toilet atau apa." Dia kemudian menguap. "Kalau gitu aku tidur lagi, ya. Bilang ke Desi kalau curhat jangan di tengah malam begini. Ganggu orang tidur, tahu."Jema hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya.Setelah Ava kembali ke kamar, Jema berbicar
"Kalau terkenal mesum, kenapa masih ada di perusahaan?" Dia hanya berpikir jika memang semenakutkan itu, apa alasan perusahaan masih menerima orang sepertinya? Tidak, kecuali memang dia orang yang cukup berpengaruh.Di jam pulang kantor, suasana memang cukup sepi. Hanya beberapa orang yang tinggal untuk lembur. Sambil menaiki lift, Jema memberi kabar kepada Ziyan bahwa kemungkinan ada posisi di kantornya. [Apa kamu nggak masalah kalau harus satu kantor sama kami?]Pintu lift tertutul dan dua lantai dari kantornya menjadi tujuan wanita itu.[Aku, sih, nggak masalah. Tapi, mungkin bakal mengejutkan Ava.][Jadi, sekarang kamu masih di kantor? Ava memenin kamu nggak?]Jema tidak membalas pesan itu karena pesan lain masuk dan itu dari teman kantornya tadi. [Biasanya Pak Mahen pulang setengah jam lebih lama darinjam normal. Aku dapat info dari temanku.]Jema memeriksa jamnya sekarang. Untunglah, masih ada waktu sebelum pria itu pulang.Sesampainya di sana, dia bertanya kepada karyawan yan
Ziyan mengakhiri perjalanan tak menentunya, menepikan mobil di depan rumah orang tuanya. Dia merasa perlu memberitahu mereka terkait keputusan yang sudah dia ambil. Kedua orang tua Ziyan terlihat kaget, karena tidak biasanya putra mereka datang tanpa memberitahu terlebih dahulu. “Nak, kamu baik-baik aja, ‘kan?” tanya sang ibu yang saat itu langsung menyadari ada yang tidak beres dengan putranya. Seperti halnya seorang anak kecil yang mengadu karena terjatuh saat bermain, Ziyan menangis di depan orang tuanya. Dia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada pernikahannya dengan Ava dan sampai dia mengambil keputusan final untuk bercerai. Mereka tentu saja terkejut. Selama ini yang mereka tahu adalah Ziyan sangat mencintai istrinya. Namun, semua keluhan yang membuat Ziyan sampai merasa sangat frustrasi seperti ini jelas bukan masalah baru, melainkan masalah yang sudah lama diendap lelaki itu. Namun, tidak kunjung mendapatkan penyelesaiannya. “Semua keputusan ada di tangan kamu.
Jema tidak mendapatkan kabar tentang Pak Mahesa semenjak misi balas dendamnya sukses. Kabar miringnya adalah orang itu sudah tidak ada di perusahaan ini. Namun, posisi Yulia dan beberapa karyawati lain yang menjadi korban Pak Mahesa masih tetap aman di posisi masing-masing. Jema awalnya bingung, tetapi tidak mau terlibat dengan hal itu lagi. Bukti yang ada padanya pun telah diserahkan kepada istri Pak Mahesa. Bagaikan orang yang baru, Jema telah berlepas tangan dari masalah itu. Apa pun yang terjadi, yang terpenting sekarang situasinya sudah lebih baik. Gosip tentang Jema juga kian mereda, bahkan seperti tidak pernah terdengar lagi dan kini digantikan oleh role model Jema—siapa lagi kalau bukan wonder woman yang menyelamatkannya tempo hari lalu di ruangan Pak Mahesa. “Gue lihat istri Pak Mahesa yang mesum itu kemarin! Gila cantik banget, pakaiannya modis lagi!” “Gue juga dengar katanya dia melabrak suaminya itu yang lagi selingkuh! Hahaha! Rasakan kena batunya juga dia!” “Katany
“Ada apa ini, Pak Mahesa?” tanya Direktur itu. Dia menatap kedua orang itu secara bergantian. “Bu-bukan apa-apa, Pak. Dia cuma mau ngasih laporan soal tawaran proyek kemarin yang saya kasih ke dia.” Dari raut wajah dan cara bicaranya saja sudah menjelaskan betapa dia merasa gelisah. Tatapan pria itu mengarah pada Jema dan memberi kode agar Jema keluar dari ruangannya terlebih dahulu. Sayangnya, meski Jema paham, wanita tersebut tidak ingin beranjak dari posisi berdirinya itu. “Saya tidak akan lama, kok, Pak. Cuma mau bilang sama mau jadi sim—“ “Jema!” Diam-diam Jema menahan diri agar tidak tertawa lepas. Hiburan di depannya ini sangat menyenangkan. Pria itu dihadapkan dengan dua pilihan yang sulit. Jika membiarkan Jema berbicara sekarang, yang ada semua rahasianya terbongkar. Kemudian, jika menyanggupi permintaan Jema, berarti dia harus mengusir Direkturnya dan itu jelas tidak sopan. Lalu, jika memaksa Jema keluar ruangan dengan menarik wanita itu, maka Direktur akan lebih curig
Pagi harinya, Jema bangun dengan perasaan yang berat. Hari ini adalah hari di mana dirinya akan melancarkan aksi pembahasan kepada Pak Mahesa memberi pelajaran setimpal untuk pria itu. Hanya saja apa yang dikatakan oleh Ziyan kemarin malam kembali memenuhi isi kepalanya. “Ma,” panggil Jema kepada ibunya. “Kenapa, Nak?” tanya wanita paruh baya itu sambil menyiapkan sarapan untuk putrinya. “Kalau seandainya ada seorang laki-laki yang jatuh cinta pada mama padahal laki-laki itu masih memiliki hubungan yang terikat dengan wanita lain. Ada catatan bahwa sebenarnya laki-laki itu sudah merasa pernikahannya tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Dan secara kebetulan ada Mama yang hadir dalam hidup laki-laki itu. Dia bilang kalau mama bukan alasan di balik pernikahannya yang berantakan. Menurut mama bagaimana?” Wanita yang tidak lagi terlihat muda itu tersenyum lembut. “Cinta dan pernikahan itu bisa berjalan sendiri-sendiri, Nak. Tapi jika laki-laki itu memiliki alasan di balik patahnya p
Belakangan Jema sibuk dengan rencananya untuk menggulirkan Pak Mahesa sampai pulang kerja pun yang ada di pikirannya hanya tentang lelaki tua itu. Tidak semua rencana yang disusunnya, ia ceritakan kepada Ava, tetapi sebagian kecilnya perempuan itu tahu apa tujuan Jema. "Apa kamu yakin kalau aku nggak perlu bantu apa pun?" Ava sudah menawarkan hal itu berkali-kali. "Nggak, Va. Aku yakin kamu juga capek. Lagian aku nggak mungkin bawa-bawa kamu, takutnya nanti malah kamu ikutan keseret dalam masalah ini." Dia menjawab dengan jujur. Ava menghela napas. "Ya sudah kalau begitu. Pesanku, jangan terlalu memaksa kalau memang capek dan yang penting bkamu harus hati-hati. Yang kamu lawan itu atasan di perusahaan tempat kita bekerja, lho, Ma.""Iya, Va, iya. Nggak mungkin aku lupa sama fakta itu." Justru karena alasan itulah dia ingin cepat-cepat memberi lelaki itu pelajaran yang setimpal. Akhirnya mereka berpisah di depan pintu gerbang. Seperti biasa, Ava menunggu jemputan sang suami dengan
Belakangan Jema sibuk dengan rencananya untuk menggulirkan Pak Mahesa sampai pulang kerja pun yang ada di pikirannya hanya tentang lelaki tua itu. Tidak semua rencana yang disusunnya, ia ceritakan kepada Ava, tetapi sebagian kecilnya perempuan itu tahu apa tujuan Jema. "Apa kamu yakin kalau aku nggak perlu bantu apa pun?" Ava sudah menawarkan hal itu berkali-kali. "Nggak, Va. Aku yakin kamu juga capek. Lagian aku nggak mungkin bawa-bawa kamu, takutnya nanti malah kamu ikutan keseret dalam masalah ini." Dia menjawab dengan jujur. Ava menghela napas. "Ya sudah kalau begitu. Pesanku, jangan terlalu memaksa kalau memang capek dan yang penting bkamu harus hati-hati. Yang kamu lawan itu atasan di perusahaan tempat kita bekerja, lho, Ma.""Iya, Va, iya. Nggak mungkin aku lupa sama fakta itu." Justru karena alasan itulah dia ingin cepat-cepat memberi lelaki itu pelajaran yang setimpal. Akhirnya mereka berpisah di depan pintu gerbang. Seperti biasa, Ava menunggu jemputan sang suami dengan
Di kafe, Jema berhadapan dengan Yulia. Wanita berwajah oval itu terlihat tidak nyaman dengan sesekali menggeser posisi duduknya. Di sisi lain, Jema justru bersikap santai dengan menikmati minuman berwarba hijau itu. "Jadi, apa yang sebenarnya kamu mau?" Tidak tahan, Yulia membuka perbincangan lebih dulu."Aku mau kita bekerja sama untuk membuat Pak Mahesa dipecat.""Apa?!" Jelas saja ucapan Jema membuatnya terkejut setengah mati. Bagaimana perempuan itu memikirkan hal gila tadi? "Kamu jangan bercanda, Jema. Kamu pikir kita ini apa? Pak Mahesa itu punya banyak koneksi dan bentar lagi bakal jadi anggota eksekutif di kantor."Jema dengan santai menganggukan kepala. "Aku tahu itu. Karena itulah aku nggak bisa sendiri. Kamu dan para karyawati lain yang sudah terjerat sama kebusukan Pak Mahesa. Aku butuh kalian."Kali ini Yulia tidak menjawabnya langsung. Wanita itu terlihat berpikir, sangat dalam hingga keningnya berkerut tajam. "Aku tahu ini nggak gampang buat kamu, Yulia. Aku juga memi
Suasana menjadi suram, terutama apa yang dirasakan wanita itu. Yulia seketika bergerak mundur, seolah ingin melarikan diri dari sana. Namun, temannya yang bernama Gina itu mencegahnya. "Ada apa? Kamu ada urusan apa sama Pak Mahesa?" "Bu-bukan apa-apa. Eh, iya. Aku mau ke toilet dulu, ya." Yulia hendak berbalik, tetapi suara seseorang menghentikannya. "Bukannya lucu? Maling teriak maling." Jelas sindirian itu ditujukan kepada Yulia. Jema tersenyum puas melihat keadaan yang berbalik. Meski sebagian belum sadar dengan apa yang dia katakan, paling tidak Jema tahu bahwa dirinya tidak sepenuhnya berada dalam kegelapan. Ava yang bingung memberi kode dengan menaikan alis, seolah bertanya bahwa apa yang dibicarakan temannya itu. Hanya saja, alih-alih menjelaskan, dia justru berdiri dan menghampiri Yulia. "Tadi aku udah bilang kalau aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Kenapa malah kabur? Jangan bikin semuanya semakin jelas, dong." "Kamu ini bicara apa, sih?" Yulia tampak kesal. Dia menata
Kedengarannya memang menarik, hanya saja bukan ini yang diinginkan Jema. Tujuannya datang kemari tidaklag untuk memenuhi permintaan Pak Mahesa, apa pun itu. Jadi, dengan satu kali gerakan, Jema berhasil membebaskan tangannya dari genggaman lelaki tersebut. "Pak, apa Anda sadar dengan ucapan Anda barusan, 'kan?""Yang mana?""Ajakan Anda.""Kenapa?" Pak Mahesa berlagak linglung. Mengabaikan perasaan risihnya, dia kembali berbicara, "Apa ini yang Bapak tawarkan ke karyawan lain di kantor?""Iya, Sayang--"Sebelum terlambat, Jema bergegas untuk berdiri dan meraih ponselnya. Dia mengamankan benda itu di tas dan tersenyum penuh kemenangan. "Mau ke mana kamu?" Pak Mahesa yang terkejut menatap perempuan itu dengan alis ditekuk. "Pulang," jawabnya enteng."Apa--""Untuk hari ini cukup sampai di sini saja, Pak." Tanpa beban, Jema tersenyum lebar. "Saya sangat berterima kasih karensa Bapak sudah meluangkan waktu untuk saya." Sebelum Jema berbalik pergi, Pak Mahesa mencegat tangan perempuan