“Aku baru aja di-PHK.”
Jema kehilangan kata-kata untuk saat ini. Sementara itu, Ziyan tersenyum kecut sambil mengusap belakang kepalanya. “Aku belum bilang ini ke Ava. Kamu tahu sendiri, ‘kan, gimana dia? Yang di kafe aja dia ngamuk, apalagi dengar kabar aku di-PHK.”Ada keheningan sesaat di antara mereka, sampai Jema membuka mulut. “Jadi ini masalahnya, Mas? Alasan kamu telat jemput dan yang tadi kamu bilang di kafe?”“Iya, Ma.”Kasihan sekali lelaki itu. Pantas saja Ziyan tidak terlihat seperti biasanya. Jema tahu, dengan temperamen sang istri, Ziyan pasti berpikir seribu kali untuk membicarakan hal ini. “Boleh tahu nggak, alasan kamu di-PHK, Mas?” Jema melihat lawan bicaranya tampak lebih frustrasi saat ini. Entah sejak kapan kantong plastik itu sudah lepas dari tangan pemiliknya, hingga dua buntelan berisi makanan itu tak lagi terlihat menggiurkan. Ziyan baru akan membuka suara, tetapi mendadak terhenti saat istrinya menampakkan diri. “Ava?”“Kamu bercanda, ‘kan, Mas?” Mata Ava terlihat terguncang. Dia menatap suaminya dan Jema secara bergantian. “Jawab, Mas! Nggak mungkin kamu dipecat!” Hilang kesabaran, suaranya meninggi dengan gurat emosi yang tidak bisa disembunyikan. Ziyan gelagapan. Dia tidak menyangka bahwa istrinya mendengar percakapan tadi. “Va, tenang dulu–”“Kamu berharap aku tenang, Mas? Nggak bisa! Jawab dulu!” Ava mendesak gelisah. Melihat ekspresi dan diamnya sang suami, itu sudah memberi jawaban yang jelas. Wanita itu mengacak rambutnya frustrasi. “Astaga! Setelah tega bohongin aku, sekarang kamu–”“Aku nggak berniat bohongin kamu, Va.” Ziyan buru-buru memotong, beranjak dari duduknya dan hendak menjelaskan. Namun, Ava terlihat tidak peduli.Sang istri beralih menatap Jema yang sejak tadi hanya diam. “Untung kamu datang ke sini, Ma. Kalau nggak, mungkin aku nggak akan bahwa suamiku baru aja di-PHK. Meski aku agak kesal karena di lebih dulu cerita ke kamu daripada istrinya sendiri!”Jema tahu maksud kalimat terakhir temannya itu. Saat ini posisinya menjadi serba salah. Berniat menjelaskan, tetapi dia sadar bahwa ini momen yang tidak tepat. Semakin lama dia berada di sini, akan semakin buruk keadaannya. Jadi, dia memutuskan untuk berpamitan. “Va, aku akan jelasin, tapi nanti nunggu kamu agak tenang, ya. Ini urusan kalian, aku nggak mau terlalu dalam untuk ikut campur. Mas, Va, aku pamit dulu.” Setelah kepergian Jema, Ziyan meminta istrinya untuk membahas hal ini di dalam rumah. “Aku nggak butuh penjelasan kamu, Mas! Aku kecewa banget sama kamu. Gimana bisa kamu dipecat? Emangnya kamu ngelakuin apa, hah?!” Ava berkacak pinggang, tatapannya menyorot penuh tuduhan dan penghakiman. Tidak peduli dengan Ziyan yang saat ini terlihat lelah dan frustrasi.“Aku nggak ngelakuin apa-apa, Va.” Lelaki itu membalas dengan penuh penekanan. Berharap sang istri berhenti menatapnya seperti seorang penjahat. “Nggak mungkin! Bos mana yang bakal memecat bawahannya tanpa alasan!” Ava bersikeras dengan asumsinya.“Aku berani bersumpah, Va.”Wanita yang mengenakan gaun tidur selutut itu mengangkat dagu dan bersedekap. “Oh, ya?” cibirnya. “Kalau gitu kenapa kamu sampai dipecat?”“Vino.” Ziyan memejamkan matanya sesaat. “Dia memfitnah aku di depan Pak Kemal, bilang kalau aku menggelapkan dana proyek terbaru.”Tangan Ava kembali ke sisi tubuh. "Kamu yakin, Mas?" Melihat suaminya mengangguk, dia terlihat semakin geram. "Terus kamu diam aja gitu?! Harusnya kamu protes, dong. Jangan mentang-mentang Vino teman kamu, jadi nggak enakan?" Sarkasme itu terlontar dengan berapi-api."Aku nggak tahu sampai saat Pak Kemal nyuruh aku ke ruangannya dan ngasih bukti soal penggelapan dana itu! Demi Tuhan, Va, aku baru tahu setelah temanku bilang kalau Vino yang ngasih bukti itu!" Ziyan menjelaskan dengan penuh penekanan. Dia berusaha agar tidak berteriak, karena jika itu terjadi maka situasi akan semakin tidak terkendali. "Harusnya kamu jelasin, dong, kalau bukti itu palsu!" Tidak puas dengan penjelasan suaminya, Ava melanjutkan, "Mana bisa kamu terima gitu aja! Dipikir cari kerja itu gampang?! Susah, Mas! Aku nggak mau punya suami pengangguran!" Ava berteriak ketika mengucapkan kalimat terakhirnya.Tidak peduli dengan Ziyan yang hendak bersuara lagi, Ava berlalu ke kamar dan membanting pintu dengan sangat keras. Pria itu hanya terdiam di tempatnya. Dia sudah mengira hal ini akan terjadi, tetapi tetap saja rasanya sakit dan melelahkan. Bukan hanya Ava yang kecewa, marah, dan sedih, melainkan dirinya pun demikian.***Pagi itu, suasana meja makan menjadi sangat hening. Sesuai prediksi, Ziyan tidur dia ruang tamu karena Ava bersikeras tidak mau membuka pintu kamar.Ava memerhatikan pakaian suaminya pagi ini. Hanya celana dan kaos pendek, menandakan bahwa perdebatan semalam benar-benar nyata, bukan mimpi. Sekarang suaminya pengangguran. Wanita itu memijat pangkal hidungnya. Sakit kepala menyerangnya saat ini. Benar-benar buruk. "Kamu nggak perlu khawatir, Va. Aku pasti akan mendapatkan pekerjaan lagi, kok." Ziyan berusaha membuka pembicaraan, tetapi tidak digubris sang istri. "Aku janji nggak bakal nganggur lama-lama--oh, iya. Aku antar kamu setelah sarapan, ya.""Nggak usah. Aku bisa naik taksi," jawab Ava dingin. "Sayang--""Kamu fokus aja buat cari kerjaan lagi. Jangan berpikir kalau kamu akan malas-malasan aja di rumah sementara istrimu banting tulang di luar sana!"Ziyan hanya diam. "Aku bakal ngelabrak Vino dan suruh dia minta maaf ke kamu! Ah, terutama bikin kamu balik lagi ke perusahaan!""Udah, deh, Va. Kamu nggak perlu buang tenaga buat ketemu sama Vino. Lagian keputusan bosku, Pak Kemal, udah nggak bisa diganggu gugat."Ava membuang napas kasar. "Ini dia masalah kamu, Mas. Terlalu pasrah dan lembek begitu! Kamu, tuh, harusnya tegas, dong! Jangan pasrah di depan ketidakadilan!""Bukan begitu--”" Udahlah, Mas! Capek ngomong sama kamu." Tanpa menghabiskan sarapannya, Ava meninggalkan meja makan dan berangkat kerja dengan perasaan dongkol.***"Kamu gimana sama Ziyan, Va?" tanya Jema saat mereka di kantin.Ava menghela napas panjang. "Aku nggak habis pikir sama dia, Ma. Bisa-bisanya diam aja waktu difitnah temannya.""Difitnah? Maksudnya?" Ava menjelaskan alasan Ziyan dipecat dengan berapi-api. "Gila, 'kan, Ma?! Emang brengsek di Vino itu!""Vino yang satu divisi sama suamimu itu, 'kan, Va?” Jema tampak tidak percaya dengan cerita temannya."Ya siapa lagi?""Wah, padahal setahuku mereka kawan dekat, lho. Kok, bisa-bisanya--" Dia sampai kehabisan kata-kata. Jema jadi teringat sesuatu. "Va, maaf, ya soal semalam. Aku nggak ada niat buruk sama sekali. Ziya sendiri yang bilang kalau dia belum sanggup ngomong langsung ke kamu. Terlebih kemarin kamu lagi emosi, 'kan?" Berharap temannya itu bisa menerima penjelasan tersebut. "Aku itu nggak marah sama kamu, Ma." Ava terlihat tulus mengatakannya. "Kemarin malam aku kesal dan marah sama Ziyan aja karena nggak mau terus terang sama aku." Dia menghirup napas dalam-dalam, kemudian membuangnya perlahan. "Kalau aja kamu nggak datang malam itu, mungkin Ziyan akan terus pura-pura masih bekerja."Jema merasa lega dan bersyukur atas ucapan Ava barusan. Sejujurnya, dia cukup khawatir jika perempuan itu marah besar karena salah paham.Tiba-tiba, ponsel Jema yang berada di atas meja bergetar--menandakan pesan masuk. [Aku beneran minta tolong sama kamu, Ma. Kalau ada info loker, jangan lupa bagi tahu, ya.][Jangan kasih tahu Ava dulu. Bantu aku kali ini secara diam-diam. Oke?]"Dari siapa, Ma? Kok, serius banget?"Jema mengerjap kaget. "Oh, bukan dari siapa-siapa, kok. Biasalah, teman."Dia tidak berbohong, bukan? Ziyan memang temannya.[Nanti aku kabari ke kamu kalau udah nemu kerjaannya.][Sekarang aku lagi makan sama istri kamu, Mas.]Jema mambalas pesan sambil mendengarkan celotehan Ava yang berisi keluhan dan ‘hinaan’ tentang suaminya. Terkadang dia heran sekaligus kagum dengan kesabaran Ziyan menghadapi istri semacam Ava ini. “Kamu tahu nggak, sih? Cicilan rumah kami aja belum lunas, Va! Gimana kami bisa nabung kalau Ziyan jadi pengangguran? Gaji aku aja cuma cukup buat kebutuhanku aja!” Memang benar, selama ini uang Ava hanya untuk memenuhi kebutuhannya saja. Mulai dari shopping, jalan-jalan, arisan, hingga liburan. Sedangkan untuk makan, cicilan rumah, hingga perawatan sepenuhnya ditanggung sang suami. Hal itu juga tidak luput dari sepengetahuan Jema. Gaya hidup hedon Ava terkadang membuatnya geleng-geleng kepala. Bukan karena iri, tetapi jutru kasihan—terutama untuk Ziyan. Namun, apa boleh buat, itu kehidupan temannya, Jema tidak bisa ikut campur lebih dalam lagi. “Kamu tahu nggak, sih? Aku, tuh, stres ba
“Ma, aku nggak bisa menghubungi Ava. Nomornya nggak aktif.” Ziyan bingung dan cemas. Sudah berkali-kali dia mencoba untuk menghubungi istrinya, tetapi bisa. Hari sudah mulai gelap, tidak biasanya Ava pergi tanpa mengabarinya dulu.“Lho, bukannya kamu yang jemput dia, Mas?” Suara Jema dari seberang telepon menyahut. Ziyan memilih menepikan mobilnya, kemudian menjawab, “Aku udah sampai di tempat tujuan, tapi Ava nggak ada. Aku kirim pesan dan telepon juga nggak ada respons. Nomornya juga nggak aktif.” Suaranya terdengar gelisah. Beberapa kali dia mengibas rambut dengan frustrasi. “Oke, tenang dulu, Mas. Mungkin dia pergi ke suatu tempat dan HP-nya mati, jadi nggak bisa hubungin kamu.” Ava mencoba untuk menenangkan. “Salahku karena telat jemput dia. Aargh!” Dia tahu bahwa Ava sedang sensitif perasaannya. Memang sang istri bukan anak kecil yang harus 24 jam dalam pengawasan, tetapi jika pergi tanpa kabar, siapa juga yang tidak khawatir?Jema yang saat ini sedang ada di rumah merasa ber
Tanpa basa-basi, Ava diseret ke luar oleh suaminya. Dia mencoba untuk memberontak, tetapi gagal lantaran cengkraman Ziyan pada tangannya cukup kuat. Jema tetap tinggal di ruangan untuk meminta maaf kepada Pak Kemal dan Vino. Sementara itu, Ziyan membawa istrinya sampai di depan lift. Karena hari sudah gelap, kantor pun tampak sepi. "Kamu ini apa-apaan, sih!" Ziyan mulai mengomel. "Mau malu-maluin aku? Ini bukan kantor aku lagi Va."Ava membuang napas kasar. "Apa? Malu-maluin? Harusnya kamu itu berterimakasih, Mas! Aku ngebela kamu, lho! Datang ke sini buat meminta keadilan."Ziyan mengacak rambut dengan frustrasi. Dia tahu bahwa wanita itubmelakukan hal ini demi dirinya. Ava memang orang yang seperti itu, sedikit saja mencium ketidakadilan maka dia akan mengusutnya sampai tuntas. Hanya saja, hal seperti ini akan menambah masalah. "Tapi, bukan begini caranya, Va." "Terus, kamu mau aku gimana, hah?!" Ava mulai bersungut-sungut. "Diam sampai kamu mau turun tangan? Hahaha. Itu mus
"Aku bisa pulang sendiri, kok," kata Jema saat mereka bertiga sudah ada di area parkir. "Arah rumahku sama kalian, 'kan, beda."Ziyan menawarkan untuk mengantar Jema pulang, dan hal itu disetujui oleh Ava. "Tapi, kamu udah jauh-jauh ke sini, Ma. Nggak enak, dong, kalau kamu pulang sendiri," kata Ava yang merasa tak enak hati."Nggak usah, Va. Beneran, deh. Kalian pulang aja dulu."Karena Jema tetap bersikeras untuk pulang sendiri, mereka pun akhirnya pergi tanpanya. Di perjalanan, Ava dan Ziyan sedikit berbincang tentang masalah hari ini. Sang suami pun menjelaskan alasan mengapa dirinya telat menjemput. Bukan untuk mencari pembenaran, melainkan untuk meyakinkan Ava bahwa dirinya tidak bersikap pasrah begitu saja. Lagi pula, bekerja di tempat dia dulu tidak sepenuhnya baik. Rekan kerja yang terlalu kompetitif hingga rela melakukan hal kotor, sampai bosnya yang tidak adil dan hanya mendengar dari satu pihak saja. Sungguh sangat melelahkab bekerja di tempat seperti itu. Ziyan juga su
"Lho, Jema?" Arum, ibunya Ziyan tampak kaget dengan kedatangan wanita itu. "Pagi, Tante." Sapaan penuh kehangatan dan keceriaan dari Jema tampaknya menular ke wanita paruh baya di depannya. Dia terkekeh pelan. "Maaf, Tante, Jema datang nggak ngabarin dulu.""Aduh, duh... sini, Nak. Tante malah senang kamu datang." Raut kegembiaraan wanita itu tidak dapat dimungkiri. Rumah yang tidak asing bagi Jema menyambutnya dengan hangat. Tidak dapat terelakkan bahwa dia terkadang merasa rindu dengan suasana rumah ini.Tidak terlalu besar, tidak kecil juga. Rumah yang sederhana, tampak rapi dan 'cantik' dalam versinya. Di halaman, bunga-bunga yang cantik dan penuh warna sudah menyambutnya lebih dulu. Aroma khas kue kering dan pengharum ruangan bunga lavender jadi iconic setiap berkunjung ke sini. "Tante Arum lagi buat kue, ya?" tanya Jema setelah tiba di ruang tamu. Tidak jauh dari sana, lokasi dapur memang mudah dijangkau. Jadi, tidak jarang jika bertamu di rumah ini akan disuguhkan pemandanga
Ava masih tidak terbiasa dengan kehadiran Jema. Bukan apa-apa, tetapi ini sungguh di luar prediksinya. Kenapa dan bagaimana bisa perempuan itu ada di rumah mertuanya?"Ini kue buatan Ibu sama Jema. Kalian pasti suka." Arum sangat antusias menghidangkan camilan manis itu. Rait wajahnya berbeda dari beberapa menit yang lalu--waktu menyambut kedatangan anak dan menantunya. "Temanmu ini, lho, Va. Datang pagi-pagi buat bantuin Ibu bikin kue sama bersih-beraih rumah. Ibu jari bisa leha-leha dikit, deh," lanjut wanita bersanggul itu.Ava tampak tidak terlalu memerhatikan ucapan mertuanya. Dia sibuk meneliti Jema, seakan temannya itu makhluk asing dari luar angkasa. "Kamu, kok, ada di sini, Ma?" tanya Ava pada akhirnya. "Oh, iya. Aku--" Dia menggantungkan kalimatnya sembari melirik sekilas ke arah Ziyan. "Aku cuma mampir. Niat awalnya cuma nyapa sebentar--oh, dan aku kira kamu udah ada di sini sejak pagi. Jadi, biar sekalian main. Tapi, ternyata kamu datangnya sore menjelang malam."Itu su
Situasi tidak kian mereda meski Ziyan sudah berusaha untuk melerai. Dia menatap istrinya, seolah memberi kode agar Ava berhenti menyahut ucapan Arum. "Bu. Coba, dong, berpikir objektif. Mas Nevan udah punya jabatan tinggi di kantornya saat nikah sama Mbak Hanna. Mbak Hanna juga udah dapet warisan dari orang tuanya, udah punya rumah. Sedangkan aku nikah sama Mas Ziyan di saat kami baru dapat kerjaan. Rumah juga masih awal tahun ini kami cicil." Ava mengambil napas. "Aku nggak mau ngambil risiko punya anak yang nanti malah nggak keurus dengan baik. Apa aku salah?" Sejak tadi dia terlihat kesal karena menantunya itu menjawab terus ucapannya. Arum hendak menyahut, tetapi dihentikan oleh suaminya. Di saat ada peluang itu, Ziyan langsung membawa istrinya ke teras. Jema tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Memang sudah benar seharusnya dia pergi dari sejak sebelum makan malam. Situasi canggung dan sentimentil ini membuatnya tidak nyaman. Hal itu juga disadari Pak Herman."Nak Jem
"Terlalu ikut campur?"Jema mengangguk sebagai jawaban. "Kamu ngebantu kami, Ma. Kalau bukan karena kamu, nggak mungkin kami tetap bersama sampai sekarang." Tidak bisa dimungkiri bahwa Jema memang memiliki peran tersendiri dalam kehidupannya dan Ava. Ziyan melihat Jema sebagai sahabat yang baik dan pengertian. Selalu ada dalam keadaan suka dan duka, melerai pertikaian suami istri yang terkadang kurang penting. Dia amat sangat berterimakasih akan hal itu.Perlahan kekhawatiran Jema menyusut. Syukurlah, paling tidak apa yang menjadi kecemasannya beberapa saat yang lalu telah mereda. Setelah sampai, Ziyan langsung berpamitan bahkan saat masih di dalam mobil. Lelaki itu merasa harus segera balik karena situasi rumah sedang dingin."Hati-hati di jalan, ya, Mas." Jema melambai singkat, kemudian masuk ke rumah setelah mobil Ziyan menghilang dari pandangan.***Keesokan harinya, Ava bangun kesiangan. Pukul 7.30 waktu setempat. Sebenarnya itu adalah jam biasa dirinya bangun setiap hari lib
Ziyan mengakhiri perjalanan tak menentunya, menepikan mobil di depan rumah orang tuanya. Dia merasa perlu memberitahu mereka terkait keputusan yang sudah dia ambil. Kedua orang tua Ziyan terlihat kaget, karena tidak biasanya putra mereka datang tanpa memberitahu terlebih dahulu. “Nak, kamu baik-baik aja, ‘kan?” tanya sang ibu yang saat itu langsung menyadari ada yang tidak beres dengan putranya. Seperti halnya seorang anak kecil yang mengadu karena terjatuh saat bermain, Ziyan menangis di depan orang tuanya. Dia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada pernikahannya dengan Ava dan sampai dia mengambil keputusan final untuk bercerai. Mereka tentu saja terkejut. Selama ini yang mereka tahu adalah Ziyan sangat mencintai istrinya. Namun, semua keluhan yang membuat Ziyan sampai merasa sangat frustrasi seperti ini jelas bukan masalah baru, melainkan masalah yang sudah lama diendap lelaki itu. Namun, tidak kunjung mendapatkan penyelesaiannya. “Semua keputusan ada di tangan kamu.
Jema tidak mendapatkan kabar tentang Pak Mahesa semenjak misi balas dendamnya sukses. Kabar miringnya adalah orang itu sudah tidak ada di perusahaan ini. Namun, posisi Yulia dan beberapa karyawati lain yang menjadi korban Pak Mahesa masih tetap aman di posisi masing-masing. Jema awalnya bingung, tetapi tidak mau terlibat dengan hal itu lagi. Bukti yang ada padanya pun telah diserahkan kepada istri Pak Mahesa. Bagaikan orang yang baru, Jema telah berlepas tangan dari masalah itu. Apa pun yang terjadi, yang terpenting sekarang situasinya sudah lebih baik. Gosip tentang Jema juga kian mereda, bahkan seperti tidak pernah terdengar lagi dan kini digantikan oleh role model Jema—siapa lagi kalau bukan wonder woman yang menyelamatkannya tempo hari lalu di ruangan Pak Mahesa. “Gue lihat istri Pak Mahesa yang mesum itu kemarin! Gila cantik banget, pakaiannya modis lagi!” “Gue juga dengar katanya dia melabrak suaminya itu yang lagi selingkuh! Hahaha! Rasakan kena batunya juga dia!” “Katany
“Ada apa ini, Pak Mahesa?” tanya Direktur itu. Dia menatap kedua orang itu secara bergantian. “Bu-bukan apa-apa, Pak. Dia cuma mau ngasih laporan soal tawaran proyek kemarin yang saya kasih ke dia.” Dari raut wajah dan cara bicaranya saja sudah menjelaskan betapa dia merasa gelisah. Tatapan pria itu mengarah pada Jema dan memberi kode agar Jema keluar dari ruangannya terlebih dahulu. Sayangnya, meski Jema paham, wanita tersebut tidak ingin beranjak dari posisi berdirinya itu. “Saya tidak akan lama, kok, Pak. Cuma mau bilang sama mau jadi sim—“ “Jema!” Diam-diam Jema menahan diri agar tidak tertawa lepas. Hiburan di depannya ini sangat menyenangkan. Pria itu dihadapkan dengan dua pilihan yang sulit. Jika membiarkan Jema berbicara sekarang, yang ada semua rahasianya terbongkar. Kemudian, jika menyanggupi permintaan Jema, berarti dia harus mengusir Direkturnya dan itu jelas tidak sopan. Lalu, jika memaksa Jema keluar ruangan dengan menarik wanita itu, maka Direktur akan lebih curig
Pagi harinya, Jema bangun dengan perasaan yang berat. Hari ini adalah hari di mana dirinya akan melancarkan aksi pembahasan kepada Pak Mahesa memberi pelajaran setimpal untuk pria itu. Hanya saja apa yang dikatakan oleh Ziyan kemarin malam kembali memenuhi isi kepalanya. “Ma,” panggil Jema kepada ibunya. “Kenapa, Nak?” tanya wanita paruh baya itu sambil menyiapkan sarapan untuk putrinya. “Kalau seandainya ada seorang laki-laki yang jatuh cinta pada mama padahal laki-laki itu masih memiliki hubungan yang terikat dengan wanita lain. Ada catatan bahwa sebenarnya laki-laki itu sudah merasa pernikahannya tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Dan secara kebetulan ada Mama yang hadir dalam hidup laki-laki itu. Dia bilang kalau mama bukan alasan di balik pernikahannya yang berantakan. Menurut mama bagaimana?” Wanita yang tidak lagi terlihat muda itu tersenyum lembut. “Cinta dan pernikahan itu bisa berjalan sendiri-sendiri, Nak. Tapi jika laki-laki itu memiliki alasan di balik patahnya p
Belakangan Jema sibuk dengan rencananya untuk menggulirkan Pak Mahesa sampai pulang kerja pun yang ada di pikirannya hanya tentang lelaki tua itu. Tidak semua rencana yang disusunnya, ia ceritakan kepada Ava, tetapi sebagian kecilnya perempuan itu tahu apa tujuan Jema. "Apa kamu yakin kalau aku nggak perlu bantu apa pun?" Ava sudah menawarkan hal itu berkali-kali. "Nggak, Va. Aku yakin kamu juga capek. Lagian aku nggak mungkin bawa-bawa kamu, takutnya nanti malah kamu ikutan keseret dalam masalah ini." Dia menjawab dengan jujur. Ava menghela napas. "Ya sudah kalau begitu. Pesanku, jangan terlalu memaksa kalau memang capek dan yang penting bkamu harus hati-hati. Yang kamu lawan itu atasan di perusahaan tempat kita bekerja, lho, Ma.""Iya, Va, iya. Nggak mungkin aku lupa sama fakta itu." Justru karena alasan itulah dia ingin cepat-cepat memberi lelaki itu pelajaran yang setimpal. Akhirnya mereka berpisah di depan pintu gerbang. Seperti biasa, Ava menunggu jemputan sang suami dengan
Belakangan Jema sibuk dengan rencananya untuk menggulirkan Pak Mahesa sampai pulang kerja pun yang ada di pikirannya hanya tentang lelaki tua itu. Tidak semua rencana yang disusunnya, ia ceritakan kepada Ava, tetapi sebagian kecilnya perempuan itu tahu apa tujuan Jema. "Apa kamu yakin kalau aku nggak perlu bantu apa pun?" Ava sudah menawarkan hal itu berkali-kali. "Nggak, Va. Aku yakin kamu juga capek. Lagian aku nggak mungkin bawa-bawa kamu, takutnya nanti malah kamu ikutan keseret dalam masalah ini." Dia menjawab dengan jujur. Ava menghela napas. "Ya sudah kalau begitu. Pesanku, jangan terlalu memaksa kalau memang capek dan yang penting bkamu harus hati-hati. Yang kamu lawan itu atasan di perusahaan tempat kita bekerja, lho, Ma.""Iya, Va, iya. Nggak mungkin aku lupa sama fakta itu." Justru karena alasan itulah dia ingin cepat-cepat memberi lelaki itu pelajaran yang setimpal. Akhirnya mereka berpisah di depan pintu gerbang. Seperti biasa, Ava menunggu jemputan sang suami dengan
Di kafe, Jema berhadapan dengan Yulia. Wanita berwajah oval itu terlihat tidak nyaman dengan sesekali menggeser posisi duduknya. Di sisi lain, Jema justru bersikap santai dengan menikmati minuman berwarba hijau itu. "Jadi, apa yang sebenarnya kamu mau?" Tidak tahan, Yulia membuka perbincangan lebih dulu."Aku mau kita bekerja sama untuk membuat Pak Mahesa dipecat.""Apa?!" Jelas saja ucapan Jema membuatnya terkejut setengah mati. Bagaimana perempuan itu memikirkan hal gila tadi? "Kamu jangan bercanda, Jema. Kamu pikir kita ini apa? Pak Mahesa itu punya banyak koneksi dan bentar lagi bakal jadi anggota eksekutif di kantor."Jema dengan santai menganggukan kepala. "Aku tahu itu. Karena itulah aku nggak bisa sendiri. Kamu dan para karyawati lain yang sudah terjerat sama kebusukan Pak Mahesa. Aku butuh kalian."Kali ini Yulia tidak menjawabnya langsung. Wanita itu terlihat berpikir, sangat dalam hingga keningnya berkerut tajam. "Aku tahu ini nggak gampang buat kamu, Yulia. Aku juga memi
Suasana menjadi suram, terutama apa yang dirasakan wanita itu. Yulia seketika bergerak mundur, seolah ingin melarikan diri dari sana. Namun, temannya yang bernama Gina itu mencegahnya. "Ada apa? Kamu ada urusan apa sama Pak Mahesa?" "Bu-bukan apa-apa. Eh, iya. Aku mau ke toilet dulu, ya." Yulia hendak berbalik, tetapi suara seseorang menghentikannya. "Bukannya lucu? Maling teriak maling." Jelas sindirian itu ditujukan kepada Yulia. Jema tersenyum puas melihat keadaan yang berbalik. Meski sebagian belum sadar dengan apa yang dia katakan, paling tidak Jema tahu bahwa dirinya tidak sepenuhnya berada dalam kegelapan. Ava yang bingung memberi kode dengan menaikan alis, seolah bertanya bahwa apa yang dibicarakan temannya itu. Hanya saja, alih-alih menjelaskan, dia justru berdiri dan menghampiri Yulia. "Tadi aku udah bilang kalau aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Kenapa malah kabur? Jangan bikin semuanya semakin jelas, dong." "Kamu ini bicara apa, sih?" Yulia tampak kesal. Dia menata
Kedengarannya memang menarik, hanya saja bukan ini yang diinginkan Jema. Tujuannya datang kemari tidaklag untuk memenuhi permintaan Pak Mahesa, apa pun itu. Jadi, dengan satu kali gerakan, Jema berhasil membebaskan tangannya dari genggaman lelaki tersebut. "Pak, apa Anda sadar dengan ucapan Anda barusan, 'kan?""Yang mana?""Ajakan Anda.""Kenapa?" Pak Mahesa berlagak linglung. Mengabaikan perasaan risihnya, dia kembali berbicara, "Apa ini yang Bapak tawarkan ke karyawan lain di kantor?""Iya, Sayang--"Sebelum terlambat, Jema bergegas untuk berdiri dan meraih ponselnya. Dia mengamankan benda itu di tas dan tersenyum penuh kemenangan. "Mau ke mana kamu?" Pak Mahesa yang terkejut menatap perempuan itu dengan alis ditekuk. "Pulang," jawabnya enteng."Apa--""Untuk hari ini cukup sampai di sini saja, Pak." Tanpa beban, Jema tersenyum lebar. "Saya sangat berterima kasih karensa Bapak sudah meluangkan waktu untuk saya." Sebelum Jema berbalik pergi, Pak Mahesa mencegat tangan perempuan